-->

TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQIH





TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH






Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme
Oleh Jalaluddin Rakhmat


1. FIQH AL-KHULAFA' AL-RASYIDIN: FIQH PENGUASA

Seorang laki-laki datang  menemui  'Umar  bin  Khathab:  "Saya dalam  keadaan  junub dan tidak ada air." Maksud kedatangannya untuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak. 'Umar menjawab, "Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air." 'Ammar  bin  Yasir  berkata  pada 'Umar bin Khathab: "Tidakkah Anda ingat.  Dulu  --engkau  dan  aku--  pernah  berada  dalam perjalanan.  Kita  dalam  keadaan  junub. Engkau tidak shalat, sedangkan aku berguling-guling di atas  tanah.  Aku  sampaikan kejadian ini kepada Rasulullah saw. Dan Nabi berkata, cukuplah bagi kamu berbuat demikian."
Mendengar demikian Umar menegur 'Ammar:  "Ya  Ammar,  takutlah pada  Allah",  Kata  Ammar,  "Ya Amir al-Mu'minin, jika engkau inginkan, aku tidak akan menceritakan hadits ini selama engkau hidup." [1] "Yang dimaksud Ammar," kata Ibn Hajar, [2] "Aku melihat memang lebih   baik   tidak   meriwayatkan   hadits   ini   ketimbang meriwayatkannya  Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh, aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah."
Sejak itu, 'Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. 'Umar tetap  berpegang  teguh  pada pendapatnya -- orang junub, bila tidak ada air, tidak perlu shalat. "Wa  hadza  madzab  masyhur 'an  'Umar,"  kata  Ibn  Hajar. Semua sahabat menolak pendapat Umar,  kecuali  Abdullah  bin  Mas'ud.   Al-Bukhari   mencatat perdebatan  Abdullah  bin  Mas'ud  dengan  Abu Musa al-Asy'ari tentang kasus ini pada hadits  No.  247.  Abu  Musa  menentang pendapat  Abdullah  --sekaligus madzhab Umar-- dengan mengutip ayat ("jika  kalian  tak  mendapatkan  air  hendaklah  tayamum dengan  tanah  yang  baik"). Menarik untuk dicatat bahwa kelak dengan merujuk  ayat  yang  sama,  mazhab  Hanafi  melanjutkan mazhab 'Umar.

Lebih  menarik lagi untuk kita catat adalah beberapa pelajaran dari riwayat di atas. Pertama, memang terjadi perbedaan  paham di   antara   sahabat  dalam  masalah  fiqhiyah  Kedua,  lewat kekuasaan, 'Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasi pendapat   yang   berlainan.   Ketiga,   terlihat   ada  sikap hiperkritis  dalam  menerima  atau  menyampaikan  riwayat  Dan keempat,  perbedaan  di  antara para sahabat berpengaruh besar pada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya Karena itu  membicarakan  fiqh  para  sahabat  menjadi  sangat penting sebagai pijakan bagi pembahasan masalah fiqh mutakhir.

Saya akan memulai makalah ini  dengan  membahas  urgensi  fiqh sahabat  dalam  keseluruhan  pemikiran  fiqhiyah. Setelah itu, saya akan menjelaskan sebab-musabab timbulnya ikhtilaf fiqh di antara   para   sahabat,   karakteristik   fiqh  sahabat,  dan contoh-contoh fiqh al-khulafa al-rasyidin.

URGENSI FIQH SAHABAT

Fiqh shahabi memperoleh kedudukan yang  sangat  penting  dalam khazanah   pemikiran  Islam.  Pertama,  sahabat  --sebagaimana didefinisikan ahli hadits-- adalah orang yang berjumpa  dengan Rasulullah  saw  dan  meninggal dunia sebagai orang Islam. [3]
Dari makalah kita mengenal sunnah Rasulullah, karena itu, dari mereka juga kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum Muslim. Kedua,  zaman  sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila  pada zaman  tasyri'  orang  memverifikasi  pemahaman  agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada  Rasulullah, pada  zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri. Sementara itu, perluasan kekuasaan  Islam  dan  interaksi  antara  Islam dengan  peradaban-peradaban  lain  menimbulkan masalah-masalah baru.  Dan  para   sahabat   merespon   situasi   ini   dengan mengembangkan  fiqh  (pemahaman)  mereka.  Ketika menceritaka ijtihad pada zaman sahabat, Abu Zahrah menulis: [4]

Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula yang berijtihad dengan ra'yu bila tidak ada nash, dan bentuk ra'yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad  dengan qiyas seperti Abdullah bin Mas'ud; dan ada yang berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nash.
Dengan demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsip umum  dalam  mengambil  keputusan hukum (istinbath; al-hukm.); yang nanti diformulasikan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh.
Ketiga,  ijtihad  para  sahabat  menjadi  rujukan  yang  harus diamalkan,   perilaku  mereka  menjadi  sunnah  yang  diikuti. Al-Syathibi [5] menulis, "Sunnah sahabat  r.a.  adalah  sunnah yang   harus   diamalkan   dan   dijadikan   rujukan."   Dalam perkembangan ilmu fiqh, madzhab sahabat --sebagai  ucapan  dan perilaku  yang  keluar  dari  para  sahabat-- akhirnya menjadi salah satu sumber hukum  Islam  di  samping  istihsan,  qiyas, mashalih  mursalah dan sebagainya. Madzhab sahabat pun menjadi hujjah. Tentang hal  ini,  ulama  berbeda  pendapat.  Sebagian menganggaprlya  sebagai  hujjah  mutlak; sebagian lagi sebagai hujjah bila bertentangan dengan qiyas; sebagian lainnya  hanya menganggap  hujjah  pada  pendapat  Abu  Bakar  dan Umar saja, berdasarkan hadits ("berpeganglah pada  dua  orang  sesudahku, yakni   Abu   Bakar   dan  Umar");  dan  sebagian  yang  lain, berpendapat bahwa yang  menjadi  hujjah  hanyalah  kesepakatan khulafa' al-Rasyidin. [6]

Terakhir  keempat,  ini yang terpenting, ahl al-Sunnah sepakat menetapkan bahwa seluruh  sallabat  adalah  baik  (al-shahabiy kulluhum  'udul).  Mereka  tak  boleh dikritik, dipersalahkan, atau dinilai sebagaimana perawi hadits lain.  Imam  ahli  jarh dan   ta'dil,  Abu  Hatim  al-Razi  dalam  pengantar  kitabnya menulis: [7]

Adapun sahabat Rasulullah saw, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui tafsir dar ta'wil, yang dipilih Allah untuk- menemani Nabi-Nya, untuk menolongnya, menegakkan agamanya, memenangkan ke benarannya... Allah memuliakan mereka dengan karunia-Nya menempatkan kedudukan mereka pada tempat ikutan. Mereka  dibersikkan dari keraguan, dusta, kekeliruan, keraguan kesombongan, dan celaan. Allah menamai mereka sebagai  'udul al-ummah (umat yang paling bersih)... Merekalah  'udul al-ummah, pemimpin-pemimpin hidayah, hujjah agama, dan pembawa al-Qur'an dan al-'Sunnah.
Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan bila  mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan fiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu saja, menurut  kesepakatan ahl  al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling penting adalah khulafa  al-rasyidun.  Bila  mereka  sepakat,  pendapat mereka  dapat  membantu  memecahkan  masalah fiqh; bila mereka ikhtilaf, mazhab sahabat menimbulkan  kemusykilan  yang  sulit diatasi. Lalu mengapa mereka ikhtilaf?

PENYEBAB IKHTILAF DI KALANGAN SAHABAT

Salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat  adalah prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman  Rasulullah  saw.  Sementara  itu,  setelah Rasulullah    wafat,    putuslah   masa   tasyi'.   Menghadapi masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan. [8]
Kelompok pertama memandang  bahwa  otoritas  untuk  menetapkan hukum-hukum  Tuhan  dan  menjelaskan  makna  al-Qur'an setelah Rasulullah  wafat  dipegang  ahl  al-Bait.  Hanya   merekalah, menurut   nash   dari   Rasul,   yang   harus   dirujuk  untuk menyelesaikan  masalah-masalah  dan   menetapkan   hukum-hukum Allah.  Kelompok  ini  tidak  mengalami  kesulitan  dalam masa berhentinya wahyu, karena mereka  tahu  betul  --tugas  mereka adalah mengacu pada Ma'shumun.

