Ahli ilmu telah meriwayatkan tentang karamah itu bagi sebagian orang salaf yang shaleh yang mereka dapatkan setelah mereka meninggal. Orang-orang yang bisa dipercaya telah menuqil karamah-karamah itu dari orang-orang yang bisa dipercaya lainnya yang melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri, dan sebagian dari karamah itu dari Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, dia berkata dalam kitab Ahkam Tamanni Al Maut (Hukum mengharap kematian) yang terkandung didalam kumpulan karangan dia:
Shalat didalam Kubur
Dari Ahmad dari ‘Affan dari Hammad dari Tsabit, dia berkata, “Ya Allah, jika Engkau memberikan kepada seseorang bisa shalat didalam kuburnya maka berikanlah aku karunia untuk shalat didalam kuburku.”
Dari Abu Na’im dari Jubair, dia berkata, “Aku –demi Allah dzat yang tiada Tuhan selain Dia- telah memasukkan Tsabit Al Bunnani kedalam liang kuburnya dan bersamaku adalah Hamid al Thawil. Ketika aku memeratakan batu bata yang belum dibakar (gelu: jawa) salah satu dari batu bata itu terjatuh dan ternyata aku melihat dia sedang shalat didalam kuburnya.”
Membaca Al Qur’an
Dari Abu Na’im dan Ibnu Jarir dari Ibrahim bin al Mahlabi, dia berkata, “Telah bercerita kepadaku orang-orang yang telah melewati makam diwaktu sahur. Mereka berkata, “Ketika kami sedang melewati makam Tsabit al Bunnani, kami mendengar bacaan Al Qur’an dari dalam kuburnya.”
Dari al Tirmidzi dan dia menghasankannya dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Sebagian sahabat Nabi saw telah membangun tendanya diatas makam dan dia tidak menyangka kalau itu adalah sebuah makam. Dan ternyata didalamnya terdapat seseorang yang sedang membaca surat al Mulk hingga selesai. Kemudian dia mendatangi Nabi saw dan menceritakan kejadian itu kepada beliau lalu beliau bersabda, (“Surat al Mulk adalah yang mencegah dan yang menyelamatkan. Surat itu menyelamatkan dia dari siksa kubur.”).
Dari al Nasa’i dan al Hakim dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah saw telah bersabda, yang artinya :
(“Aku tertidur kemudian aku melihat diriku berada disurga, –Lafal Al Nasa’i: aku masuk surga- lalu aku mendengar suara orang yang sedang membaca. Aku bertanya, “Siapa dia?” Para penghuni surga menjawab, “Dia adalah Haritsah bin Al Nu’man.”) Lalu Rasulullah saw bersabda, (“Akan seperti itulah orang yang berbakti kepada orang tuanya.”), Kalimat itu beliau ucapkan sebanyak tiga kali. Dan Haritsah bin Al Nu’man adalah orang yang paling berbakti kepada ibunya.”
Dari Ibnu Abu al Dunia dari al hasan, dia berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa seorang mukmin ketika meninggal dan dia belum hapal al Qur’an, maka malaikat penjaganya akan disuruh untuk mengajarkan kepada dia al Qur’an didalam kuburnya hinnga Allah membangkitkan dia dihari kiamat beserta keluarganya.” Dan dari Ibnu Abu al Dunia dari Yazid al Raqasyi semisal cerita itu dan al Salafi telah meriwayatkan cerita yang semakna dengan cerita itu dari marasil-nya Athiyyah al ‘Aufa.
Saling Berkunjungnya Para Penghuni Kubur
Dari Ibnu Abu Syaibah dari Ibnu Sirin, dia berkata, “Dia sangat meyukai kain kafan yang bagus.” Dia berkata, “Mereka –para penghuni kubur- saling berkunjung dengan memakai kafan mereka.” Arti cerita itu, seperti dijelaskan dalam Musnad Ibnu Abu Usamah dari Jabir secara marfu’, adalah mereka saling membanggakan kain kafannya dan saling berkunjung didalam kuburnya.
Dari al Tirmidzi, Ibnu Maajah dan Muhammad bin Yahya al Hamdani dalam shahihnya dari Abu Qatadah secara marfu’, (Ketika salah satu dari kalian menjadi wali dari saudaranya maka perbaguslah kain kafannya, karena mereka -para penghuni kubur- akan saling berkunjung didalam kuburnya.)
Kiriman Dari Dunia Ke alam Barzah Bersama Mayit
Ibnu Abu al Dunia telah mengeluarkan dengan sanad yang tidak ada cacat didalamnya dari Rasyid bin Sa’ad, Sesungguhnya seseorang telah meninggal istrinya lalu didalam mimpinya dia melihat banyak wanita, namun dia tidak melihat istrinya bersama mereka. Dia bertanya kepada mereka tentang keadaan istrinya dan mereka menjawab, “Kalian telah sangat pendek dalam mengkafani dia, makanya dia malu untuk keluar bersama kami.” Lalu orang itu mendatangi Nabi saw dan menceritakan kejadian itu kepada beliau. Beliau bersabda, (“Lihatlah apakah ada orang bisa dipercaya untuk bisa menyampaikannya?”) Dia lalu mendatangi seorang lelaki dari Anshor yang sedang sakaratul maut. Dia lalu bercerita kepada orang itu tentang kejadian yang telah menimpa kepadanya. Lelaki Anshor itu lalu berkata, “Jika ada seseorang yang bisa menyampaikan kepada orang yang sudah mati, maka pasti aku akan menyampaikannya.” Orang Anshor itu kemudian meninggal. Kemudian orang itu datang dengan membawa dua kain kafan baru yang diberi minyak za’faran lalu dia menaruh kain itu dikafan orang Anshor yang baru meninggal itu. Ketika malam tiba, dia melihat para wanita dan ada bersama mereka istrinya dengan memakai dua baju kuning.”
Ibnu Al Juzy telah meriwayatkan cerita dari Muhammad bin Yusuf al Faryabi tentang perempuan yang melihat ibunya didalam mimpi yang mengadukan kafannya kepada dia. Perempuan itu lalu mengadukannya kepada Muhammad dan bertanya kepadanya. Dalam cerita itu ibunya bertanya kepada dia, “Belikan kain kafan untukku dan kirimkan kain itu bersama Fulanah.” Al Faryabi berkata, “Lalu aku ingat pada hadits, (“Sesungguhnya mereka saling berkunjung dengan memakai kafan mereka.”) Kemudian aku berkata, “Belikan untuknya kain kafan kemudian titipkan kepada perempuan itu.” Kemudian seorang wanita dihari yang sang ibu sebut itu meninggal, lalu perempuan itu menaruh kafan itu bersamanya.
Cahaya Diatas Kubur
Dari Ibnu Abu al Dunia dari Abu Ghalib -teman Abu Umamah- Sesungguhnya seorang pemuda di Syam sedang sakaratul maut. Dia berkata kepada pamannya, “Beritahu aku kalau Allah menyerahkan aku kepada ibuku, maka apa yang akan dia perbuat?” Dia menjawab, “Ketika itu benar terjadi, demi Allah, dia akan memasukkan kamu kedalam surga.” Pemuda itu berkata, “Demi Allah, Sesungguhnya Allah adalah dzat yang lebih sayang kepadaku dibandingkan ibuku.” Pemuda itu kemudian meninggal. Aku dan pamannya yang memasukkan dia kedalam liang kuburnya lalu aku berkata, “Berikan batu bata mentah kepadaku.” Kami pun menatanya kemudian sebuah batu bata jatuh dan pamannya melompat kebelakang dan aku berkata kepadanya, “Ada apa denganmu?” Dia menjawab, “Kubur dia dipenuhi dengan cahaya dan Allah telah melonggarkan kuburnya sepanjang mata memandang.”
Dari Abu Daud dan lainnya dari Aisyah, dia berkata, “Ketika al Najasyi meninggal, kami sedang berbincang: “Tidak henti-hentinya cahaya berada diatas kuburnya.”
Dalam Tarikh Ibnu ‘Asakir dari Abdurrahman bin Ammarah, dia berkata, “Telah datang jenazahnya al Ahnaf bin Qays dan aku termasuk orang yang turun kedalam kuburnya. Ketika aku memeratakannya aku melihat kuburnya telah menjadi longgar sepanjang mata memandang. Kemudian aku menceritakan kejadian itu kepada teman-temanku dan mereka tidak pernah melihat apa yang telah aku lihat.”
Dari Ibrahim al Ahnafi, dia berkata, “Ketika Mahan al Hanafi disalib dipintunya, maka kami melihat cahaya berada disisinya dimalam hari.”
| Al Qur'an Bukan Makhluk
Termasuk beriman kepada Allah dan kepada kitab-kitab Allah ialah, beriman bahwa al-Qur`an Kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk. Dari Allah al-Qur`an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya, Allah berbicara dengan al-Qur`an ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Qur`an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya. Tidak boleh melepaskan kata-kata bahwa al-Qur`an adalah hikayat dari kalam Allah atau ungkapan tentang kalam Allah. Bahkan apabila manusia membacanya atau menuliskannya dalam mushaf-mushaf, al-Qur`an tetap tidak keluar dengan demikian dari keadaannya sebagai kalam Allah yang sebenarnya. Sesungguhnya suatu perkataan hanya akan disandarkan secara hakiki kepada yang sejak semula mengatakannya, dan tidak disandarkan kepada orang yang mengatakannya sebagai penyampai. Al-Qur`an adalah kalam Allah; baik huruf-hurufnya maupun makna-maknanya. Kalam Allah bukan hanya huruf-huruf saja tanpa makna, dan bukan pula makna-makna saja tanpu huru
Penulisan Al-Qur'an Dan Pengumpulannya
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah. Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!”
