-->

TAQLID DAN IJTIHAD




TAQLID DAN IJTIHAD






MASALAH KONTINUITAS DAN KREATIVITAS
 DALAM MEMAHAMI PESAN AGAMA
           
oleh Nurcholish Madjid

Jika  masalah  taqlid  dan  ijtihad  harus   ditelusuri   ke belakang,  barangkali  yang paling tepat ialah kita menengok ke  zaman  'Umar  ibn  al-Khathtab,  Khalifah  ke  II.  Bagi orang-orang  muslim yang datang kemudian, khususnya kalangan kaum Sunni, berbagai tindakan 'Umar dipandang sebagai contoh klasik  persoalan  taqlid  dan  ijtihad. Salah satu hal yang memberi petunjuk kita tentang prinsip dasar 'Umar  berkenaan dengan  persoalan  pokok  ini  ialah isi suratnya kepada Abu Musa al-Asy'ari, gubernur di Basrah, Irak: "Adapun  sesudah  itu,  sesungguhnya  menegakkan  hukum  (al qadla)   adalah  suatu  kewajiban  yang  pasti  dan  tradisi (Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka  pahamilah  jika  sesuatu diajukan  orang  kepadamu.  Sebab,  tidaklah  ada manfaatnya berbicara mengenai kebenaran jika tidak dapat  dilaksanakan.

Bersikaplah ramah antara sesama manusia dalam kepribadianmu, keadilanmu dan majlismu, sehingga seorang yang  berkedudukan tinggi  (syarif)  tidak  sempat  berharap  akan  keadilanmu. Memberi bukti adalah wajib  atas  orang  yang  menuduh,  dan mengucapkan   sumpah   wajib  bagi  orang  yang  mengingkari (tuduhan).    Sedangkan    kompromi    (ishlah,    berdamai) diperbolehkan diantara sesama orang Muslim, kecuali kompromi yang menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan  hal  yang halal.  Dan  janganlah engkau merasa terhalang untuk kembali pada yang benar berkenaan  dengan  perkara  yang  telah  kau putuskan  kemarin  tetapi  kemudian engkau memeriksa kembali jalan pikiranmu lalu engkau mendapat petunjuk kearah jalanmu yang  benar;  sebab  kebenaran  itu tetap abadi, dan kembali kepada yang benar adalah lebih  baik  daripada  berketerusan dalam kebatilan. Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang terlintas dalam dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab  dan Sunnah,   kemudian   temukanlah   segi-segi   kemiripan  dan kesamaannya,  dan  selanjutnya   buatlah   analogi   tentang berbagai  perkara  itu,  lalu  berpeganglah  pada  segi yang paling  mirip  dengan   yang   benar.   Untuk   orang   yang mendakwahkan  kebenaran  atau  bukti, berilah tenggang waktu yang  harus  ia  gunakan  dengan  sebaik-baiknya.  Jika   ia berhasil datang membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya untuk dia sesuai dengan  haknya.  Tetapi  jika  tidak,  maka anggaplah  benar  keputusan  (yang  kau  ambil) terhadapnya, sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan, dan  lebih  jelas  dari  ketidakpastian  (al-a'ma, kebutaan, kegelapan) ... Barang siapa  telah  benar  niatnya  kemudian teguh  memegang  pendiriannya, maka Allah akan melindunginya berkenaan dengan apa  yang  terjadi  antara  dia  dan  orang banyak.  Dan  barang  siapa  bertingkah laku terhadap sesame manusia dengan sesuatu yang Allah ketahui tidak berasal dari dirinya  (tidak  tulus), maka Allah akan menghinakannya ..." _1

Dari kutipan surat  yang  lebih  panjang  itu  ada  beberapa prinsip  pokok  yang  dapat  kita simpulkan berkenaan dengan masalah taqlid dan ijtihad. Prinsip-prinsip pokok itu ialah:
Pertama, prinsip  keotentikan  (authenticity).  Dalam  surat 'Umar  itu  prinsip keotentikan tercermin dalam penegasannya bahwa keputusan apapun mengenai suatu perkara harus terlebih dahulu diusahakan menemukannya dalam Kitab dan Sunnah.
Kedua,  prinsip  pengembangan. Yaitu, pengembangan asas-asas ajaran dari Kitab dan Sunnah  untuk  mencakup  hal-hal  yang tidak  dengan jelas termaktub dalam sumber-sumber pokok itu. Metodologi pengembangan ini ialah penalaran melalui analogi. Pengembangan  ini  diperlukan,  sebab  suatu  kebenaran akan membawa manfaat hanya kalau  dapat  terlaksana,  dan  syarat keterlaksanaan itu ialah relevansi dengan keadaan nyata.
Ketiga,  prinsip  pembatalan  suatu  keputusan  perkara yang telah terlanjur diambil tetapi kemudian ternyata salah,  dan selanjutnya,  pengambilan  keputusan  itu kepada yang benar. Ini bisa  terjadi  karena  adanya  bahan  baru  yang  dating kemudian, yang sebelumnya tidak diketahui.

Keempat,  prinsip  ketegasan dalam mengambil keputusan yang menyangkut perkara yang kurang jelas  sumber  pengambilannya (misalnya,  tidak  jelas  tercantum dalam Kitab dan Sunnah), namun perkara itu amat penting dan mendesak. Ketegasan dalam hal  ini  bagaimanapun  lebih  baik  daripada  keraguan  dan ketidakpastian.
Kelima, prinsip ketulusan dan niat baik, yaitu bahwa  apapun yang dilakukan haruslah berdasarkan keikhlasan. Jika hal itu benar-benar ada, maka sesuatu yang menjadi  akibatnya  dalam
hubungan   dengan   sesama   manusia   (seperti   terjadinya kesalahpahaman), Tuhanlah yang akan memutuskan kelak  (dalam bahasa 'Umar, Allah yang akan "mencukupkannya").

