Telaah Problematika Hukum Islam di Zaman Modern Oleh Nurcholish Madjid
Salah satu kesibukan para intelektual Muslim di seluruh dunia saat ini ialah memikirkan bagaimana menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam perangkat nyata kehidupan modern. Seorang Muslim yang serius tentu menyadari, betapa ia dihadapkan pada tantangan hidup dalam suatu masyarakat modern, yaitu suatu masyarakat yang notabene merupakan kelanjutan logis, meskipun melalui proses transmutasi yang amat besar, dari berbagai unsur tatanan dan nilai hidup yang telah pernah berkembang sebelumnya, khusus di dunia Islam. Ilmu pengetahuan modern, misalnya, dengan mudah dapat ditelusuri asal-usulnya sebagai kelanjutan dunia keilmuan Islam yang pernah berkembang dalam masanya jayanya yang "liberal," ketika kaum Muslim terlatih menghargai suatu temuan pikiran dan keilmuan baru, dan ketika wawasan mereka terbentuk karena semangat kosmopolitanisme dan universalisme sejati. Namun pada saat yang sama, karena tuntutan imannya, seorang Muslim "modern" harus tetap berada dalam pangkuan agamanya dan dijiwai nilai-nilai asasinya.
Zaman modern, atau yang menurut Marshall Hodgson lebih tepat dinamakan "Zaman Teknik" (Technical Age) adalah jelas berbeda secara mendasar dari zaman agraris sebelumnya. Padahal agama Islam, sebagaimana halnya dengan agama-agama besar lain, dilahirkan dalam zaman agraris. Seperti baru saja disebutkan di atas, ini tidaklah berarti zaman modern terputus samasekali dari zaman sebelumnya Justru unsur kontinuitasnya dengan masa lalu sedemikian rupa tidak mungkin diingkari, karena dasar-dasar zaman modern ini pun diletakkan masa sebelumnya, yaitu di zaman agraris. Suatu teori kesejarahan dunia malah menyebutkan, zaman agraris sebenarnya telah mengalami perkembangan menuju ke arah kompleksitas yang tinggi pada masa Axial Age ("Masa Aksial" atau "Sumbu"), yaitu masa yang terbentang selama enam abad sejak abad kedelapan sampai abad kedua sebelum Nabi 'Isa al-Masih as. Pada saat itu terjadi perubahan asasi di mana-mana, akibat lepasnya monopoli pengetahuan tulis baca dari tangan kelas pendeta, menjadi tersebar di antara berbagai kelompok borjuis, dan karenanya watak serta kecepatan perkembangan tradisi tulis-baca itu juga berubah. Pada waktu yang sama, keseluruhan tatanan geografis bagi kegiatan bermakna kesejarahan manusia juga mengalami transformasi, sebab saat itu mulai menyebar, meliputi hampir seluruh belahan bumi. [1]
Pada masa itu dengan nyata budaya manusia mulai berkembang keluar dari inti kawasan Nil-Amudarya (Mesir-Transoxiana) yang menjadi inti kawasan bumi yang berpenghuni dan berperadaban (Arab: al-Da'irat al-Ma'murah; Yunani: Oikoumene, "Daerah Berpenduduk"). Zaman Islam adalah zaman "Pasca-Sumbu" (Post-Axial), dan masa kejayaan Islam merupakan puncak perkembangan "Zaman Agraria Berkota" (Agrariante Citied Society), yaitu masyarakat agraris dengan ciri kehidupan perkotaan (urbanity) yang menonjol. Adalah dalam urbanity itu --suatu pola kehidupan sosial-ekonomi yang ditandai tingginya kegiatan ekonomi urban dan penghargaan kepadanya, khususnya perdagangan, dan etos intelektual-- terletak benang merah kontinuitas antara zaman modern dengan zaman Islam. Tapi sekali pun zaman Islam masih sepenuhnya berada dalam rangkaian zaman agraris (jadi masih mempunyai kesinambungan dengan zaman sebelumnya), perubahan yang dibawanya sedemikian radikal dan eksplosif, sebanding dengan radikal dan eksklusif pembebasan (futuhat) yang dilakukan kaum Muslim, pertama-tama atas kawasan Nil-Amudarya, kemudian segera meliputi daerah yang lebih luas, yang kurang lebih waktu itu merupakan daerah paling maju di muka bumi.
Dengan flashback di atas, kiranya menjadi jelas, sesungguhnya peralihan dari masa lalu yang agraris-urban itu, ke zaman modern sekarang, ini tidaklah terlalu unik dalam pandangan sejarah umat manusia. Dan disebabkan faktor peranan sejarahnya sendiri sebagai puncak zaman agraris urban, maka Islam memiliki potensi menjadi pewaris yang paling beruntung dari zaman modern ini, dan pelanjut serta pengembangnya di masa depan, karena unsur-unsur asasi zaman modern itu tidak asing bagi pandangan hidup kaum Muslim. Jika kita ambil peristiwa Inkuisisi Kristen dalam menghadapi ilmu pengetahuan, praktis tidak ada hal serupa dalam Islam. Sejarah membuktikan betapa problematiknya hubungan dogma Kristen dengan unsur pokok modernitas, yaitu ilmu pengetahuan, dan betapa dalam Islam, situasi problematik itu dapat dikata tidak ada sama sekali, bahkan sebaliknya sikap positif terhadap ilmu pengatahuan adalah sui generis atau tiada taranya dalam pandangan hubungan organiknya yang sejati dengan sistem keimanan. Tapi sudah tentu faktor kontinuitas prinsipil bukanlah satu-satunya perkara yang membentuk dan menentukan sikap seseorang atau komunitas dalam menghadapi perubahan zaman.
Berbagai pengalaman historis yang lebih spesifik pada bangsa-bangsa Muslim dalam interaksinya dengan bangsa-bangsa Barat, khususnya pengalaman permusuhan (antara lain karena titik singgung keagamaan Islam-Kristen dan ketetanggaan geografis Timur Tengah-Eropa) justru nampak menjadi sumber problematik bangsa-bangsa Muslim menghadapi perubahan ke zaman modern, karena adanya asosiasi (yang tidak seluruhnya benar) antara modernisme dan westernisme. Apalagi bangsa-bangsa Barat itu, ketika melakukan penjajahan atas bangsa-bangsa Muslim, jelas-jelas membawa kenangan pengalaman historis masa lampau yang penuh permusuhan (antara lain dilambangkan dan dibuktikan dalam: bagaimana para penjajah Spanyol menamakan kaum Muslim Mindanao sebagai "orang-orang Moro," sebagai kelanjutan semangat permusuhan antara orang Spanyol Kristen dengan orang Spanyol Muslim yang mereka sebut "orang Moro"). Adalah beberapa pengalaman historis permusuhan ini, dan bukannya faktor kontinuitas kultural di atas, yang menyebabkan kebanyakan kaum Muslim mengalami kesulitan dalam menghadapi zaman modern. Maka, misalnya, Turki yang Muslim sampai sekarang masih menunjukkan ciri dunia ketiga yang non-industrial, sementara Jepang yang Buddhis justru memperlihatkan tanda-tanda Barat dalam beberapa segi industrialnya. Kesulitan kaum Muslim ini di antaranya tercermin dalam bagaimana menangani masalah reinterpretasi hukum Islam untuk zaman modern.
MASALAH KONTINUITAS DAN PERUBAHAN
Kontinuitas yang mengisyaratkan pertahanan unsur-unsur masa lalu dan perubahan yang mengandung makna penggantian unsur-unsur masa lalu itu, dengan sesuatu yang lain dengan sendirinya selalu menimbulkan kesan pertentangan: Tapi, sebagaimana setiap "kesan" atau "dugaan" (dhan) tidak selamanya mengandung kebenaran, pengamatan lebih jauh atas berbagai peristiwa besar menyimpulkan tidak adanya kemestian pilihan hitam putih antara kontinuitas dan perubahan. Betapa pun besarnya suatu perubahan, sebagaimana sedikit banyak ditunjukkan dalam pembicaraan di atas tadi, tetap terdapat unsur-unsur persambungan tertentu dengan masa lalu. Justru tidak jarang esensi nilai baru dalam suatu masyarakat yang berubah itu memperoleh pengukuhannya dan penguatan efektifitasnya karena mendapatkan tempat dalam sistem nilai lama yang lebih luas, atau dapat diterangkan dalam kerangka nilai lama yang lebih luas itu. Inilah yang dalam jargon ilmu sosial mutakhir disebut "modernitas tradisi".
Garis argumen itu lebih-lebih tepat, jika dikenakan terhadap Islam dan kaum Muslim dalam menghadapi zaman modern. Yaitu bahwa mereka, sementara secara imperatif mesti menerima kehidupan modern (sebagaimana telah menjadi kenyataan, betapapun ad hoc dan eclectic-nya sikap yang melatarbelakanginya) tapi dapat bertahan dengan nilai-nilai keislamannya, dan samasekali tidak perlu meninggalkannya. Jika hal ini dengan sendirinya menjadi keyakinan seorang Muslim, para pengamat luar pun mengakui adanya hal yang sama, bahkan sering dengan nada peneguhan dan apresiasi. Maka sosiolog terkenal Ernest Gellner, misalnya, memiliki pandangan tentang Islam dan kemodernan yang mungkin membuat seorang Muslim menjadi lebih percaya diri. Ia katakan:
Hanya Islam yang mampu bertahan sebagai keimanan yang serius, yang mengatasi baik tradisi kecil maupun Tradisi Besar. Tradisi Besarnya dapat dipermodern (modernisable); dan pelaksanaannya dapat disajikan, tidak sebagai inovasi ataupun konsesi kepala pihak luar, tapi sebaliknya sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dialog lama dalam Islam... Jadi dalam Islam, dan hanya dalam Islam, purifikasi/modernisasi di satu pihak, dan penegahan apa yang dianggap suatu ciri lokal lama, dapat dilakukan dalam bahasa dan perangkat simbol yang satu dan sama. Versi kerakyatan lam (seperti praktek kesufian rakyat yang tidak sah atau mu'tabarah, misalnya-NM), yang pernah menjadi alas dangkal tradisi sentral sekarang menjadi kambing hitam yang dibuang, yang dipersalahkan menyebabkan kemunduran dan dominasi unsur asing. Karena itu meskipun tidak merupakan sumber modernitas, Islam mungkin akan ternyata merupakan penerima manfaat modernitas itu. Kenyataan bahwa varian sentral, resmi dan "murni" Islam bersemangat egaliter dan keilmiahan --sementara hirarki dan ekstase (seperti dalam banyak praktek kesufian rakyat-NM berkaitan dengan bentuk-bentuknya yang bersifat pinggiran senantiasa meluas namun akhirnya ditampik- sangat membantu adaptasi Islam ke dunia modern. Dalam zaman cita-cita melek huruf universal, lapisan sarjana yang terbuka (dalam Islam) dapat berkembang sehingga meliputi seluruh masyarakat, dan dengan begitu maka cita-cita "protestan" agar semua yang beriman mempunyai akses yang sama (kepada kitab Suci-NM) akan terlaksana. Egalitarianisme modern terpenuhi. Sementara Protestantisme Eropa hanya menyiapkan lahan untuk nasionalisme melalui perluasan melek-huruf, potensi Islam yang hangkit kembali untuk skripturalisme egaliter dapat secara aktual menyatu dengan nasionalisme, sehingga orang tidak lagi mudah mengatakan mana salah satu dari keduanya itu yang paling bermanfaat bagi yang lain.[2]
Karena observasi dan kesimpulannya itu, maka tidak heran menurut Ernest Gellner, Islam adalah agama yang paling dekat dengan modernitas dibanding agama Yahudi dan Kristen. Yaitu dipandang dari sudut semangat Islam tentang universalisme, skripturalisme, egalitarianisme spiritual, perluasan partisipasi dalam masyarakat suci yang meliputi semua anggotanya tanpa kecuali, dan sistematisasi rasional kehidupan sosial.[3]
Pendapat tentang tidak perlunya kaum Muslim menanggalkan nilai-nilai dasar keislaman mereka untuk dapat masuk zaman modern itu juga dikemukakan Maxime Rodinson, juga seorang sosiolog (Perancis) kontemporer. Dalam pembukaan sebuah bukunya, Rodinson mempertanyakan, "Sejauh mana orang (Muslim) harus pergi dalam proses mencapai kemakmuran yang menggiurkan dari negara-negara industri? Haruskah seseorang berjalan sedemikian jauhnya sehingga mengorbankan berbagai nilai yang secara khusus diyakini, yaitu yang membentuk ciri tertentu, kepribadian dan identitas kelompok orang bersangkutan?"4.
Jawaban terhadap pertanyaan ini diberikan pada akhir bukunya, yang oleh Leonard Binder diringkaskan, bahwa tidaklah perlu meninggalkan sesuatu apapun yang secara esensial bersifat Islam, karena Islam sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan lingkungan ekonomi negeri-negeri Muslim. Karena itu Islam tidak dapat dipandang sebagai bertanggung jawab atas kemunduran kaum Muslim. Dalam perkataan lain, seseorang dapat berjalan sejauh yang ia perlukan untuk dapat mengejar Barat tanpa mengorbankan apapun yang esensial bagi Islam dan yang menjadi bagian integral dari identitas kaum Muslim. [5]
MASALAH PESAN DASAR ISLAM
Ketika mengatakan Islam tidak mempunyai sangkut paut dengan milieu ekonomi negeri-negeri Muslim sehingga tidak dapat dipandang, apalagi dituduh, sebagai penyebab kemunduran negeri-negeri itu, Rodinson menunjuk kepada kenyataan betapa masyarakat-masyarakat Islam sepanjang sejarahnya menunjukkan gejala menganut pola ekonomi yang bermacam-macam dalam zaman yang berbeda atau tempat yang berbeda, maka jika kemajuan adalah suatu "Kapitalisme" (sebagaimana orang cenderung melihat buktinya melalui runtuhnya sistem sosialis atau komunis) maka Islam dapat saja bersatu dengan kapitalisme itu, tanpa kehilangan sifatnya yang paling mendasar. Tesis Rodinson ini terbuka untuk dipersoalkan, namun kesimpulannya yang tegas bahwa kaum Muslim tidak perlu meninggalkan hal-hal yang secara esensial bersifat Islam mendorong orang bertanya: Lalu apa wujud dari hal-hal yang secara esensial bersifat Islam itu? Jawabnya adalah, hal-hal yang secara esensial bersifat Islam itu dengan sendirinya adalah "pesan dasar" (risalah asasiyyah) Islam itu sendiri. Tapi sementara frase "pesan dasar" Islam terdengar familiar bagi setiap yang pernah membahas masalah-masalah keislaman, namun wujud nyatanya sendiri sering masih merupakan problem.
Meskipun problem di sini agaknya lebih banyak berurusan dengan soal kemampuan ekspresif, bukan substantif (orang tahu atau merasa tahu substansinya, tapi gagal mengungkapkannya). Namun realita menunjukkan adanya kesulitan yang nyata. Karena suatu "pesan dasar" mengacu pada suatu nilai yang amat tinggi, karena itu ada risiko abstraksi yang tinggi pula, maka dalam suatu masyarakat yang diliputi paham serba simbol (akibat pendidikan yang rata-rata rendah dan cara berpikir yang sederhana) "pesan dasar" itu sering terkacaukan dengan hal-hal simbolik dan formal yang mewadahinya. Beragama bagi seseorang tentu tidak akan bermakna, jika ia tidak mampu menangkap pesan dasar itu, namun dalam kenyataan kita masih menemui diri kita, sering tidak begitu jelas mengenai pesan dasar itu.
Tanpa berarti dukungan untuk salah satu dari Ahl al-Dhawahir dan Ahl al-Bawathin yang buah pikiran mereka sempat ikut mewarnai polemik-polemik dalam khazanah literatur Islam klasik, tidak bisa disangkal, kecenderungan banyak orang menilai kadar keimanan orang lain hanya dari segi hal-hal simbolik dan formal, merupakan indikasi kesulitan menangkap pesan dasar agama seperti sering dikuatirkan sementara Ahl al-Bawathin tentang orientasi keagamaan Ahl al-Dhawahir.
Dalam Kitab Suci al-Qur'an banyak diungkapkan tentang adanya perjanjian, persetujuan dan kesepakatan antara Tuhan dan manusia, yang dinyatakan dalam kata-kata Arab sebagai abd, 'aqd dan mitsaq. Sebuah firman suci menyebutkan adanya perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia, bahwa manusia tidak akan menyembah setan dan harus hanya menyembah Allah semata.[6]. Artinya, manusia harus menempuh hidup bermoral, demi perkenan Tuhan (ridha Allah), dan harus menjauh dari penyembahan kepada setan, dengan berbuat hal-hal tidak bermoral (fahsya', munkar). Perjanjian primordial itu juga diungkapkan dalam bahasa metaforik yang sangat ilustratif, demikian:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengambil (menciptakan) dari anak cucu Adam, yaitu dari tulang belakang mereka, keturunan mereka dan Dia minta kesaksian mereka atau diri mereka sendiri: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka mergawab: "Benar, kami bersaksi!" (Demikian itu supaya kami tidak) berkata di hari Kiamat: "Sesungguhnya kami lupa akan hal itu." [7]
Perjanjian itu pula yang terjadi antara Tuhan dan Adam, namun kemudian Adam melupakannya dan tergoda setan, yang membuatnya diusir dari surga.[8] Karena itu manusia diharapkan memenuhi perjanjiannya dengan Tuhan, agar Tuhan pun memenuhi perjanjian-Nya dengan manusia.[9] Maka kaum beriman sejati ialah mereka yang memenuhi janjinya, dengan Allah dan tidak membatalkan kesepakatan antara dia dan Allah itu.[l0] Sebaliknya orang itu kafir, jika menyalahi perjanjiannya dengan Allah setelah perjanjian itu menjadi kesepakatan.[11]
Muhammad Asad, dengan mengutip Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf, menerangkan, perjanjian (Inggris: covenant) antara Allah dan manusia itu, sebagaimana telah disinggung, adalah suatu istilah umum yang mencakup kewajiban-kewajiban moral dan sosial yang timbul akibat iman itu, terhadap sesame manusia. [12].
Asad juga memperjelas makna perjanjian dengan Allah (ahd Allah), yang dalam bahasa Inggris secara konvensional diterjemahkan dengan God's covenant, sebagai merujuk pada kewajiban moral manusia untuk menggunakan karunia bawaan lahirnya --intelektual dan fisik-- dalam suatu cara yang ditetapkan Ailah untuknya, yang antara lain akan membawa manusia kepada kesadaran akan dirinya berhadapan dengan Sang Maha Pencipta.[13]. Kesadaran Ketuhanan (Rabbaniyyah) yang mendasari akhlaq mulia itulah inti pesan dasar agama lewat para Rasul,[l4] dan pokok perjanjian Tuhan dengan semua Nabi: "Ingatlah ketika Kami (Tuhan) mengambil dari para Nabi perjanjian mereka, juga dari engkau (Muhammad) dan dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan telah Kami ambil dari mereka perjanjian yang berat." [16] Pemenuhan perjanjian manusia dengan Tuhannya itu melahirkan sikap hidup bertaqwa, yaitu sikap hidup yang penuh pertimbangan moral, atas dasar keinsyafan mendalam, bahwa Allah adalah Maha Hadir, yang selamanya menyertai dan mengawasi tingkah laku setiap orang. [16] Maka al-Qur'an pun disebutkan sebagai "petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa." [l7]
Dengan al-Qur'an itu, Allah membimbing siapa saja yang mengikuti keridlaan-Nya ke berbagai jalan keselamatan.[18] Dan Nabi saw pun bersabda bahwa "Tiada suatu apapun yang dalam timbangannya lebih berat daripada keluhuran budi." [l9] Dan bahwa "Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surge ialah taqwa kepada Allah dan budi pekerti luhur." [20] Pesan dasar itu, sebagai pesan Tuhan kepada semua Nabi danRasul --dan melalui mereka kepada seluruh ummat manusia membentuk makna "generik" agama, yaitu makna dasar dan universal sebelum suatu agama terlembagakan menjadi bentuk-bentuk formal dan parokial. Karena itu, sepanjang penjelasan al-Qur'an, agama yang benar ialah agama yang memiliki makna generik itu, yang titik tolaknya ialah sikap pasrah dan berdamai dengan Allah (dalam bahasa Arab disebut Islam).[21] Maka, misalnya, al-Qur'an menolak klaim kaum Yahudi atau Nasrani bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Yahudi atau Nasrani, sebab dalam pandangan Kitab Suci al-Qur'an keyahudian dan kenasranian adalah bentuk-bentuk pelembagaan formal dan bahkan parokial dari suatu agama generik, yang sesungguhnya tidak memerlukannya. Yang pertama (Yahudi) merupakan pelembagaan berdasarkan kebangsaan (atau malah kesukuan, yaitu suku keturunan Yehuda, anak pertama Israil atau Ya'qub), sedangkan yang kedua (Nasrani) konon berdasarkan nama tempat (Nazaret).
Demikian pula bentuk-bentuk pelembagaan formal dan parokial lainnya, ditolak Kitab Suci, sebab agama yang benar secara asli haruslah tidak bernama kecuali dengan nama yang menggambarkan semangat makna generik kebenaran itu sendiri, yaitu, dalam bahasa Arab, Islam (Sikap Pasrah dan Damai kepada Allah). Karena itu al-Qur'an menegaskan, Ibrahim adalah seorang hanif; yaitu seorang yang karena bimbingan kesucian dirinya sendiri (fithrah) memelihara kecenderungan dan pemihakan yang murni kepada yang benar dan baik secara generik, asli dan sejati. Juga ditegaskan, Ibrahim adalah seorang Muslim (yang pasrah dan damai kepada Allah).[22]
Demikianlah Nabi Ibrahim, dan demikian pula dengan semua Nabi, termasuk Musa dan Isa (Yesus, setelah lewat proses pengalihan nama itu dalam bahasa Yunani), semuanya adalah tokoh-tokoh yang muslim dan mengajarkan islam [23]. (sekalipun tidak berarti para Nabi itu secara harfiah menggunakan perkataan Arab yang berbunyi m-u-s-l-i-m dan i-s-l-a-m, karena justru kebanyakan para Nabi bukanlah orang-orang Arab). Mereka adalah muslim dan mengajarkan islam dalam arti, semuanya bersikap pasrah dan berdamai dengan Allah dan membawa pesan dasar yang sama, yaitu agar manusia tunduk patuh kepada-Nya melalui sikap pasrah dan berdamai, dan dengan jalan menempuh hidup bermoral.
PRINSIP KEADILAN (SOSIAL)
Pada pokoknya pesan dasar ini, yang meliputi perjanjian dengan Allah ('ahd, aqd, mitsaq di atas), sikap pasrah kepada-Nya (islam) dan kesadaran akan kehadiran-Nya dalam hidup (taqwa, rabbaniyyah), adalah universal, berlaku untuk semua ummat manusia, dan tidak terbatasi oleh pelembagaan formal agama-agama. Sebagai hukum dasar dari Tuhan, pesan dasar ini, bahkan meliputi seluruh alam raya ciptaan-Nya ini, di mana manusia hanyalah salah satu bagian saja.
Ketika pesan dasar itu menuntut terjemahannya dalam tindakan sosial nyata, yang menyangkut masalah pengaturan tata hidup manusia dalam hubungan mereka satu sama lain dalam masyarakat, maka tidak ada manifestasinya yang lebih penting daripada nilai keadilan. Karena itu tindakan menegakkan keadilan ditegaskan sebagai nilai yang paling mendekati taqwa.[24] Dan sebagai wujud terpenting pemenuhan perjanjian dengan Allah dan pelaksanaan pesan dasar agama, maka ditegaskan, menegakkan keadilan dalam masyarakat adalah amanat Allah kepada manusia.[25]
Keadilan yang dalam bahasa Kitab Suci dinyatakan dalam kata-kata 'adl, qisth, wasth (semuanya memiliki makna dasar "tengah" atau "jujur") adalah wujud lain hukum keseimbangan (mizan) yang telah ditetapkan Allah untuk seluruh jagad raya. Sesungguhnya, dari sudut pandangan kosmologi al-Qur'an, keadilan adalah hukum primer seluruh jagad raya. Maka keadilan adalah aturan kosmis (cosmic order), yang pelanggaran terhadapnya dapat dilukiskan secara metaforik sebagai mengganggu atau "mengguncangkann tatanan jagad raya. Inilah yang antara lain dapat kita ambil pengertiannya dari firman Allah: Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, dan Dia tetapkan (hukum) keseimbangan. Hendaknya kamu tidak melanggar (hukum) keseimbangan itu. Dan tegakkanlah olehmu semua akan neraca dengan jujur, dan jangan kamu bertindak merugikan (hukum) keseimbangan.[26]
Beberapa tafsir dan terjemah konvensional menerangkan, yang dimaksud dengan mizan dalam firman itu ialah neraca yang dikenal. Tentu saja tidak terlalu salah. Tapi dalam kaitannya dengan penciptaan Allah akan jagad raya, yang dalam firman ini dilambangkan sebagai penciptaan langit yang "ditinggikan" oleh-Nya, maka lebih tepat memandang perkataan mizan ini, dalam makna kosmologisnya, yaitu seluruh jagad raya ini berjalan mengikuti hukum keseimbangan. Bahkan neraca yang kita kenal dan tampak bekerja secara "sederhana" itu pun adalah suatu gejala kosmis, karena keseimbangan dalam sebuah neraca adalah kelanjutan dari hukum keseimbangan yang lebih luas (yang menguasai seluruh alam), misalnya, melalui hokum gravitasi. Dari sudut pandangan inilah kita memahami mengapa banyak para 'ulama', dalam hal ini khususnya Ibn Taymiyyah, sedemikian tegas dan jauh berpegang pada prinsip keadilan itu sebagai ideatum tatanan sosial manusia yang akan menjamin kekokohan dan kelangsungannya. Sedemikian rupa jauhnya pandangan Ibn Taymiyyah, sehingga ia menguatkan pandangan bahwa "Sesungguhnya Allah akan menegakkan negeri yang adil meskipun kafir, dan tidak akan menegakkan negeri yang zalim meskipun Islam," dan "Dunia akan bertahan bersama keadilan dan kekafiran, dan tidak akan bertahan lama bersama kezaliman dan Islamn" [27]
Dengan pernyataannya yang tidak biasa itu, Ibn Taymiyyah hanya bermaksud agar ummat Islam tidak taken for granted dalam hal keislaman. Keislaman yang formal saja tidak akan membawa keselamatan di dunia ini, khususnya dalam arti sosial, jika tidak disertai keadilan. Sebaliknya, meskipun suatu masyarakat adalah kafir namun menegakkan keadilan di dunia ini, maka masyarakat itu akan tegak, didukung Allah. Sebab, sama dengan yang telah dijelaskan di atas, keadilan adalah "tatanan segala sesuatu" (nidham-u kull-i syay) [28], yakni, suatu cosmic order yang menjadi hukum Tuhan, atau Sunnatullah yang tidak tergantung kepada keinginan seseorang (obyektif) dan berlaku universal, di segala tempat dan masa, sehingga tidak akan berubah (immutable).
BEBERAPA CONTOH PEMIKIRAN KONTEMPORER FIQH
Kita telah pergi sejauh yang diperlukan, untuk membahas masalah-masalah pokok yang mendasari pemikiran kontemporer tentang fiqh. Berbagai pemikiran mutakhir tentang fiqh menegaskan perlunya kesadaran akan pesan dasar Islam sebelum suatu hukum atau hukuman dilaksanakan. Kesadaran itu dapat disebut sebagai karakteristik pemikiran fiqh dan hukum Islam di zaman modern. Di sini akan dikemukakan contoh pemikiran para intelektual Islam mutakhir, dari tiga tokoh yang representatif, yaitu Fat'hi 'Utsman (pemimpin redaksi majalah Islam internasional Arabia yang terbit di London), Muhammad Asad (salah seorang arsitek dan pemikir konstitusi Negara Islam Pakistan), dan Ahmad Zaki Yamani (yang pernah menjabat Menteri Perminyakan Saudi Arabia dan tokoh OPEC yang amat terkenal). Fatthi 'Utsman menegaskan, suatu hukum, termasuk yang ada dalam al-Qur'an dapat dilaksanakan hanya setelah ditegakkannya keadilan sosial dan tatanan kemasyarakatan yang menjamin anggotanya untuk tidak melanggar ketentuan yang ditetapkan. Kami kutipkan dan terjemahkan sepenuhnya pendapat Fat'hi 'Utsman yang relevan, dari bukunya, al-Din li al-Waqi' (Agama untuk Realita):
Keadilan Sosial sebelum hukuman. Allah menerangkan dalam Kitab-Nya berbagai hukuman kejahatan (had) seperti, misalnya, hukum bunuh (qishash) untuk kejahatan pembunuhan, potong tangan untuk pencurian, dan lain-lainnya. Wajar bahwa Islam menempuh jalan penetapan hukum-hukum setelah ditempuhnya jalan pengarahan pikiran melalui aqidah dan pendidikan tingkah laku melalui prinsip tabadul. Tapi penetapan hukum Islam tidak pernah disebut kecuali mesti timbul dalam pikiran orang, gambaran yang mengerikan tentang tangan-tangan buntung dan jasad-jasad berserakan. Sedangkan yang sebenarnya ialah bahwa rahmat Allah untuk sekalian alam tidaklah menetapkan hukuman, kecuali sesudah ditempuh jalan proteksi, sama dengan yang dikatakan Francis Aveling dalam bukunya ilmu Jiwa Klasik dan Modern, "Kalau tujuan kita ialah kebaikan masyarakat, maka tujuan hukuman haruslah proteksi. Dan cara apapun yang dapat merealisasikan tujuan ini harus dipandang sebagai wajar dari sudut pandangan sosial. Jadi jika kita dapat mencegah sebab-sebab dan situasi yang mendorong kejahatan, baik yang berasal dari lingkungan atau pun dari pribadi sendiri, maka itulah cara yang ideal yang kita wajib menggunakannya."
Dalam praktek memang telah terjadi berbagai usaha ke arah ini melalui berbagai pengabdian sosial. Tapi kalau seandainya seluruh situasi yang berkaitan dengan lingkungan telah tersedia dengan sebaik-baiknya, maka tentulah yang tersisa bagi kita ialah memikirkan sebab-sebab individual yang mendorong orang untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran.
Dari sini kita melihat, Islam ketika menetapkan pelaksanaan qishash dalam kejahatan pembunuhan, ia bersama itu juga menetapkan langkah-langkah yang menjamin hilangnya dorongan-dorongan permusuhan golongan, kelompok atau perbedaan tingkat sosial.
Dan ketika menetapkan hukuman potong tangan pencuri, maka Islam tidaklah melakukan hal itu sebelum tegaknya hak-hak hidup pribadi dan mantapnya tanggung Negara untuk menjamin hak-hak pribadi itu. Dan ketika Islam menetapkan hukum rajam atau cambuk atas pezina, maka sesungguhnya ia juga menetapkan kemudahan jalan perkawinan dan melindungi bagian-bagian privat dari tubuh dengan menutup aurat dan menjaga penglihatan mata, serta melarang khalwat (kencan seorang lelaki dan seorang perempuan yang bukan muhrim, namun tanpa muhrim perempuan itu). Jadi pengaturan sosial berjalan seiring atau mendahului penetapan hukuman kejahatan.[29] Lebih runtut lagi adalah jalan pikiran dan garis argument Muhammad Asad. Dalam memberi penjelasan tentang makna yang lebih mendasar di balik hukuman yang amat keras bagi pencuri (potong tangan), Asad membuat uraian panjang lebar. (Di sini kami kutipkan seluruh uraian itu, namun maaf tidak sempat menerjemahkan):
The extreme severity of this Qur'anic punishment can be understood only if one bears in mind the fundamental principle of Islamic Law that no duty (taklif) is ever imposed on man without his being granted a coresponding right (haq); and the term "duty" also comprises, in this context, liability to punishment. Now, among the inalienable rights of every member of the Islamic society --Muslim and non-Muslim alike-- is the right to protection (in every sense of the word) by the community as a whole. As is evedent from innumerable Qur'anic ordinances as well as the Prophet's injuctions forthcoming from authentic Traditions, every citizen is entitled to a share in the community's economic resources and thus, to the enjoyment of social security: in other words, he or she must be assured of an equitable standard of living commensurate with the resource at the disposal of the community. For, although the Qur'an makes it clear that human life cannot be expressed in terms of physical existence alone --the ultimate values of life being spiritual in nature-- the believers are not entitled to look upon spiritual truths and values as something that could be divorced from the physical and social factors of human existence. In short, Islam envisages and demands a society that provides not only for the spiritual needs of man, but for his bodily and intellectual needs as well. It follows, threfore, that --in order to be truly Islamic-- a society (or a state) must be so constituted that every individual, man and woman, may enjoy that minimum of material well-being and security without which there can be no human dignity, no real freedom and, in the last resort, no spiritual progress: for, there can be no real happiness and strength in a society that permits some of its members to suffer undeserved want while others have more than the need.
If the whole society suffers privations owing to circumstances beyond its control (as happened, for instance, to the Muslim community in the early days of Islam), such shared privations may become a source of spiritual strength and, through it, of future greatness. But if the available resources of a community are so unevenly distributed that certain groups within it live in affluence while the majority of the people are forced to use up all their energies in search of their daily bread, poverty becomes the most dangerous enemy of spiritual progress, an occasionally drives whole communities away from God-consciousness and into the arms of soul-destroying materialism. It was undoubtedly this that the Prophet had in mind when he uttered the warning woeds (quoted by al-Suyuti in al-Jami al-Saghir), "Proverty may well turn into a denial of the truth (kafr)." Consequently, the social legislation of Islam aims at a state of affair in which every man, woman and child has (a) enough to eat and wear, (b) an adequate home, (c) equal opportunities and facilities for education, and (d) free medical care in health and sickness. A corollary of these rights is the right to productive and remunerative work while of working age and in good health, and a provision (by the community or the state) of adequate nourishment, shelter, etc. in cases of disability resulting from illness, widowhood, enforeced enemployment, old age, or under-age. As already mentioned, the communal obligation to create such a comprehensive social security scheme has been laid down in many Qur'anic verses, and has been amplified and explained by a great number of the Prophers commandments. It was the second Caliph, Umar ibn al-Khattab, who began to translate these ordinances into a concrete administrative scheme (see Ibn Said, Tabagat, III/1. 213-217); but after his premature death, his successors had either the vision nor the statemanship to continue his unfinished work. It is against the background of this social security scheme envisaged by Islam that the Qur'an imposes the severe sentence of hand-cutting as a deterrent punishment for robbery. Since, under the circumstances outlined above, "temptation" cannot be admitted as a justifiable excuse, and since, in the last resort, the entire socioeconomic system of Islam is based on the faith of its adherents, its balance is extremely delicate and in need of constant, strictly enforced protection. In a community in which everyone is assured of full security and social justice, any attempt on the part of an individual to achieve an easy, unjustified gain at the expense of other members of the community must be considered an attack against the system as a whole, and must be punished as such: and, therefore, the above ordinance which lays down that the hand of the thief shall be cut off. One must, however, always hear in mind the principle mentioned at the beginning of this note: namely, the absolute interdependence between man's right and corresponding duties (including liability to punishment).
In a community or state which neglects or is unable to provide complete social security for all its members, the temptation to enrich onself by illegal means often becomes irresistible --and, consequently, theft cannot and should not be punished as severely as it should be punished in a state in which social security is a reality in the full sense of the woed. If the society is unable to fulfil its duties with regard to everyone of its memebers, it has not right to invoke the full sanction of criminal law (had) against the individual transgressor, but must confine itself to milder forms of administrative punishment. (Its was in correct appreciation of this principle that the great Caliph Umar waived the had of handcutting in a period of famine which afflicted Arabia during his reign.) To sum up, one may safely conclude that the cutting-off of a hand in punishment for theft is applicable only within the context of an already existing fully-functioning social security scheme, and in no other circumstances.[30]
Fiqh sangat erat kaitan dengan Syari'ah, jika bukannya malah identik (seperti menurut pengertian kebanyakan orang). Ahmad Zaki Yamani, dalam sebuah risalahnya yang terkenal, memperjelas persoalan Syari'ah itu dalam kaitannya dengan hasil karya para ulama terdahulu yang secara keseluruhannya biasanya dipandang sebagai korpus Hukum Islam. Perhatikanlah bagaimana Yamani menegaskan, hasil pemikiran ("fiqh" dalam arti asalnya) para ulama dalam kitab-kitab itu baginya tidaklah mengikat, karena pemikiran itu tidak lepas dari tuntutan zaman dan tempat yang lebih spesifik, yang belum tentu cocok dengan tuntutan zaman kita sekarang. Sama dengan yang di atas, di sini kami kutipkan sepenuhnya uraian Yamani (namun, sekali lagi, maaf tidak sempat menerjemahkannya):
The Islamic Shari'a as a phrase has two scope of meanings. Generally and widely construed, it denotes everything that has been written by Moslem jurist throughout the centuries, whether it dealt with contemporaneous issues of the time or in anticipation of future ones. The jurists derived their principles from the Qur'an and the Sunnah (way of action and the opinions of the Prophet), and from the other sources of Shari'a such as Ijma' (the consensus of the community represented by its scholars and learned men), and public interest considerations. The Shari'a, looked upon in this wide scope, constitutes a huge Juristic tradition the value of which depends on the individual jurist himself, his era, or even the particular problem confronting him. As such the system has a tremendous scholastic value to the Moslem, however, it has no binding authority; since within it one might find different, and sometimes contradictory principles resolving the same issues depending on the Juristic school that propagated the principle. Furthermore, it cannot have a binding authority since circumstances that brought about a certain principle might not be in existence any more, and surely we cannot maintain that previous Moslem Jurists have anticipated all our existing contemporary problems. Yet, as I said before in this wide sense, one cannot deny the Shari'a scholastic value as an elaborate system of deduction which should be relied upon for future derivations of principles. Construed narrowly, the Shari'a is confined to the undoubted principles of the Qur'an, to what is true and valid of the Sunna, and the consensus of the community represented by its sholars and learned men during a certain period and regarding a particular problem, provided such consensus was possible. Viewed as such, the Shari'a has a binding authority on every Moslem, and he is obligated to follow and employ it to solve his affairs ... The importance of differentiating between the wide and the narrow scope of Shari'a is evident in countries that fully implement the system, such as the Kingdom of Saudi Arabia. As I explained earlier, not all the principles of Shari'a in its wider sense are of a binding authority, because of certain inherent difficulties in attempting to harmonize some of them. Furthermore, one cannot choose one juristic school for implementation to the exclusion of all others, which was done in the past, since as a logical consiquence on would have to maintain the princiles of the other schools are not valid, or at least, are not worthy of being followed. According to the well-known Shari'a principle "the validity of that on which there is a difference can be questioned, but not the validity of that on which there is consensus," it becomes imperative ... to adopt the narrow meaning of Shari'a, confined to the Qur'an, the Sunna, and consensus, then, select principles from the various juristic schools with no exceptions, the criterion being what is more appropriate to the needs of that particular country. Such countries could legislate new solutions for novel problems, deriving such solutions from the general principles of the Shariia and considerations of public interest and communal welfare. [31]
Bagi Yamani prinsip public interest atau kepentingan umum adalah sangat fundamental. Berkaitan dengan prinsip ini, dengan merujuk kepada kitab Thabaqat al-Hanabilah oleh Ibn Rajab, Yamani mengutip, dengan implikasi sebuah dukungan, pendapat yang ekstrim dari Imam al-Tuff yang diduga dari madzhab Hanbali (tapi juga ada yang menduganya bermadzhab Syi'ah), yang mengatakan bahwa kepentingan umum mengatasi dan mendahului ketentuan tekstual, sekalipun dari al-Qur'an dan Sunnah. Maka jika terdapat pertentangan pertimbangan kepentingan umum di satu pihak, dan ketentuan tekstual atau nas di pihak lain, al-Tufi berpendapat bahwa kepentingan umum itu harus dimenangkan, betapapun absahnya sebuah nas. Ia berpandangan bahwa kepentingan umum itulah yang menjadi maksud dan tujuan Maha Hakim (Allah), sedangkan ketentuan tekstual yang diwahyukan dan sumber-sumber lainnya hanyalah perantara untuk mencapai tujuan itu, dan tujuan harus selalu mendahului perantaraan atau cara.[32]
Lebih jauh, Yamani mengritik sebagian kaum Orientalis yang tidak memahami Syari'ah dan mencampuradukkan dua unsurnya yang berbeda namun tidak terpisah, yaitu hukum-hukum keagaman ('ibadat) dan hukum-hukum kegiatan manusia dalam hidup keduniaan (mu'amalat):
The religious essence and value of the Shari'a must never be overestimated. Many Western Orientalists who wrote about Shari'a failed to distinguish between what is purely religious and the principles of secular transactions. Though both are derived from the same source, the latter principles have to be viewed as a system of civil Iaw, based on public interest and utility, and therefore always evolving to an ideal best... The Prophet himself had set precedence for this religious-secular relationship when he said "I am only human, if I order something pertaining to your religion comply, if I order something of my opinion consider it in the light that I am only human." Or when he said, "You know better about your civil non-religious matters." [33]
PENUTUP
Dari seluruh uraian di atas dapatlah disimpulkan, fiqh dan sistem hukum Islam memiliki kesempatan besar untuk diterapkan dalam zaman modern. Tetapi prasyaratnya ialah, kaum Muslim harus mampu terlebih dahulu menangkap pesan dasar agamanya, dan berdasarkan itu, mengembangkan pemikiran hukum yang akan menjawab tuntutan zaman dan tempat. Halangan terbesar bagi kemungkinan itu datang dari sikap-sikap dogmatic dan literalis, yang kini masih banyak melanda kaum Muslim. Tapi dengan bekal inner dynamics Islam itu sendiri, masa depan yang lebih baik tentu dapat diciptakan, sehingga akan terbukti ramalan Gellner: Kaum Muslim adalah penarik manfaat yang sebenarnya dari modernitas.
CATATAN
1. Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 1, h. 108.
2. Only Islam survives as a serious faith pervading both a folk and a Great Tradition. Its great Tradition is modernisable; and the operation can be presented, not as an innovation or concession to oursiders, but rather as the continuation and completion of and old dialogue within Islam... Thus in Islam, and only in Islam, purification modernization on the one hand, and the reaffirmation of a putative old local identity on the other, can be done in one and the same language and set of symbols. The old folk version, once a shallow of the central tradition now becomes a repidiated scapegoat, blamed for retardation and foreign domination. Hence, though not the source of modernity, Islam may yet turn out to be its beneficiary. The fact that its central, official, "pure" variant was egalitarian and scholarly, whilst hierarchy and ecstaasy pertained to its expendable, eventually disavowed, peripheral forms, greatly aids its adaptation to the modern world. In an age of aspiration to universal literacy, the open class of scholars can expand towards embracing the entire community, and thus the 'protestant' ideal of equal access for all believers can be implemented. Modern egalitarianism is satisfied. Whilst European Protestantism merely prepared the ground for nationalism by furthering literacy, the reawakened Muslim potential for egalitarian scripturalism can actually fuse with nationalism, so that one can hardly tell which one of the two is of most benefit to the other. (Ernest Gallner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), h. 4-5).
3. By various obvious criteria --universalism, scripturalism, spiritual egalitarianism, the extension of full participation in the sacred community not to one, or some, but to all, and the rational systematisation of social life-- Islam is, of the three great Western monotheisms, the one closest to modernity. (Gallner, h. 7).
4. Maxime Rodinson, Islam and Capitalism., terjemahan dari Perancis oleh Brian Peace (Austin: University of Texas Press, 1978), h. 1. 5. Leonard Binder, Islamic Liberalism (Chicago: The University of Chicago Press, 1988), h. 211. 6. Lihat QS. Yasin/36:60 7. QS. al-A'raf/7:172. 8. Lihat QS. Thaha/20:115. 9. Lihat QS. al-Baqarah/2:40. 10. Lihat QS. al-Ra'd/13:20. 11. Lihat QS. al-Ra'd/13:25. 12. Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (London:E.J. Brill, 1980), h.363, catatan 42. 13. Ibid., h. 7-8, catatan 21. 14. Lihat QS. Ali Imran 3:79. 15. QS. al-Ahzab/433:7. 16. Lihat QS. al-Hadid/57:4. 17. Lihat QS. al-Baqarah/2:2. 18. Lihat QS. al-Ma'idah/5:16. 19. Bulugh al-Maram, hadits No. 1551. 20. Ibid., hadits No. 1561. 21. Lihat QS. Ali Imran 3:19 dan 85.
22. "Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi ataupun Nasrani, melainkan seorang hanif (lurus kepada kebenaran), dan seorang muslim (pasrah kepada Tuhan), dan tidaklah dia termasuk mereka yang musyrik. Sesungguhnya manusia yang paling dekat kepada Ibrahim ialah mereka yang benar-benar mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad) serta mereka yang beriman. Allah adalah pembimbing kaum beriman itu." (QS. Ali Imran/3:67-68).
23. Terdapat banyak penegasan, langsung dan tidak langsung, berkenaan dengan keislaman para Nabi. Suatu penegasan bahwa semua penganut agama (yang benar secara generik, hanif) menyembah Tuhan yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan bersikap pasrah kepada-Nya (Islam). Secara umum dapat disimpulkan dari firman Allah tentang sikap anak turun Ya'qub Israil): "Adakah kamu menjadi saksi ketika maut datang kepada Ya'qub, ketika ia bertanya anak-anaknya: 'Apa yang kamu sembah sesudahku?' Mereka menjawab: 'Kami menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma'il dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kami semua pasrah (muslimun) kepada-Nya.'" (QS. al-Baqarah 2:133). Setiap orang yang dikaruniai Allah pangkat kenabian pasti menyeru manusia agar berkesadaran Ketuhanan (Rabbaniyyun) dan tidak akan menyimpang dari garis lurus itu setelah para pengikutnya benar-benar menjadi kaum yang pasrah kepada-Nya (muslimun): "Tidak pernah terjadi pada seorang manusia yang kepadanya Allah mengaruniakan kitab suci, ajaran kebenaran (hukum) dan kenabian kemudian berkata kepada orang banyak: 'Jadilah kamu semua hamba-hamba bagiku, bukan bagi Allah!' Melainkan (ia tentu berkata): 'Jadilah kamu orang-orang yang berkesadaran Ketuhanan (Rabbaniyyun) berdasarkan kitab suci yang kamu ajarkan dan berdasarkan yang kamu sendiri pelajari.' Dan ia (Nabi itu) tidak menyuruh kamu agar kamu mengambil para malaikat dan para Nabi yang lain sebagai tuhan-tuhan. Apakah patut ia menyuruh kamu menjadi kafir sesudah kamu semua menjadi orang-orang yang pasrah (muslimun)?" (QS. Ali Imran/3:79-80).
24. Lihat QS. al-Ma'idah/5:8. 25. Lihat QS. al-Nisa/4:58. 26. QS. al-Rahman/55:7-9. 27. Ibn Taymiyyah, dalam risalahnya, al-Amr bin al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar al-Kitab a-jadid, 1396 H/1976 M), h. 40. 28. Ibid. 29. Fat'hi Utsman, al-Din li al Waqi' (Kuwait: al-Dar al-Kuwaytiyyah, tt.), h.91-92. 30. Muhammad Asad, h. 149-150, catatan 48. 31. Ahmad Zaki Yamani, Islamic Law and Contemporary Issues (Jeddah: The Saudi Publishing House 1388 H), h. 6-7). 32. Ibid., h. 10-11. 33. Ibid., h. 13-14. Kliping Artikel Pasted From :
|
Posting Komentar
Posting Komentar