Surat-Surat Makkiyah Dan Madaniyah
Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah memakai konteks kalimat tegas dan lugas karena kebanyakan obyek yang didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya cocok mempergunakan konteks kalimat yang tegas. Baca surat Al-Muddatstsir dan surat Al-Qamar. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan mempergunakan konteks kalimat yang lunak karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan taat. Baca surat Al-Maa’idah. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah ayat-ayat pendek dan argumentatif, karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari, sehingga konteks ayatpun mengikuti kondisi yang berlaku. Baca surat Ath-Thuur. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan adalah ayat-ayat pendek, penjelasan tentang hukum-hukum dan tidak argumentatif, karena disesuaikan dengan kondisi obyek yang didakwahi. Baca ayat tentang hutang-piutang dalam surat Al-Baqarah.
Israiliyyat
Israiliyyat adalah : berita-berita yang dinukil dari Bani Israil, kebanyakan dari Yahudi atau dari Nasrani. Ini terbagi menjadi tiga macam, misalnya, Israiliyyat yang diakui dan dibenarkan oleh Islam, maka hal itu benar. Contohnya : Riwayat Bukhari dan selainnya dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Datang salah seorang Habr kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan : “Wahai Muhammad, sesungguhnya kami mendapati (dalam Kitab kami) bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan langit-langit pada satu jari, bumi-bumi di satu jari, pohon-pohon di satu jari, air dan hasil bumi di satu jari, dan seluruh makhluk di satu jari, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Akulah Raja”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya karena membenarkan perkataan sang Habr.
Bentuk-Bentuk Ayat Mutasyabih Dalam Al-Qur'an
Mutasyabih yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam, yang pertama ; Hakiki, yaitu apa yang tidak dapat diketahui dengan nalar manusia, seperti hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Walau kita mengetahui makna dari sifat-sifat tersebut, namun kita tidak pernah tahu hakikat dan bentuknya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” . Oleh karena itu ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy”, Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam ? Beliau menjawab : “Bersemayam menurut bahasa telah diketahui artinya, hakikatnya tidak diketahui, iman kepadanya hukumnya wajib dan mempertanyakannya adalah bid’ah”
Al-Qur'an Muhkam Dan Mutasyabih
Dilihat dari sisi pandang, muhkam dan mutasyabih, Al-Qur’an terbagi dalam tiga bentuk. Pertama : Muhkam. Umumnnya merupakan ciri Al-Qur’an secara keseluruhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu” . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah” . Artinya adalah indah dalam bentuk dan susunan kata serta maknanya. Al-Qur’an berada di puncak nilai kefasihan dan sastra ; berita-beritanya secara keseluruhan adalah benar dan bermanfaat, tidak ada dusta, kontradiksi dan main-main yang tidak ada manfaatnya, hukum-hukumnya secara keseluruhan adalah adil, tidak ada kedzaliman, kontradiksi atau kesalahan.
Bolehkah Menafsirkan Al-Qur'an Al-Karim Dengan Teori Ilmiah?
Menafsirkan Al-Qur’an dengan teori ilmiah mengandung bahaya. Karena, jika kita menafsirkan Al-Qur’an dengan teori tersebut kemudian datang teori lain yang menyelisihinya, maka konsekwensinya adalah Al-Qur’an menjadi tidak benar dalam pendangan musuh-musuh Islam. Adapun dalam pandangan kaum muslimin, mereka akan mengatakan bahwa kesalahan terletak pada orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan teori tadi, akan tetapi musuh-musuh Islam akan selalu menunggu kesempatan. Oleh karena itu, saya mengingatkan dengan amat sangat agar tidak tergesa-gesa dalam manafsirkan Al-Qur’an dengan teori ilmiah ini. Apabila Al-Qur’an terbukti dalam realita maka kita tidak perlu mengatakan bahwa Al-Qur’an telah menetapkan realita itu.
Apakah Pemberian Sakl [Harakat Tanda Baca] Dan Titik Dalam Al-Qur'an Termasuk Bid'ah?
Umat Islam diperintahkan untuk menjaga Al-Qur’an, baik dalam penulisan maupun tilawah, dan membacanya sesuai dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sungguh dahulu bahasa para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah bahasa Arab yang salimah (baik dan benar) karena sangat sedikit orang dari luar Arab di antara mereka. Perhatian mereka dengan tilawah (bacaan) seperti yang diturunkan sangat luar biasa. Yang demikian itu berlangsung terus sampai masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan belum dikhawatirkan terjadi lahn (kesalahan) dalam membaa Al-Qur’an. Pada masa itu tulisan masih asli tanpa titik dan harakat dan bukan suatu yang sulit bagi mereka untuk membacanya. Akan tetapi, ketika sampai pada kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan dan semakin banyak kaum muslimin dari luar Arab maka mulai dikhawatirkan terjadi lahn dalam membaca.
Mengompromikan Antara Dua Ayat Yang Berlawanan ?
Kedua ayat tersebut sama sekali tidak berlawanan. Karena ayat pertama menerangkan tentang orang yang mati dalam keadaan musyrik dan belum bertaubat. Orang seperti ini tidak akan diampuni oleh Allah dan tempatnya adalah neraka sebagaimana firman Allah. "Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolongnya". Dan firman Allah. "Seandainya mereka berbuat syirik niscaya hapuslah seluruh amalan yang telah mereka kerjakan". Dan ayat-ayat yang semakna dengan ayat tersebut jumlahnya cukup banyak.
Kilas Kontradiksi Dalam Al-Qur'an
Kontradiksi dalam Al-Qur'an adalah jika ada dua ayat yang saling bertolak-belakang, yaitu petunjuk ayat yang satu menjadi penghalang bagi petunjuk ayat yang lain, seperti jika ayat yang satu menetapkan akan sesuatu hal sementara ayat yang lain meniadakannya. Tidak akan mungkin terdapat dalam Al-Qur'an kontradiksi antara dua ayat yang petunjuknya adalah berita, karena hal itu mengharuskan salah satunya adalah dusta dan itu mustahil terjadi pada berita-berita Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan tidak mungkin juga terjadi kontradiksi dalam Al-Qur'an antara dua ayat yang petunjuknya adalah penetapan hukum, karena ayat yang paling akhir adalah nasikh bagi ayat yang datang sebelumnya.
Hukum Sesuatu Yang Tidak Terdapat Dalam Al-Qur'an
Sesungguhnya merupakan sesuatu hal yang wajib diketahui bahwa agama Islam disyari'atkan sejak diutusnya Nabi hingga datangnya hari kiamat. Seandainya setiap kejadian yang terjadi itu dinashkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka tentulah Al-Qur'an akan menjadi berjilid-jilid tanpa batas, dan As-Sunnah pun akan menjadi seperti itu. Akan tetapi syariat Islam -salah satu kekhususannya- adalah ia merupakan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum. Dan masuklah ke dalam kaidah dan prinsip umum ini berbagai masalah (juz'iyat) yang tak dapat dihitung kecuali oleh Allah Azza wa Jalla. Maka (dalam masalah rokok ini) hendaklah kita merujuk kepada firman Allah Azza wa Jalla.
Apa Yang Harus Dilakukan Untuk Dapat Menafsirkan Al-Qur'an ?
Metode menafsirkan Al-Qur'an adalah. Pertama : Adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa : ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kedua. : Adalah dengan penafsiran para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu. Ibnu Mas'ud termasuk sahabat yang menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur'an serta cara memahaminya dan juga cara menafsirkannya. Sedangkan mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud pernah berkata : "Dia adalah penerjemah Al-Qur'an". Oleh karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain.
Apa Hukumnya Mencium Mushaf Al-Qur'an Yang Sering Dilakukan Sebagian Kaum Muslimin ?
Banyak orang yang berpendapat bahwa mencium mushaf adalah merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan Al-Qur'an. Betul ...!, kami sependapat bahwa itu sebagai penghormatan terhadap Al-Qur'an. Tapi yang menjadi masalah : Apakah penghormatan terhadap Al-Qur'an dengan cara seperti itu dibenarkan .? Seandainya mencium mushaf itu baik dan benar, tentu sudah dilakukan oleh orang yang paling tahu tentang kebaikan dan kebenaran, yaitu Rasulullah ? dan para sahabat, sebagaimana kaidah yang dipegang oleh para ulama salaf. "Seandainya suatu perkara itu baik, niscaya mereka (para sahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam) telah lebih dulu melakukannya" Itulah patokan kami. Pandangan berikutnya adalah, "Apakah hukum asal mencium mushaf itu boleh atau dilarang?"
Bagaimana Memahami Ayat : Kami Jadikan Dalam Hati Mereka Penghalang Untuk Memahami Al-Qur'an
Kehendak Allah itu dibagi dua : Kehendak Syari'at (Ira'dah Syari'at) Adalah kehendak Allah yang telah Allah syariatkan kepada hambanya. Kehendak ini berupa amal-amal wajib dan amal-amal sunnah. Allah berkehendak dan menyukai hamba-hamba-Nya untuk melakukan shalat, puasa, sedekah, jihad, dan lain-lain. Kehendak Kauni (Ira'dah Kauniyah). Adalah kehendak Allah yang pasti terjadi di dunia ini. Kejadian ini kadang-kadang berupa sesuatu yang diridhai oleh Allah dan kadang-kadang berupa sesuatu yang dibenci oleh Allah. Istilah Kehendak Kauni ini diambil dari Al-Qur'an : "Sesungguhnya Allah itu apabila menghendaki sesuatu, Dia mengatakan Kun (=jadilah). Maka jadilah apa yang Dia kehendaki". Kata 'sesuatu' dalam ayat tersebut bentuknya nakiroh (bersifat umum). Bisa berupa ketaatan atau bisa pula berupa kemaksiatan, bisa sesuatu yang diridhai atau bisa pula berupa sesuau yang dibenci Allah.
Bagaimana Caranya Kita Memahami Dua Ayat Yang Seolah-Olah Bertentangan
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an surat Al-Imran ayat 85 . :" Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima". Sementara dalam surat Al-Maidah ayat 69 disebutkan. : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi'in, dan orang-rang Nasrani apabila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shalih, maka tidak ada ketakutan dan kesedihan yang akan menimpa mereka". Bagaimana caranya kita memahami dua ayat yang seolah-olah bertentangan ini ?
Penjelasan : Orang-Ornag Kafir Itu Membuat Tipu Daya Dan Allah Membalas Tipu Daya Mereka
Dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala, insya Allah masalah tersebut mudah dipahami. Sebagaimana kita tahu bahwa tipu daya itu tidak selamanya jelek dan tercela dan sebaliknya tidak selamanya baik. Misalnya ada seorang kafir yang akan membuat tipu daya terhadap seorang muslim, tetapi karena si muslim ini kebetulan seorang yang cerdik dan selalu waspada, maka dia balik membikin tipu daya agar niat jahat si kafir tersebut tidak sampai mengenai dirinya. Dalam keadaan seperti ini tentu tidak bisa dikatakan bahwa si muslim ini telah berbuat kesalahan dan melanggar syari'at. Hal ini akan lebih jelas ketika kita perhatikan sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Perang adalah tipuan". Kata "tipuan" dalam hadits ini sama sifatnya dengan kata "tipu daya" pada ayat di atas.
Dalam Pertemuan Diperdengarkan Bacaan Al-Qur'an Dan Yang Hadir Tidak Menyimak, Siapakah Yang Berdosa
Apabila majelis tersebut memang majelis zikir dan ilmu yang di dalamnya ada tilawah Al-Qur'an maka siapaun yang hadir dalam majelis tersebut wajib diam dan menyimak bacaan tersebut. Dan berdosa bagi siapa saja yang sengaja mengobrol dan tidak menyimak bacaan tersebut. Dalilnya adalah surat Al-A'raf : 204. "Apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat". Adapun jika majelis tersebut bukan majelis ilmu dan zikir serta bukan majelis tilawah Al-Qur'an akan tetapi hanya kumpul-kumpul biasa untuk mengobrol, diskusi, bekerja, belajar atau pekerjaan lain-lain, maka dalam suasana seperti ini tidak boleh kita mengeraskan bacaan Al-Qur'an baik secara langsung ataupun lewat pengeras suara (kaset), sebab hal ini berati memaksa orang lain untuk ikut mendengarkan Al-Qur'an.
Sebagian Orang Berkata, Apabila Hadits Shahih Bertentangan Dengan Al-Qur'an, Maka Hadits Itu Ditolak
Ada sebagian orang yang berkata bahwa apabila terdapat sebuah hadits yang bertentangan dengan ayat Al-Qur'an maka hadits tersebut harus kita tolak walaupun derajatnya shahih. Mereka mencontohkan sebuah hadits. "Sesungguhnya mayit akan disiksa disebabkan tangisan dari keluarganya". Mereka berkata bahwa hadits tersebut ditolak oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha dengan sebuah ayat dalam Al-Qur'an surat Fathir : 18. "Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain". Bagaimana kita membantah pendapat mereka itu ?. Mengatakan ada hadits shahih yang bertentangan dengan Al-Qur'an adalah kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diutus oleh Allah memberikan keterangan yang bertentangan dengan keterangan Allah yang mengutus beliau.
Penjelasan : Dan Segala Sesuatu Telah Kami Terangkan Dengan Sejelas-Jelasnya
"Dan segala sesuatu telah kami terangkan dengan sejelas-jelasnya". Menurut keterangan dari Allah dan Rasul-Nya (Al-Qur'an dan Hadits) makna dari ayat ini ada dua macam :1. Secara tafshil, yaitu terperinci (seperti : Shalat, zakat, haji, dan seterusnya), 2. Secara mujmal, yaitu garis besarnya saja atau kaidah-kaidah/batasan-batasannya saja, (seperti masalah khamr, masalah bid'ah, tasyabuh, dan lain-lain). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Tidak ada satupun perintah Allah yang belum aku sampaikan kepada kalian, begitu juga tidak ada satupun larangan Allah yang belum aku sampaikan kepada kalian". Padahal kalau kita lihat hari ini, jenis khamr dan bid'ah barangkali jumlahnya mencapai puluhan bahkan mungkin ratusan. Apakah ini semuanya diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam satu persatu ?
Ambillah Apapun Dari Al-Qur'An Untuk Keperluan Apapun Yang Engkau Inginkan, Apakah Hadits Shahih ?
Hadits tersebut cukup terkenal terutama lewat khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah. Tetapi sayang sekali hadits tersebut termasuk hadits yang tidak ada asal-usulnya dalam sunnah. Oleh karena itu kita tidak boleh meriwayatkannya atau menyandarkan perkataan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari segi makna, hadits tersebut sangat bertentangan dengan syari'at Islam. Coba kita renungkan. "Ambillah (ayat) apapun dari Al-Qur'an untuk keperluan apapun yang engkau inginkan". Misalnya, seandainya kita duduk-duduk saja di salah satu ruangan di rumah kita, tidak bekerja dan tidak melakukan aktifitas apapun, sementara kita mengharapkan Allah menurunkan rezeki dari langit, dengan alasan kita mengambil Al-Qur'an untuk medapatkan rezeki dengan cara seperti ini. Apakah kita yang berakal sehat melakukan hal seperti ini .?
Menjaga Ukhuwah Tanpa Cacian Dan Ghibah
Akan tetapi amat disayangkan, sebagian penuntut ilmu mengajak orang lain untuk bertakwa, namun ia sendiri mengabaikan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia mengajak orang lain untuk bertakwa, selalu mengucapkan kata-kata takwa siang malam, menganjurkan orang supaya bertakwa, dan selalu mengatakan kepada orang lain “bertakwalah dan kerjakanlah amal shalih!”, namun ia sendiri tidak melaksanakan apa yang ia tekankan kepada orang lain. Hal paling penting lainnya dalam hidup, sebagai salah satu konsekuensi takwa, ialah bahwasanya harus ada hubungan persaudaraan yang kuat, khususnya antar para penuntut ilmu. Ukhuwah diniyah (Islamiyah) memiliki pengaruh yang baik dalam kehidupan ini. Setiap kawan (shadîq), setiap muslim akan memiliki pengaruh jelas bagi kawannya dalam hidup. Apabila seorang muslim bersahabat dengan orang baik, maka kebaikan ini akan berpengaruh pada dirinya. Tetapi, jika ia bersahabat dengan orang yang tidak baik, orang yang kegiatannya tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak juga dekat dengan (ajaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hal-hal buruk ini pun akan berpengaruh pada dirinya. Maka, perhatikanlah oleh seseorang, siapa yang akan ia jadikan kawan dekatnya.
Tiga Nasihat Dan Wasiat Syaikh Abdul Aziz Bin Abdillah Bin Baaz
Saudara-saudaraku, bergegaslah untuk membaca Kitab Rabb kalian, mentadabburi (merenungi dan memperhatikan) maknanya, memanfaatkan waktu dan majlis untuk itu. Al Qur`an al Karim merupakan tali Allah yang kuat, dan jalanNya yang lurus. Orang yang berpegang teguh dengan al Qur`an, dia bisa sampai kepada Allah dan Surga. Dan barangsiapa yang berpaling darinya, dia akan sengsara di dunia dan akhirat. Waspadalah terhadap segala yang dapat menghalangi kalian dari Kitabullah dan yang bisa melalaikan kalian dari dzikir, yaitu yang berupa selebaran-selebaran, majalah-majalah atau sejenisnya yang lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya. Jika memang perlu untuk menelaah majalah-majalah atau selebaran-selebaran itu, maka jadwalkan waktu khusus dan lakukanlah seperlunya. Hendaklah juga menyediakan waktu khusus untuk membaca atau mendengarkan Kitabullah dari orang yang membacanya, untuk mengobati penyakit hati dengannya, supaya terpacu untuk taat kepada khaliqnya, Rabb yang memiliki manfaat, madharat, hak memberi dan hak tidak memberi, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah.
Penuntut Ilmu Harus Bertaqwa Kepada Allah, Menghormati Guru, Tunduk Kepada Kebenaran
Seorang penuntut ilmu wajib menghormati ustadz (guru)nya yang telah mengajarnya, wajib beradab dengan adab yang mulia, juga harus berterima kasih kepada guru yang telah mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepadanya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Tidak termasuk golongan kami; orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak seorang ulama” Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullaah berkata, “Seorang penuntut ilmu harus memperbaiki adabnya terhadap gurunya, memuji Allah yang telah memudahkan baginya dengan memberikan kepadanya orang yang mengajarkannya dari kebodohannya, menghidupkannya dari kematian (hati)nya, membangunkannya dari tidurnya, serta mempergunakan setiap kesempatan untuk menimba ilmu darinya. Hendaklah ia memperbanyak do’a bagi gurunya, baik ketika ada maupun ketika tidak ada.
Penuntut Ilmu Tidak Boleh Futur, Tidak Boleh Putus Asa Dan Waspada Terhadap Bosan
Ingatlah wahai saudaraku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup membuat Anda mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara pahala dan manfaat? Oleh karena itu, janganlah putus asa. Ketahuilah, ada beberapa orang yang jika saya ceritakan kisah mereka, maka Anda akan terheran-heran. Di antaranya, pengarang kitab Dzail Thabaqaat al-Hanabilah. Ketika menulis biografi, ia menyebutkan banyak cerita unik beberapa orang ketika mereka menuntut ilmu. ‘Abdurrahman bin an-Nafis -salah seorang ulama madzhab Hanbali- dulunya adalah seorang penyanyi. Ia mempunyai suara yang bagus, lalu ia bertaubat dari kemunkaran ini. Ia pun menuntut ilmu dan ia menghafal kitab al-Haraqi, salah satu kitab madzhab Hanbali yang terkenal. Lihatlah bagaimana keadaannya semula. Ketika ia jujur dalam taubatnya, apa yang ia dapatkan?Demikian pula dengan ‘Abdullah bin Abil Hasan al-Jubba’i. Dahulunya ia seorang Nashrani. Akhirnya ia masuk Islam, menghafal Al-Qur-an dan menuntut ilmu. Sebagian orang yang sempat melihatnya berkata, “Ia mempunyai pengaruh dan kemuliaan di kota Baghdad.”
Penuntut Ilmu Harus Berusaha Mencari Nafkah Dan Tidak Menjadi Beban Orang Lain Hendaknya para penuntut ilmu mencari nafkah untuk biaya hidupnya terutama bagi mereka yang telah berumah tangga bahkan wajib hukumnya bagi mereka. Ia tidak boleh malas bekerja dan menjadi beban orang lain, apalagi dengan meminta-minta. Sebab, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengecam perbuatan itu dalam sabda beliau. “Seseorang senantiasa meminta-minta kepada manusia hingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya". Seorang penuntut ilmu harus mencari nafkah guna menjaga kehormatannya meskipun harus dengan menjual kayu bakar di pasar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga kehormatannya, itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada manusia, mereka memberinya atau tidak memberinya Nasehat Untuk Pendiri Organisai, Jama'ah Dan Partai
Lembaga Dakwah pada zaman sekarang menyebar di mana-mana. Mereka mendirikan organisasi, partai dan beberapa jama’ah, mereka berdalih untuk memperjuangkan Islam. Akan tetapi kenyataan yang ada, mereka saling berpecah-belah. Mereka merasa kelompoknya yang paling benar, para pengikutnya pun merasa bangga dengan pemimpinnya, keputusan pemimpin seperti wahyu ilahiah yang tidak boleh dibantah dan harus ditaati, terancam jiwanya bila dikritik karena salah keputusannya, mau mengkritik akan tetapi tidak mau dikritik, kadang kala menolak da’i yang bukan golongannya apabila dianggap merugikan kelompoknya sekalipun da’i itu benar, mereka merasa sedih bila anggotanya keluar. Inilah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bagi orang yang tahu hakikatnya. Benarkah demikian cara kita memperjuangkan Islam? Ibnu Katsit rahimahullah berkata : “Pemeluk agama sebelumnya berselisih satu sama lain di dalam pola berfikir. Masing-masing mengaku bahwa kelompoknya yang benar, umat ini pun berselisih satu sama lain di dalam beragama, semuanya tersesat kecuali satu yaitu Ahlus Su’nnah wal Jama’ah, yaitu mereka yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan generasi pertama dari kalangan Sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan para tabi’in dan para ulama kaum muslimin (salaf) dahulu dan sekarang
| 73 Keutamaan Berdzikir Dzikir atau mengucapkan kata-kata pujian yang mengingat kebesaran Allah SWT, adalah amalan istimewa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dzikir merupakan media yang membuat kehidupan Nabi dan para sahabat benar-benar hidup. Ibnu al-Qoyyim Rahimahullah mengatakan bahwa dzikir memiliki tujuh puluh tiga manfaat yaitu: - Mengusir setan dan menjadikannya kecewa.
- Membuat Allah ridah.
- Menghilangkan rasa sedih,dan gelisah dari hati manusia.
- Membahagiakan dan melapangkan hati.
- Menguatkan hati dan badan.
- Menyinari wajah dan hati.
- Membuka lahan rezeki.
- Menghiasi orang yang berdzikir dengan pakaian kewibawaan, disenangi dan dicintai manusia.
- Melahirkan kecintaan.
- Mengangkat manusia ke maqam ihsan.
- Melahirkan inabah, ingin kembali kepada Allah.
- Orang yang berdzikir dekat dengan Allah.
- Pembuka semua pintu ilmu.
- Membantu seseorang merasakan kebesaran Allah.
- Menjadikan seorang hamba disebut disisi Allah.
- Menghidupkan hati.
- Menjadi makanan hati dan ruh.
- Membersihkan hati dari kotoran.
- Membersihkan dosa.
- Membuat jiwa dekat dengan Allah.
- Menolong hamba saat kesepian.
- Suara orang yang berdzikir dikenal di langit tertinggi.
- Penyelamat dari azab Allah.
- Menghadirkan ketenangan.
- Menjaga lidah dari perkataan yang dilarang.
- Majlis dzikir adalah majlis malaikat.
- Mendapatkan berkah Allah dimana saja.
- Tidak akan merugi dan menyesal di hari kiamat.
- Berada dibawah naungan Allah dihari kiamat.
- Mendapat pemberian yang paling berharga.
- Dzikir adalah ibadah yang paling afdhal.
- Dzikir adalah bunga dan pohon surga.
- Mendapat kebaikan dan anugerah yang tak terhingga.
- Tidak akan lalai terhadap diri dan Allah pun tidak melalaikannya.
- Dalam dzikir tersimpan kenikmatan surga dunia.
- Mendahului seorang hamba dalam segala situasi dan kondisi.
- Dzikir adalah cahaya di dunia dan ahirat.
- Dzikir sebagai pintu menuju Allah.
- Dzikir merupakan sumber kekuatan qalbu dan kemuliaan jiwa.
- Dzikir merupakan penyatu hati orang beriman dan pemecah hati musuh Allah.
- Mendekatkan kepada ahirat dan menjauhkan dari dunia.
- Menjadikan hati selalu terjaga.
- Dzikir adalah pohon ma’rifat dan pola hidup orang shalih.
- Pahala berdzikir sama dengan berinfak dan berjihad dijalan Allah.
- Dzikir adalah pangkal kesyukuran.
- Mendekatkan jiwa seorang hamba kepada Allah.
- Melembutkan hati.
- Menjadi obat hati.
- Dzikir sebagai modal dasar untuk mencintai Allah.
- Mendatangkan nikmat dan menolak bala.
- Allah dan Malaikatnya mengucapkan shalawat kepada pedzikir.
- Majlis dzikir adalah taman surga.
- Allah membanggakan para pedzikir kepada para malaikat.
- Orang yang berdzikir masuk surga dalam keadaan tersenyum.
- Dzikir adalah tujuan prioritas dari kewajiban beribadah.
- Semua kebaikan ada dalam dzikir.
- Melanggengkan dzikir dapat mengganti ibadah tathawwu’.
- Dzikir menolong untuk berbuat amal ketaatan.
- Menghilangkan rasa berat dan mempermudah yang susah.
- Menghilangkan rasa takut dan menimbulkan ketenangan jiwa.
- Memberikan kekuatan jasad.
- Menolak kefakiran.
- Pedzikir merupakan orang yang pertama bertemu dengan Allah.
- Pedzikir tidak akan dibangkitkan bersama para pendusta.
- Dengan dzikir rumah-rumah surga dibangun, dan kebun-kebun surga ditanami tumbuhan dzikir.
- Penghalang antara hamba dan jahannam.
- Malaikat memintakan ampun bagi orang yang berdzikir.
- Pegunungan dan hamparan bumi bergembira dengan adanya orang yang berdzikir.
- Membersihkan sifat munafik.
- Memberikan kenikmatan tak tertandingi.
- Wajah pedzikir paling cerah didunia dan bersinar di ahirat.
- Dzikir menambah saksi bagi seorang hamba di ahirat.
- Memalingkan seseorang dari membincangkan kebathilan.
Sungguh luar biasa manfaatnya…. tetapi orang tidak akan yakin dengan manfaat-manfaat diatas kecuali yang telah merasakan dan menikmatinya….. Mari kita coba memulainya dari sekarang
|
Mengenal Para Imam Ahlussunnah Ashabul Hadits
Sesungguhnya tidak ada keselamatan kecuali dengan mengikuti Kitab dan Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Tapi kita tidak mungkin mendengar sunnah dan pemahaman mereka kecuali dengan melalui sanad (rantai para rawi). Dan sanad termasuk dalam Dien. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil Dien kalian. Sedangkan yang paling mengerti tentang sanad adalah Ahlul Hadits. Maka dalam tulisan ini kita akan lihat betapa tingginya kedudukan mereka
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Allah membuat cerah (muka) seorang yang mendengarkan (hadits) dari kami, kemudian menyampaikannya.” (Hadits Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud)
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata: “Hadits ini adalah SHAHIH, diriwayatkan oleh: Imam Ahmad dalam Musnad 5/183, Imam Abu Dawud dalam As-Sunan 3/322, Imam Tirmidzi dalam As-Sunan 5/33, Imam Ibnu Majah dalam As-Sunan 1/84, Imam Ad-Darimi dalam As-Sunan 1/86, Imam Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunan 1/45, Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 1/38-39, lihat As-Shahihah oleh Al-’Allamah Al-Albani (404) yang diriwayatkan dari banyak jalan sampai kepada Zaid bin Tsabit, Jubair bin Muth’im, dan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhum.”
Hadits ini dinukil oleh beliau (Syaikh Rabi’) dalam kitab kecil yang berjudul Makanatu Ahlil Hadits (Kedudukan Ahlul Hadits), yaitu ketika menukil ucapan Imam besar Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) dari kitabnya Syarafu Ashabil Hadits yang artinya “Kemuliaan Ashabul Hadits.” Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan kemuliaan dan ketinggian derajat Ahlul Hadits. Demikian pula beliau juga menjelaskan jasa-jasa mereka dan usaha mereka dalam membela Dien ini, serta menjaganya dari berbagai macam bid’ah. Di antara pujian beliau kepada mereka, beliau mengatakan: “Sungguh Allah telah menjadikan golongannya (Ahlul Hadits) sebagai tonggak syari’at. Melalui usaha mereka, Dia (Allah) menghancurkan setiap keburukan bid’ah. Merekalah kepercayaan Allah di antara makhluk-makhluk-Nya, sebagai perantara antara Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan umatnya. Dan merekalah yang bersungguh-sungguh dalam menjaga millah (Dien)-Nya. Cahaya mereka terang, keutamaan mereka merata, tanda-tanda mereka jelas, madzhab mereka unggul, hujjah mereka tegas….”
Setelah mengutip hadits di atas, Al-Khatib rahimahullah menukil ucapan Sufyan bin Uyainah rahimahullah dengan sanadnya bahwa dia mengatakan: “Tidak seorangpun mencari hadits (mempelajari hadits) kecuali pada mukanya ada kecerahan karena ucapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam: (kemudian menyebutkan hadits di atas). Kemudian, setelah meriwayatkan hadits-hadits tentang wasiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk memuliakan Ashabul Hadits, beliau meriwayatkan hadits berikut:
“Islam dimulai dengan keasingan dan akan kembali asing, maka berbahagialah orang-orang yang (dianggap) asing.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Syaikh Rabi’ berkata: “Hadits ini SHAHIH. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya 1/130, Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/398, Imam Tirmidzi dalam Sunannya 5/19, Imam Ibnu Majah dalam Sunnahnya 2/1319, dan Imam Ad-Darimi dalam Sunannya 2/402.”
Setelah meriwayatkan hadits ini, Al-Khatib menukil ucapan Abdan rahimahullah dari Abu Hurairah dan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu: “Mereka adalah Ashabul Hadits yang pertama.” Kemudian meriwayatkan hadits:
“Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh sekian firqah, semuanya dalam neraka kecuali satu.”
Syaikh Rabi’ berkata: “Hadits SHAHIH, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 2/332. Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/197, dan Hakim dalam Mustadrak 1/128. Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh kita, Al-’Allamah Al-Albani (203).”
Beliau (Al-Khatib) kemudian mengucapkan dengan sanadnya sampai ke Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah bahwa dia berkata: “Tentang golongan yang selamat, kalau mereka bukan Ahlul Hadits, saya tidak tahu siapa mereka.” (Hal 13, Syarafu Ashhabil Hadits oleh Al-Khatib). Kemudian Syaikh Al-Khatib menyebutkan hadits tentang thaifah yang selalu tegak dengan kebenaran:
“Akan tetap ada sekelompok dari umatku di atas kebenaran. Tidak merugikan mereka orang-orang yang mengacuhkan (membiarkan, tidak menolong) mereka sampai datangnya hari kiamat.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud)
Syaikh Rabi’ berkata: “Hadits ini SHAHIH, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya 3/1523, Imam Ahmad dalam Musnad 5/278-279, Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/420, Imam Ibnu Majah dalam Sunan 1/4-5, Hakim dalam Mustadrak 4/449-450, Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 7643, dan At-Thayalisi dalam Musnad hal. 94 No. 689. Lihat As-Shahihah oleh Al-’Allamah Al-Albani 270-1955.”
Kemudian berkata (Al-Khatib Al-Baghdadi): Yazid bin Harun berkata: “Kalau mereka bukan Ashabul Hadits, aku tidak tahu siapa mereka.” Setelah itu, beliau meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Mubarak, dia berkata: “Mereka, menurutku, adalah Ashabul Hadits.” Kemudian meriwayatkan juga dengan sanadnya dari Imam Ahmad bin Sinan dan Ali Ibnul Madini bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya mereka adalah Ashabul Hadits, ahli Ilmu, dan Atsar.” (Hal. 14-15)
Demikianlah, para ulama mengatakan bahwa Firqah Najiyah (golongan yang selamat) yaitu golongan yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong (Thaifah Manshurah), yaitu orang-orang yang asing (Ghuraba’) di tengah-tengah kaum muslimin yang sudah tercemar dengan berbagai macam bid’ah dan penyelewengan dari manhaj As-Sunnah adalah Ashabul Hadits.
Siapakah Ashabul Hadits?
Hadits yang pertama yang kita sebut menunjukkan ciri khas Ashabul Hadits, yaitu mendengarkan hadits dan menyampaikannya. Dengan demikian, mereka bisa kita katakan sebagai para ulama yang mempelajari hadits, memahami sanad, meneliti mana yang shahih mana yang dhaif, kemudian mengamalkannya dan menyampaikannya. Merekalah pembela-pembela As-Sunnah, pemelihara Dien dan pewaris Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Rasulullah tidak mewariskan dirham atau dinar, tetapi mewariskan ilmu yang kemudian dibawa oleh Ahlul Hadits ini. Seorang Ahli Fiqih tanpa ilmu hadits adalah Aqlani (rasionalis) dan Ahli Tafsir tanpa ilmu hadits adalah Ahli Takwil.
Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (wafat 276 H) berkata: “… Adapun Ashabul Hadits, sesungguhnya mereka mencari kebenaran dari sisi yang benar dan mengikutinya dari tempatnya. Mereka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mengikuti sunnah Rasul-Nya serta mencari jejak-jejak dan berita-beritanya (Hadits, red.), baik itu di darat dan di laut, di Timur maupun di Barat. Salah seorang dari mereka (bahkan) mengadakan perjalanan jauh dengan berjalan kaki hanya untuk mencari satu berita atau satu hadits, agar dia mengambilnya langsung dari penukilnya (secara dialog langsung). Mereka terus menyaring dan membahas berita-berita (riwayat-riwayat) tersebut sampai mereka memahami mana yang shahih dan mana yang lemah, yang nasikh dan yang mansukh, dan mengetahui siapa-siapa dari kalangan fuqaha yang menyelisihi berita-berita tersebut dengan pendapatnya (ra’yunya), lalu memperingatkan mereka. Dengan demikian, Al-Haq yang tadinya redup menjadi bercahaya, yang tadinya bercerai-berai menjadi terkumpul. Demikian pula, orang-orang yang tadinya menjauh dari sunnah menjadi terikat dengannya, yang tadinya lalai menjadi ingat padanya, dan yang dulunya berhukum dengan ucapan fulan bin fulan menjadi berhukum dengan ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Ta’wil Mukhtalafil Hadits dalam Muqaddimah)
Imam Abu Hatim Muhammad Ibnu Hibban bin Muadz bin Ma’bad bin Said At-Tamimi (wafat 354 H) berkata: “…Kemudian Allah memilih sekelompok manusia dari kalangan pengikut jalan yang baik dalam mengikuti sunnah dan atsar untuk memberi petunjuk kepada mereka agar selalu taat kepada-Nya. Allah indahkan hati-hati mereka dengan keimanan, dan memberikan pada lisan-lisan mereka Al-Bayan (keterangan), yaitu mereka yang menyingkap rambu-rambu Dien-Nya, mengikuti sunnah-sunnah nabi-Nya dengan menelusuri jalan-jalan yang panjang, meninggalkan keluarga dan negerinya, untuk mengumpulkan sunnah-sunnah dan menolak hawa nafsu (bid’ah). Mereka memperdalam sunnah dengan menjauhi ra’yu …” Pada akhirnya, beliau mengatakan: “Hingga Allah memelihara Dien ini lewat mereka untuk kaum muslimin dan melindunginya dari rongrongan para pencela. Allah menjadikan mereka sebagai imam-imam (panutan-panutan) yang mendapatkan petunjuk di saat terjadi perselisihan dan menjadikan mereka sebagai pelita malam di kala terjadi fitnah. Maka merekalah pewaris-pewaris para nabi dan orang-orang pilihan…” (Al-Ihsan 1/20-23)
Imam Abu Muhammad Al-Hasan Ibnu Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramhurmuzi (wafat 360 H) berkata: “Allah telah memuliakan hadits dan memuliakan golongannya (Ahlul Hadits). Allah juga meninggikan kedudukannya dan hukumnya di atas seluruh aliran. Didahulukannya ia (hadits) di atas semua ilmu serta diangkatnya nama-nama para pembawanya yang memperhatikannya. Maka jadilah mereka (Ahlul Hadits) inti agama dan tempat bercahayanya hujjah. Bagaimana mereka tidak mendapatkan keutamaan dan tidak berhak mendapatkan kedudukan tinggi, sedangkan mereka adalah penjaga-penjaga Dien ini atas umatnya…” (Al-Muhadditsul Fashil 1-4)
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi (wafat 405) berkata setelah meriwayatkan dengan sanadnya dua ucapan tentang Ahlul Hadits (yang artinya): Umar bin Hafs bin Gayyats berkata: Aku mendengar ayahku ketika dikatakan kepadanya: “Tidaklah engkau melihat Ashabul Hadits dan apa yang ada pada mereka?” Dia berkata: “Mereka sebaik-baik penduduk bumi.” Dan riwayat dari Abu Bakar bin Ayyasy: “Sungguh aku berharap Ahli Hadits adalah sebaik-baik manusia.” Kemudian beliau (Abu Abdullah Al-Hakim) berkata: “Keduanya telah benar bahwa Ashabul Hadits adalah sebaik-baik manusia. Bagaimana tidak demikian? Mereka telah mengorbankan dunia seluruhnya di belakang mereka. Kemudian menjadikan penulisan sebagai makanan mereka, penelitian sebagai hidangan mereka, mengulang-ulang sebagai istirahat mereka…” Dan akhirnya beliau mengatakan: “Maka akal-akal mereka dipenuhi dengan kelezatan kepada sunnah. Hati-hati mereka diramaikan dengan keridhaan dalam segala keadaan. Kebahagiaan mereka adalah mempelajari sunnah. Hobi mereka adalah majelis-majelis ilmu. Saudara mereka adalah seluruh Ahlus Sunnah dan musuh mereka adalah seluruh Ahlul Ilhad dan Ahlul Bid’ah.” (Ma’rifatu Ulumul Hadits 1-4)
Berkata Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali tentang Ashabul Hadits: “Mereka adalah orang-orang yang menjalani manhaj para shahabat dan tabi’in, yang mengikuti mereka dengan ihsan dalam berpegang dengan Kitab dan Sunnah, dan menggigit keduanya dengan geraham mereka, mendahulukan keduanya di atas semua ucapan dan petunjuk, apakah itu dalam masalah akidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, politik, ataukah sosial.
Oleh sebab itu, mereka adalah orang-orang yang mantap dalam dasar-dasar dan cabang-cabang Dien ini, sesuai dengan apa yang Allah turunkan dan wahyukan kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan para hamba-Nya. Mereka tegak dalam dakwah, mengajak kepada yang demikian dengan sungguh-sungguh dan jujur dengan tekad yang kuat. Merekalah pembawa-pembawa ilmu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan membersihkannya dari penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, dari kedustaan-kedustaan orang-orang bathil dan dari takwil-takwilnya orang-orang bodoh. Oleh karena itu, mereka selalu mengintai, memperhatikan setiap firqah-firqah yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidhah, Murji’ah, Qadariyyah, dan setiap firqah yang menyempal dari manhaj Allah di setiap zaman dan di setiap tempat. Mereka tidak peduli dengan celaan orang-orang yang mencela…”
Beliau pun akhirnya menyebut mereka sebagai golongan yang selamat (Firqah Najiyah) yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Thaifah Manshurah) kemudian berkata: “Mereka, setelah shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan pimpinan mereka Al-Khulafa’ur Rasyidin, adalah para tabi’in. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah:
- Sa’id bin Musayyab (wafat setelah 90 H) - Urwah bin Zubair (wafat 94 H) - Ali bin Husain Zainal Abidin (wafat 93 H) - Muhammad Ibnul Hanafiyah (wafat 80 H) - Ubaidillah bin Abdullah bin Umar (wafat 106 H) - Al-Qasim bin Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq (wafat 106 H) - Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H) - Muhammad bin Sirrin (wafat 110) - Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H) - Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (wafat 125 H) dan lain-lain. Kemudian di antara tabi’ut tabi’in (pengikut tabi’in) tokoh-tokoh mereka adalah: - Imam Malik (wafat 179 H) - Al-Auza’i (wafat 198 H) - Sufyan Ats-Tsauri (wafat 161 H) - Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H) - Ismail bin Ulayyah (wafat 198 H) - Al-Laits bin Sa’d (wafat 175 H) - Abu Hanifah An-Nu’man (wafat 150 H) dan lain-lain.
Setelah para tabi’ut tabi’in adalah pengikut mereka, di antaranya:
- Abdullah bin Mubarak (wafat 181 H) - Waqi’ bin Jarrah (wafat 197 H) - Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (wafat 204 H) - Abdurrahman bin Mahdi (198 H) - Yahya bin Said Al-Qattan (wafat 198 H) - Affan bin Muslim (wafat 219 H) dan lain-lain.
Kemudian pengikut mereka yang menjalani manhaj mereka di antaranya:
- Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H) - Yahya bin Ma’in (wafat 233 H) - Ali Ibnul Madini (wafat 234 H), dan lain-lain.
Kemudian, murid-murid mereka seperti:
- Al-Bukhari (wafat 256 H) - Muslim (wafat 261 H) - Abu Hatim (wafat 277 H) - Abu Zur’ah (wafat 264 H) - Abu Dawud (wafat 275 H) - At-Tirmidzi (wafat 279) - An-Nasa’i (wafat 303 H), dan lain-lain. Setelah itu, orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah:
- Ibnu Jarir At-Thabari (wafat 310 H) - Ibnul Khuzaimah (wafat 311 H) - Ad-Daruquthni (wafat 385 H) - Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H) - Abdul Ghani Al-Maqdisi dan Ibnul Qudamah (wafat 620 H) - Ibnu Shalih (wafat 743 H) - Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) - Al-Muzzi (wafat 743 H) - Adz-Dzahabi (wafat 748 H) - Ibnu Katsir (wafat 774) - Dan ulama yang seangkatan di zaman mereka.
Kemudian yang setelahnya yang mengikuti jejak mereka dalam berpegang dengan kitab dan sunnah sampai hari ini. Mereka itulah yang kita maksud dengan Ashabul Hadits.
Pembelaan Mereka terhadap Aqidah
Sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka adalah pembawa ilmu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka membelanya dan membersihkannya dari penyelewengan, kedustaan, dan takwil-takwil Ahli Bid’ah.
Maka, ketika muncul Ahli Bid’ah yang pertama yaitu Khawarij, Ali radhiallahu anhu dan para shahabat bangkit membantah mereka, kemudian memerangi mereka dan mengambil dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam riwayat-riwayat yang menyuruh untuk membunuh mereka dan mengkhabarkan bahwa membunuh mereka adalah sebaik-baik pendekatan diri kepada Allah. (Lihat Mawaqifus Shahabah fil Fitnah Bab 3 juz 2 hal 191 oleh Dr Muhammad Ahmazun)
Ketika Syiah muncul, Ali radhiallahu anhu mencambuk orang-orang yang mengatakan dirinya lebih baik daripada Abu Bakar dan Umar dengan delapan puluh kali cambukan. Dan orang-orang ekstrim dari kalangan mereka yang mengangkat Ali sampai ke tingkat Uluhiyyah (ketuhanan), dibakar dengan api. (lihat Fatawa Syaikhul Islam)
Demikian pula ketika sampai kepada Abdullah bin Umar radhiallahu anhu berita tentang suatu kaum yang menafikan (menolak) takdir dan mengatakan bahwa menurut mereka perkara ini terjadi begitu saja (kebetulan), beliau mengatakan kepada pembawa berita tersebut: “Jika engkau bertemu mereka, khabarkanlah pada mereka bahwa aku berlepas diri (bara`) dari mereka dan mereka berlepas diri dariku! Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau salah seorang mereka memiliki emas segunung Uhud, kemudian diinfaqkan di jalan Allah, Allah tidak akan menerima daripadanya sampai dia beriman dengan taqdir baik dan buruknya.” (HR. Muslim 1/36)
Imam Malik pun ketika ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa Al-Qur`an itu makhluk, maka beliau berkata: “Dia menurut pendapat adalah kafir, bunuhlah dia!” Juga Ibnul Mubarak, Al-Laits bin Sa’d, Ibnu Uyainah, Hasyim, Ali bin Ashim, Hafs bin Gayats maupun Waqi bin Jarrah sependapat dengannya. Pendapat yang seperti ini juga diriwayatkan dari Imam Tsauri, Wahab bin Jarir dan Yazid bin Harun. (Mereka semua mengatakan): orang-orang itu diminta untuk taubat. Kalau tidak mau, dipenggal kepala mereka. (Syarah Ushul I’tikad 494, Khalqu Af’alil Ibad hal 25, Asy’ariyah oleh Al-Ajuri hal 79, dan Syarhus Sunnah/Al-Baghawi 1/187)
Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, shahabat Imam Syafi’i, berkata: “Ketika Haf Al-Fardi mengajak bicara Imam Syafi’i dan dia mengatakan Al-Qur`an itu makhluk, maka Imam berkata kepadanya: ‘engkau telah kafir kepada Allah yang maha Agung.” Imam Malik pernah ditanya tentang bagaimana istiwa` Allah di atas ‘Arsy-Nya, maka dia mengatakan: “Istiwa` sudah diketahui (maknanya), sedangkan bagaimananya tidak diketahui. Dan pertanyaan tentang itu adalah bid’ah dan aku tidak melihatmu kecuali Ahli Bid’ah!” Kemudian (orang yang bertanya itu) diperintahkan untuk keluar dan beliau menegaskan bahwa sesungguhnya Allah itu di langit. Dan beliau juga pernah mengeluarkan seseorang dari majelisnya karena dia seorang Murji’ah. (Syarah Ushul I’tiqad 664)
Said bin Amir berkata: “Al-Jahmiyyah lebih jelek ucapannya daripada Yahudi dan Nasrani. Yahudi dan Nasrani dan seluruh penganut agama (samawi) telah sepakat bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala di atas Arsy-Nya, tapi mereka (Al-Jahmiyyah) mengatakan tidak ada sesuatu pun di atas Arsy.” (Khalqu Af’alil Ibad hal 15)
Ibnul Mubarak berkata: “Kami tidak mengatakan seperti ucapan Jahmiyyah bahwa Dia (Allah) itu di bumi. Tetapi (kami katakan) Allah di atas Arsy-Nya beristiwa.” Ketika ditanyakan kepadanya: “Bagaimana kita mengenali Rabb kita?” Beliau berkata: “Di atas Arsy… Sesungguhnya kami bisa mengkisahkan ucapan Yahudi dan Nasrani, tapi kami tidak mampu untuk mengkisahkan ucapan Jahmiyyah.” (Khalqu Af’alil Ibad/Bukhari hal 15, As-Sunnah/Abdullah bin Ahmad bin Hambal 1/111 dan Radd Alal Jahmiyyah/Ad-Darimi hal. 21 dan 184)
Imam Bukhari berkata: “Aku telah melihat ucapan Yahudi, Nasrani dan Majusi. Tetapi aku tidak melihat yang lebih sesat dalam kekufuran selain mereka (Jahmiyah) dan sesungguhnya aku menganggap bodoh siapa yang tidak mengkafirkan mereka kecuali yang tidak mengetahui kekufuran mereka.” (Khalqu Af’alil Ibad hal 19)
Dikeluarkan oleh Baihaqi dengan sanad yang baik dari Al-Auza’i bahwa dia berkata: “Kami dan seluruh tabi’in mengatakan bahwa sesungguhnya Allah di atas Arsy-Nya dan kami beriman dengan sifat-sifat yang diriwayatkan dalam sunnah.” Abul Qasim menyebutkan sanadnya sampai ke Muhammad bin Hasan As-Syaibani bahwa dia berkata: “Seluruh fuqaha (ulama) di timur dan di barat telah sepakat atas keimanan kepada Al-Qur`an dan Al-Hadits yang dibawa oleh rawi-rawi yang tsiqah (terpercaya) dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang sifat-sifat Rabb Subhanahu wa Ta’ala tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa tafsir (takwil). Barangsiapa menafsirkan sesuatu daripadanya dan mengucapkan seperti ucapan Jahm (bin Sufyan), maka dia telah keluar dari apa yang ada di atasnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya, dan dia telah memisahkan diri dari Al-Jama’ah karena telah mensifati Allah dengan sifat yang tidak ada.” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 740)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Manaqib Syafi’i dari Yunus bin Abdul A’la: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: “Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tidak seorangpun bisa menolaknya. Barangsiapa yang menyelisihinya setelah tetap (jelas) baginya hujjah, maka dia telah kafir. Adapun jika (menyelisihinya) sebelum tegaknya hujjah, maka dia dimaklumi karena bodoh. Karena ilmu tentangnya tidak bisa dicapai dengan akal dan mimpi. Tidak pula dengan pemikiran. Oleh sebab itu, kami menetapkan sifat-sifat ini dan menafikan tasybih sebagaimana Allah menafikan dari dirinya sendiri.” (Lihat Fathul Bari 13/406-407)
Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits tentang Allah menerima sedekah dengan tangan kanannya (muttafaqun alaih), katanya: “Tidak hanya satu dari Ahli Ilmu (ulama) yang telah berkata tentang hadits ini dan yang mirip dengan ini dari riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allah seperti turunnya Allah tabaraka wa Ta’ala setiap malam ke langit dunia. Mereka semuanya mengatakan: Telah tetap riwayat-riwayat tentangnya, diimani dengannya, tidak menduga-duga dan tidak mengatakan “bagaimana”. Demikian pula ucapan seluruh ahli ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Demikianlah contoh ucapan-ucapan mereka dalam menjaga dan membela aqidah ini yang bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah. Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah menukil dari Abu Hatim dari Abdullah bin Dawud Al-Khuraibi bahwa Ashabul Hadits dan pembawa-pembawa ilmu adalah kepercayaan-kepercayaan Allah atas Dien-Nya dan penjaga-penjaga sunnah nabi-Nya, selama mereka berilmu dan beramal. Ditegaskan oleh Imam Ats-Tsauri rahimahullah: “Malaikat adalah penjaga-penjaga langit dan Ashabul Hadits adalah penjaga-penjaga dunia.” Ibnu Zurai’ rahimahullah juga menambahkan: “Setiap Dien memiliki pasukan berkuda. Maka pasukan berkuda dalam Dien ini adalah Ashabul Asanid (Ahlul Hadits).” Mereka memang benar. Ashabul Hadits adalah pasukan inti dalam Dien ini. Mereka membela dan menjaga Dien dari penyelewengan, kesesatan dan kedustaan orang-orang munafiqin dan Ahlul Bid’ah. Hampir semua Ashabul Hadits menulis kitab-kitab tentang aqidah Ahlus Sunnah serta membantah aqidah dan pemahaman-pemahaman bid’ah dan sesat, baik itu fuqaha (ahli fiqih) mereka, mufasir (ahli tafsir) mereka maupun seluruh ulama-ulama dari kalangan mereka (Ahlul Hadits). Semoga Allah memberi pahala bagi mereka dengan amalan-amalan mereka, dan memberi pahala atas usaha mereka yang sampai hari dirasakan manfaatnya oleh kaum muslimin dengan ilmu-ilmu yang mereka tulis, riwayat-riwayat yang mereka kumpulkan dan hadits-hadits yang mereka periksa.
Akhirnya, marilah kita simak perkataan Imam Syafi’i rahimahullah ini: “Jika aku melihat seseorang dari Ashabul Hadits, maka aku seakan-akan melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam hidup kembali.” (HR. Al-Khatib dengan sanad SHAHIH, Syaraf Ashabul Hadits hal 26)
Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang lebih dulu beriman daripada kami. Dan janganlah Kau jadikan di hati kami kebencian atau kedengkian kepada mereka. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.
| FIR'AUN YANG DITENGGELAMKAN
(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami Tenggelamkan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang zalim.( QS Al Anfal 54).
Peradaban Mesir kuno berada dalam waktu yang sama dengan negara kota yang berada di Mesopotamia, dikenal sebagai satu diantara peradaban tertua di dunia dan dikenal dengan pengorganisasian negara dan paling maju dalam tatanan sosial dijamannya. Fakta bahwa mereka telah menemukan tulisan/huruf pada milinium 3 SM dan menggunakannnya, bahwa mereka juga memanfaatkan sungai Nil dan mereka terselamatkan dari berbagai bahaya luar dalam kaitannya dengan setting alamiah negara tersebut, nyata-nyata telah memberikan sumbangan yang besar terhadap bangsa Mesir dalam peningkatan peradaban mereka.
Namun, masyarakat yang "beradab" ini, pada masa berlakunya "pemerintahan Fir'aun (Pharaoh)" menggunakan system kafir yang disebutkan secara jelas dalam Aal qur'an dalam bahasa yang amat jelas dan lugas. Mereka bersifat congkak, angkuh dengan kebanggaan diri, mengesampingkan dan mengutuk. Dan akhirnya baik peradaban mereka yang maju, tatanan sosial politik bahkan dengan tentara yang kuat sekalipun tidak bisa menyelamatkan ketika mereka dihancurkan. Wewenang Sang Fir'aun (Pharaoh)
Peradaban bangsa Mesir sangat mendasarkan pada kesuburan sungai Nil. Bangsa Mesir telah menetap di lembah Nil dikarenakan melimpahnya air di sungai ini dan karena mereka bisa mengolah tanah dengan persediaan air yang telah diberikan oleh sungai yang tidak tergantung kepada musim hujan. Ahli sejarah Ernest H Gombrich mengaakan dalam tulisannya bahwa Afrika sangatlah panas dan terkadang tidak pernah sama sekali turun hujan selama berbulan-bulan. Inilah sebabnya mengapa banyak daerah di benua yang besar ini sangat luar biasa keringnya. Bagian-bagian dari benua ini tertutup oleh lautan pasir yang sangat luas. Di kedua sisi sungai Nil juga tertutup oleh pasir dan di Mesir sendiripun jarang terjadi hujan. Namun di negeri ini hujan tidaklah terlalu dibutuhkan karena sungai Nil yang mengalir melintas ditengah-tengah seluruh negara .1
Jadi siapapun yang nenguasai sungai Nil yang sangtlah penting tersebut maka dialah yang bisa menguasai asset terbesar perdagangan dan pertanian Mesir. Pharaoh bisa melangengkan dominasinya atas Mesir dengan jalan ini.
Bentuk sungai Nil yang sempit dan memanjang di Lembah Nil tidak memungkinkan unit-tunit kependudukan yang berada disekitar sungai untuk terlalu mengembangkan wilayahnya. Itulah sebabnya bangsa Mesir lebih memilih untuk membentuk sebuah peradaban yang terdiri dari kota-kota kecil dan perkampungan daripada kota-kota besar. Faktor inilah yang memperkuat dominasi Pharaoh atas masyarakatnya.
Raja Menes dikenal sebagai pharaoh Mesir pertama yang menyatukan seluruh Mesir kuno untuk pertama kalinya dalam sejarah dalam sebuah negara persatuan kurang lebih 3000 SM. Kenyaaan bahwa istilah "Pharaoh " asal usulnya merujuk pada istana dimana raja Mesir berada, namun pada saat itu menjadi gelar dari raja-raja Mesir. Inilah sebabnya mengapa raja yang memerintah Mesir kuno mulai disebut " Pharaoh".
Sebagai pemilik, pengatur dan penguasa dari seluruh negara dan wilayah-wilayahnya, maka Pharaoh diterima sebagai pengejawantahan dari dewa yang terbesar dalam kepercayaan Mesir kuno yang Politheistik dan menyimpang. Administrasi dari wilayah Mesir, pembagian mereka, pendapatan mereka, singkatnya, seluruh pertanian, jasa dan produksi dalam batas-batas wilayah negara dikelola dalam kekuasan Pharaoh.
Absolutisme dalam masa kepemimpinannya telah melengkapi penguasaannya terhadap negara dengan kekuasaan yang dapat melakukan semua hal sesuai dengan keinginannnya. Tepat pada dinasti pertama kekuasaannya Menes yang menjadi raja Mesir yang berhasil menyatukan Hulu dan Hilir Mesir, Sungai Nil diserahkan kepada publik dengan menggunakan saluan-saluran air. Disamping itu seluruh produksi berada dibawah penguasaan dan seluruh produksi barang dan jasa diberikan untuk kepentingan sang raja. Rajalah yang mendistribusikan dan membagi barang dan jasa dalam proporsi yang diinginkan oleh rakyat. Hal ini tidaklah sulit bagi raja yang telah memiliki suatu kekuasaan di daeah tersebut untuk menempatkan rakyat dalam kepatuhan Raja Mesir atau yang nantinya bernama Pharaoh dan dia mengaku dirinya sebagai Makhluk suci yang memegang kekuasan yang besar dan mencakupi semua kebutuhan rakyatnya dan ia mengubah dirinya menjadi tuhan. Para Pharaoh benar-benar percaya bahwa diri mereka adalah tuhan.
Kata-kata Pharaoh (Fir'aun) disebutkan dalam al Qur'an yang digunakan dalam percakapannya dengan Musa, hal ini membuktikan bahwa mereka percaya atas ketuhanan Pharaoh. Ia mencoba mengancam Musa dengan mengatakan ;" Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan". ( QS Asy-Syu'ara 29), dan berkata Fir-aun kepada orang-orang di sekelilingnya ;" Hai Pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku". (QS Al Qashas 38).
Ia mengatakan ini semua karena menganggap dirinya adalah tuhan.Kepercayaan relijius bangsa Mesir kebanyakan berdasarkan kepada pengabdian terhadap tuhan-tuhan mereka. ”Perantara” antara tuhan-tuhan ini dengan manusia adalah para pendeta yang merupakan bagian dari para pemuka masyarakat.
Karena berurusan dengan ilmu magis dan sihir, para pendeta menjadi kelas penting yang digunakan oleh para fir’aun untuk menjaga kepatuhan rakyatnya. Kepercayaan Agama Menurut Herodotus seorang ahli sejarah, Mesir kuno adalah umat yang paling beriman di dunia. Namun agama mereka bukanlah agama yang sejati, namun merupakan sebuah bentuk politheisme yang sesat. Dan mereka tidak bisa meningalkan agama sesat mereka karena mereka orang-orang yang sangat kolot (konservatif).
Bangsa Mesir kuno sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan alam dimana mereka hidup. Keadaan alam Mesir menjaga negara tersebut terhadap serangan dari luar secara sempurna. Mesir dikelilingi oleh gurun pasir, pegunungan dan lautan disemua sisi. Serangan mungkin dilakukan terhadap negara tersebut hanya dengan kemungkinan dua jalan, namun mereka dapat dengan mudah mempertahankan diri. Bangsa Mesir menjadi terisolasi dari dunia luar berkat faktor-faktor alam ini. Namun dengan sifat fanatik yang berlebihan sehingga bangsa Mesir memperoeh cara berpikir yang membelenggu mereka terhdap perkembangan dan hal-hal yang baru dan mereka sangatlah kolot terhadap agama mereka. Agama nenek moyang mereka yang disebutkan berkali-kali dalam Al Qur'an menjadi nilai yang paling penting bagi mereka.
Inilah sebabnya Fir'aun dan lingkungan dekatnya mengingkari Musa dan Harun ketika mengumumkan Agama Sejati dengan mengatakan ; Mereka berkata; "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi?, kami tidak akan mempercayai kamu berdua".(QS. Yunus: 78)
Agama/kepecayaan dari bangsa Mesir kuno dibagi ke dalam cabang-cabang, yang paling utama menjadi agama resmi negara adalah kepercayaan terhadap orang-orang dan adanya kehidupan setelah kematian.
Menurut agama resmi negara, Fir'aun (Pharaoh) adalah mahkluk suci, dia adalah pengejawantahan dari tuhan-tuhan mereka di muka bumi dan tujuannya adalah untuk menyelenggarakan keadilan dan melindungi mereka di dunia.
Kepercayaan yang berkembang luas dikalangan masyarakat sangatlah rumit dan unsur-unsur yang berbenturan dengan kepercayaan resmi negara ditekan oleh pemerintahan Fir'aun. Pada dasarnya mereka percaya kepada banyak tuhan dan tuhan ini biasanya digambarkan memiliki kepala binatang dengan tubuh manusia.
Kehidupan setelah mati merupakan bagian terpenting dalam kepercayaan bangsa Mesir. Mereka percaya bahwa roh akan terus hidup setelah jasad mati. Sesuai dengan hal ini roh-roh dari orang mati dibawa oleh malaikat-malaikat tersebut kepada tuhan sebagai hakim dan 4 saksi hakim lainnya, sebuah skala derajat tersusun dipertengahan dan jantung dari ruh/jiwa ditimbang dalam skala ini. Bagi mereka yang mati dengan timbangan kebaikan lebih banyak hidup dalam keadaan penuh dengan keindahan dan hidup dalam kebahagiaan, bagi mereka yang timbangannya lebih berat dengan kejahaan dikirim ke satu tempat dimana mereka mendapatkan siksaan yang berat. Disana mereka disiksa dalam keabadian oleh sebuah makhluk aneh yang disebut dengan "Pemakan Kematian".
Kepercayaan bangsa Mesir terhadap kehidupan di hari kemudian jelas-jelas menunjuukan paralelisme (kesamaan padangan) dengan kepercayaan monotheistik dan agama sejati (yang benar). Dan perintah-perintah suci telah mencapai peradaban Mesir kuno, namun agama ini kemudian diselewengkan dari monotheisme berubah menjadi Pholytheisme. Seperti telah diketahui bahwa para pemberi peringatan menyerukan orang-orang untuk meng-Esakan Allah dan memerintahkan mereka untuk menjadi hamba-Nya, diutus di Mesir dari masa ke masa sebagaimana mererka diutus untuk seluruh penduduk dunia pada satu waktu atau waktu yang lain. Salah satunya adalah Nabi Yusuf yang kehidupannya secara terperinci diceritakan dalam Al Qur'an. Sejarah Nabi Yusuf adalah sangat penting karena terdapat kehadiran anak-anak Israel di Mesir dan bagaimana mereka menatap disana.
Sebaliknya dalam sejarah terdapat keterangan yang menyatakan bahwa banyak orang Mesir yang menyerukan orang-orang terhadap kepercayaan -kepercayaan Monotheistik bahkan sebelum nabi Musa sekalipun, salah satu dari mereka adalah Pharaoh(Fir'aun) yang paling penting dalam sejarah Mesir, dia adalah Amenhotep IV.
Fir'aun Amenhotep IV Yang Monotheistik
Fir'aun-fir'aun Mesir pada umumnya bersifat brutal, menindas, suka berperang dan orang-orang yang bengis. Secara umum menereka mengadopsi agama politheisme Mesir dan mendewa-dewakan diri mereka sendiri melalui agama ini.
Namun terdapat seorang Fir'aun dalam sejarah Mesir yang sangat-sangat berbeda dengan yang lainnya. Fir'aun ini mempertahankan kepercayan terhadap sang pencipta Yang Tunggal dan karenanya ia mendapakan perlawanan yang sangat kuat dari para pendeta Amon, yang mereka itu mendapatkan keuntungan dari agama politheisme dan dengan beberapa prajurit yang membantu mereka, sehingga akhirnya Fir'aun itu terbunuh. Fir'aun ini adalah Amenhotep IV yang mulai berkuasa di abad XIV SM.
Ketika Fir'aun Amenhotep IV dinobatkan sebagai raja pada 1375 SM, ia menjumpai kekolotan (konservatisme) dan tradisionalisme yang telah berlangsung selama berabad-abad, sehingga susunan masyarakat dalam hubungannya dengan istana kerajaan terus berlanjut tanpa adanya perubahan. Masyarakat menutup pintu rapat-rapat terhadap peristiwa dari luar dan kemajuan agama. Konservatisme yang sangat keras ini juga dikatakan oleh para pengembara Yunani kuno sebagai diakibatkan oleh kondisi geografis alam Mesir seperti disebutkan diatas.
Sesuai dengan ketentuan Fir'aun, agama resmi menuntut kepercayaan yang tidak terbatas dalam segala hal yang lama dan tradisional. Namun Amenhotep IV tidak menyetujui agama resmi tersebut. Ahli sejarah Ernst Gombrich menulis :
Amenhotep IV melakukan banyak perubahan terhadap banyak kebiasaan yang disucikan oleh tradisi tua dan tidak ingin untuk melakukan penyembahan terhadap tuhan yang berbentuk dalam berbagai simbol yang aneh dari kaumnya. Baginya hanya satu Tuhan yang perkasa yaitu Aton, yang disembahnya dan yang diejawantahkannya dalam bentuk matahari Ia menyebut dirinya setelah tuhannya, sebagai Akhenaton, dan ia memindahkan istananya menjauh dari jangkauan para pendeta dari tuhan-tuhan yang lain ke suatu tempat yang sekarang disebut dengan El-Amarna .2
Setelah kematian ayahnya, Amenhotep IV muda mendapatkan tekanan yang hebat. Tekanan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ia membangun sebuah agama yang berdasarkan paham monotheisme dengan mengubah agama tradisional politheisme Mesir dan memcoba untuk melakukan perubahan-perubabahan yang radikal dalam berbagai bidang. Namun para pemimpin Thebes tidak memperbolehkannya untuk menyampaikan pesan dari agama ini. Amenhotep IV dan orang-orangnya kemudian berpindah dari kota Thebes dan bermukim di Tell-El-Amarna. Disini mereka membangun sebuah kota baru yang modern yang dinamakan "Akh-et-aton". Amenhotep IV mengubah namanya yang berarti "kesenangan/kesayangan dari sang Amon" menjadi Akh-en-aton yang berarti "Tunduk kepada sang Aton". Amon adalah nama yang diberikan untuk patung (totem) yang terbesar dalam kepercayaan politheisme bangsa Mesir. Menururt Amenhotep IV, Aton adalah "pencipta dari surga dan dunia", penyamaan nama sebutannya untuk Allah.
Merasa terganggu dengan perkembangan ini, maka para pendeta Amon ingin merenggut kekuatan Akhenaton dengan menciptakan krisis ekonomu di negaranya. Akhenaton akhirnya terbunuh dengan cara diracun oleh para komplotan yang ingnin menghancurkannya. Para Fir'aun berikutnya merasa khawatir dan merekapun tenggelam dalam pelukan pengaruh para pendea tersebut.
Setelah Akhenaton, muncullah Fir'aun yang berkuasa dengan kekuatan militer. Hal ini sekali lagi mengakibatkan tradisi lama politheisme menjadi berkembang luas dan adanya usaha untuk kembali ke masa lalu. Beberapa abad kemudian, Ramses II yang berkuasa paling lama dalam sejarah Mesir diangkat menjadi raja. Menurut banyak ahli sejarah, Ramses II adalah Fir'aun yang menyiksa Bani Israel dan berperang terhadap Nabi Musa . 3
CATATAN
1. Ernst H. Gombrich, Gençler için Kisa Bir Dünya Tarihi, (Translated into Turkish by Ahmet Mumcu from the German original script, Eine Kurze Weltgeschichte Für Junge Leser, Dumont Buchverlag, Köln, 1985), Istanbul: Inkilap Publishing House, 1997, hlm. 25 2. Ernst H. Gombrich, The Story of Art, London MCML, The Phaidon Press Ltd., hlm. 42 3. Eli Barnavi, Historical Atlas of The Jewish People, London: Hutchinson, 1992, hlm. 4; "Egypt", Encyclopedia Judaica, Vol. 6, hlm. 481 and "The Exodus and Wanderings in Sinai", Vol. 8, hlm. 575; Le Monde de la Bible, No:83, July-August 1983, hlm. 50; Le Monde de la Bible, No:102, January-February 1997, hlm. 29-32; Edward F. Wente, The Oriental Institute News and Notes, No:144, Winter 1995; Jacques Legrand, Chronicle of The World, Paris: Longman Chronicle, SA International Publishing, 1989, hlm. 68; David Ben Gurion, A Historical Atlas Of the Jewish People, New York: Windfall Book, 1974, hlm. 32
|
|
Posting Komentar
Posting Komentar