Dari  prinsip-prinsip  itu,  prinsip keotentikan adalah yang pertama dan utama, disebabkan  kedudukannya  sebagai  sumber keabsahan.  Karena  agama  adalah sesuatu yang pada dasarnya hanya  menjadi  wewenang  Tuhan,  maka   keotentikan   suatu keputusan  atau  pikiran  keagamaan  diperoleh hanya jika ia jelas memiliki dasar referensial dalam  sumber-sumber  suci, yaitu  Kitab  dan  Sunnah.  Tanpa  prinsip  ini  maka  klaim keabsahan keagamaan  akan  menjadi  mustahil.  Justru  suatu pemikiran  disebut  bernilai  keagamaan  karena ia merupakan segi derivatif semangat yang diambil dari sumber-sumber suci agama itu.

TAQLID

Prinsip  keotentikan  juga  menyangkut  masalah  konsistensi ketaatan pada asas. Konsistensi itu,  pada  urutannya,  akan menjadi  batu  penguji  lebih lanjut tingkat keabsahan suatu pemikiran. Karena itu  dalam  pengembangan  suatu  pemikiran keagamaan  tidak  mungkin  dihindari kewajiban memperhatikan hal-hal parametris dalam sistem ajaran  sumber-sumber  suci, sebab hal-hal parametris itulah yang menjadi tulang punggung kerangka ajarannya yang abadi (sesuai untuk segala zaman dan tempat).  Hal-hal  parametris  itu  dalam Kitab Suci disebut sebagai al-muhkamat (petunjuk-petunjuk dengan makna  jelas), yang  juga  disebut  sebagai prinsip dasar atau induk ajaran Kitab  Suci  (umm  al-Kitab),  kebalikan   petunjuk-petunjuk metaforikal, alegoris dan interpretatif (mutasyabihat)._2
 
Karena   keontentikan   dan   konsistensi   mengimplikasikan penerimaan terhadap  suatu  postulat,  premis  atau  formula dasar,  dengan  sendirinya  ia  juga mengandung makna taqlid menurut makna asli (generik) kata-kata itu,  yakni,  sebelum ia menjadi istilah teknis dengan makna sekunder seperti kini umum dipahami. Sebab, taqlid dalam  arti  generik  merupakan unsur  sikap  menerima  kebenaran suatu postulat berdasarkan pengakuan  bahwa  sumber  atau  pembuat  postulat  mempunyai wewenang penuh dan tinggi.
Karena  salah  satu  konsekuensi  konsep tentang Tuhan ialah konsep tentang Dia Yang Maha Berwenang, maka menerima dengan penuh   keyakinan   terhadap   kebenaran  ajaran-Nya  dengan sendirinya merupakan implikasi kepercayaan atau iman  kepada Rasul  dan  ajaran-ajaran  yang  dibawa-Nya.   Iman yang sempurna dengan sendirinya mengandung semangat sikap  pasrah sepenuhnya.
Segi lain tentang makna penting taqlid ialah yang menyangkut masalah akumulasi informasi dan pengalaman.  Taqlid  sebagai pola    penerimaan   otoritas   pendahulu   dalam   rentetan pengembangan  ilmu  dan  pemikiran  hampir   tidak   mungkin dihindari.   Sebab,   ekonomi  pemikiran  tidak  mengizinkan terlalu  banyak  bersandar  pada  kemampuan  pribadi  secara terpisah dan atomistis, sehingga segala sesuatu akan menjadi tanggung jawab sendiri,  dengan  keharusan  merintis  setiap pengembangan  dari titik nol (from the scratch). Pengetahuan manusia seperti yang ada sekarang ini  yang  menandai  zaman modern ("iptek") adalah hasil kumulatif penggalian informasi dan pengalaman yang melibatkan hampir seluruh ummat  manusia sepanjang  sejarah yang telah berjalan ribuan tahun. Deretan pengalaman   dan   pengawetan   serta   pelembagaan    dalam karya-karya  intelektual  sepanjang  masa  itu menjadi pohon tradisi intelektual universal ummat manusia, yang tanpa  itu kekayaan  dan  kesuburan  seperti  yang  ada  sekarang  akan menjadi sama sekali  mustahil.  Memulai  suatu  pengembangan pemikiran  dan dalam hal ini juga pengembangan bidang budaya manusia manapun dari titik nol akan  hanya  berakhir  dengan kemiskinan  (malah pemiskinan - improverishment) hasil usaha itu sendiri.
Karena itu taqlid dalam makna generik yang positif merupakan dasar  penumbuhan  kekayaan intelektual yang integral, yakni integral dalam arti bahwa suatu bangunan tradisi intelektual memiliki   akar-akar   dalam   sejarah.   Jadi,  keotentikan historis, yang  keontentikan  itu  sendiri  diperlukan  jika diinginkan daya kembang dan kreativitas yang maksimal. Maka, untuk sekedar misal,  seorang  Albert  Camus  dalam  tradisi intelektual  Eropa (Barat) yang telah tampil dengan filsafat kontemporernya  tentang  eksistensialisme   absurdity   yang kontroversial itu pun harus dipahami sebagai bagian integral tradisi  intelektual  di   sana   yang   akar-akarnya   bias ditelusuri  jauh  ke  masa lalu, sampai ke masa Yunani kuno.

Albert Camus, dalam jalan pikiran orang-orang  Barat,  tidak dapat  dipahami  tanpa  melihat salah satu jalur konsistensi dan benang merah  pemikiran  Barat  itu  sendiri,  melintasi zaman sampai ke masa lalu yang sangat jauh. Sekalipun konsep absurdity dapat dilihat sebagai Camus, namun sesungguhnya ia adalah  salah  satu  hasil  pertumbuhan  kumulatif pemikiran Barat._4 Ia memiliki  keabsahan  sebagai  pemikiran  Barat yang integral.

Jadi  keintegralan  dan  keotentikan  diperkuat  oleh adanya konstinuitas tradisi yang berkembang.  Tetapi  segi  positff taqlid  ini  hanya  terwujud  jika  ia  tidak  menjadi paham tersendiri  yang  tertutup,  yang  tumbuh   menjadi   "isme" terpisah.  Sebab,  taqlid seperti ini (yang barangkali lebih tepat disebut "taqlidisme") mengisyaratkan  sikap  penyucian masa  lampau  dan  pemutlakan otoritas tokoh sejarah. Memang benar, masa lampau selalu mengandung otoritas. Tapi,  justru demi  pengembangan  bidang  yang  menjadi  otoritasnya, masa lampau beserta tokoh-tokohnya harus senantiasa terbuka untuk diuji  dan  diuji  kembali.  Pengujian  itu dilakukan dengan pertama-tama,  menemukan  dan  menginsafi   segi-segi   yang merupakan  imperatif  ruang  dan  waktu  yang ikut membentuk suatu sosok pemikiran. Sebab, suatu  sosok  pemikiran  tidak pernah  muncul  dan  berkembang  dari  kevakuman.  Ia selalu merupakan hasil interaksi berbagai faktor, dan faktor  ruang dan waktu acap kali dominan.

Kedua,   dengan   menghadapkan   sosok  pemikiran  itu  pada kenyataan-kenyataan   disini   sekarang.   Penghadapan   ini diperlukan  untuk  melihat  relevansi  suatu sosok pemikiran historis, karena ia akan  berguna  untuk  kita,  disini  dan kini.   Seperti   tubuh   manusia  yang  memiliki  mekanisme penolakan terhadap benda-benda asing yang tidak cocok dengan dirinya  lewat  gejala  alergi,  ruang  dan  waktu pun, yang mengejawantah  dalam  sistem  sosial,   memiliki   mekanisme penolakan   terhadap   sesuatu   yang   tidak  sesuai  tanpa membiarkan diri  secara  pasif  menjadi  tawanan  ruang  dan waktu,  kita  tidak  bisa dihadapkan pada kebutuhankebutuhan nyata yang didiktekan dan ditentukan oleh lingkungan kita.

HIKMAH AGAMA

Tujuan seorang Rasul diutus kepada umat manusia antara  lain untuk  mengajarkan  Kitab  Suci  dan  hikmah  kepada mereka. Karena  cakupan  maknanya  yang  demikian   luas,   "hikmah" diterangkan   kedalam   berbagai   pengertian   dan  konsep, diantaranya wisdom atau  kewicaksanaan  (dari  bahasa  Jawa, untuk   membedakannya   dari   kata  "kebijaksanaan"),  ilmu pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in disguise" (untuk menekankan  segi  kerahasiaan  hikmah). [6] Mendasari konsep itu ialah kesadaran bahwa suatu "hikmah"  selalu  mengandung kemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang tidak seluruhnya kita mampu  menangkapnya.  Maka  disebutkan bahwa  siapa dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan kebajikan yang berlimpah-ruah._6
Jika  "hikmah"  itu  kita  hubungkan  kembali  pada  istilah "muhkam"  (kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama, yaitu h-k-m), maka  dalam  menumbuhkan  tradisi  intelektual yang  integral  dan  kreatif  berdasarkan  kaidah taqlid dan ijtihad itu  memerlukan  kemampuan  menangkap  hikmah  pesan Ilahi  seperti yang terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama.
Berkenaan dengan ini, dan dikaitkan  pada  keterangan  dalam Kitab  Suci  tentang  adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih tersebut, menarik sekali kita mengangkat penafsiran A. Yusuf Ali atas makna muhkam itu _7

...  The  Commentators  usually  understand  the  verses "of established meaning" (muhkam) to refer  to  the  categorical orders  of  the  Shari'at  (or  the Law), which are plain to everyone's understanding. But perhaps the meaning is  wider: "the mother of the Book" must include the very foundation on which all Law  rests,  the  essence  of  God's  Message,  as distinguished   from   the  various  illustrative  parables, allegories, and ordinances.
If we refer to xi. 1 and xxxix. 23, [8] we shall  find  that in  a  sense  the  whole of the Qur'an has both "established meaning"  and  allegorical  meaning.  The  division  is  not between  the verses, but between the meanings to be attached to them. Each is but a Sign or Symbol: what it represents is something  immediately applicable, and something eternal and independent of time and space, - the  "Forms  of  Ideas"  in Plato's  Philosophy. The wise man will understand that there is an "essence" and an illustrative clothing  given  to  the essence,  throught the Book. We must try to understand it as best we can, but not waste our energies in  disputing  about matters beyond our depth._9

Sesuatu  dari  ajaran  Kitab Suci yang abadi dan tak terikat oleh waktu dan ruang (eternal and independent  of  time  and space)  dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah makna, semangat, atau tujuan universal  yang  harus  ditarik dari  suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau malah  mungkin  ad-hoc.  Kadang-kadang  makna   dan   tujuan universal  dibalik  suatu  ketentuan  spesifik itu sekaligus diterangkan langsung dalam  rangkaian  firman  itu  sendiri.

Tapi,  kadang-kadang  makna itu harus ditarik melalui proses konseptualisasi atau ideasi (ideation). Contoh yang  pertama ialah  firman  Ilahi  yang mengurus perceraian Zaid (seorang bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak  oleh  Nabi) dari  istrinya,  Zainab  (seorang  wanita  bangsawan Quraisy dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu kemudian  diteruskan dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan  seseorang  -dalam hal  ini  Nabi  menikahi  bekas isteri anak angkatnya. Namun kejadian yang bagi orang-orang  tertentu  terdengar  sebagai skandal  ini  justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk suatu maksud  yang  mendukung  nilai  universal  yang  sejak semula  menjadi  klaim  ajaran  Islam,  yaitu  nilai sekitar konsep  kealamian  (naturalness)  yang  suci,  yakni  konsep fithrah.  Dalam  hal  ini,  anak  angkat bukanlah anak alami seperti anak  (biologis)  sendiri,  sehingga  juga  tidaklah alami  dan  tidak  pula  wajar  jika hubungannya dengan ayah angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan  anak  alami, termasuk  dalam  urusan  nikah.  Maka,  kejadian ad-hoc yang menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi  itu  langsung  diterangkan tujuan  universalnya,  yaitu  "agar  tidak ada halangan bagi kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak angkat  mereka." _10   Tujuan  ini  jelas  langsung terkait dengan segi universal yang lebih  menyeluruh,  yaitu  konsep atau  ajaran  fithrah,  yang  mengimplikasikan  bahwa segala sesuatu dalam tatanan hidup  manusia  ini  hendaknya  diatur dengan  ketentuan  yang  sealami mungkin sesuai dengan hokum alam (Qadar) [11] dan hukum sejarah (Sunnat-u  'l-Lah)  yang pasti  dan  tak  berubah-ubah.  [12]

Pandangan bahwa segala sesuatu harus sealami  mungkin  adalah  benar-benar  sentral namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama ftthrah yang hanif.

Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan secara  global. Dalam arti yang lebih terinci, konsep hikmah agama dinyatakan  dalam  berbagai  ungkapan,  seperti  telah menjadi  tema  dan  judul  sebuah  buku yang cukup terkenal, Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu._13   Hikmah  pesan  agama ini  juga  dikenal  dengan  istilah  lain  sebagai  maqashid al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah).  Berkaitan  dengan ini  berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agama Islam, khususnya  pembahasan  bidang  hukum  (syari'ah  -parexcellence),  seperti  konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin: ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm (sumbu perputaran hukum). Konsep-konsep ini dibuat berkenaan dengan perlunya menemukan  suatu  rationale  yang  mendasari penetapan  suatu  hukum.  Contoh  nyata penerapan konsep ini ialah yang  dikenakan  pada  hukum  khamr.  Bahwa  rationale diharamkannya  minuman  keras  (alkoholik,  seperti  khamar) ialah sifatnya yang memabukkan.  Kemudian  sifat  memabukkan itu   sendiri  dihukumnya  sebagai  tidak  baik,  karena  ia mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental.
Dan  selanjutnya,  kerusakan  mental  itu  -betapa pun jelas negatif-  masih  bisa  dilihat  rationalenya   sehingga   ia negatif,  yaitu  bahwa  ia berarti hilangnya akal sehat yang menjadi bagian  dari  fithrah  manusia.  Padahal  memelihara fithrah  itulah,  justru merupakan salah satu ajaran sentral agama Islam. _15

IJTIHAD

Uraian di atas dibuat dengan tujuan memberi  gambaran  bahwa masalah  taqlid  dan  ijtihad, lebih dari pada yang dipahami umum, menyangkut hal-hal yang  cukup  rumit,  mendalam,  dan meluas  serta  kompleks. Karena itu di kalangan ulama klasik ada pendapat hampir merata bahwa ijtihad adalah suatu  tugas yang   penuh   gengsi,   tapi  justru  karena  itu  menuntut persyaratan banyak dan berat. Maka  ijtihad  bisa  dilakukan hanya  oleh  orang-orang  tertentu  yang  benar-benar  telah memenuhi  syarat  itu.  Syarat-syarat  itu  sekarang   boleh kedengaran  kuno,  namun  ia  dibuat  dengan tujuan menjamin adanya kewenangan dan tanggung jawab.
Hanya  saja,  pelukisan  tentang  kegiatan  ijtihad  sebagai sesuatu yang amat eksklusif telah melahirkan persepsi salah. Dalam sejarah masyarakat Muslim sempat tumbuh pandangan yang hampir  menabukan  ijtihad. Sikap penabuan dengan sendirinya tidak dapat dibenarkan meskipun sesungguhnya ia muncul  dari obsesi  para  ulama  pada  ketertiban  dan  ketenangan  atau keamanan, yaitu tema-tema teori politik Sunni, khususnya  di masa-masa  penuh  kekacauan  menjelang  keruntuhan  Baghdad. Tapi, dalam perkembangan selanjutnya penabuan itu juga dapat dilihat  sebagai  kelanjutan  masa kegelapan (obskurantisme) dalam pemikiran Islam.
Kini, ijtihad itu diajukan orang  sebagai  salah  satu  tema pokok  usaha  reformasi  atau  penyegaran  kembali pemahaman terhadap  agama.  Melalui  tokoh-tokoh   pembaharu   seperti Muhammad  Abduh  dan  Sayid  Ahmad Khan, ijtihad dikemukakan kembali  sebagai  metode  terpenting  menghilangkan  situasi anomalous  dunia  Islam  yang  kalah  dan dijajah oleh dunia Kristen Barat.  (Disebut  anomalous,  karena  selama  paling kurang  tujuh atau delapan abad, orang-orang muslim terbiasa berpikir bahwa dunia ini  milik  mereka,  dan  hak  mengatur dunia  hanya  ada  pada  mereka,  sebagai  salah satu akibat penguasaan  mereka  atas  daerah-daerah  sentral   peradaban manusia,  terutama  daerah  Nil  sampai  Ozus, jantung kawan (Oikoumene).

Para pembaharu mendapati  bahwa  praktek  taqlid  yang  umum menguasai  orang-orang muslim, baik awam maupun ulama, telah berkembang menjadi suatu  sikap  mental,  jika  bukan  malah pandangan  teologis,  yang  meliputi  penolakan secara sadar terhadap segala sesuatu yang baru, khususnya jika  berbentuk unsur  dari  budaya  asing._15    Ini  dengan mudah dilihat gejala xenophobia. Xenophobia itu sendiri merupakan  gejala, paling  untung  chauvinisme,  paling  celaka  kecemasan  dan rendah diri. Gejala ini  pula  yang  hari-hari  ini  dilihat al-Makki,  seorang  pemikir  Makkah  dari madzhab Maliki. Ia melukiskan semangat kosmopolit zaman klasik Islam, khususnya zaman  'Umar.  Sebab,  sepanjang  penuturannya, 'Umar adalah seorang  yang  "berpikiran  luas,  yang  tidak   segan-segan mengambil  apa  saja yang baik dari umat-umat lain, meskipun umat itu kafir._16  Bahkan  'Umar  "tidak  memandang  semua perkara    bersifat    ta'abbudi    (bernilai    'ubudiyyah, devotional), dan tidak memandang baik terhadap  sikap  jumud dalam   hukum,   tetapi   mengikuti   berbagai  pertimbangan kemaslahatan dan melihat makna-makna  yang  merupakan  poros penetapan  hukum  (manath  al-tasyri')  yang  diridlai Allah s.w.t."_17

Pandangan  'Umar  ini  sejalan  dengan,   dan merupakan konsekwensi dari, penegasannya bahwa "tidaklah ada gunanya  berbicara  tentang  kebenaran  namun  tidak   dapat dilaksanakan." _18

Agaknya  jalan pikiran 'Umar dari zaman klasik (salaf) Islam itu muncul lagi pada orang-orang tertentu dari kalangan para pemikir  Islam zaman modern, khususnya Muhammad Abduh. Tokoh pembaharu modern paling berpengaruh  ini  "memahami  ijtihad dalam  pengertiannya  yang  luas  sebagai  penelitian bebas, menurut kerangka aturan yang telah mapan tentang pengambilan hukum  dan  norma-norma  moral  Islam,  dan tentang apa yang paling baik disini dan sekarang." _19

Berkenaan dengan itu, sungguh  menarik  pemaparan  pemikiran al-Makki  bahwa  melakukan  ijtihad,  dari kalangan generasi awal Islam, tidak hanya para  Sahabat  seperti  'Umar  dll., malah  juga  Rasulullah  sendiri!  Menurut  al-Makki, selain selaku Utusan Tuhan yang  menerima  wahyu  parametris,  Nabi juga  sering  melakukan  ijtihad  dengan  menggunakan metode analogi  atau  qiyas.  Al-Makki   mengatakan   bahwa   dalam berijtihad  Nabi  selalu  benar,  atau kalaupun salah beliau akan segera mendapat teguran Ilahi melalui wahyu  yang  suci sehingga  kesalahan  itu  tidak  melembaga  dan menjadi satu dengan pola hidup orang banyak.  (Dalam hal ini al-Makki mirip  dengan  Ibn  Taymiyyah  yang  berpendapat  bahwa Nabi bersifat ma'shum hanya dalam tugas menyampaikan  (al-balagh) wahyu.  Jika  diluar  itu  Nabi  bisa  salah,  meskipun amat jarang, dan selalu langsung dikoreksi Tuhan). _21

NILAI SEBUAH IJTIHAD

Dari uraian di atas, kiranya jelas bahwa taqlid dan  ijtihad sama-sama diperlukan dalam masyarakat manapun. Sebab, dengan mekanisme penerimaan dan penganutan suatu otoritas  (taqlid) kekayaan  pengalaman  kultural manusia, khususnya pemikiran, menjadi  kumulatif,  dan  ijtihad  diperlukan  justru  untuk mengembangkan dan lebih memperkaya pengalaman itu.

Tapi,   sebagai  sama-sama  kegiatan  manusiawi  yang  serba terbatas, maka  taqlid  ataupun  ijtihad  selalu  mengandung persoalan,  sehingga harus senantiasa dibiarkan membuka diri bagi tinjauan dan pengujian. Jadi  tidak  dibenarkan  adanya absolutisme  di  sini. Sebab, setiap bentuk absolutisme akan membuat  suatu  sistem  pemikiran  menjadi   tertutup,   dan ketertutupan  itu  akan  menjadi  sumber absolutnya. Sesuatu dari kreasi manusiawi yang  diabsolutkan  akan  secepat  itu pula  akan  terobsolutkan. Inilah barangkali letak kebenaran ucapan Karl Mannheim bahwa setiap ideologi (yakni, pemikiran yang dihayati secara ideologis-absolutistik) cenderung untuk selalu bakal ditinggalkan zaman.

Maka problema yang  dihadapkan  kepada  setiap  orang  ialah bagaimana  ia teguh tanpa menjadi kemutlakan-kemutlakan, dan sekaligus   berkembang   dan   kreatif   tanpa    kehilangan keotentikan  dan keabsahan -suatu penitian jalan yang sulit, namun  tidak  mustahil.  Seluruh   ide   tentang   mendekati (taqarrub)  kepada  Tuhan  mengisyaratkan  perlunya  manusia berjalan tanpa jemu-jemunya meniti jalan  lurus  yang  sulit itu,  sampai  ia akhirnya bertemu (liqa, namun tanpa menjadi satu) dengan Kebenaran, dengan  izin  dan  ridla  dari  Sang Kebenaran itu sendiri.
Jalan  menuju  kesana  ternyata  banyak.  Bahkan, dari sudut pandangan esoterisnya, jalan itu sebanyak jumlah mereka yang mencarinya dengan sungguh-sungguh. Sebab, pasti memang hanya usaha  yang  penuh  kesungguhan  saja,  yaitu  ijtihad   dan mujahadah,  yang  menjadi  alasan  bagi Sang Kebenaran untuk menuntun seseorang ke berbagai jalan menuju kepada-Nya._22

Dan  karena  banyaknya  jalan  menuju  Kebenaran  itu,  maka seperti ditegaskan Ibn  Taymiyyah,  Hadlrat  al-Syaikh  K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari dan al-Sayyid Muhammad Ibn Alawi ibn "Abbas  al-Maliki  al-Hasani  al-Makki,  para  Sahabat  Nabi dahulu,  begitu  pula  para  Imam  madzhab  sendiri,  selalu toleran satu sama lain, dan saling menghargai pendapat  yang ada di kalangan mereka._23
Akhirnya,  sebagaimana  tercermin dalam sabda Nabi yang amat terkenal, yang menegaskan bahwa siapa  yang  berijtihad  dan benar,   ia   akan  mendapat  dua  pahala,  dan  siapa  yang berijtihad dan salah, ia masih  mendapat  satu  pahala.  Ini merupakan  hal  yang  amat  penting  dalam  perkembangan dan pertumbuhan. Sebab perkembangan dan pertumbuhan adalah tanda vitalitas,  sedangkan  kemandekan  berarti kematian. Seperti dikatakan 'Umar  dalam  suratnya  di  atas,  niat  baik  dan ketulusan  hati adalah sumber perlindungan Ilahi dalam usaha kita  mengembangkan   masyarakat.   Dengan   berbekal ketulusan, kita terus bergerak maju secara dinamis. Dinamika penting tidak saja karena merupakan unsur vitalitas, tapi ia juga  benar,  karena  merupakan  Sunnat  Allah untuk seluruh ciptaannya, termasuk sejarah manusia. Hanya Dzat Allah  yang kekal  abadi, sedangkan seluruh wujud ini berjalan dan terus berubah. Karena itu tujuan hidup yang benar hanyalah  Allah, sebab  Dia-lah  Kebenaran  Yang Pertama dan yang Akhir. [26] Dalam dinamika itu tidak perlu  takut  salah,  karena  takut salah itu sendiri adanya kesalahan yang paling fatal.

CATATAN

1.       Al-Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas al-Maliki al-Hasani al-Makki, Syarifat Allah al-Khalidah: Dirasat fi Tarikh Tasyri al-Ahkam wa Madzahib al-Fuqaha al-A'lam (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1407 H/1986 M), h. 120-121.

2.
       QS. 'Ali 'Imran 3:7, "Dia (Tuhan)-lah yang menurunkan kepadamu (Muhammad) Kitab Suci. Diantara isinya ayat-ayat muhkamat (jamak dari muhkam) yang merupakan induk (ajaran) Kitab Suci itu, dan lainnya berupa ayat-ayat mutasyabihat  (jamak dari mutasyabih). Adapun mereka yang dalam hatinya  terdapat kecenderungan kurang baik (serong), maka akan (hanya) mencari yang mutasyabih saja dari Kitab Suci itu dengan tujuan menciptakan perpecahan dan mencari-cari maknanya yang tersembunyi (membuat-buat interpretasi). Padahal tidak ada yang mengetahui maknanya yang tersembunyi  itu kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam    pengetahuannya akan berkata, "kami beriman dengan ayat-ayat   itu, sebab semuanya dari Tuhan kami. Dan memang tidaklah   menangkap pesan ini kecuali mereka yang berpengertian."

3.
        Ini bisa dipahami dari firman, QS. al-Nisa 4:65, "Tidak, demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka mengangkatmu sebagai hakim berkenaan dengan hal-hal yang  diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati dalam diri mereka keberatan terhadap apa yang telah kau putuskan, dan mereka pasrah sepasrah-pasrahnya."

4.
       Berkenaan dengan "pohon" tradisi intelektual Barat cabang filsafat eksistensialisme ini, para penganjurnya mengklaim sebagai berakar pada masa lampau yang jauh, melintasi zaman, sejak zaman Nabi 'Isa a.s. (khutbahnya di  atas bukit Moria (Zion) -yang kini berdiri Masjid 'Umar atau  Qubbat al-Shakhrah dan Masjid al-Aqsha itu) sebagaimana dituturkan dalam Injil Matius 5 dari Perjanjian Baru,  kemudian Job, Eclesiastes, Amos, Micah, dan Zabur dalam Perjanjian Lama, sampai kepada Heracleitus dari Ephesus di  zaman Yunani kuno. (lihat Maurice Friedman, ed. The Word of Existentialism: A Critical Reader (Chicago: The University of Chicago Press, 1964), hal 1728.

5.
       Dalam literatur klasik Arab, "hikmah" memang sering diartikan sebagai wisdom, yaitu sama dengan "filsafat" yang memang menyiratkan wisdom, sehingga para filsuf (al-falasifah) juga disebut al-hukama ("orang-orang bijaksana"). Ini dengan jelas tercermin, misalnya, dari  risalah Ibn Rusyd, Fash al-Maqal wa Taqrir ma bain al-Hikmah wa al-Syari'ah min al-Ittishat (Kata Putus dan Kejelasan  tentang Hubungan antara Filsafat dan Agama).
6.
       QS. al-Baqarah 2: 269, "Dia (Tuhan) memberi hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak."

7.
       Ayat-ayat muhkam itu disebut sebagai "mother of the Book," Induk Kitab Suci" (Umm al-Kitab). Lihat catatan 2 di atas.
8.
       Yaitu QS. Hud 11:1, "Alif Lam Ra, (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya dibuat jelas maknanya (digunakan kata kerja pasif "uhkimat" yang sama artinya dengan kata sifat atau participte pasif "muhkam"), kemudian dirinci, dari sisi Yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti," dan QS. Al-Zumar 39:23, "Allah telah menurunkan sebaik-baik Firman dalam bentuk sebuah Kitab yang mutasyabih (serasi, yakni serasi antara berbagai ajarannya, konsisten) namun matsani  (berulang-ulang, yakni dalam mengungkapkan ajaran-ajaran itu) ..." A Yusuf Ali mengartikan perkataan mutasyabih di  sini berbeda dengan yang ada pada 3:7 di atas. Sebab, mutasyabih di sini dikontraskan terhadap matsani, sedangkan di 3:7 dengan muhkam. Namun, ide pokoknya atau "Form of  Ideas"-nya sama, yaitu bahwa ajaran al-Qur'an membentuk  suatu kesatuan yang utuh, yang manusia sedapat mungkin berusaha keras menangkapnya, tanpa dogmatik dan tertutup. (Lihat A.Yusuf Ali, The Holy Qur'an (Jeddah: Dar al-Qiblah for Islamic Literature, tt), hal. 514, catatan 1493 dan hal. 1243, catatan 4276).