Kelompok   kedua  memandang  tidak  ada  orang  tertentu  yang ditunjuk  rasul  untuk  menafsirkan  dan  menetapkan  perintah Ilahi.  Al-Qur'an  dan  al-Sunnah  adalah sumber untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah  yang  timbul  di masyarakat.  Kelompok  ini  --kelak  disebut  Ahl  al-Sunnah-- ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena  banyak hal  tak  terjawab  oleh  nash.  Mereka  akhirnya  menggunakan metode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan.
Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk  kelompok  kedua,  kecuali Ali  bin  Abi  Thalib. Kelompok kedua lebih banyak menggunakan ra'yu,  dan  kelompok  pertama  lebih  banyak  merujuk   nash. Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama dalil naqli. Umar  pernah  melarang  hajji  tamattu',  padahal al-Qur'an  dan  al-Sunnah  sangat  tegas menetapkannya. Ketika Utsman juga melarangnya, Ali secara demonstratif  melakukannya di  depan  Utsman. Kata Utsman: Aku melarang manusia melakukan tamattu, dan engkau sendiri melakukannya.  Ali  menjawab:  Aku tak  akan  meninggalkan  sunnah  Rasulullah  saw. hanya karena pendapat  seseorang.  [9]  Setelah  perdebatan  ini,   menurut riwayat   lain  dari  Abdullah  bin  Zubair,  Utsman  berkata: Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mau boleh    menjalankannya;    siapa    yang    tak   mau   boleh meninggalkannya. [10]

Contoh  lainnya  adalah  hukuman  dera  bagi  peminum   khamr. Rasulullah saw. menderanya 40 kali. [11] Umar --atas saran Abd al-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Ali  kembali  menderanya 40  kali.  Rasulullah  saw.  menetapkan thalaq tiga dalam satu majlis  itu  dihitung  satu.  [12]  Begitu  pula   Ali.   Umar menetapkan   thalaq   tiga  itu  jatuh  tiga  sekaligus.  Umar memutuskan hukuman rajam bagi orang  gila  yang  berzina.  Ali membebaskan hukum itu berdasarkan hadits. [13]

Bila  contoh-contoh  tadi  berkenaan  dengan  perbedaan antara ketetapan nash dengan ra'yu, contoh-contoh berikut menunjukkan perbedaan  memahami  nash.  Kata  quru  dalam  wal muthalaqatu yatarabbashna  bi   anfusihim   tsalatsatu   quru'   diartikan berbeda-beda.  Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru" itu haidh. Zaid ibn  Tsabit  mengartikannya  masa  bersuci  di antara  haidh  dengan  haidh  lagi.  [14] Ibn Umar menafsirkan "al-muhshanat dalam ayat wa al  muhshanat  min  alladzina  utu al-kitab   sebagai   wanita   Muslim,   karena  itu  Ibn  Umar mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim.  Ibn 'Abbas  menganggap  ayat  itu sebagai pengecualian (takhshish) dari ayat wa la tankihu al-musyrikat  hatta  yu'minna.  Utsman tampaknya  sependapat  dengan  Ibn  'Abbas,  karena ia menikah dengan Nailah, wanita Nashrani, dan  Thalhah  menikahi  wanita Yahudi dari Syam. [15]

Kadang-kadang  ikhtilaf  terjadi di antara para sahabat karena perbedaan pengetahuan yang mereka  miiiki.  Sebagian  sahabat, misalnya,   mengetahui  nash  tertentu,  sebagian  lain  tidak mengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya  salah ketika  membaca  QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi Umar kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka'ab. Kata Ubayy Anda  tahu saya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membaca ayat itu. Engkau sendiri berada  di  pintu...  Demi  Allah  Ya Umar,  sesungguhnya  Anda  tahu,  ketika saya hadir Anda tidak ada; ketika saya diundang, Anda tidak. [16]

Al-Syaikh Muhammad Muhammad al-Madany menjelaskan  salah  satu sebab ikhtilaf yang berkenaan dengan sunnah: [17]

Sahabat Rasulullah saw., yang mengambil sunnah dari Nabi dan meriwayatkannya, berbeda-beda dalam kemampuan  pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya.   Rasulullah saw. ditanya tentang suatu masalah. Ia menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau  melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan  sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa itu, yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya. Ketika Rasulullah saw. wafat, bertebaranlah sahabat di negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil dari sahabat yang ada di negeri mereka. Berkata Ibn Hazm: "Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah. Ini  semua terjadi dalam hadits, dan pada saat kita memerlukan informasi. Padahal --seperti telah kita  jelaskan--sebagian sahabat pada sebagian waktu tidak  hadir di majelis Rasulullah saw., sedangkan sebagian  lagi hadir. Setiap orang hanya mcngetahui apa yang ia  saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia  hadiri. Ini jelas menurut akal. 'Amar dan yang lain  mengetahui tentang tayamum, Umar dan Ibn Mas'ud tidak  mengetahuinya, sehingga mereka berkata: Orang junub  tidak tayamum, walau pun tidak menemukan air selama dua  bulan. Ali Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui   hukum mengusap tetapi 'Aisyah, Ibn 'Umar, Abu Hurairah   tidak mengetahuinya walaupun mereka penduduk Madinah.  Anak perempuan dari anak beserta anak perempuan  mendapat waris diketahui Ibn Mas'ud tetapi tidak   diketahui Abu Musa.

Marilah kita berikan satu contoh lagi yang  lebih  ilustratif. Ketika  orang  sedang  berkumpul  di hadapan Umar bin Khathab, masuklah seorang laki-laki: "Ya Amir al-Mu'minin, ini Zaid bin Tsabit  berfatwa  di  masjid  dengan ra'yunya berkenaan dengan mandi janabah." Kata Umar: "Panggil dia!" Zaid pun datang  dan Umar  berkata:  "Hai  musuh  dirinya  sendiri!, aku dengar kau berfatwa pada manusia dengan ra'yumu sendiri? Kata  Zaid:  "Ya Amir   al-Mu'minin.   Aku  tidak  melakukan  itu.  Tetapi  aku mendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan – dan Abi  Ayyub dari Ubbay bin Ka'ab," dari Rifa'ah bin Rafi'. Kata Umar: "Panggil Rafa'ah bin Rafi'. Ia berkata:  "Apakah  kalian berbuat  demikian - bila kalian bercampur dengan isteri kalian dan tidak keluar air mani kalian mandi?" Kata  Rafa'ah:  "Kami melakukan  begitu  pada zaman Rasulullah saw. Tidak turun ayat yang mengharamkan. Tidak juga  ada  larangan  dari  Rasulullah saw."  Kata Umar: "Apakah Rasulullah saw. mengetahuinya?" Kata Rafa'ah: "Tidak tahu." Lalu Umar  mengumpulkan  Muhajirin  dan Anshar,  lalu  bermusyawarah.  Semua orang berkata tidak perlu mandi, kecuali Ali dan Mu'adz. Keduanya berkata:  "Jika  kedua khitan    bertemu,    wajib   mandi."   Kata   Umar:   "Kalian sahabat-sahabat  yang  ikut  Badr  sudah   ikhtilaf,   apalagi orang-orang  setelah  kalian!"  Kata Ali, Ya Amir al-Mu'minin: "tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali  isteri Rasulullah  saw.  Ia  mengutus  orang  bertanya  pada Hafshah. Hafshah tidak  tahu.  'Aisyah  ditanya.  Kata  'Aisyah:  "Bila khitan  sudah  bertemu  khitan, wajib mandi." Kata Umar: "Bila ada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib  mandi  kalau  tidak keluar, aku akan pukul dia." [18]

Dalam  kasus yang baru kita ceritakan, ikhtilaf di antara para sahabat dapat  diselesaikan  oleh  khalifah.  Khalifah  bahkan menetapkan  sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda. Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara  para  sahabat itu  dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Buat orang-orang  sektarian,  ikhtilaf  para  sahabat  ini  menjadi sumber  perpecahan.  Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilaf ini adalah assets bagi perkembangan pemikiran. 'Umar  bin  Abd al-'Aziz,  tokoh  ukhuwah  Islamiyah yang menghentikan kutukan pada Ali di mimbar, berkata: "Aku tidak senang  kalau  sahabat Nabi  tidak  ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal, sempitlah  manusia  dibuatnya.  Mereka  adalah  teladan   yang diikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka, jadilah itu sunnah. Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagi manusia.  Mereka  boleh  ikhtilaf,  karena  bila  mereka tidak membukanya,  para  mujtahid  berada  dalam  kesempitan.  Allah memberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu'i di antara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat  untuk  memasuki Rahmat-Nya." [19]

 
Seperti telah disebutkan di muka, dari segi prosedur penetapan hukum,  ada  dua  cara yang dilakukan para sahabat. Kedua cara ini melahirkan dua mazhab besar di kalangan sahabat – Madzhab 'Alawi dan Madzhab 'Umari yang akhirnya mewariskan kepada kita sekarang sebagai Syi'ah  dan  ahli  Sunnah.  Para  sahabat  seperti  Miqdad,  Abu  Dzar,  'Ammar  bin Yasir, Hudzaifah dan sebagian besar Bani Hasyim -- merujuk pada ahl  al-Bait  dalam menghadapi  masalah-masalah baru. Mereka berpendapat bahwa ada dua nash yang dengan  tegas  menyuruh  kaum  Muslim  berpegang teguh  pada  pimpinan  ahl-al-Bait. Lagi pula, menurut mereka, pendapat seseorang menjadi hujjah bila orang itu  ma'shum.  Ah al-Bait  memiliki  kema'shuman  berdasarkan nash al-Qur'an dan al-Sunnah. [30]

Pada bagian ini, saya tak akan membicarakan  kelompok  sahabat ini,  tapi  akan  memutuskan  perhatian  pada  metode  ijtihad kelompok  sahabat  yang  tak  merujuk  ahl  al-Bait.   Menurut Muhammad  al-Khudlari Bek, fiqh mereka ini hanya terbatas pada qiyas.  Menurut  Muhammad   Salim   Madkur,   ijtihad   mereka menggunakan  tiga metode: a) menjelaskan dan menafsirkan nash; b) qiyas pada nash atau pada ijma', dan ijtihad  dengan  ra'yu seperti  al-Mashalih  al-Mursalah  dan  istihsan. Muhammad Ali al-Sais menyebutkan bahwa ijtihad sahabat itu meliputi  qiyas, istihsan,  al-baraah al-ashliyah, sadd al-dzara'i, al-mashalih al-mursalah. [21]

Menurut pendapat saya,  ada  tiga  tahap  dalam  ijtihad  para sahabat:  a)  merujuk  pada  nash  al-Qur'an  dan al-Sunnah b) menggunakan metode-metode ijtihad  seperti  qiyas,  bila  nash tidak  ada  atau  tidak diketahui; dan c) mencapai kesepakatan lewat proses perkembangan opini publik yang alamiah.
Pada tahap  pertama,  para  Khulafa  al-Rasyidin  selain  Ali, tampaknya  lebih memusatkan perhatian pada ayat-ayat al-Qur'an (atau  ruh   ajaran   al-Qur'an)   dengan   agak   mengabaikan (kadang-kadang  menafikan  hadits). Di bawah ini saya kutipkan berbagai riwayat berkenaan dengan  sikap  Khulafa  al-Rasyidinpada Hadits (sunnah):

1.
       Dari  Ibn  Abbas:  ketika  Nabi  menjelang wafat, di rumah Rasulullah saw., berkumpul orang-orang, di antaranya Umar  bin Khathab.  Nabi  berkata: "Bawalah ke sini, aku tuliskan bagimu tulisan yang tidak akan  menyesatkanmu  selama-lamanya."  Umar berkata:  "Nabi  sedang dikuasai penyakitnya. Padamu ada Kitab Allah. Cukuplah  bagimu  Kitab  Allah."  Terjadi  ikhtilaf  di antara  orang-orang  di  rumah  itu. Di antara mereka ada yang mengikuti ucapan Umar. Ketika terjadi banyak pertengkaran  dan ikhtilaf,  Nabi  saw.  berkata: "Pergilah kamu semua dari aku. Tidak layak di hadapanku bertengkar." [22]

2.
       'Aisyah meriwayatkan: Ayahku telah mengumpulkan 500  hadits Rasulullah  saw. Pada suatu pagi ia datang padaku dan berkata: "Bawalah hadits-hadits yang ada padamu itu.  "Aku  membawanya. Ia  membakar  dan  berkata, "Aku takut jika aku mati aku masih meninggalkan hadits-hadits  ini  bersamamu,"  [23]  al-Dzahabi meriwayatkan  bahwa  Abu Bakar mengumpulkan orang setelah Nabi wafat dan berkata; "Kalian meriwayatkan hadits Rasulullah saw. yang  kalian  pertengkarkan.  Nanti orang-orang setelah kalian akan lebih bertikai lagi. Janganlah meriwayatkan  satu  Hadits pun dari Rasulullah saw. Jika ada yang bertanya kepada kalian, jawablah  --  Di  antara  Anda  dan  kami  ada  Kitab   Allah, halalkanlah  apa  yang dihalalkannya, dan haramkanlah apa yang diharamkannya" [24]

3.
       Al-Zuhri meriwayatkan, Umar ingin menuliskan  sunnah-sunnah Rasulullah   saw.   Ia   memikirkannya   selama   satu  bulan, mengharapkan bimbingan Allah dalam hal ini. Pada  suatu  pagi, ia   memutuskan  dan  menyatakan:  "Aku  teringat  orang-orang sebelum kalian. Mereka  tenggelam  dalam  tulisan  mereka  dan meninggalkan  Kitab  Allah.  [25]  Umar  kemudian mengumpulkan hadits-hadits itu dan membakarnya.  [26]  Ia  juga  menetapkan tahanan  rumah  pada  tiga  sahabat  yang  banyak meriwayatkan hadits: Ibn Mas'ud, Abu Darda,  dan  Abu  Mas'ud  al-Anshari." [27]

Tradisi   pelarangan  hadits  ini  dilanjutkan  para  tabi'in, sehingga di kalangan ahl al-sunnah, penulisan hadits terlambat sampai  abad  8  M./2  H.  Menurut  satu riwayat, Umar ibn Abd al-Aziz  (meninggal  719/101)  adalah   orang   yang   pertama menginstruksikan penulisan hadits. [28]

Karakteristik kedua dari ijtihad sahabat, bila tidak ada nash, menggunakan qiyas atau pertimbangan  kepentingan  umum.  Dalam beberapa   kasus,   bahkan   pertimbangan   kepentingan   umum (maslahat) didahulukan dari nash,  walaupun  ada  nash  sharih (tegas)    yang   bertentangan   dengan   itu.   Berikut   ini contoh-contohnya.

1.
       Khalid Muhammad Khalid menulis tentang ijtihad  Umar  dalam al-Dimuqrathiyyah:   Umar   bin   Khattab  telah  meninggalkan nash-nash agama yang Suci dari al-Qur'an dan al-Sunnah  ketika dituntut  kemaslahatan  untuk  itu.  Bila al-Qur'an menetapkan bagian muallaf dari zakat,  serta  Rasulullah  dan  Abu  Bakar melakukannya,  Umar  datang  dan  berkata, "Kami tidak memberi kamu sedikit pun karena Islam." Ketika  Rasul  dan  Abu  Bakar membolehkan  penjualan  Ummahat  al-Awlad,  Umar  melarangnya. Ketika talaq tiga dalam satu  majelis  dihitung  satu  menurut Sunnah  dan  ijma,  Umar meninggalkan sunnah dan menyingkirkan ijma.
Dr.  al-Dawalibi  menulis  hal  yang  sama  dalam  'Ilm  Ushul al-Fiqh:  "Di  antara  kreasi  Umar r.a. yang menunjang kaidah hukum berubah karena perubahan  zaman  ialah  jatuhnya  thalaq tiga  dengan  satu kalimat; sedangkan di zaman Nabi, Abu Bakar dan permulaan Khilafah Umar, thalaq tiga  pada  sekali  ucapan dijadikan  satu  seperti  hadits  shahih dari Ibn 'Abbas. Kata Umar: "Manusia terlalu terburu-buru di tempat yang  seharusnya hati-hati..."  Kata  Ibn  Qayyim,  Amir  al-Mu'minin  Umar bin Khathab melihat orang telah melecehkan urusan  thalaq...  Umar ingin  menghukum  keteledoran  ini,  sehingga  sahabat menahan dirinya untuk tidak mudah menjatuhkan thalaq. Umar melihat ini untuk  kemashlahatan  umat  di  zamannya... Ini adalah prinsip taghayyarat bihi al-fatwa litaghayyur al-zaman." [29]

2.
        Ketika kelompok muallaf  datang  menemui  Abu  Bakar  untuk menuntut  surat, mereka datang kepada Umar. Umar merobek surat itu dan berkata, "Kami tidak  memerlukan  kalian  lagi.  Allah sudah  memenangkan Islam dan melepaskan dari kalian. Jika kamu Islam (baiklah itu),  jika  tidak  pedanglah  yang  memutuskan antara  kamu  dan  kami.  "Mereka  kembali  pada Abu Bakar dan berkata, "Adakah khalifah itu atau dia? "Abu  Bakar  menjawab, "Ia,  insya Allah. " Lalu berlalulah apa yang diputuskan Umar. [30]

3.
       Al-Fujaah pernah menyatakan diri ingin berjihad dan meminta perbekalan   pada  Abu  Bakar.  Abu  Bakar  memberinya  bekal. Al-Fujaah ternyata menggunakan fasilitas Abu Bakar  ini  untuk merampok.   Abu   Bakar  menyuruh  Tharifah  bin  Hajiz  untuk membawanya  ke  Madinah.   Abu   Bakar   menghukumnya   dengan membakarnya hidup-hidup. [31]

4.
       Abu  Bakar  dan  Umar  tidak  memberikan  hak  khumus dari keluarga  Rasulullah  saw.,  tapi  menyalurkan  hak   itu   fi sabilillah. Mereka berpendapat, setelah Rasulullah saw. wafat, khalifah yang berhak mengatur pembagian khumus. [32]

5.
       Utsman bin Affan membolehkan "menikahi"  dua  orang  wanita bersaudara  dari  antara  budak  belian sekaligus. Ali bin Abi Thalib mengharamkannya.  [33]  Utsman  juga  melakukan  banyak "pembaharuan"  dalam  fiqh Islam: a) mengitmamkan shalat dalam keadaan safat di Mina; [34] b) menambahkan adzan  ketiga  pada hari   Jum'at  ;  [35]  c)  melarang  haji  tamattu;  [36]  d) membolehkan tidak mandi bagi yang bercampur  dengan  isterinya tanpa  mengeluarkan  mani;  [37] e) mengambil zakat dari kuda; [38] f) mendahulukan khotbah sebelum shalat pada  shalat  'id. [39]

Saya hentikan kutipan kasus-kasus ijtihad Khulafa' al-Rasyidin di sini. Marilah kita lihat proses perkembangan pemikiran para sahabat  sehubungan dengan sunnah. Menurut Fazlur Rahman, [40] pada  zaman  para  sahabat,  orang  secara  bebas   memberikan tafsiran  pada  sunnah  Rasulullah saw. Berkembanglah berbagai penafsiran.   Dalam   proses    free    market    of    ideas, pendapat-pendapat  tertentu  kemudian berkembang menjadi opini generalis, lalu opini publik,  lalu  konsesnsus.  Karena  itu, waktu  itu  yang  disebut  sunnah  ialah apa yang disebut Imam Malik  sebagai  al-amr   al-mujtama'   'alaih.   Saya   hampir sependapat  dengan  Fazlur Rahman, kecuali dalam satu hal: Apa yang disepakati tidak selalu berkembang dari hasil  persaingan pendapat yang demokratis. Seringkali yang disebut ijma' adalah konsensus yang "ditetapkan" oleh penguasa politik  waktu  itu. Tidak   berlebih-lebihan  kalau  kita  simpulkan  bahwa  fiqih al-Khulafa al-Rasyidin adalah fiqih penguasa.

KESIMPULAN

Fiqh  para   sahabat   --khususnya   seperti   diwakili   oleh al-Khulafa,  al-Rasyidun--  adalah  fondasi utama dari seluruh bangunan fiqh Islam sepanjang zaman. Fiqih shahabi  memberikan dua  macam  pola  pendekatan  terhadap  syari'ah yang kemudian melahirkan tradisi fiqh yang berbeda. Ikhtilaf di antara  para sahabat,  selain  mewariskan  kemusykilan  bagi kita sekarang, juga --seperti  kata  'Umar  ibn  Abdul  Aziz--  menyumbangkan khazanah  yang  kaya  untuk  memperluas pemikiran. Tentu saja, untuk itu diperlukan  penelaahan  kritis  terhadapnya.  Sayang sekali,  sikap  kritis  ini  telah  "dimatikan"  dengan vonnis zindiq oleh  sebagian  ahli  hadits.  Ada  dua  sikap  ekstrim terhadap  sahabat  yang  harus  dihindari:  menghindari  sikap kritis atau melakukan sikap hiperkritis. Ketika  banyak  orang marah  karena  'Umar  dikritik, 'Umar sendiri berkata, "Semoga Allah meyampaikan kepadaku kesalahan-kesalahanku sebagai suatu bingkisan." [41]

2. FIQH TABI'IN: FIQH USHUL

Sejak zaman sahabat (dan  ini  diakui  para  sahabat  sendiri) telah  terjadi perubahan-perubahan dalam syari'at Islam. Suatu ketika seorang tabi'in, Al-Musayyab memuji Al-Barra bin 'Azib: "Beruntunglah  Anda. Anda menjadi sahabat Rasulullah saw. Anda berbaiat kepadanya di bawah  pohon."  Al-Barra  menjawab,  Hai anak  saudaraku,  engkau  tidak  tahu  hal-hal  baru yang kami adakan sepeninggal Rasulullah. [42] Kata ma ahdatsna  (apa-apa yang  kami  adakan)  menunjukkan  pada  perbuatan  bid'ah yang dilakukan para sahabat  Nabi.  Diriwayatkan  bahwa  pada  hari kiamat ada rombongan manusia yang pernah menyertai Nabi diusir dari al-haudh (telaga). Nabi saw: "Ya Rabbi, mereka sahabatku. Dikatakan  kepadanya:  Engkau  tak  tahu  apa-apa  yang mereka ada-adakan sepeninggal kamu. [43]
Bid'ah-bid'ah  ini  telah  mengubah  sunnah  Rasulullah   saw. Sebagian  sahabat  mulai mengeluhkan terjadinya perubahan ini. Imam Malik meriwayatkan dari pamannya Abu  Suhail  bin  Malik, dari   bapaknya  (seorang  sahabat).  Ia  berkata:  Aku  tidak mengenal lagi apa-apa yang aku lihat dilakukan "orang" kecuali panggilan  shalat.  Al-Zarqani  mengomentari  hadits ini: Yang dimaksud "orang" adalah sahabat.  Adzan  tetap  seperti  dulu.

Tidak  berubah, tidak berganti. Ada pun shalat, waktunya telah diakhirkan, dan perbuatan yang lain telah berubah.  [44]  Imam Syafi'i  meriwayatkan  dari  Wahab  bin Kaysan. Ia melihat Ibn Zubair memulai shalatnya sebelum  khutbah,  kemudian  berkata: Semua  sunnah  Rasulullah saw sudah diubah, sampai shalat pun. [45] Kata Al-Zuhri: Aku menemui Anas bin Malik di Damaskus. Ia sedang menangis. "Mengapa Anda menangis," tanya Al-Zuhri. Anas menjawab, "Aku sudah tidak mengenal lagi apa yang  aku  lihat, kecuali shalat. Ini pun sudah dilalaikan orang". [46] Al-Hasan al-Bashri menegaskan: "Seandainya  sahabat-sahabat  Rasulullah saw  lewat,  mereka  tidak  mengenal  kamu (yang kamu amalkan) kecuali kiblat kamu". [47] 'Umran bin al Husain pernah  shalat di  belakang Ali. Ia memegang tangan Muthrif bin Abd Allah dan berkata: Ia telah shalat seperti shalatnya  Muhammad  saw.  Ia mengingatkan aku pada Shalat Muhammad saw. [48]

Jadi  pada zaman sahabat pun, sunnah Nabi sudah banyak diubah. Salah  satu  sebab  utama  perubahan  adalah   campur   tangan penguasa.  Karena  pertimbangan  politik,  Bani  Umayyah telah mengubah sunnah Nabi, khususnya yang dijalankan  secara  setia oleh  Ali  dan  para pengikutnya. Ibn 'Abbas berdoa: Ya Allah, laknatlah mereka.  Mereka  meninggalkan  sunnah  karena  benci kepada  Ali.  [49]  Contohnya,  menjaharkan  basmalah, sebagai upaya menghapus jejak Ali. [50] Contoh yang lain adalah  sujud di  atas  tanah,  yang menjadi tradisi Rasulullah saw dan para sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Ibn Mas'ud, Ibn  'Umar,  Jabir ibn  Abdullah  dan  lain-lain. Dalam perkembangannya, sujud di atas kain menjadi syi'ar Ahl  al-Sunnah;  sedangkan  sujud  di atas  tanah  dianggap  musyrik  dan dihitung sebagai perbuatan zindiq". [51]

Contoh-contoh di  atas  menunjukkan  bagaimana  campur  tangan kekuasaan  politik  membentuk  fiqh.  Karena fiqh lebih banyak didasarkan pada al-hadits, penguasa politik kemudian melakukan manipulasi  hadits  dengan  motif politik. Fiqh Tab'in, selain mengambil hadits sebagai sumber hukum, juga mengambil  ijtihad para  sahabat.  Sebab itu, kita juga akan mengupas kemusykilan ijtihad sahabat. Karena pendapat-pendapat para sahabat terbagi dua  --yang  berpusat  pada  al-hadits dan al-ra'y-- kita akan membicarakan juga tradisi  fiqh  al-atsar  dan  fiqh  al-ra'y. Secara keseluruhan, kita lebih banyak menelaah ushul ketimbang fiqh. Hal ini disebabkan ushul adalah sandaran  para  tabi'in; dan karenanya secara singkat ia disebut Fiqh al-ushul.

 Sebelum  membahas  itu semua, marilah kita lihat sedikit latar belakang fiqh tabi'in.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN FIQH TABI'IN

Setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia,  orang-orang  Islam bertanya  pada  sahabat  dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak bertanya  pada  semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali memberi fatwa,  mungkin  karena  ketidaktahuan,  kehatihatian, atau  lagi-lagi  pertimbangan  politis.  Sebagian  lagi banyak sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka,  atau karena posisinya memungkinkan untuk itu.

Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah sedikit sekali memberi fatwa  atau  meriwayatkan al-hadits.  Abu  bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika  semua  hadits mereka  disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits   yang   diriwayatkan   Abu   Hurairah   (Abu   Huraiah meriwayatkan 5374 hadits).

Karena  itu,  para  tabi'in,  yakni  mereka  yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin.  Dalam pada  itu,  ketika  kekuasaan Islam meluas, hanya sedikit para sahabat yang  meninggalkan  Madinah.  Dalam  kaitan  ini,  Abu Zahrah menulis: [52]

Kliping Artikel Pasted from








There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter