Rabi‘ah binti Ismail al-Adawiyah, berasal dari keluarga miskin. Dari kecil ia tinggal di Bashrah. Di kota ini namanya sangat harum sebagai seorang manusia suci dan seorang pengkhotbah. Dia sangat dihormati oleh orang-orang saleh semasanya. Mengenai kematiannya ada berbagai pendapat: tahun 135 H/752 M atau tahun 185 H/801 M.
Rabi’ah al-Adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah, dianggap mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan cinta Allah ke dalam Islam tashawuf. Orang-orang mengatakan bahwa ia dikuburkan di dekat kota Yerussalem. RABI’AH, LAHIR DAN MASA KANAK—KANAKNYA
Jika seseorang bertanya: ”Mengapa engkau mensejajarkan Rabi’ah dengan kaum lelaki?”, maka jawabanku adalah bahwa Nabi sendiri pernah berkata: “Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa kamu” dan yang menjadi masalah bukanlah bentuk, tetapi niat seperti yang dikatakan Nabi, “Manusia-manusia akan dimuliakan sesuai dengan niat di dalam hati mereka”. Selanjutnya, apabila kita boleh menerima dua pertiga ajaran agama dari ’Aisyah, maka sudah tentu kita boleh pula menerima petunjuk-petunjuk agama dari pelayanan pribadinya itu. Apabila seorang perempuan berubah menjadi ”seorang lelaki” pada jalan Allah, maka ia adaIah sejajar dengan kaum lelaki dan kita tidak dapat menyebutnya sebagai seorang perempuan lagi.
Pada malam Rabi’ah dilahirkan ke atas dunia, tidak ada sesuatu barang berharga yang dapat: ditemukan di dalam rumah orang tuanya, karena ayahnya adalah seorang yang sangat miskin. Si ayah bahkan tidak mempunyai minyak barang setetes pun untuk pemoles pusar puterinya itu. Mereka tidak mempunyai lampu dan tidak mempunyai kain untuk menyelimuti Rabi’ah. Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan Rabi’ah adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabi’ah (artinya ke-empat).
“Pergilan kepada tetangga kita si anu dan mintalah sedikit minyak sehingga aku dapat menyalakan lampu” isterinya berkata kepadanya. Tetapi si suami telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu jua pun dari manusia lain. Maka pergilah ia, pura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah tetangga tersebut lalu kembali Iagi ke rumahnya.
“Mereka tidak mau membukakan pintu” ia melaporkannya kepada isterinya sesampainya di rumah.
Isterinya yang malang menangis sedih. Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat menekurkan kepala ke atas lutut dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi. Nabi membujuknya: “JanganIah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku”.
Kemudian Nabi meneruskan; “Besok, pergilah engkau menghadap ‘Isa az-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas sehelai kertas, tuliskan kata-kata berikut ini: ’Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam jum’at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal’ “.
Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabi’ah mengucurkan air mata. Ia pun bangkit dan menulis seperti yang telah dipesankan Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada gubernur melalui pengurus rumahtangga istana.
“Berikanlah dua ribu dinar kepada orang-orang miskin”, gubernur memberikan perintah setelah membaca surat tersebut, ”sebagai tanda syukur karena Nabi masih ingat kepadaku. Kemudian berikan empat ratus dinar kepada si syaikh dan katakan kepadanya: ’Aku harap engkau datang kepadaku sehingga aku dapat melihat wajahmu. Namun tidaklah pantas bagi seorang seperti kamu untuk datang menghadapku. Lebih baik seandainya akulah yang datang dan menyeka pintu rumahmu dengan janggutku ini. Walaupun demikian, demi Allah, aku bermohon kepadamu, apa pun yang engkau butuhkan katakanlah kepadaku’ “.
Ayah Rabi’ah menerima uang emas tersebut dan membeli sesuatu yang dirasa perlu.
Ketika Rabi’ah menanjak besar, sedang ayah bundanya telah meninggal dunia, bencana kelaparan melanda kata Bashrah, dan ia terpisah dari kakak-kakak perempuannya. Suatu hari ketika Rabi’ah keluar rumah, ia terlihat oleh seorang penjahat yang segera menangkapnya kemudian menjualnya dengan harga enam dirham. Orang yang membeli dirinya menyuruh Rabi’ah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan, seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ah melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir. Rabi’ah menangis sambil mengantuk-antukkan kepalanya ke tanah: “Ya Allah, aku adalah seorang asing di negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cidera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah dapat memenuhi kehendak-Mu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak”.
“Rabi’ah, janganlah engkau berduka”, sebuah suara berkata kepadanya. “Esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga malaikat-malaikat iri kepadamu”.
Rabi’ah kembali ke rumah tuannya. Di siang hari ia terus berpuasa dan mengabdi kepada Allah, sedang di malam hari ia berdoa kepada Allah sambil terus berdiri sepanjang malam. Pada suatu malam tuannya terjaga dari tidur, dan lewat jendela terlihatlah olehnya Rabi’ah sedang bersujud dan berdoa kepada Allah.
“Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasyrat hatiku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu. jika aku dapat mengubah nasib diriku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu”.
Demikianlah kata-kata yang diucapkan Rabi’ah di dalam doanya itu. Dengan mata kepalanya sendiri si majikan menyaksikan betapa sebuah lentera tanpa rantai tergantung di atas kepala Rabi’ah sedang cahayanya menerangi seluruh rumah. Menyaksikan peristiwa ini, ia merasa takut. Ia lalu beranjak ke kamar tidurnya dan duduk merenung hingga fajar tiba. Ketika hari telah terang ia memanggil Rabi’ah, barsikap lembut kepadanya kemudian membebaskannya. “Izinkanlah aku pergi”, Rabi’ah berkata.
Tuannya memberikan izin. Rabi’ah lalu meninggalkan rumah tuannya menuju padang pasir mengadakan perjalanan menuju sebuah pertapaan di mana ia untuk beberapa lama membaktikan diri kepada Allah. Kemudian ia berniat hendak menunaikan ibadah haji. Maka berangkatlah ia menempuh padang pasir kembali. Barang-barang miliknya dibuntalnya di atas punggung keledai. Tetapi begitu sampai di tengah-tengah padang pasir, keledai itu mati.
“Biarlah kami yang membawa barang-barangmu”, lelaki-lelaki di dalam rombongan itu menawarkan jasa mereka.
“Tidak! Teruskanlah perjalanan kalian”, jawab Rabi’ah. ”Bukan tujuanku untuk menjadi beban kalian”.
Rombongan itu meneruskan perjalanan dan meninggalkan Rabi‘ah seorang diri.
“Ya AlIah”, Rabi’ah berseru sambil menengadahkan kepala. ”Demikiankah caranya raja-raja memperlakukan seorang wanita yang tak berdaya di tempat yang masih asing baginya?. Engkau telah me- manggilku ke rumah—Mu, tetapi di tengah perjalanan Engkau membunuh keledaiku dan meningalkanku sebatangkara di tengah-tengah pada pasir ini”.
Belum lagi Rabi’ah selesai dengan kata-katanya ini, tanpa diduga-duga keledai itu bergerak berdiri. Rabi’ah meletakkan barang-barang-nya ke atas punggung binatang itu dan melanjutkan perjalanannya. (Tokoh yang meriwayatkan kisah ini mengatakan bahwa tidak berapa lama setelah peristiwa itu, ia melihat keledai kecil tersebut sedang dijual orang di pasar).
Beberapa hari lamanya Rabi’ah meneruskan perjalanannya menempuh padang pasir, sebelum ia berhenti, ia berseru kepada Allah:
“Ya Allah, aku sudah letih. Ke arah manakah yang harus kutuju? Aku ini hanyalah segumpal tanah sedang rumah-Mu terbuat dari batu. Ya Allah, aku bermohon kepada-Mu, tunjukkanlah diri-Mu”.
Allah berkata ke dalam hati sanubari Rabi’ah: “Rabi’ah, engkau sedang berada di atas sumber kehidupan delapan belas ribu alam/dunia.
Tidakkah engkau ingat betapa Musa telah bermohon untuk melihat wajah-Ku dan gunung-gunung terpecah-pecah menjadi empat puluh keping. Karena itu merasa cukuplah engkau dengan nama-Ku saja!
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI RABI’AH
Pada suatu malam ketika Rabi’ah sedang shalat di sebuah pertapaan, ia merasa sangat letih sehingga ia jatuh tertidur. Sedemikian nyenyak tidurnya sehingga ketika matanya berdarah tertusuk alang-alang dari tikar yang ditidurinya, ia sama sekali tidak menyadarinya.
Seorang maling masuk menyelinap ke dalam pertapaan itu dan mengambil cadar Rabi’ah. Ketika hendak menyingkir dari tempat itu didapatinya bahwa jalan ke luar telah tertutup. Dilepaskannya cadar itu dan ditinggalkannya tempat itu dan ternyata jalan keluar telah terbuka kembali. Cadar Rabi’ah diambilnya lagi, tetapi jalan keluar tertutup kembali. Sekali lagi dilepaskannya cadar itu. Tujuh kali perbuatan seperti itu diulanginya. Kemudian terdengarlah olehnya sebuah suara dari pojok pertapaan itu.
“Hai manusia, tiada gunanya engkau mencoba-coba. Sudah bertahun-tahun Rabi’ah mengabdi kepada Kami. Syaithan sendiri tidak berani datang menghampirinya. Tetapi betapakah seorang maling memiliki keberanian hendak mencuri cadarnya? Pergilah dari sini hai manusia jahannam! Tiada gunanya engkau mencoba-coba lagi jika seorang sahabat sedang tertidur maka Sang Sahabat-nya bangun dan berjaga-jaga”.
Dua orang pemuka agama datang mengunjungi Rabi’ah dan keduanya merasa lapar. ”Mudah-mudahan Rabi’ah akan menyuguhkan makanan kepada kita”, mereka berkata. “Makanan yang disuguhkan Rabi’ah pasti diperolehnya secara halal”.
Ketika mereka duduk, di depan mereka telah terhampar serbet dan di atasnya ada dua potong roti. Melihat hal ini mereka sangat gembira. Tetapi saat itu pula seorang pengemis datang dan Rabi’ah memberikan kedua potong roti itu kepadanya. Kedua pemuka agama itu sangat kecewa, namun mereka tidak berkata apa-apa. Tak berapa lama kemudian masuklah seorang pelayan wanita membawakan beberapa buah roti yang masih panas.
“Majikanku telah menyuruhku untuk mengantarkan roti-roti ini kepadamu”, si pelayan menjelaskan. Rabi’ah menghitung roti-roti tersebut. Semua berjumlah delapan belas buah. “Mungkin sekali roti-roti ini bukan untukku”, Rabi’ah berkata.
Si pelayan berusaha meyakinkan Rabi’ah namun percuma saja. Akhirnya roti-roti itu dibawanya kembali. Sebenarnya yang telah terjadi adalah bahwa pelayan itu telah mengambil dua potong untuk dirinya sendiri. Kepada nyonya majikannya, ia meminta dua potong roti lagi kemudian kembali ke tempat Rabi’ah. Roti-roti itu dihitung oleh Rabi’ah, ternyata semuanya ada dua puluh buah dan setelah itu barulah ia mau menerimanya.
“Roti-roti ini memang telah dikirimkan majikanmu untukku”, kata Rabi’ah.
Kemudian Rabi’ah menyuguhkan roti-roti tersebut kepada kedua tamunya tadi. Keduanya makan namun masih dalam keadaan terheran-heran.
“Apakah rahasia di balik semua ini?”, mereka bertanya kepada Rabi’ah. “Kami ingin memakan rotimu sendiri tetapi engkau memberikannya kepada seorang pengemis. Kemudian engkau mengatakan kepada si pelayan tadi bahwa kedelapan belas roti itu bukanlah dimaksudkan untukmu. Tetapi kemudian ketika semuanya berjumlah dua puluh buah barulah engkau mau menerimanya”.
Rabi’ah menjawab: “Sewaktu kalian datang, aku tahu bahwa kalian sedang lapar. Aku berkata kepada diriku sendiri, betapa aku tega untuk menyuguhkan dua potong roti kepada dua orang pemuka yang terhormat? Itulah sebabnya mengapa ketika si pengemis tadi datang, aku segera memberikan dua potong roti itu kepadanya dan berkata kepada Allah Yang Maha Besar, ’Ya Allah, Engkau telah berjanji bahwa Engkau akan memberikan ganjaran sepuluh kali lipat dan janji—Mu itu kupegang teguh. Kini telah kusedekahkan dua potong roti untuk menyenangkan hati-Mu, semoga Engkau berkenan untuk memberikan dua puluh potong sebagai imbalanya’. Ketika kedelapan belas potong roti itu diantarkan kepadaku, tahulah aku bahwa sebagian daripadanya telah dicuri atau roti-roti itu bukan untuk disampaikan kepadaku”.
Pada suatu hari pelayan wanita Rabi`ah hendak memasak sup bawang karena telah beberapa lamanya mereka tidak memasak makanan. Ternyata mereka tidak mempunyai bawang. Si pelayan berkata kepada Rabi’ah: “Aku hendak meminta bawang kepada tetangga sebeIah”.
“Tetapi Rabi’ah mencegah: “Telah empat puluh tahun aku berjanji kepada Allah tidak akan meminta sesuatu pun kecuali kepada-Nya. Lupakanlah bawang itu”.
Segera setelah Rabi’ah berkata demikian, seekor burung meluncur dari angkasa, membawa bawang yang telah terkupas di paruhnya, lalu menjatuhkannya ke dalam belanga.
Menyaksikan peristiwa itu Rabi’ah berkata: “Aku takut jika semua ini adalah semacam tipu muslihat”.
Rabi’ah tidak mau menyentuh sup bawang tersebut. Hanya roti sajalah yang dimakannya.
Pada suatu hari Rabi’ah berjalan ke atas gunung. Segera ia dikerumuni oleh kawanan rusa, kambing hutan, ibeks (sebangsa kambing hutan yang bertanduk panjang) dan keledai-keledai liar.
Binatang-binatang ini menatap Rabi’ah dan hendak menghampirinya; Tanpa disangka-sangka Hasan al-Bashri datang pula ke tempat itu.
Begitu melihat Rabi’ah segera ia datang menghampirinya. Tapi setelah melihat kedatangan Hasan, Binatang-binatang tadi lari ketakutan dan meninggalkan Rabi’ah. Hal ini membuat Hasan kecewa, “Mengapakah binatang-binatang itu menghindari diriku sedang mereka begitu jinak terhadapmu?”, Hasan bertanya kepada Rabi’ah.
“Apakah yang telah engkau makan pada hari ini?”, Rabi’ah balik bertanya. “Sup bawang”. “Engkau telah memakan lemak binatang-binatang itu. Tidak mengherankan jika mereka lari ketakutan melihatmu”.
Di hari lain, ketika Rabi’ah lewat di depan rumah Hasan. Saat itu Hasan termenung di jendela. Ia sedang menangis dan air matanya menetes jatuh mengenai pakaian Rabi’ah. Mula-muIa Rabi’ah mengira hujan turun, tetapi setelah ia menengadah ke atas dan melihat Hasan, sadarlah ia bahwa yang jatuh menetes itu adalah air mata Hasan.
“Guru, menangis adalah pertanda dari kelesuan spiritual”, ia berkata kepada Hasan. “TahanIah air matamu. Jika tidak, di dalam dirimu akan menggelora samudera sehingga engkau tidak dapat mencari dirimu sendiri kecuali pada seorang Raja Yang Maha Perkasa”.
Teguran itu tidak enak didengar Hasan, namun ia tetap menahan diri. Di belakang hari ia bertemu dengan Rabi’ah di tepi sebuah danau. Hasan menghamparkan sajadahnya di atas air dan berkata kepada Rabi’ah, “Rabi’ah, marilah kita melakukan shalat sunnat dua raka’at di atas air! “.
Rabi’ah menjawab: “Hasan, jika engkau mempertontonkan kesaktian-kesaktianmu di tempat ramai ini, maka kesaktian-kesaktian itu haruslah yang tak dimiliki oleh orang-orang lain”.
Sesudah berkata Rabi’ah melemparkan sajadahnya ke udara, kemudian ia melompat ke atasnya dan berseru kepada Hasan: “Naiklah ke mari Hasan, agar orang-orang dapat menyaksikan kita”.
Hasan yang belum mencapai kepandaian seperti itu tidak dapat berkata apa-apa. Kemudian Rabi’ah mencoba menghiburnya dan berkata: “Hasan, yang engkau lakukan tadi dapat pula dilakukan oleh seekor ikan dan yang kulakukan tadi dapat pula dilakukan oleh seekor lalat. Yang terpenting bukanlah keahlian•keahIian seperti itu.
Kita harus mengabdikan diri kepada Hal-hal Yang Terpenting itu”. Pada suatu malam Hasan beserta dua tiga orang sahabatnya berkunjung ke rumah Rabi’ah. Tetapi rumah itu gelap, tiada berlampu. Mereka senang sekali seandainya pada saat itu ada lampu. Maka Rabi’ah meniup jari tangannya. Sepanjang malam itu hingga fajar, jari tangan Rabi’ah memancarkan cahaya terang benderang bagaikan lentera dan mereka duduk di dalam benderangnya.
Jika ada seseorang yang bertanya: “Bagaimanakah hal seperti itu bisa terjadi?”, maka jawabanku adalah: “Persoalannya adalah sama dengan tangan Musa”. jika ia kemudian menyangkal: “Tetapi musa adalah seorang Nabi!”, maka jawabanku: “Barangsiapa yang mengikuti jejak Nabi akan mendapatkan sepercik kenabian, seperti yang pernah dikatakan Nabi Muhammad sendiri, ’Barangsiapa yang menolak harta benda yang tidak diperoleh secara halal, walaupun harganya satu sen, sesungguhnya ia telah mencapai suatu tingkat kenabian. Nabi Muhammad juga pernah berkata, ’Sebuah mimpi yang benar adalah seperempat puluh dari kenabian “
Pada suatu ketika Rabi’ah mengirimkan sepotong lilin, sebuah jarum dan sehelai rambut kepada Hasan, dengan pesan:
“Hendaklah engkau seperti sepotong lilin, senantiasa menerangi dunia walaupun dirinya sendiri terbakar. Hendaklah engkau seperti sebuah jarum, senantiasa berbakti walaupun tidak memiliki apa-apa. Apabila kedua hal itu telah engkau lakukan, maka bagimu seribu tahun hanyalah seperti sehelai rambut ini”.
“Apakah engkau menghendaki agar kita menikah?” tanya Hasan kepada Rabi’ah.
“Tali pernikahan hanyalah untuk orang-orang yang memiliki keakuan. Di sini keakuan telah sirna, telaha menjadi tiada dan hanya ada melalui Dia. Aku adalah milik-Nya. Aku hidup di bawah naungan-Nya. Engkau harus melamar diriku kepada-Nya, bukan langsung kepada diriku sendiri”. “Bagaimanakah engkau telah menemukan rahasia ini, Rabi’ah?”, tanya Hasan. “Aku lepaskan segala sesuatu yang telah kuperoleh kepada-Nya”, jawab Rabi’ah. “Bagaimana engkau telah dapat mengenal-Nya?” “Hasan, engkau lebih suka bertanya, tetapi aku lebih suka tafakkur”, jawab Rabi’ah. Suatu hari Rabi’ah bertemu dengan seseorang yang kepalanya dibalut. “Mengapa engkau membalut kepalamu?”, tanya Rabi’ah “Karena aku merasa pusing”, jawab lelaki itu. “Berapakah umurmu?”, Rabi’ah bertanya Iagi. “Tiga puluh tahun”, jawabnya. “Apakah engkau banyak menderita sakit dan merasa susah di dalam hidupmu?” “Tidak,” jawabnya lagi. “Selama tiga puluh tahun engkau menikmati hidup yang sehat, engkau tidak pernah mengenakan selubung kesyukuran, tetapi baru malam ini saja kepalamu terasa pusing, engkau telah mengenakan selubung keluh kesah”, kata Rabi’ah.
Suatu ketika Rabi’ah menyerahkan uang empat dirham kepada seorang lelaki. “Berikanlah kepadaku sebuah selimut”, kata Rabi’ah, “karena aku tidak mempunyai pakaian lagi”. Lelaki itupun pergi, tetapi tidak lama kemudian ia kembali dan bertanya kepada Rabi’ah: “Selimut berwarna apakah yang harus kubeli?” “Apa perduliku dengan warna?!” Rabi`ah berkata. “Kembalikan uang itu kepadaku kembali”. Diambilnya keempat buah dirham perak itu dan dilemparkannya ke sungai Tigris.
Suatu hari di musim semi, Rabi’ah memasuki tempat tinggalnya, kemudian melongok ke luar karena pelayannya berseru: “Ibu, keluarlah dan saksikanlah apa yang telah dilakukan oleh Sang Pencipta”.
“Lebih baik engkaulah yang masuk ke mari”, Rabi’ah menjawab, “dan saksikanlah Sang Pencipta itu sendiri. Aku sedemikian asyik menatap Sang Pencipta sehingga apakah perduliku Iagi terhadap ciptaan-ciptaan-Nya?”.
Beberapa orang datang mengunjungi Rabi’ah dan menyaksikan betapa ia sedang memotong sekerat daging dengan giginya. “Apakah engkau tidak mempunyai pisau untuk memotong daging itu?”, mereka bertanya. , “Aku tak pernah menyimpan pisau di dalam rumah ini karena takut terluka”, jawab Rabi`ah
Rabi’ah berpuasa seminggu penuh. Selama berpuasa itu ia tidak makan dan tidak tidur. Setiap malam ia tekun melaksanakan shalat dan berdoa. Lapar yang dirasakannya sudah tidak tertahankan lagi.
Seorang tamu masuk ke rumah Rabi’ah membawa semangkuk makanan. Rabi’ah menerima makanan itu. Kemudian ia pergi meng- ambil lampu. Ketika ia kembali ternyata seekor kucing telah menumpahkan isi mangkuk itu.
“Akan kuambilkan kendi air dan aku akan berbuka puasa”, Rabi’ah berkata. Ketika ia kembali dengan sekendi air ternyata lampu telah padam. Ia hendak meminum air kendi itu di dalam kegelapan, tetapi kendi itu terlepas dari tangannya dan jatuh, pecah berantakan. Rabi’ah meratap dan mengeluh sedemikian menyayat hati seolah- olah sebagian rumahnya telah dimakan api.
Rabi’ah menangis: “Ya Allah, apakah yang telah Engkau per- buat terhadap hamba-Mu yang tak berdaya ini?”
“Berhati-hatilah Rabi’ah”, sebuah seruan terdengar di telinganya, “janganlah engkau sampai mengharapkan bahwa Aku akan menganugerahkan semua kenikmatan dunia kepadamu sehingga pengabdianmu kepada-Ku terhapus dari dalam hatimu. Pengabdian kepada-Ku dan kenikmatan-kenikmatan dunia tidak dapat dipadukan di dalam satu hati. Rabi’ah, engkau menginginkan suatu hal sedang Aku menginginkan hal yang lain Hasrat-Ku dan hasratmu tidak dapat dipadukan di dalam satu hati”.
Setelah mendengar celaan ini, Rabi’ah mengisahkan, “kulepaskan hatiku dari dunia dan kubuang segala hasrat dari dalam hatiku sehingga selama tiga puluh tahun yang terakhir ini, apabila melaku kan shalat, maka aku menganggapnya sebagai shalatku yang terakhir”.
Beberapa orang mengunjungi Rabi’ah untuk mengujinya. Mereka ingin memergoki Rabi’ah mengucapkan kata-kata yang tidak dipikirkannya terlebih dahulu.
“Segala macam kebajikan telah dibagi-bagikan kepada kepala kaum lelaki”, mereka berkata. “Mahkota kenabian telah ditaruh di kepala kaum lelaki. Sabuk kebangsawanan telah diikatkan di pinggang kaum lelaki. Tidak ada seorang perempuan pun yang telah diangkat Allah menjadi Nabi”.
“Semua itu memang benar”, jawab Rabi’ah. “Tetapi egoisme, memuja diri sendiri dan ucapan ’Bukankah aku Tuhanmu Yang Maha Tinggi?” tidak pernah membersit di dalam dada perempuan. Dan tak ada seorang perempuan pun yang banci. Semua ini adalah bagian kaum lelaki”.
Ketika Rabi’ah menderita sakit yang gawat. Kepadanya ditanya- kan apakah penyebab penyakitnya itu. “Aku telah menatap surga”, jawab Rabi’ah, “dan Allah telah menghukum diriku”.
Kemudian Hasan al-Bashri datang untuk mengunjungi Rabi’ah. “Aku mendapatkan salah seorang di antara pemuka-pemuka kota Bashrah berdiri di pintu pertapaan Rabi’ah. Ia hendak memberikan sekantong emas kepada Rabi’ah dan ia menangis”, Hasan mengisahkan. “Aku bertanya kepadanya: ’Mengapakah engkau menangis?’. ’Aku menangis karena wanita suci zaman ini’, jawabnya.
’Karena jika berkah kehadirannya tidak ada lagi, celakalah ummat manusia. Aku telah membawakan uang sekedar untuk biaya perawatannya’, ia melanjutkan, ‘tetapi aku kuatir kalau-kalau Rabi’ah tldakmau menerimanya. Bujuklah Rabi’ah agar ia mau menerima uangini’ “.
Maka masuklah Hasan ke dalam pertapaan Rabi’ah dan mem- bujuknya untuk mau menerima uang itu. Rabi’ah menatap Hasan dan berkata, “Dia telah menafkahi orang-orang yang menghujjah- Nya. Apakah Dia tidak akan menafkahi orang-orang yang mencintai- Nya? Sejak aku mengenal-Nya, aku telah berpaling dari manusia ciptaan-Nya. Aku tidak tahu apakah kekayaan seseorang itu halal atau tidak, maka betapakah aku dapat menerima pemberiannya?
Pernah aku menjahit pakaian yang robek dengan diterangi lampu dunia. Beberapa saat hatiku lengah tetapi akhirnya akupun sadar. Pakaian itu kurobek kembali pada bagian-bagian yang telah kujahit itu dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepadanya agar ia tidak membuat hatiku lengah lagi”.
Abdul Wahid Amir mengisahkan bahwa ia bersama Shofyan ats-Tsauri mengunjungi Rabi’ah ketika sakit, tetapi karena me- nyeganinya mereka tidak berani menegurnya atau menyapa Rabi’ah. “Engkaulah yang berkata”, kataku kepada Shofyan. ’”Jika engkau berdoa”, Shofyan berkata kepada Rabi’ah, “niscaya penderitaanmu ini akan hilang”. Rabi’ah menjawab: “Tidak tahukah engkau siapa yang meng- hendaki aku menderita seperti ini? Bukankah Allah?” “Ya”, Shofyan membenarkan. “Betapa mungkin, engkau mengetahui hal ini, menyuruhku untuk memohonkan hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya? Bukankah tidak baik apabila kita menentang Sahabat kita sendiri?” “Apakah yang engkau inginkan, Rabi’ah?”, Shofyan bertanya pula.
“Shofyan, engkau adalah seorang yang terpelajar! Tetapi meng- apa engkau bertanya ‘Apakah yang engkau inginkan?’. Demi kebesaran Allah”, Rabi’ah berkata tandas, “telah dua belas tahun lamanya aku menginginkan buah korma segar. Engkau tentu tahu bahwa di kota Bashrah buah korma sangat murah harganya, tetapi hingga saat ini aku tidak pernah memakannya. Aku ini hanyalah hamba-Nya dan apakah hak seorang hamba untuk menginginkan sesuatu? Jika aku menginginkan sesuatu sedang Allah tidak menginginkannya, maka kafirlah aku. Engkau harus menginginkan segala sesuatu yang diinginkan-Nya semata-mata agar engkau dapat menjadi hamba-Nya yang sejati. Tetapi lain lagi persoalannya jlka Tuhan sendiri mem- berikannya”.
Shofyan terdiam. Kemudian ia berkata kepada Rabi’ah: “Karena aku tak dapat berbicara mengenai dirimu, maka engkaulah yang berbicara mengenai diriku”. “Engkau adalah manusia yang baik kecuali dalam satu hal: engkau mencintai dunia. Engkau pun suka membacakan hadits-hadits”. Yang terakhir ini dikatakan Rabi’ah dengan maksud bahwa membacakan hadits-hadits tersebut adalah suatu perbuatan yang mulia.
Shofyan sangat tergugah hatinya dan berseru: “Ya Allah, kasihilah aku!” Tetapi Rabi’ah mencela: “Tidak malukah engkau mengharapkan kasih Allah Sedang engkau sendiri tidak mengasihi-Nya?”
Malik bin Dinar berkisah sebagai berikut: Aku mengunjungi Rabi’ah. Kusaksikan dia menggunakan gayung pecah untuk minum dan bersuci, sebuah tikar dan sebuah batu bata yang kadang-kadang dipergunakannya sebagai bantal. Menyaksikan semua itu hatiku men- jadi sedih.
“Aku mempunyai teman-teman yang kaya”, aku berkata kepada Rabi’ah. ”Jika engkau menghendaki sesuatu akan kuminta- kan kepada mereka”. “Malik, engkau telah melakukan kesalahan yang besar”, jawab Rabi’ah. ”Bukankah“ yang menafkahi aku dan yang menafkahi mereka adalah satu?” “Ya”, jawabku. ”Apakah yang menafkahi orang-orang miskin itu lupa kepada orang-orang miskin karena kemiskinan mereka? Dan apakah Dia ingat kepada orang-orang kaya karena kekayaan mereka?”, tanya Rabi’ah. “Tidak”, jawabku. “Jadi”, Rabi’ah meneruskan, “karana Dia mengetahui keadaanku, bagaimanakah aku harus mengingatkan-Nya? Beginilah yang dikehendaki-Nya, dan aku menghendaki seperti yang dikehendaki_Nya”.
Pada suatu hari, Hasan al-Bashri, Malik bin Dinar dan Syaqiq al-Balkhi mengunjungi Rabi’ah yang sedang terbaring dalam keadaan sakit. , “Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak tabah menangung cambukan Allah”, kata Hasan memulai pembicaraan. “Kata-katamu itu berbau egoisme”, Rabi’ah membalas. Kemudian giliran Syaqiq untuk mcncoba: “Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak bersyukur karena cambukan Allah”. “Ada yang lebih baik daripada itu”, jawab Rabi”ah.
Malik bin Dinar maju: “Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak: merasa bahagia ketika menerima cambukan Allah? “Masih ada yang lebih baik daripada itu”, Rabi’ah mengulangi jawabannya. “Jika demikian, katakanlah kepada kami”, mereka mendesak Rabi’ah. Maka berkatalah Rabi’ah: ”Seorang manusia tidak dapat dipcercaya kata-katanya jika ia tidak lupa kepada cambukan Allah, ketika ia merenungkan-Nya”.
Seorang cendekia terkemuka di kota Bashrah mengunjungi Rabi’ah yang sedang terbaring sakit. Sambil duduk di sisi tempat tidur Rabi’ah ia mencaci maki dunia. Rabi’ah berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau sangat mencintai dunia ini. jika engkau tidak mencintai dunia tentu engkau tidak akan menyebut-nyebutnya berulangkali seperti ini.
Seorang pembelilah yang senantiasa mencela barang-barang yang hendak dibelinya. jika engkau “tidak merasa berkepentingan dengan dunia ini tentulah engkau tidak akan memuji-muji atau memburuk-burukkannya. Engkau menyebut-nyebut dunia ini seperti kata sebuah peribahasa, ’barangsiapa mencintai sesuatu hal maka ia sering menyebut-nyebutnya”.
Ketika tiba saatnya Rabi’ah harus meninggalkan dunia fana’ ini, orang-orang yang menungguinya meninggalkan kamarnya dan menutup pintu kamar itu dari luar. Setelah itu mereka mendengar suara yang berkata: “Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu, dengan berbahagia”.
Beberapa saat kemudian tak ada lagi suara yang terdengar dari kamar Rabi’ah. Mereka lalu membuka pintu kamar itu dan mendapatkan Rabi’ah telah berpulang.
Setelah Rabi’ah meninggal dunia, ada yang bertemu dengannya dalam sebuah mimpi. Kepadanya ditanyakan, “Bagaimanakah engkau menghadapi Munkar dan Nakir?”.
Rabi’ah menjawab: “Kedua malaikat itu datang kepadaku dan bertanya: ’Siapakah Tuhanmu?’. Aku menjawab: Pergilah kepada Tuhanmu dan katakan kepada-Nya: ’Dia antara beribu-ribu makhluk yang ada, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah. Aku hanya memiliki Engkau di dunia yang luas, tidak pernah lupa kepada-Mu, tetapi mengapakah Engkau mengirim utusan sekedar menanyakan ’siapakah Tuhanmu’ kepadaku?’ “
DOA-DOA RABI’AH
“Ya Allah, apa pun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan apa pun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti,berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu, karena Engkau sendiri cukuplah bagiku”.
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku”.
”Ya Allah, semua jerihpayahku dan semua hasratku di antara segala kesenangan-kesenangan dunia ini adalah untuk mengingat Engkau. Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan akhirat, adalah untuk berjumpa dengan-Mu. Begitulah halnya dengan diriku, seperti yang telah kukatakan. Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki”.[]
CATATAN MENGENAI ANEKDOT-ANEKDOT
“Kelahiran Rabi’ah”: T.A., I, 59-61. Tampaknya Attar telah menemukan sebuah monografi mengenai kehidupan dan perbuatan-perbuatan Rabi’ah yang selama ini dianggap hilang. Hal ini jelas terlihat karena banyak detail-detail di dalam biografl ini tidak dapat kita jumpai di dalam sumber-sumber yang lain.
“Anekdot-Anekdot Mengenai Rabi’ah: T.A., I, 63-66, 68-72. Klsah seorang maling yang hendak mencuri cadar Rabi’ah diulangi lagi oleh Attar di dalam karyanya yang berjudul Mushibat-nama (Teheran, 1338), halaman 335.
Kisah Hasan yang menyaksikan Rabi’ah sedang dikerumuni binatang-binatang buas, diuIangi di dalam Ilahi-nama (Iihat halaman 7 untuk data-data publikasi-nya), halaman 96-97; dan di dalam karya terjemahannya pada halaman 166-167). “Pada Raja Yang Maha Perkasa”`adalah ayat aI-Qur`an, 54: 55. Kisah seorang yang bertamu pada suatu hari di musim semi, diulangi Attar di dalam Mushibat-nama, halaman 198. Kisah mengenai lampu, tempayan dan kucing diulangi di dalam Ilahi-nama, halaman 128-129; dan di dalam karya terjemahan nya halaman 208-209. ”Bukankah Aku Tuhanmu Yang Maha Tinggi” adalah dari aI-Qur’an, 79; 24, yaitu kata-kata yang diucapkan Fir’aun. Kisah Rabi’ah yang dinasehati ketika sakit dapat diketemukan di dalam karya aI-Qushairi, op.cit, halaman 136. Kisah mengenai Rabi’ah yang “menjahit pakaian” berasal dari karya al-Qushairi, op.cit., halaman 64. Betapa Rabi’ah tidak menyetujui Shofyan ats-Tsauri yang menghapal hadits-hadits Nabi disebutkan di dalam karya Abu Thalib aI-Makkiy yang berjudul Quthul Qulub, (Cairo, 1310 H), I, 156.
“Wahai jiwa yang tenteram damai’ adalah dari aI-Qur’an, 89: 27. Munkar dan Nakir adalah dua malaikat yang akan menginterograsi manusia yang baru mati di dalam kubur.
”Doa-Doa Rabi’ah”: T.A., I, 73.
Rabiah adalah salah satu tokoh sufi wanita pada zamannya,beliau dilahirkan di kota Basrah tahun 95 hijriyah,dan putri ke 4 dari seorang lelaki bernama,Ismail Adawiyah.Beliau hidup dalam kemiskinan dan lingkungan yang serba kurang bahkan ketika Rabiah lahir lampu untuk menerangi saat kelahirannyapun tidak ada. Rabiah yang lahir dalam keadaan miskin tapi kaya akan iman dan peribadatan kepada Allah.
Ayahnya hanya seorang yang bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan. Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah, yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlomba-lomba mencari kekayaan. Sebab itu kejahatan dan maksiat tersebar luas.
Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali. Namun begitu, Allah telah memelihara sebahagian kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri daripada lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan waktu dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafsu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat. Ayahanda Rabi’ah merupakan hamba yang sangat taat dan taqwa,hidup jauh dari kemewahan dunia dan tidak pernah berhenti bersyukur kepada Allah. Beliau mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih. Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata. Natijahnya Rabi’ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi al-Quran sehigga berhasil menghafal kandungan al-Quran.
Sejak kecil Rabi’ah sudah berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam. Memasuki masa kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit,dan semakin sulit setelah beliau ditinggal ayah dan ibunya,dipanggil Allah. Dan ujian2 lain yang menguji keteguhan imannya,sampai dia sanggup,untuk menjadi hamba sahaya dari seorang kaya raya pada zaman itu,dan ini terjadi karena penderitaan kemiskinan yang dideritanya.
Cobaan demi cobaan dilalui Rabiah dalam menjalani hidupnya yang sarat akan penderitaan dan karena beliau pinter memainkan alat musik, maka majikannya semakin menjadikannya sumber mencari uang dengan keahlian yang dimiliki Rabiah.
Dalam keadaan hidup yang keras dan serba terkekang sebagai hamba sahaya,membuat Rabiah mendekatkan diri kepada Allah, dan selalu menyempatkan waktunya yang luang untuk terus bermohon kepada Allah, baik pagi maupun petang,malam dan siang. Amalannya tidak hanya sebatas berdoa saja tapi sepanjang hari dan sepanjang ada waktu dia senantiasa selalu berzikir dan berdoa, dan selalu melaksanakan amalan-amalan sunat lainnya dan saat melakukan sholat sepanjang sholat airmatanya selalu membasahi sajadahnya, air mata kerinduan kepada Allah sang Khaliq yang di rinduinya.
Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam dunia maksiat. Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan dasar keimanan yang kuat dan belum padam di hatinya, dia dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat. Saat2 taubat inilah yang mungkin dapat menyadarkan serta mendorong hati bagaimana merasai cara berkomunikasi yang baik antara seorang hamba rabiah dengan sang Khaliq Allah swt dan selayaknya seorang hamba bergantung harapan kepada belas ihsan Rabbnya.
Kecintaan Rabiah kepada Allah mengalahkan hidup dan kecintaannya kepada dunia dan isinya, hari-harinya habis untuk berkomunikasi dengan Allah betapa dia merasa dirinya adalah milik Allah hingga ada beberapa pemuda ingin melamarnya di tolaknya dengan halus.
Beliau selalu berbicara dengan Allah seolah-olah dekat sekali dengan Allah dengan bahasa yang indah dan doa-doa yang sangat menyentuh hati dan kata pujian seperti layaknya kerinduan seseorang kepada kekasih hatinya.Salah satu kata-kata Rabiah ketika ber munajat sambil air matanya mengalir. “Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun, Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun, Kekasihku ghaib dari penglihatanku dan peribadiku sekalipun, Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.” Ya Tuhanku! Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu.”
Rabiah banyak menolak lamaran yang datang kepada nya, dengan inilah alasannya: “Perkawinan itu memang perlu bagi siapa yang mempunyai pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak mempunyai apa-apa pun.” Rabi’ah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata- mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi’ah telah mematikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata.
Selam 30 tahun selalu doa ini yang senantiasa di ulang-ulang ketika dalam sholatnya “Ya Tuhanku! Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu.” Di antara syairnya yang masyhur berbunyi:
“Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun, Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun, Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun, Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.”
Rabi’ah sangat luar biasa di dalam mencintai Allah. Beliau menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Beliau memulaikan pemahamannya tentang sufinya dengan menanamkan rasa takut dari murka Allah seperti yang pernah ungkapkannya dalam doa-doa beliau. “Wahai Tuhanku! Apakah Engkau akan membakar dengan api hati yang mencintai-Mu dan lisan yang menyebut- Mu dan hamba yang takut kepada-Mu?” Kecintaan Rabi’ah kepada Allah bukan karena pengharapan untuk beroleh syurga Allah semata-mata,tapi sudah menjadi kewajiban baginya “Jika aku menyembah-Mu kerana takut daripada api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu kerana mengharap syurgaMu maka jauhkan aku dari syurgaMu ! Tetapi jika aku menyembah- Mu kerana kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
Begitulah keadaan kehidupan Rabi’ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada- Nya.
Rabi’ah meninggal dunia pada 135 Hijrah yaitu ketika usianya menjangkau 80 tahun. Moga-moga Allah meridha beliau, amin. Untuk itu mari kita merenung adakah kita sadar akan sebuah hakikat yang ada di sebut dalam surat al Imran ayat 142, ”Apakah kamu mengira bahawa kamu akan masuk syurga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang yang sabar.”(QS. Ali-Imron[3]:142)
Bagaimana perasaan kita apabila orang yang kita kasihi menyinggung perasaan kita? Adakah kita terus berkecil hati dan meletakkan kesalahan kepada orang tesrbut? Tidakkah terpikir oleh kita untu merasakan dalam hati dan berdoa, “Ya Allah! Ampunilah aku. Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kasih-Mu yang abadi dan hanya hidup di sisi-Mu saja yang kekal. Selamatkanlah aku dari tipu daya yang mengasyikkan.”
Sesungguhnya hendaklah kecintaan kepada Allah benar-benar dapat kita tanamkan kepada diri kita bukan hanya sekedar sholat dan puasa atau ibadah ritual lainnya tapi yakin kan diri semakin kita mengenal Allah dengan dekat maka semakin ingin kita bertemu dan akan ada kerinduan untuk bertemu sang Khaliq.
BIBLIOGRAFI M. Smith, Rabi’a the Mystic: and her Fellow-saints in Islam, (Cambridge, 1928). ‘L.Massignon, Essay, halaman 193-197. Ibnu Khallikan, Wafayatul A’yan, (Cairo, 1948), no. 217. Al-Yafi’i, op.cit., I, 281. jami, Nafahatul Uns, (Tcheran, 1336), halaman 615-616. Ibnul ’Imad, Shadaratudz Dzahab, (Cairo, 1350-1351 H), I, 193.
|
Posting Komentar
Posting Komentar