9.
       A.Y. Ali, hal. 123, catatan 347. (Patut diketahui bahwa terjemahan al-Qur'an dan tafsir ke dalam Bahasa Inggris oleh A. Yusuf Ali ini dianggap paling standar dan populer dalam dunia Islam internasional. Penyebarannya di seluruh dunia  banyak dibiayai oleh Pemerintah Saudi Arabia sejak 1384 H/1965 M dengan sponsor Rabithah Alam Islami yang diketuai  Syeik Mohammed Sour as-Sabhan sampai saat ini dengan berbagai cetakan dan edisi, yang kemudian juga mendapat  restu dan persetujuan Ri'asat Idarat al-Buhuts al-Ilmiyyah  wa 'l-Ifta wa 'l-Da'wah wa 'I-Irsyad di Riyadh sebagai badan  tertinggi urusan keagamaan Saudi Arabia. Salah satu edisinya  dimaksudkan untuk hotel-hotel internasional, meniru penempatan Kitab Suci Kristen yang telah lama ada).

10.
   Ini adalah "contoh klasik" metode pendekatan al-Qur'an terhadap masalah sosial kemanusiaan yang pelik dan peka. Orang-orang Arab, tidak terkecuali Nabi sendiri, telah lama mempraktekan pengangkatan anak atau apa yang disebut tabanni, dengan hak hak pada anak angkat itu yang sama dengan anak biologis (alami), termasuk yang menyangkut  masalah kawin dan waris. Zaid yang bekas budak (hitam) itu  memang seorang pemuda yang saleh dan cerdas, yang setelah dimerdekakan diangkat Nabi sebagai anak angkat, dan sejak  itu bernama lengkap Zaid ibn Muhammad. Tetapi dengan adanya  pembatalan sistem anak angkat yang disamakan dengan anak kandung dan sejak itu bernama lengkap seperti semestinya, yaitu Zaid ibn Haritsah. Firman yang dimaksud berkenaan dengan masalah ini ialah QS. Al-Ahzab 33:37-40, "Ingatlah  ketika engkau berkata kepada seseorang (Zaid) yang telah mendapatkan nikmat dari Allah dan mendapat nikmat (kasih sayang) darimu sendiri, "Pertahankanlah untukmu isterimu   (Zainab) itu, dan bertaqwalah kepada Allah. Tetapi engkau  menyimpan sesuatu dalam dirimu yang Allah hendak membukanya  keluar, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah-lah   yang lebih berhak kau takuti. Maka setelah Zaid melaksanakan  pembatalan (perkawinannya) dengan dia (Zainab) secara pasti   (resmi), Kami (Tuhan) kawinkan engkau (Muhammad) kepadanya  (Zainab), agar tidak ada halangan bagi orang-orang beriman  untuk mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka jika  memang mereka (anak-anak angkat) telah membatalkan  (perkawinan) dari mereka (isteri-isteri mereka). Dan  perintah Allah haruslah dilaksanakan. Tidak boleh ada kesulitan pada Nabi berkenaan dengan apa yang telah   ditetapkan oleh Allah. Itulan Sunnat Allah kepada mereka yang telah lewat sebelumnya, dan perintah Allah adalah  kepastian yang sepasti-pastinya, yaitu (Sunnat Allah) kepada  mereka yang menyampaikan pesan-pesan Allah, dan mereka takut  kepada-Nya, dan cukuplah Allah sebagai yang membuat perhitungan Muhammad bukanlah ayah seseorang dari kau    lelaki diantara kamu, melainkan Rasul Allah dan Penutup Nabi. Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu."

11.
   QS. Al-Qamar 54:49, "Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah  menciptakan segala sesuatu dengan (hukum) kepastian   (Qadar)." Dan QS. Al-Furqan 25:2 "Dan Dia (Tuhan)  menciptakan segala sesuatu kemudian ditetapkan kepastiannya sepasti-pastinya." Kedua ayat itu, dan masih banyak lagi   ayat-ayat yang lain, menegaskan tentang adanya hukum   kepastian dari Allah (Qadar) yang menguasai dan mengatur    alam raya ciptaan-Nya ini.

12.
   QS. Fathir 36:43, "... Dan mengapa mereka tidak   memperhatikan Sunnah yang terjadi pada orang-orang yang   telah lalu? Engkau tidak akan mendapatkan peralihan dalam   Sunnat Allah dan engkau tidak akan menemukan perubahan dalam  Sunnat Allah." Firman ini, dan masih banyak lagi yang lain,    menjelaskan tentang adanya Sunnat Allah, yakni hukum-hukum kepastian dari Allah yang menguasai dan mengatur kehidupan    manusia dalam sejarah. Kita diwajibkan memeriksa dan   meneliti kemudian menarik pelajaran daripadanya.

13.
   Yaitu judul sebuah kitab yang cukup terkenal, oleh Ali  Ahmad al-Jurjawi yang mencoba melihat hikmah setiap bentuk  ibadat serta ajaran dan praktek keagamaan yang lain.   (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Pendekatannya kurang meyakinkan   dan berbau apologetik, tetapi cukup mewakili suatu contoh  pencarian makna umum ibadat, ajaran dan praktek keagamaan   itu secara rinci. Namun isinya masih jauh dari klaim judul  buku itu sendiri, yaitu filsafat at-tasyri' (filsafat  penetapan hukum syari'at atau agama).

14.
   Lihat pembahasan panjang lebar tentang masalah ini dalam  al-Jurjawi (op. cit.) hal. 269-281, yang meliputi pula   pembicaraan sekitar pengaruh alkohol kepada peminumnya, pada  peredaran darahnya, bisnis asuransi jiwa, jumlah kematian   karena alkoholisme, pengaruhnya terhadap kesehatan, alkohol  dan pengaruh buruknya terhadap negeri-negeri panas, serta  korelasi antara alkohol dan kejahatan.

15.
   Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid   (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 3,  hal. 274.

16.
    Al-Makki op.cit., hal. 116. Yang dimaksudkan al-Makki  sebagai sesuatu yang diambil 'Umar dari orang-orang kafir  ialah idenya membuat Bayt al-Mal dan kalender (Hijrah). Ide  itu ditirunya dari orang-orang Persia, yang pada waktu itu, tentu saja, masih belum muslim.

17.
   Ibid,hal. 121.

18.
   Lihat catatan 1 di atas.

19.
   Hodgson op. cit., hal. 274-275.

20.
   Al-Makki, op. Cit., hal. 48. Dari beberapa contoh yang  dituturkan al-Makki, salah satunya ialah ijtihad Nabi di  waktu menyiapkan Perang Badar. Nabi berijitihad untuk tidak   usah menguasai sumber air yang vital, supaya musuh pun dapat   pula memanfaatkannya, maka datanglah al-Khabbab ibn    al-Mundzir bertanya, "Ini dari wahyu atau dari pendapat   (ijtihad)?" Nabi menjawab, "Pendapat." Yaitu, karena Beliau   melakukan analogi bahwa menghalangi mereka (musuh) dari  memperoleh air yang vital itu sama dengan menghalangi   binatang dari air, sedangkan menyiksa binatang seperti itu  tidaklah diperbolehkan. Padahal Nabi s.a.w. mempunyai naluri   amat kuat untuk bersikap kasih kepada sesama hidup. Kemudian   al-Khabab membalas, "Pendapat yang benar ialah kita harus    menghalangi mereka (musuh) itu dari air yang vital ini,  karena menghalangi mereka dari air termasuk taktik perang    dan menjadi sebab kemenangan. Musuh dalam perang bukanlah   orang yang harus dihormati sehingga tidak diperbolehkan   dihalangi dari air." Inipun, kata al-Makki, termasuk  pendekatan analogis, salah satu metode ijtihad yang amat  penting.   Sedangkan yang disebut-sebut ijtihad Nabi yang kemudian  mendatangkan teguran Ilahi ialah yang terabadikan dalam QS.   Al-Tahrim 66:1, "Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan   sesuatu yang dihalalkan Allah hanya untuk memperoleh  kerelaan (kesenangan hati) isteri-isterimu?!" Para penafsir  klasik menuturkan tentang suatu kejadian bahwa Nabi suatu   hari tinggal di rumah Mariyah, isteri Beliau yang berasal  dari Mesir, karena murka kepada Aisyah atau Hafshah. Hal itu  kemudian diketahui oleh Hafshah, lalu Hafshah pun marah   kepada Nabi, sehingga, demi menyenangkan hati Hafshah (anak  'Umar ibn al-Khattab) Nabi berjanji dan mengharamkan   berkumpul dengan Mariyah atas diri Beliau, padahal Mariyah   adalah isteri Beliau yang sah. Jadi, menurut hukum Allah  adalah halal. Juga, ada versi lain berkenaan dengan kejadian  yang terabaikan dalam firman ini. Versi manapun yang benar,   semuanya menunjukkan suatu yang dimaksudkan oleh al-Makki   sebagai contoh ijtihad Nabi. (Lihat, Nashir al-Din Abi Said   'Abdullah ibn 'Umar ibn Muhammad al-Syirazi al-Baydlawi.  Anwar al Tanzil wa Asrar al-Ta'wil al-ma'ruf bi tafsir  al-Baydlawi, 5 jilid (Beirut: Muassasat Sya'ban, tt.) jil.   5. hal. 137).

21.
   Pembahasan tentang ishamat atau ketidak-biasaan  (infallibility) Nabi oleh Ibn Taymiyyah ini dapat kita  jumpai dalam karya besarnya Minhaj al -Sunnat al-Nabawiyyah   fi Naqdl Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyvah, 4 jilid (Beirut:   Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)., jil. 1, hal. 130. Perlu  diketahui, karya ini ditulis sebagai polemihya dengan   golongan Syi'ah, sebagaimana tereermin dari judulnya.
22.
   QS. al-Ankabut 29:69, "Dan barangsiapa berusaha sungguh-sungguh (mujahadah) di jalan Kami, maka pastilah akan Kami tunjukkan kepada mereka berbagai jalan (subul)  Kami."
23.
   Lihat, Ibn Taymiyyah, Ikhtilaf al-Ummah fi al-Ibadat, K.H. Muh. Hasyim Asy'ari, al-Tanbihat, dan al-Makki, op. cit., hal. 244 dan passim.

24.
   Lihat catatan no. 1 di atas dan keterangan yang bersangkutan awal-awal tulisan ini.

25.
   QS. Al-Qashash 28:88, "Janganlah menyeru bersama Allah (Tuhan Yang Maha Esa) suatu Tuhan yang lain. Tiada suatu Tuhan melainkan Dia. Segala sesutu binasa kecuali Wajah-Nya.  Baginyalah ketentuan hukum, dan kepadanyalah kamu semua akan  dikembalikan." A. Yusuf Ali memberi komentar yang menarik  tentang ayat terakhir Surah 28 ini:  "Ini meringkaskan pelajaran seluruh Surah. Kenyataan satu-satunya ialah Tuhan. "Wajah"-Nya atau Diri, Pribadi, atau Wujud-Nya itulah yang harus kita cari, karena menyadari bahwa Dia-lah satu-satunya hal yang abadi, yang tentang hal  itu kita bisa mempunyai berbagai pengertian. Seluruh jagad  lahir dan tunduk kepada hukum peralihan dan perubahan fana  akan sirna, namun Dia akan tetap abadi. Jika berpikir  tentang Tuhan yang impersonal, suatu kekuatan kebaikan yang   abstrak, kita tidak dapat menggabungkannya dengan Pribadi   atau Wujud yang vital, yang tentang Dia itu kita hanya mampu menangkap gaung samar-samar atau cerminan dalam momen yang   paling intens dalam luapan spiritual. Jadi kita tahu bahwa    apa yang kita sebut diri kita sendiri tidaklah punya makna,   sebab hanya ada satu Diri yang benar, dan itu adalah Tuhan.   Inilah juga doktrin Advaita dan Shri Shankara dalam   jabarannya terhadap Brihadaranyaka Upanishad dalam filsafat  Hindu. Lihat juga QS. Al-Hadid 57:3, "Dia (Tuhan)-lah Yang Pertama dan yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dia Maha mengetahui atas segala sesuatu."

Kliping Artikel Pasted From :








There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter