-->

KLIPING 1



TUHAN TERSENYUM
By : Mohammad Sobary




“Don’t take your organs to heaven. Heavens knows we need them here
Pernahkah Tuhan tersenyum, atau melucu ? Dalam kitab suci tak saya temukan dua hal itu. Begitu juga dalam hadits nabi. Pemahaman tekstual saya atas agama terbatas. Pengajian saya masih rendah, kata orang Minang. Tapi kalau soalnya Cuma “adakah khatib yang melucu, atau marah”, saya punya data.

Di tahun 1978, seorang khatib melucu di masjid UI Rawamangun. Akibatnya, jema’ah yang tadinya sudah liyep-liyep jadi melek penuh. Mereka menyimak pesan Jum’at, sambil tersenyum. Tapi khatib ini tak Cuma menghasilkan senyum itu. Ia diganyang oleh sesama khatib yang naik mimbar pada Jum’at berikutnya.

Dalam isi khotbah itu sang khatib menyinggung bahwa. “Agama bukan barang lucu”...semburnya “Dan tak perlu dibikin lelucon. Mimbar Jum’at bukan arena humor, karena itu sengaja melucu dalam khotbah dilarang ...”

Vonis jatuh. Marah khatib kita ini. Dan saya mencatat “tambahan” larangan satu lagi. Sebelum itu demonstrasi mahasiswa sudah dilarang “yang berwajib” senat dan Dewan dibekukan. Milik mahasiswa yang tinggal satu itu “melucu buat mengejek dirinya sendiri” akhirnya dilarang juga.

Kita memang perlu norma, tapi juga perlu kelonggaran. Maka, saya khawatir kalau menguap di masjid bakal dilarang. Siapa tahu di rumah Allah hal itu tidak sopan, buat jemaah yang suka menguap macam saya, karena jarang setuju dengan isi khotbah, tetapi belum adanya larangan itu melegakan.

Saya mendengar Komar dikritik banyak pihak. Soalnya, dalam ceramah agamanya ia melucu. Tapi Komar punya alasan shahih. Ia konon sering mengamati sekitar. Di kampungnya banyak anak-anak muda tak tertarik pada ceramah agama.

“Mengapa?” tanya Pak Haji Komar, karena isinya Cuma sejumlah ancaman neraka”.

Wah ... itu sebabnya ia, yang memang pelawak, memberi warna humor dalam ceramahnya, dan remaja pun akhirnya tertarik untuk aktif hadir mengikuti berbagai kegiatan ceramahnya.

Saya suka sufisme. Di sana Tuhan dilukiskan serba ramah, dan bukannya marah melulu macam gambaran kita. A’u dibaca angu, tidak bisa. Dzubi jadi Dubi, tidak boleh. Khotbah lucu, jangan Lho ...?

Bukannya alam ini pun “khatbah” Tuhan? Langit selebar itu berdiri tegak tanpa tiang, bulan bergelayut tanpa cantelan dan aman, apa bukan khatbah maha jenaka? Apa salahnya humor dalam agama.

Di tahun 1960-an, Marhaen ingin hidup mati dibelakang Bung Karno. Dalam humor, saya cukup di belakang Bung Komar. Artinya bagi saya, humor agama bikin sehat iman, Dus, tidak haram jadah.

Di Universitas Monas saya temukan stiker “Jangan bawa organmu ke surga. Orang surga sudah tahu kita lebih memerlukannya di sini”. Ini bauan ini bukan dari Gereja, melainkan ini dari koperasi kredit. Intinya, kita diajak berkoperasi. Dengan itu kita santuni kaum dhu’afa, kaum yang lemah.

Ini pun “khotbah” lucu. Dalam kisah sufi ada disebut cerita seorang gaek penyembah patung. Ia menyembah tanpa pamrih. Tapi di suianya yang ke-70 tahun ia memiliki kebutuhan yang penting dan amat mendesak. Do’a pun dipanjatkan dan diajukan. Sayang, patung di hadapannya itu Cuma diam. Kakek kecewa, akhirnya ia minta pada Allah. Dan ajaib seketika do’a dikabulkan.

Bukan urusan dia bila masalah kemudian timbul, sebab Allah lah bukan dia, yang diprotes oleh para malaikat.

“Mengapa ya Allah, Kau kabulkan do’a si kakek? Lupakah Kau ia penyembah patung yang fanatik? Bukankah ia kafir yang nyata?

Allah senyum, “Betul”, jawabnya, “Tapi kalau bukan Aku, siapa akan mengabulkan do’anya? Kalau Aku pun diam, lalu apa bedanya Aku dengan patung?

Siang malam aku berdo’a, semoga humor kaum sufi ini tak dilarang.[]
                                
Mengundang Tuham Makan Malam

Pada suatu hari beberapa orang dari bani Israil datang menemui Musa AS dan berkata, “Wahai Musa, bukankah kau boleh bicara dengan Tuhan? Tolong sampaikan kepada_Nya, kami ingin mengundang_Nya makan malam”

Musa marah luar biasa. Ia berkata bahwa Tuhan tidak perlu makan atau minum.

Ketika Musa datang ke Gunung Sinai untuk berbicara dengan Tuhan, Tuhan bersabda, “Mengapa kau tidak menyampaikan kepada_Ku undangan makan malam dari hamba_Ku?

Musa menjawab, “Tapi Tuhanku, Engkau tidak makan. Engkau pasti tidak akan menerima undangan bodoh  seperti itu”

Tuhan berkata, “Simpan pengetahuan antara kau dan Aku. Katakan pada mereka. Aku akan datang memenuhi undangan itu

Turunlah Musa dari Gunung Sinai dan mengumumkan bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama Bani Israil. Tentu saja termasuk Musa, menyiapkan jamuan yang amat mewah. Ketika mereka sedang sibuk memasak hidangan-hidangan terlezat dan mempersiapkan segalanya, seorang kakek tua muncul tanpa diduga.

Orang tua yang kumuh dan miskin itu sedang kelaparan. Ia meminta sesuatu untuk dimakan. Para koki yang sibuk menolaknya. “Tidak ... tidak”. Kami sedang menunggu Tuhan. Nanti jika Tuhan telah datang, kita boleh makan bersama-sama. Mengapa kau hanya berdiri, lebih baik kamu ikut mengambilkan air dari sumur!”

Mereka tidak memberi apa pun untuk si kakak yang malang itu. Waktu berlalu, tetapi ternyata Tuhan tidak datang. Musa menjadi amat malu dan tidak tahu harus berbuat apa kepada para pengikutnya.

Keesok harinya Musa kembali pergi ke Gunung Sinai dan berkata, “Tuhan apa yang Kau lakukan kepadaku? Aku berusaha meyakinkan setiap orang bahwa Kau ada. Kau Katakan akan datang ke jamuan kami, tapi ternyata Kau tak muncul. Sekarang tidak ada yang akan mempercayaiku lagi!”

Tuhan menjawab, “Aku datang, jika saja kau memberi makan kepada hamba_Ku yang miskin, kau telah memberi makan kepada_Ku. Aku yang tidak akan boleh dimasukkan ke seluruh semesta, boleh dimasukkan kedalam hati hamba_Ku yang beriman”

Ketika kita berkhidmat kepada hamba Tuhan, kita telah berkhidmat kepa_Nya. Ketika kita mengabdi kepada makhluk, sesungguhnya kita juga sedang mengabdi kepada Sang Khaliq.[]

Bahlul Dan Tahta Raja

Bahlul si tolol yang bijaksana, sering menyembunyikan kecendekiaannya di balik tabir kegilaan. Dengan itu ia dapat keluar masuk istana Harus Al Rasyid dengan bebasnya. Sang Raja pun amat menghargai bimbingannya.

Suatu hari Bahlul masuk ke istana dan menemukan singgasana Raja kosong. Dengan enteng ia langsung mendudukinya. Menempati tahta Raja termasuk kedalam kejahatan berat dan dihukum mati. Para pegawai dan pengawal pribadi Raja yang mengetahui ulahnya langsung menangkap Bahlul, menyeretnya turun dari tahta, dan memukulinya. Mendengar teriakan Bahlul yang kesakitan, Raja segera menghampirinya.

Bahlul masih menangis keras ketika Raja menanyakan sebab keributan ini kepada para pengawal. Raja berkata pada yang memukuli Bahlul, “Kasihan! Orang ini gila. Mana ada orang waras yang berani menduduki singgasana Raja? Ia lalu berpaling ke arah Bahlul, “Sudahlah tak usah menangis. Jangan khawatir, cepat hapus air matamu.” Bahlul menjawab, “Wahai Raja, bukan pukulan mereka yang membuatku menangis. Aku menangis karena ksihan terhadapmu”

“Kau mengasihiku? Harun menghardik. “Mengapa engkau harus mengasihiku? Bahlul menjawab, “Wahai Raja, aku Cuma duduk di tahtamu sekali, tetapi mereka memukuliku dengan begitu keras, apalagi kau, yang telah menduduki tahtamu selama dua puluh tahun. Pukulan seperti apa yang akan kau terima? Aku menangis karena memikirkan nasibmu yang malang ... []

Dikutip dari Majalah Warta Edisi 07/2004

GURU

Dalam ilmu othak-athik gathuk-nya orang Jawa, suku kata gu dari kata guru itu berarti digugu dan ru, artinya ditiru. Barangkali benar, guru memang digugu (dianut) dan ditiru, diteladani para murid. Dari sana, barangkali Ki Hajar Dewantara merumuskan peran guru yang terkenal: ing ngarso asung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani itu. Barangkali dari sana pula pepatah kita “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” itu memperoleh inspirasinya.

Sardono W. Kusumo pernah mengatakan kepada saya bahwa di masyarakat Jawa, guru tidak harus merupakan sebuah sosok pribadi, melainkan bisa juga cuma berupa citra atau sosok bayangan. Dalam sebuah lakon disebutkan, ketika Resi Durna sedang mengajar para satria Pandawa dan Astina memanah, seorang satria lain datang hendak berguru memanah kepada resi tersebut.

“Tidak bisa, ki sanak,” sahut Begawan Durna. “Saya sudah teken kontrak untuk hanya mengajar para satria ini, dan tak akan lagi pernah menerima murid lain.”

Satria itu kemudian pergi dengan rasa kecewa. Namun, tekadnya untuk berguru kepada Begawan Durna tetap membara. Citra Durna sebagai guru sakti tak ada duanya sangat mempengaruhinya.

Syahdan, sang satria pun kemudian membuat patung Pandita Durna Ia lalu mulai belajar memanah, sambil membayangkan bahwa ia sedang benar-benar belajar kepada pandita sakti itu. Dan konon, kehebatan satria ini tak kalah dari para murid yang belajar dari Durna secara langsung.

Mudah diduga, andaikata Durna menerimanya sebagai murid, pasti satria itu bakal menjadi murid yang taat kepada guru. Apa pun perintah sang guru, murid itu pasti akan mematuhinya. Dengan kata lain, murid itu pasti akan mampu memanggul tugasnya sebagai murid yang harus senantiasa membuktikan bahwa guru memang seyogianya digugu lan ditiru.

Tapi, masihkah sekarang ini guru memperoleh kehormatan sebagai orang tua yang tetap digugu lan ditiru (didengar petuahnya, ditiru tindakannya?). Zaman berubah. Musim pun berganti. Dan dalam pergantian itu, kita tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan yang tak lagi sejalan dengan tafsir ideal tentang guru sebagai yang digugu lan ditiru.

Kita dibuat terkejut oleh sejenis pemberontakan moral dan penjungkirbalikan tatanan ideal dalam tafsir Jawa tadi. Dan, kita sepertinya tak siap menghadapi kenyataan ketika guru bukan cuma tak lagi digugu lan ditiru, melainkan juga digebuk oleh sang murid.

Kita belum punya jawaban, apa yang mesti kita katakan sekarang ketika kita melihat murid datang kepada guru sambil membawa parang, golok, atau belati untuk mengancam sang guru, ketika gurunya tak bersedia memberinya nilai bagus atau menaikkannya ke kelas tinggi

Kondisi sosio-psikologis macam apa yang mendorong ada murid mengamuk melempari kaca dan jendela, merusak sekolah, dan mengeroyok gurunya sendiri? Apa yang salah dalam diri guru? Dan, apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam masyarakat kita? Ringkasnya, mengapa kewibawaan guru merosot serendah itu? Guru-guru berjumpalitan, mencoba berakrobatik untuk menyesuaikan diri dengan panduan dari pusat. Mereka tergencet situasi: mengejar target yang besar dari pusat akan selalu berarti menemui kesulitan dengan murid-muridnya sendiri, tapi bila ia mencoba memberi murid sedikit keleluasaan ia akan terbentur dengan atasan.

Guru memang masih tetap disanjung sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Ada bahkan yang mengatakan bahwa umumnya tiap orang besar pernah menjadi guru. Mungkin benar, tapi guru dalam masyarakat kita sekarang jelas bukan orang besar. Jadi, apakah gunanya menghibur guru dengan ucapan seperti itu?

Bagi saya, gelar pahlawan tanpa tanda jasa lebih terasa ejekan, bukan penghormatan, karena seolah-olah guru memang tak berhak memperoleh tanda jasa itu.

Guru bukan manusia merdeka. Ia tidak bebas. Ia tidak mempunyai otonomi dalam memutuskan nasib murid-muridnya, meskipun tak seorang pun berani membantah bahwa dialah yang paling tahu tentang kemampuan murid-muridnya.

Orang-tua murid yang tidak tahu ujung pangkal persoalan tak jarang campur tangan, melakukan intimidasi, atau menyogok sang guru dengan materi. Ini sekali lagi, membuktikan juga betapa guru memang bukan orang yang bebas. Ia tak merdeka. Tampaknya guru, dalam kondisinya, tak bisa berkata tidak seperti dulu ketika Durna menolak satria, calon murid yang hendak berguru kepadanya.

Guru-guru tarekat yang tak terikat panduan atasan, yang tak menggantungkan kurikulum pendidikannya kepada kekuasaan orang pusat, tampaknya masih memiliki kharisma yang besar di mata para muridnya. Guru-guru tarekat, dengan kata lain, masih tetap pengejawantahan dari konsep ideal tentang guru sebagai yang digugu lan ditiru.

Petuah sang guru tarekat didengarkan. Perintahnya disimak. “Sabda” mereka disetengahsucikan oleh para murid. Guru tarekat adalah sejenis raja yang paling berkuasa. Namun, mereka memperoleh kekuasaannya bukan dengan paksa, melainkan dengan wibawa.

Begitulah, sejarah yang digali Sartono Kartodirdjo bercerita kepada kita bahwa sebagian guru tarekat bukan cuma didengar komando jihatnya untuk menyembelih si kafir Belanda, melainkan juga dipandang sebagai penjelmaan Ratu Adil yang bakal mengembalikan harmoni dalam masyarakat serta menjanjikan ketentraman dan kemakmuran hidup mereka.

Murid-murid tarekat pernah rela mempertaruhkan leher demi melaksanakan perintah guru. Dan, murid-murid tarekat, sampai saat ini, rela mencium tangan sang guru, bahkan berebut sisa makanannya untuk ngalap berkah.

Kemandirian, kebebasan, kharismanya yang besar, dan keteladanan moralnya itu yang membuat murid tarekat rela mencium tangan bahkan sungkem, menyembah, di hadapan sang guru.

Mohammad Sobary, Jawa Pos, 15 Desember 1991

SALEH dan MALU

Beruntung, saya pernah mengenal tiga orang saleh. Ketiganya tinggal di daerah yang berbeda, sikap dan pandangan agamis mereka berbeda, dan jenis kesalehan mereka pun berbeda.

Saleh pertama di Klender, orang Betawi campuran Arab. Ia saleh, semata karena namanya. Orang menyukainya karena ia aktif siskamling meskipun bukan pada malam-malam gilirannya.

Orang kedua, Haji Saleh Habib Farisi, orang Jawa. Agak aneh memang, Habib Farisi sebuah nama Jawa. Tapi ia saleh dalam arti sebenarnya. Minimal kata para anggota jamaah masjid kampung itu.

Jenggotnya panjang. Pici putihnya tak pernah lepas. Begitu juga sarung plekat abu-abu itu. Tutur katanya lembut, seperti Mas Danarto. Ia cekatan memberi senyum kepada orang lain. Alasannya: “senyum itu sedekah”.

Kepada anak kecil, ia sayang. Hobinya mengusap kepala bocah-bocah yang selalu berisik pada saat salat jamaah berlangsung. Usapan itu dimaksudkan agar anak-anak tak lagi bikin gaduh. Tapi bocah tetap bocah. Biar seribu kali kepala diusap, ribut tetap jalan. Seolah mereka khusus dilahirkan buat bikin ribut di masjid.

“Ramai itu baik saja,” katanya sabar, (ketika orang-orang lain pada marah), “karena ramai tanda kehidupan,” katanya lagi. “Lagi pula, kita harus bisa salat khusyuk dalam keramaian itu.”

Mungkin ia benar. Buktinya ia betah berjam-jam zikir di masjid. Sering salatnya sambung-menyambung tanpa terputus kegiatan lain. Selesai magrib, ia tetap berzikir sambil kepalanya terangguk-angguk hingga isya tiba.

Jauh malam, ketika semua orang masih lelap dalam mimpi masing-masing, ia sudah mulai salat malam. Kemudian zikir panjang sampai subuh tiba.

Selesai subuh, ia zikir lagi, mengulang-ulang asmaul husna dan beberapa ayat pilihan sampai terbit matahari, ketika salat duha kemudian ia lakukan. Pendeknya, ia penghuni masjid.

Tidurnya cuma sedikit. Sehabis isya, ia tidur sekitar dua jam. Kemudian, selesai salat duha, tidur lagi satu jam. Selebihnya zikir, zikir, zikir…. Pas betul dengan nama-nama yang disandangnya. Dasar sudah saleh, plus Habib (nama sufi besar), ditambah Farisi (salah seorang sahabat Nabi).

Kalau kita sulit menemui pejabat karena banyak acara, kita sulit menemui orang Jawa ini karena ibadahnya di masjid begitu padat.

Para tetangga menaruh hormat padanya. Banyak pula yang menjadikannya semacam idola. Namun, ia pun punya kekurangan. Ada dua macam cacat utamanya. Pertama, kalau dalam salat jamaah tak ditunjuk jadi imam, ia tersinggung. Kedua, kalau orang tak sering “sowan” ke rumahnya, ia tidak suka karena ia menganggap orang itu telah mengingkari eksistensinya sebagai orang yang ada di “depan”.

“Apakah ia dengan demikian aktif di masjid karena ingin menjadi tokoh?” Hanya Tuhan dan ia yang tahu.

Pernah saya berdialog dengannya, setelah begitu gigih menanti zikirnya yang panjang itu selesai. Saya katakan bahwa kelak bila punya waktu banyak, saya ingin selalu zikir di masjid seperti dia. Saya tahu, kalau sudah pensiun, saya akan punya waktu macam itu.

“Ya kalau sempat pensiun,” komentarnya.
“Maksud Pak Haji?”
“Memangnya kita tahu berapa panjang usia kita? Memangnya kita tahu kita bakal mencapai usia pensiun?”
“Ya, ya. Benar, Pak Haji,” saya merasa terpojok
“Untuk mendapat sedikit bagian dunia, kita rela menghabiskan seluruh waktu kita. Mengapa kita keberatan menggunakan beberapa jam sehari buat hidup kekal abadi di surga?”
“Benar, Pak Haji. Orang memang sibuk mengejar dunia.”
“Itulah. Cari neraka saja mereka. Maka, tak bosan-bosan saya ulang nasihat bahwa orang harus salat sebelum disalatkan.”

Mungkin tak ada yang salah dalam sikap Pak Haji Saleh. Tapi kalau saya takut, sebabnya kira-kira karena ia terlalu menggarisbawahi “ancaman”.

Saya membandingkannya dengan orang saleh ketiga. Ia juga haji, pedagang kecil, petani kecil, dan imam di sebuah masjid kecil. Namanya bukan Saleh melainkan Sanip. Haji Sanip, orang Betawi asli.

Meskipun ibadahnya (di masjid) tak seperti Haji Saleh, kita bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa salatnya sebentar, dan doanya begitu pendek, cuma melulu istighfar (mohon ampun), ia bilang bahwa ia tak ingin minta aneh-aneh. Ia malu kepada Allah.

“Bukankah Allah sendiri menyuruh kita meminta dan bukankah Ia berjanji akan mengabulkannya?”

“Itu betul. Tapi minta atau tidak, kondisi kita sudah dengan sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang, dari hari ke hari nyadong berkah-Nya, tanpa pernah memberi. Allah memang mahapemberi, termasuk memberi kita rasa malu. Kalau rezeki-Nya kita makan, mengapa rasa malu-Nya tak kita gunakan?” katanya lagi.

Bergetar saya. Untuk pertama kalinya saya merasa malu hari itu. Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali, dan orang-orang suci –langsung di bawah komando Allah– seperti serentak mengamini ucapan orang Betawi ini.

“Perhatikan di masjid-masjid, jamaah yang minta kepada Allah kekayaan, tambahan rezeki, naik gaji, naik pangkat. Mereka pikir Allah itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita. Allah kita puji-puji karena akan kita mintai sesuatu. Ini bukan ibadah, tapi dagang. Mungkin bahkan pemerasan yang tak tahu malu. Allah kita sembah, lalu kita perah rezeki dan berkah-Nya, bukannya kita sembah karena kita memang harus menyembah, seperti tekad Al Adawiah itu,” katanya lagi.

Napas saya sesak. Saya tatap wajah orang ini baik-baik. Selain keluhuran batin, di wajah yang mulai menampakkan tanda ketuaan itu terpancar ketulusan iman. Kepada saya, Kong Haji itu jadinya menyodorkan sebuah cermin. Tampak di sana, wajah saya retak-retak. Saya malu melihat diri sendiri. Betapa banyak saya telah meminta selama ini, tapi betapa sedikit saya memberi. Mental korup dalam ibadah itu, ternyata, bagian hangat dari hidup pribadi saya juga.

Mohammad Sobary, Tempo 16 Maret 1991

Wolo-Wolo Kuwato

Dalam sebuah bacaan pesantren disebutkan kisah seorang ahli ibadah. Siang malam kerjanya berdoa melulu hingga istrinya marah karena tak ada lagi yang bisa dimakan. “Barang apa yang hidup merayap perlu makan. Carilah pekerjaan, Bang, karena sudah terbukti doa tak bisa dimakan,” gerutu istrinya.

Tak enak didengar tetangga, ia berjanji mau bekerja. Ini hanya dalih semata. Sebab, sebenarnya, ia pergi ke gua agar bisa berdoa lebih khusyuk tanpa dicereweti sang istri. Pagi hari berangkat, sorenya baru pulang. Kepada istri ia berbohong bahwa majikannya akan membayar jerih payahnya sekaligus kelak, setelah beberapa lama bekerja.

Suatu sore istrinya memasak aneka makanan. Ia heran, dari mana semua itu diperoleh? Tapi, belum sempat ditanya, si istri menjelaskan bahwa utusan majikan suaminya tadi datang mengantar bahan pangan dan sejumlah uang. “Baru aku berdoa sebentar, sudah Kaukirim bayaran begitu banyaknya,” gumam orang itu. Makin yakin ia pada kemurahan Tuhan, makin edan ia berdoa di gua.

Tentu saja, bukan apa yang dikatakan yang penting dalam kisah ini, melainkan arti simbolis yang dikandungnya. Selebihnya kita bebas menolak atau menerimanya.

Parmin, tukang becak, memang gila porkas. Banyak dukun sudah ia datangi. Tiap orang gila dan kere yang seperti gila di Yogya ia kuntit: siapa tahu dalam omelannya terdapat petunjuk nomor. Sering ia tidur di kuburan mencari impen (impian). Jerih payahnya menarik becak pun ludes di meja
Sitompul, agen porkas. Buat Parmin, hidup berarti porkas. Senik, istrinya, minta dipulangkan ke rumah orangtuanya karena tak tahan lagi hidup dalam alam porkas yang panas. Dan Gafur, anak tertuanya, berhenti sekolah karena tak ada biaya. Pendeknya, keluarga Parmin berantakan.

Mertua ikut bingung. Orangtua Parmin sendiri kehabisan nasihat. “Arep dadi opo to kowe, Min, Min …,” (mau jadi apa kamu), kata orangtuanya. Lama-lama Parmin mikir. Iya, ya. Mau jadi apa?

Memang bukan tugas sosiolog atau psikolog untuk mengentaskan Parmin dari Porkas. Ini lebih merupakan urusan rohaniwan macam Pak Kiai atau Romo Mangun. Yang jelas, bosan ke dukun, Parmin pergi ke kiai di Wonokromo, dekat dari rumahnya.

“Ada apa?” tanya Pak Kiai yang sudah tua itu.
“Saya mohon petunjuk, Pak Kiai.”
“Saya cuma kiai. Tidak bisa memberimu nomor kode,” kata Pak Kiai. Parmin pun terkesiap heran, bagaimana Pak Kiai tahu bahwa ia pecandu porkas.
“Bukan, Pak Kiai. Saya mau tobat,” kata Parmin.
Setelah pasrah bongkokan, artinya diapakan saja oleh Pak Kiai monggo mawon, jiwa Parmin “dicuci”. Diajari pula salat dan berdoa.

Tapi susah. Lidah Parmin tidak cocok untuk menyebut kata-kata Arab.
“La Khaula wala kuata illa …,” kata Pak Kiai pelan.
“La wala wala …,” Parmin tergagap-gagap. Pak Kiai mau ketawa. Berkali-kali dicoba, hasilnya tetap la wala wala. Pusing juga ahli rohani itu.
“Kalau nyebut porkas lancar, ya Min?”

Parmin mesem. Akhirnya, jalan keluar ditemukan. Doa dipermudah. Yang penting intinya: wolo-wolo kuwato. Pas betul.

“Tapi bukan cuma itu, Min. Mesti ditambah Duh, Gusti. Jadi, “Duh, Gusti, wolo-wolo kuwato. Artinya, kamu sambat, mengeluh, mengadu, pada Tuhan sambil terus giat narik becak.”

Tiap malam Jumat Parmin “digarap” Pak Kiai. Pesan beliau: “Kalau ada kegaiban, jangan heran. Gusti memang Maha gaib. Pokoknya, syukuri, dan perbanyak doa, giat usaha. Itulah laku utama,” bisik Pak Kiai.

Kegaiban itu datang. Hampir tiap pagi, istrinya menemukan selembar uang lima ribuan di bawah pintu. Parmin lapor pada Pak Kiai. Jawab beliau, “Syukuri dan perbanyak doa.”

Dulu, Parmin dirongrong nafsu “ingin punya”. Kini, di bawah asuhan Pak Kiai, seluruh jiwanya diliputi rasa pasrah. Ia ayem. Semeleh atau tawakal, memberinya ketenangan. “Hamba tak berdaya, kecuali atas pertolongan-Nya”. Mudahnya: “Duh, Gusti, wolo-wolo kuwato”.

Di shopping centre, ia pernah berkali-kali, sejak pagi sampai jam lima sore, belum dapat penumpang. Ia panik. Apalagi belum sesuap pun nasi masuk perutnya. “Duh, Gusti wolo-wolo kuwato,” keluhnya. Menjelang jam enam, seorang penumpang datang. Tanpa menawar ia langsung nomplok di becak itu. Begitu turun ia menyelipkan tiga lembar lima ribuan di saku Parmin.

Ini pun dilaporkannya pada Pak Kiai. Hanya satu hal tak dilaporkannya. Ia ingin bikin kejutan. Tapi belum sempat kejutan dibikin, ia terkejut. Pak Kiai wafat. Parmin merasa shock kehilangan godfather.

“Min, sesaat sebelum pergi, Pak Kiai mengucapkan syukur bahwa kau sudah mengkredit becak,” kata putra Pak Kiai. Parmin kaget. Lo? Beliau sudah tahu?

Memang, sejak sering ditemukannya “uang gaib” di rumah, ia menabung. Kepada istrinya ia berpesan untuk tak mengutik-utik uang di bawah bantal itu. Soal makan seadanya, ditanggulangi dari narik becak harian.

Tabungannya itu digunakannya untuk mengangsur becak Bah Gendut. Begitu becak lunas, ia ingin “matur” Pak Kiai. Namun, beliau, ternyata, tak memerlukan laporan. Pak Kiai sudah tahu sak durunge winarah (tahu rahasia di balik tabir)

“Yah, namanya juga wong suci,” pikir Parmin.

Sekarang, setelah kepergian Pak Kiai, uang “gaib” tak lagi ditemukan di bawah pintu. Dalam hati Parmin bertanya-tanya. Namun, ia sadar, kegaiban toh tak bisa terjadi terus-menerus. Kegaiban hidup memang ada. Tapi hidup tak bisa semata disandarkan pada kegaiban itu. La khaula dan mengayuh becak barunya itulah kunci hidup yang sekarang dipegangnya.

Mohammad Sobary, Tempo 2 Februari 1991

Sumur Kering

Pernah saya baca kisah seorang ahli bahasa terperosok ke dalam sebuah sumur kering. Ia tak bisa naik. Ketika tampak olehnya orang bertopi melongok ke bawah, ia berteriak minta tolong.

“Tolonglah, keluarkan aku dari sini.”

“Oke,” jawab orang bertopi itu. Ia seorang sufi yang bermaksud mencari air minum. “Tunggulah sebentar, aku cari tali dan tangga,” kata sang sufi lagi.

“Huss, logika bahasamu salah,” teriak si ahli bahasa. “Seharusnya kau bilang tangga, baru kemudian tali,” katanya lagi.

Sufi kita, yang biasa berpikir tentang hakikat, tertegun sejenak. Ia menyadari betapa tak mudah berurusan dengan orang yang bisa cerewet mengenai persoalan “kulit” dan abai terhadap perkara “isi”. Tapi kemudian ia menyahut lagi.

“Baiklah Bung, kalau dalam keadaan darurat begini kau masih lebih mengutamakan kaidah bahasa ketimbang keselamatan jiwamu, tunggulah lima tahun di situ sampai saya kembali sebagai ahli bahasa.”

Sang sufi kemudian melangkah anggun menjauhi tempat itu dan tinggallah ahli bahasa kita, termenung – menung menyesali orientasinya yang sering kelewat teknis dalam menghadapi persoalan hidup yang kompleks dan warna-warni itu.

Boleh jadi, ahli bahasa dan sufi dalam kisah ini tak pernah ada. Kisah ini, dengan kata lain, bisa saja cuma sebuah rekaan belaka. Tapi bahwa manusia dengan sikap dan pemikiran seperti mereka itu ada di sekitar kita, sebaiknya tak usah diragukan.

Saya pikir-pikir, kisah itu merupakan sebuah karikatur yang pas buat dua orang tokoh di kampung saya: Haji Mangil dan Kang Kamidin. Haji Mangil itu resminya imam masjid. Dalam urusan doa-doa, selamatan dan aneka ritus agamis ia berada di “depan”. Orang banyak telah mengkiai-kan dia. Tetapi kekuasaan real Haji Mangil jauh lebih besar lagi karena ia ternyata juga dominan secara politis.

Kang Kamidin sebaliknya. Ia tak “tampak”. Kehadirannya dalam, dan absennya dari, pertemuan, misalnya, tak menambah dan tak mengurangi arti apa pun.

Pendeknya, ia tidak “dihitung”. Ia bukan pengikut yang baik. Diajak tahlilan tidak mau. Diajak Yasinan tiap malam Jum’at sering mencolot diam-diam, karena tidak hapal surat Yasin. Buat apa anggota macam dia?

Saya sendiri netral. Posisi “non-blok” ini membuat saya bisa luwes berdialog dengan pihak mana pun.

Pernah suatu hari, setelah salat lohor di masjid, saya bertanya pada “kiai” kita mengapa ia begitu menekankan perlunya menghapal doa dan ayat-ayat.

“Kamu ini bagaimana, semuanya itu kunci pokok. Kita dilarang melakukan suatu amal bila kita tak paham akan ilmunya. Ngerti?”

Karena saya kelihatan belum mengerti, Haji Mangil pun memberi contoh. “Bila tak paham ilmu, kita beramal, itu ibarat tukang jahit memotong-motong kain seorang pelanggan sebelum ditanya buat apa kain itu,” katanya.

“Dia potong buat jas, padahal pelanggan mau bikin celana. Kan kacau jadinya?” kata Pak Haji lagi.

Saya tahu, Pak Haji menyindir Kang Kamidin yang rajin puasa Senin-Kamis, rajin salat malam, tapi buta ayat dan doa-doa.

“Maksudnya, amal itu tak sampai pada Tuhan?”

“Jelas tidak. Amal begitu sama dengan surat tanpa alamat. Surat sudah ditulis, sudah dimasukkan ke dalam amplop, sudah ada prangko, tapi tak ada alamat. Ke mana tukang pos mau menyampaikannya, coba?”

Pak Haji seorang formalis. Ia bangga bahwa Islam tegas mengajarkan sikap disiplin. Berulang-ulang dia anjurkan jamaah berdisiplin memegang waktu, agar dalam salat jamaah ada di shaf paling depan.

“Shaf paling depan itu pahalanya paling besar: dapat unta,” katanya. “Belakangnya cuma lembu. Belakangnya lagi kambing. Nah, terserah kita. Mau pilih kelas unta apa puas dengan kelas kambing,” katanya lagi.

“Kalau begitu berarti Pak Haji selalu dapat unta, dan orang lain cuma kambing, mungkin malah cuma burung emprit,” kata saya.

“Salah mereka sendiri, bukan, memilih kelas emprit?”

Para jamaah setuju seratus persen. Tapi Kang Kamidin, yang tidak termasuk main stream itu, tentu tak akur dengan “kalkulasi” tersebut.

“Ibadah ya ibadah,” kata Kang Kamidin.

“Maksudnya?”

“Ibadah itu bukti ketulusan hati. Jadi tak usah dikaitkan dengan pahala.”

“Tapi pahala kan memang dijanjikan?”

“Ya, bagi ‘anak kecil’ yang menyapu demi hadiah permen; bagi jiwa yang sujud demi pahala.”

“Apakah berarti Haji Mangil salah?”

“Kita tak punya hak menilai ibadah orang lain. Itu urusan Tuhan.”

Saya pun bertanya, bagaimana sikapnya terhadap pandangan “kiai” kita yang menganggap ibadah tanpa ilmu ibarat surat tanpa alamat.

“Tuhan tak sebodoh tukang pos, Mas,” katanya.

Lama saya berpikir. Di balik kesederhanaannya itu terselip kecanggihan. Ia tidak mau terperosok ke dalam “sumur kering” penalaran yang serba formal dan teknis.

Oma Irama pernah bilang bahwa lagu-lagunya keluar dari hati, dan pasti akan sampai ke hati. Kang Kamidin tampaknya bersikap sama: ibadah yang tulus dari hati, akan ketangkap juga oleh gelombang cahaya Tuhan, yang mahabesar kasihnya, yang tak terhingga ampunannya, dan yang mahatahu pula, betapa kita ini cuma boneka-boneka tolol, di mata-Nya.

Mohammad Sobary, Editor, No.52/Thn.IV/14 September 1991

Wanodya

Bagaimanakah persisnya gambaran kita tentang wanita? Seperti Shinta yang setia, tabah, dan sabar menahan derita? Seperti Srikandi yang kenes, tangkas, dan cenderung tregal-tregel ning ora mbebayani (agak sembrono tapi tak membahayakan)? Ataukah seperti Sarinah, sebagaimana dimaksudkan Soekarno?

Dunia berputar. Dan di dalamnya, wanita pun berubah. Soekarno salah dalam satu hal: wanita tak lagi dikungkung seperti dulu. Sudah umum sekarang bahwa wanita punya kebebasan seperti pria. Artinya, wanita juga bekerja di berbagai sektor, tempat laki-laki bisa bekerja. Dan, akibatnya, wanita pun tak lagi bergantung sepenuhnya pada pria. Toko dan warung di daerah pedesaan banyak yang berkembang di bawah kendali wanita.

Tak jarang wanita menjadi kepala keluarga. Juga tak jarang terjadi, laki-laki –yang memegang warisan tradisi sebagai pelindung keluarga itu– dalam praktek justru dilindungi sang wanita. Dan banyak laki-laki tidak merasa malu.

Tapi secara sosial maupun kultural pengakuan kita atas peran wanita masih kurang. Persepsi kultural kita masih tetap menjadikan wanita “korban”. Misalnya, betapapun jelasnya kontribusi ekonomi kaum wanita bagi keluarga, diakui umum bahwa pekerjaan wanita –seperti disebut dalam penelitian Celia E. Mather mengenai wanita pekerja di Tangerang– dianggap cuma “daripada menganggur”. Kecuali itu, ada anggapan (tentu saja di kalangan pria) yang bersifat gender specific bahwa jenis pekerjaan tertentu tak layak dikerjakan pria, karena ia “cuma” pekerjaan wanita.

Diskriminasi atas wanita terjadi di rumah tangga atau di pabrik. Di rumah, seperti dilaporkan Diane Wolf dari penelitiannya tentang wanita pekerja di Jawa Tengah, kontribusi ekonomi wanita dianggap sekunder, cuma melengkapi hasil pria. Di pabrik, kata Mather, mereka dibayar cuma tiga perempat jumlah gaji pria, biarpun sering mereka harus bekerja lebih keras dari lawan jenisnya itu.

Pendek kata, sampai saat ini anggapan tradisional tentang superioritas pria atas wanita belum tertumbangkan. Benar, wanita “dimahkotai” aneka sebutan: tiang masyarakat, surga di bawah telapak kaki ibu, atau dilambangkan sebagai bunga, dan diluhurkan sebagai ratu. Gadis paling cantik di desa disebut bunga desa. Dan di kota-kota gadis cantik, gadis luwes, gadis tangkas, dijuluki dengan aneka ratu.

Kalau dipikir-pikir, perlakuan istimewa bagi anak wanita dalam keluarga –misalnya anak wanita harus dijaga baik-baik– ternyata diam-diam mengandung “muatan” kepentingan seks buat laki-laki. Artinya, kalau ke mana saja anak dijaga, diharapkan tetap “murni” dan itu nantinya biar menyenangkan laki-laki (suaminya).

Di dunia wayang, tiap wanita muncul disambut dengan suluk ki dalang: Wanodya ayu tama ngambar arum. Ngambar aruming kusuma… (wanita cantik memancarkan harum bunga). Bunga apa, tidak penting. Tapi, melihat seorang wanodya (cewek) cuma dari sudut kecantikannya, sungguh bisa bikin merah muka kaum feminis.

Mereka akan lebih marah melihat persepsi kultural Jawa atas wanita: Wanita ateges wani ditata (namanya juga wanita, ia harus rela diatur, taat pada tatanan). Siapa yang bikin tatanan? Mungkin ayah, mungkin suami. Dan kita tahu, ayah dan suami bukan wanita, tapi laki-laki. Jadinya, wanita harus taat, tunduk pada laki-laki.

Mengapa begitu? Soalnya, wanita itu ibarat awan dadi theklek, bengine ganti dadi lemek (siang menjadi bakiak, malamnya naik pangkat menjadi alas untuk ditindih).

Dan siapa membaca Gadis Pantai-nya Pramudya Ananta Toer, akan jelas betapa rendah status wanita di kalangan santri-priayi (Geertz akan pusing melihat kombinasi ini) di masyarakat Jawa. Di kalangan itu, wanita cuma tempat menumpahkan benih. Selebihnya babu atau budak.

Adalah juga orang Jawa yang menempatkan peran wanita dalam formulasi “3 ah” sesuai dengan sebutan traditional gender-based ideology: yakni neng omah (di rumah), olah-olah (memasak), dan mlumah, ngablah-ablah (maaf, menelentang seseksi mungkin). Maksudnya, supaya sinuwun sang suami menjadi sangat berkenan di hati. Posisi wanita dalam persepsi Jawa cuma bergerak antara dua kutub: budak dan klangenan (barang, supaya tidak bilang hewan, piaraan).

Dalam ketoprak dan wayang, gambaran itu tidak menyimpang secuil pun. Wanita yang mencoba mendekati pria karena jatuh cinta disebut ngunggah-unggahi atau suwita, artinya mengabdi. Dan, kelak, bila sang pria tak lagi berkenan, wanita rela saja diusir jauh-jauh.

Hubungan kesederajatan antara pria dan wanita, pendeknya, belum pernah ada. Gagasan wanita ateges wani ditata, dan konsep ngunggah-unggahi atau suwita dan ejekan awan dadi theklek, bengi dadi lemek jelas menggambarkan adanya ideologi penindasan pria atas wanita.

Tapi tampaknya, di bawah penindasan itu wanita menemukan juga sejenis kenikmatan. Mungkin karena ada sejenis sifat cenderung “menyiksa” diri, mungkin juga karena ketakberdayaan. Atau jangan-jangan wanita-wanita cenderung jadi Shinta?

Mungkin bukan. Barangkali, wanita adalah sebuah piala cantik yang retak: ia terombang-ambing antara hasrat untuk tetap dalam posisi “tradisional” di rumah sebagai wanodya ayu tama yang “mengabdi” dan kecenderungan untuk menuntut kebebasan.

Mohammad Sobary, Tempo, 2 Mei 1992

Konsekuensi Sifat Takabur

Takabur adalah sifat atau perbuatan buruk yang paling dibenci Allah SWT, selain perbuatan menyekutukan- Nya. Ada kesamaan di antara keduanya, yaitu menganggap ada kekuatan di luar-Nya yang dapat dijadikan sebagai sumber kekuatan dan kebanggaan.

Secara definitif, takabur adalah i’jabul marâ’i binafsihi ujub, sifat terpesona dan membanggakan diri secara berlebihan. Dalam ilmu psikologi, sifat ini disebut narsisisme atau sikap yang menempatkan ego sebagai satu-satunya parameter untuk menilai segala bentuk kebenaran.

Jika manusia tertawan sifat ini, akan menjadi pihak yang merasa paling dalam segala hal; paling mampu, paling pintar, paling hebat, paling sempurna, paling kaya, paling berkuasa, dan sebagainya. Sifat ini sumber malapetaka bagi manusia, karena dapat menjerumuskan ke api neraka. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar biji sawi (atom) dari kesombongan.” (HR Muslim).

Allah SWT mengutuk siapa saja yang memelihara sifat ini, karena takabur penanda bagi pembangkangan Iblis terhadap kebesaran kekuasaan-Nya. Sesaat setelah Allah SWT menciptakan Adam, Dia memerintahkan Iblis untuk bersujud di hadapan Adam.

Namun, Iblis menolak melakukannya. Dengan congkak, Iblis berkata, “Aku lebih baik daripada dia (Adam), karena aku Kau ciptakan dari api, sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (QS Shaad [38]: 76).

Jika ada orang yang dengan congkak membanggakan dirinya, menganggap dirinya ukuran untuk segala hal, dan merasa berdaulat sepenuhnya atas hidupnya tanpa membutuhkan kehadiran dan bantuan orang lain, dia sebenarnya telah memutuskan untuk bersekutu dengan Iblis.

Di akhirat kelak, orang dengan mental takabur seperti ini juga akan menjadi teman bagi Firaun, Qarun, Namrud, dan manusia-manusia terkutuk lainnya karena kecongkakannya.

Sungguh nyata dampak buruk dari sifat takabur. Bukan hanya api neraka yang akan menunggu, tapi dalam kehidupan sosial sehari-hari pun, sifat ini tentu akan melahirkan konsekuensi buruk. Misalnya membuat orang lupa diri, serakah, egois, dan akan dimusuhi orang-orang di sekitar. Tentu saja ini hanya sedikit dampak buruk sifat takabur.

Untuk itu, kiranya perlu kita teguhkan kembali pesan Ali bin Abi Thalib RA agar terhindar dari sifat takabur. “Jika kau berjumpa dengan orang yang lebih muda, berpikirlah pasti dosanya lebih sedikit. Dan, jika kau berjumpa dengan orang yang lebih tua, berpikirlah pasti amalnya lebih banyak dari amalmu.” (EM/AA)

Tuhan Kepercayaan

Islam tidak memberikan konsepsi yang jelas tentang Tuhan yang bernama Allah. Al-Quran dalam surat al-Ikhlas menjelaskan bahwa: “Allah itu esa, semua makhluk bergantung kepada-Nya, tidak beranak dan diperanakan dan tidak sesuatupun yang menyerupainya.”. Di ayat yang lain dinyatakan bahwa, Allah sangat dekat bahkan lebih dekat dari urat nadi leher manusia dan diayat yang lain dinyatakan pula bahwa kemanapun juga kita menghadap disitulah wajah Allah.

Jika kita tidak berhati-hati dalam memahami hal ini, bukan tidak mustahil bahwa pemahaman kita tentang Allah adalah sama seperti pemahaman kita tentang Tuhan seperti yang dimaksud Ibn al-Arabi. Ibn al-Arabi menyatakan bahwa ketika kita berpikir tentang Tuhan, maka pikiran kita menciptakan Tuhan kepercayaan. Dr Kautsar Azhari Noer menjelaskan pemikiran Ibn al-Arabi sebagai berikut:

“Tuhan kepercayaan” adalah gambar atau bentuk Tuhan atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada dirinya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai kemampuan, pengetahuan, penangkapan dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “ditempatkan” oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide atau gagasannya dan “diikat”-nya dengan dan dalam kepercayaannya.

“Bentuk”, “gambar”, atau “wajah” Tuhan seperti itu ditentukan dan diwarnai oleh persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Yang diketahui diwarnai oleh yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junaid, seorang sufi terkemuka, Ibn al-Arabi berkata: “Bentuk air adalah bentuk bejana yang ditempatinya.” Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadis qudsi berkata: “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku.” Tuhan disangka oleh manusia, bukan diketahuinya. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui.

Teori Ibn al-Arabi tentang “Tuhan kepercayaan” didasarkan pula kepada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW tentang penampakan diri Tuhan pada hari kiamat. Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan Diri-Nya kepada ummat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa tidak satupun diantara bentuk-bentuk itu yang merupakan Tuhan yang sebenarnya, dan akan menyadari pula bahwa sebenarnya Tuhan yang menampakkan Diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga, tidak lain.

“Tuhan kepercayaan” adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia. Orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokan dengan “kotak” akalnya. Orang seperti ini menolak bentuk Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran “kotak” akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn al-Arabi adalah hamba nalar bukan hamba Tuhan. (Dr Kautsar Azhari Noer)

http://takbermakna.blogspot.com,

Berlarilah Menuju Allah
Oleh : Dr. Jalaluddin Rahmat

Islam adalah agama yang melanjutkan tradisi Ibrahim as. Ibadat haji, misalnya, adalah salah satu contoh tradisi Ibrahim yang masih terus dilaksanakan. Demikian juga dengan ibadat kurban. Dalam ibadat salat, kita mengakhiri salat kita dengan membaca salawat kepada Ibrahim dan keluarganya, di samping kepada Muhammad saw dan keluarganya.

Al-Quran pun banyak menceritakan perjalanan kehidupan Ibrahim. Berkaitan dengan hal ini, Al-Quran mengisahkan saat Tuhan bertanya kepada Ibrahim: Fa ayna tadzhabun. Lalu, akan ke mana kamu pergi? (QS. Al-Takwir; 26) Al-Quran mengisahkan jawaban Ibrahim: Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (QS. Al-Shaffat; 99)

Pertanyaan fa ayna tadzhabun, “Lalu ke mana kamu pergi?” juga dikenal dalam istilah Latin yang menyebutnya, “Quo Vadis?” Istilah Latin itu ditujukan untuk orang yang agak menyimpang atau aneh. Demikian pula dengan Al-Quran. Dengan itu Al-Quran bertanya kepada orang-orang yang jalannya melenceng; kepada mereka yang ada di persimpangan jalan. Pertanyaan itu mengandung arti apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup kita. Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran.

Seperti jawaban Ibrahim as, seorang sufi adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa perjalanannya adalah untuk menuju Tuhan. Dalam hidupnya, seorang sufi senantiasa pergi ke arah hadirat Tuhannya.

Allah menciptakan manusia dari tanah yang merupakan lambang dari kehinaan dan kekotoran. Al-Quran menyebutkannya sebagai nuthfah atau saripati tanah. Setelah proses penciptaan dari tanah itu, Allah menyatakan: Lalu aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku. (QS. Al-Hijr; 29)

Karena terbuat dari tanah, sifat kemanusiaan (basyariyyah) manusia menjadi selalu kotor. Seorang sufi ialah ia yang ingin menafikan kekotoran basyariyyah-nya, yakni seluruh sifat tanahnya, dan ingin menyerap unsur ruh Tuhan yang ditiupkan kepadanya. Ia meninggalkan sifat tanahnya untuk kemudian pergi dalam perjalanan menuju Allah. Perjalanan dari unsur tanah kepada unsur ruh Ilahiah itulah yang dikenal sebagai tasawuf.

Al-Quran senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju Tuhan. Allah swt berfirman: Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah. (QS. Al-Dzariyat; 50)

Al-Quran tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, tetapi ia bahkan memerintahkan kita berlari kepada-Nya. Hidup adalah terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju Tuhan dengan cara berjalan. Kita harus berlari sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir.

Kita harus berlari dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada satu, Allah swt. Sebuah hadis riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari.” Balasan dari Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan. Dalam Al-Quran surat Luqman, ayat 15, Allah swt juga berfirman: Ikutilah jalan orang yang kembali pada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Kulah kembalimu. Lalu Aku memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Nabi saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?” Para sahabat menjawab, “Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!” Rasulullah melanjutkan, “Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?” Para sahabat kembali menjawab, “Tentu kami akan bahagia sekali.”

Nabi yang mulia lalu berkata, “Allah akan lebih bahagia lagi melihat hamba-Nya yang datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya.”

Berulang kali Allah mengingatkan kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali padanya. Menurut para sufi, jalan yang dimaksud itu adalah jalan tasawuf. Karena para sufilah yang kembali kepada Allah. Salah satu jalan kepada Allah itu adalah dengan menyucikan diri -meninggalkan unsur tanah kita untuk menyerap sifat-sifat Allah.

Perjalanan menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan diri dan membersihkan hati. Hati kita sering terkotori dengan dosa yang kita lakukan. Dosa-dosa itu menghijab kita dari Tuhan. Mereka yang mampu berjumpa dengan Tuhan adalah mereka yang membawa hati yang bersih; bukan yang membawa harta dan anak-anaknya.

Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga berarti “tumbuh”. Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang, semakin tinggi pulalah derajatnya.

Psikologi Humanistik juga mengenal hal ini. Abraham Maslow menyebut puncak pertumbuhan manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya. Ia menamakannya dengan aktualisasi diri atau self actualization. Islam menyebutnya tazakka.

Upaya kita menyucikan diri harus kita iringi dengan proses meninggalkan rumah kita. Allah swt berfirman: Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah….(QS. Al-Nisa; 100).

Biasanya orang menafsirkan ayat ini secara harfiah; dengan mengartikannya sebagai orang yang pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah dalam peristiwa Hijrah. Para sufi menafsirkan kata “rumah” dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita.

Kita selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Bila kita beribadat, itu pun dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan salat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan pahala. Kita sering beribadat dengan ibadat para pedagang. Kita menjual ibadat kita untuk ditukar dengan pahala. Dalam ibadat, kita mengutamakan kepentingan pribadi kita.

Hal ini berbeda dengan para sufi. Mereka berupaya keluar dari “rumah” mereka. Mereka beribadat bukan karena mengharap pahala tetapi karena rasa terima kasih kepada-Nya. Mreka merasa berutang budi atas segala anugrah Allah kepada mereka. Itulah ibadat yang sesungguhnya. Hubungan sufi dengan Tuhannya bukanlah hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta.

Al-Quran menyebut orang yang beribadat kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya -karena terlalu cinta akan dirinya, sebagai orang yang telah mengambil tuhan selain Allah. Ia mencintai dirinya lebih dari ia mencintai Tuhan. Allah swt berfirman: Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah; 165)

Tulisan ini diawali dengan kisah Ibrahim dan ditutup dengan kisah Ibrahim pula. Syahdan, Ibrahim as akan meninggal dunia. Malaikat Izrail datang untuk mencabut nyawanya. Ibrahim berkata kepadanya, “Mana mungkin sang Khaliq mematikan kekasih-Nya?” Ibrahim seakan menggugat mengapa seorang pencinta mematikan pencintanya. Allah lalu menjawab, “Bagaimana mungkin seorang kekasih tak mau berjumpa dengan kekasihnya?” Mendengar jawaban agung itu, Ibrahim berkata, “Kalau begitu, ambillah nyawaku sekarang juga.”

Dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan melukiskan dengan indah keadaan seseorang yang telah sampai dalam perjalanan mendekati-Nya: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat nawafil (di samping ibadat fardhu) hingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi dirinya.” (HR. Bukhari)


Allah dalam Dimensi Jaläliyah dan Jamäliyah
Oleh : Dr. Jalaluddin Rahmat

Dalam Al-Quran, Allah berfirman,’Qulid’ulläha,awidurrahmänaayyama tad’uw, falahul as-mäul husnä. Berdoalah kamu dengan memanggil nama Allah, atau memanggil Al-Rahman. Karena bagiNya ada nama-nama yang baik.’ (QS. AI-Isra 110) Dari memperhatikan nama-nama Allah yang terdapat dalam Al-Quran, kita mengenal dua wajah Allah. Wajah yang pertama, kita sebut dengan wajah jalal-Nya; yakni nama-nama Allah yang menunjukkan kebesaran-Nya, keagungan-Nya, kemahaperkasaan-Nya, ketidak-dapat-terbantahan-Nya, dan kekuatanNya untuk memaksa kita. Ada nama-nama dalam Al-Quran yang menunjukkan bahwa Tuhan itu sangat berat dalam mengadzab. Misalnya syadidul’iqäb, atau Yang sangat berat siksaan-Nya. Tuhan juga adalah Al-Muntaqim, Sang Pernbalas Dendam. Semua nama itu membuat kita takut kepada-Nya.

Nama-nama yang membangkitkan rasa takut kepada-Nya dalam diri kita, dalam tasawuf disebut sebagai dimensi jaläliyah dari asma Allah swt. Menurut para sufi, dimensi jalähyah berkaitan dengan zat Allah. Kalau kita berbicara Allah sebagai satu zat, maka hubungan kita dengan Allah adalah hubungan yang jauh. Allah adalah zat yang tidak bisa kita bayangkan. Betapa pun kita mencoba untuk membayangkan Allah, Dia tetap berada di luar apa yang kita bayangkan. Karena itu, dalam Al-Quran sering disebut: subhänallahi ta’äla ‘ammä yasifün, Mahasuci Allah Ta’ala dari apa yang mereka sifatkan dan mereka bayangkan.

Seorang ulama pernah berkata, sekiranya kita melakukan shalat, lalu kita ingin shalat secara khusyuk dan kita membayangkan Allah dengan bayangan kita, maka kita telah melakukan suatu kemusyrikan. Kita menyembah bayangan kita tentang Allah sedangkan Dia Mahasuci dari apa pun yang kita bayangkan, subhänallahi ta’äla ‘ammä yasifün (QS. AI-Shafaat 159).

Kalau kita membayangkan Allah dari segi zat-Nya, maka yang harus kita lakukan adalah tanzih, atau pembersihan. Kita membersihkan diri dari segala bayangan apa pun tentang Allah. Karena Allah tidak bisa kita bayangkan. Laisa ka mitslihi syaiun, tiada yang semisal Dia sedikit pun. (QS. Al-Syura 1 1) Wa lam yakun lahu kufuwan ahad, Dia tidak menyerupai siapa pun. (QS. AI-Ikhlas 4) Jadi, sikap kita terhadap Allah dari segi zatnya adalah membersihkan Allah dari segala yang kita sifatkan.

Para filsuf menyebut Allah dari sisi jaläliyah-Nya sebagai sesuatu yang transenden, yang melintasi ruang dan waktu. Hal itu berada di luar bayangan-bayangan kita, Karena Allah bersifat transenden, maka kesan yang ditimbulkan dalam diri kita adalah zat Allah yang jauh (A1-Bu’d). Sifat-sifat yang menggambarkan jaläliyah-Nya membuat kita takut kepada-Nya, membuat kita jauh dari-Nya. Kita ingin lari dari-Nya. Dalam dimensi jalaliyah, posisi kita terhadap Allah adalah sebagai hamba-Nya (‘abd). Seperti ketika shalat kita nyatakan dengan ucapan: iyyäka na’budu. Kepada-Mu kami menyembah. (QS. Al-Fatihah 5).

Wajah Allah yang lain adalah sisi yang menunjukkan keindahan-Nya. Dimensi ini disebut dengan dimensi jamäliyah. Sachiko Murata dalam The Tao of Islam, menerjemahkan kata jaläl dengan His Majesty dan kata jamal dengan His Beauty. Jika jalal berhubungan dengan zat Allah, maka jamäl berhubungan dengan sifat-sifat Allah.

Kita tidak bisa mengenal zat-Nya karena Dia berbeda dengan kita. Oleh karena itu Allah memperkenalkan dirinya melalui sifat-sifat-Nya. Di antara sifat-sifat Allah yang jamäl itu adalah kasih-sayang-Nya, anugerah-Nya kenikmatan-Nya, karunia-Nya, dan pemeliharaan-Nya.

Hal yang menarik, dalam Al-Quran, jumlah asma Allah yang menunjukkan dimensi jamäliyah lebih banyak dari jumlah asma Allah yang menunjukkan sisi jalähyah. Menurut sebagian sufi, hal ini menunjukkan bahwa kasih sayang Allah itu jauh lebih besar daripada kemurkaannya. Allah itu lebih cepat rida-Nya daripada murka-Nya.

Jika dalam dimensi jaläliyah, kita harus membersihkan diri kita dari segala bayangan tentang Allah, maka dalam dimensi jamäliyah, kita harus melakukan apa yang disebut dengan tasybih. Tasybih artinya kita harus meniru Allah, menyerupai-Nya dalam sifat-sifat-Nya yang indah itu. Dalam ilmu Tasawuf dikenal istilah AI-Takhalluq bi khulüqillah, berakhlak dengan akhlak Allah. Kita mencoba menyerap sifat-sifat Allah itu di dalam diri kita.

Dalam perwujudan jamäl, Allah tidak dirasakan jauh karena Dia seperti kita. Peribahasa Inggris berbunyi like begets like, yang serupa itu akan saling rnenarik satu sama lain. Ilmu psikologi modern juga mengenal teon. bahwa manusia akan tertarik kepada orang-orang di sekitarnya bila di antara mereka terdapat kesamaan. Hal itu kemudian dijadikan kiat dalam teknik ilmu jiwa: Bila kita menginginkan agar orang suka pada kita, maka usahakan untuk menunjukkan kesamaan kita dengannya.

Dalam perwujudan jaläl, Allah berada jauh dari kita sehingga perasaan yang timbul dalam hati kita terhadap Dia adalah perasaan khauf (takut). Adapun dalam perwujudan jamäl, Allah berada dekat dengan kita sebagai akibat dari keserupaan kita dengan-Nya. Perasaan yang timbul di hati kita adalah perasaan mahabbah (cinta). Mahabbah ditunjukkan dalam anugerah Allah, kasih sayang, karunia, ampunan, dan pahala-Nya.

Menurut Sachiko Murata, dalam penciptaan manusia Allah menunjuk kepada sifat jamäliyah-Nya. Seperti dalam surat Al-Rahman, ‘Al-Rahmän, ‘allamal Qur’än, khalaqal insän. Dialah sang Maha Pengasih, yang mengajarkan Al-Quran, yang menciptakan insan.’ (QS. Al-Rahrnan 1-3). Al-Rahman adalah asma Allah yang menggambarkan keindahanNya. Jadi, penciptaan manusia itu lahir dari sifat jamäliyah Tuhan, dari kasih sayang-Nya.

Karena itulah ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia tidak berkata kepada para malaikat itu “Aku akan ciptakan seorang hamba di muka bumi ini.’ Tapi Tuhan berfirman, ‘Inni jä’ilun fil ardhi khalifäh. Aku akan jadikan di bumi seorang khalifah.’ (QS. AI-Baqarah 30).

Posisi kita terhadap Allah dalam dimensi jamäliyah bukan lagi posisi seorang hamba tapi posisi seorang khalifah.

Murata mengatakan bahwa di antara seluruh hamba-hamba Tuhan yang Ia ciptakan di alam semesta, yang Tuhan berikan jubah kehormatan adalah manusia. Jubah kehormatan itu adalah kekhalifahan manusia. Manusia memikul amanat yang besar untuk menjadi ‘wakil Tuhan’ di bumi. Di antara seluruh makhluk-Nya, Tuhan melihat manusia sebagai satu-satunya makhluk yang berhak mengenakan jubah kehormatan sebagai khalifah Tuhan.

Para malaikat lalu menanyakan kelayakan manusia untuk memakai jubah kehormatan ini. Yang mereka persoalkan adalah akhlak manusia, bukan komponen-komponen yang membentuk rnanusia. Malaikat bertanya, ‘Ataj’alu fihä may yufsidu fihä wa yasyfikud dimä. Wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqadissulak. Akankah Engkau jadikan di bumi seorang khalifah yang nanti akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah Padahal kami selalu bertasbih kepadaMu dan mensucikan-Mu. Seakan-akan para malaikat berkata bahwa yang paling layak menjadi khalifah adalah mereka karena kebiasaan mereka untuk mensucikan Tuhan. Tetapi Allah berfir-man, ‘Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ (lihat QS. AI-Baqarah 30).

Jubah kekhalifahan adalah amanah. Dalam Al-Quran disebutkan ketika amanah itu diberikan kepada langit, bumi, dan bukit-bukit, mereka sernua bergetar ketakutan rnenolak amanat itu. Kernudian manusialah yang menerimanya. Mengapa manusia dipilih sebagai khalifah dibandingkan makhluk-makhluk lain? Karena pada manusialah dua wajah rnanusia itu bisa bergabung.

Menurut IbnArabi, sernua makhluk itu hanya membawa satu saja dari dua sifat Allah swt. Halilintar, misalnya, hanya membawa dalam dirinya sifat jaläliyah Tuhan saja. Hujan hanya membawa sifat jamäliyah saja. Tapi pada diri manusia ada potensi untuk menggabungkan kedua dimensi itu. Karena manusia bukan saja khalifah tapi ia juga seorang abdi.

Dalam.posisinya sebagai hamba, manusia sama seperti makhluk-makhluk Allah yang lain. Pada posisinya sebagai khalifah, ia menonjol dibandingkan makhluk-makhluk yang lain. manusia memiliki berbagai keistimewaan.

Dalam ilmu-ilmu bantu Islam, yang mengambil wajah Allah dari segi jaläliyah, adalah ilmu fikih. Pada ilmu fikih, Tuhan muncul dalam sosok seorang hakim dengan palu di tangannya; jika Anda lakukan ini Anda masuk surga dan jika tidak, Anda masuk neraka. Tuhan mempunyai dua tangan. Pada satu tangan, Ia simpan surga dan pada tangan yang lain, Ia simpan neraka. Tuhan menjadi hakim yang sangat adil.

Para sufi sering mengatakan bahwa yang mereka takutkan dari Tuhan itu adalah keadilan-Nya. Dalam salah satu doa yang dianjurkan untuk dibaca setiap hari Ahad, disebutkan: Dengan nama Allah yang tidak aku harapkan kecuali karunia-Nya dan tidak aku takutkan kecuali keadilan-Nya. (lihat Shahifah Sajjädiyah, Doa Hari Ahad.) Anugerah Allah adalah sisi jamäliyah dan keadilan Allah adalah sisi jalähyah.

Satu ketika seorang cucu Rasulullah saw, Imam Ali Zainal Abidin as, bertemu dengan Hasan Al-Bashri, seorang tabiin murid Imam Ali kw. Mereka berdiskusi. Hasan Al-Bashri mengatakan, `Jika kita melihat apa yang dilakukan manusia sehari-hari sekarang ini, tampaknya tidak bakal ada seorang pun di antara manusia yang masuk surga.” Maksud Hasan Al-Bashri, bila kita perhatikan hadis-hadis, sepertinya semua manusia akan masuk neraka.

Misalnya ada hadis yang menyatakan tidak akan pernah masuk surga seseorang yang dalam hatinya ada rasa takabur walaupun sebesar debu. Dan takabur di hati kita lebih dari sebesar debu, takabur kita sebesar gunung. Padahal sebesar debu saja sudah diharamkan masuk surga. Ada pula hadis Nabi yang menyatakan barangsiapa yang usianya lebih dari empat puluh tahun, lalu kebaikannya tidak lebih besar dari keburukannya, maka setan akan menciumnya di antara dua alisnya. Di dalam idiom bahasa Arab, mencium di antara dua alis itu adalah ungkapan kasih sayang. Jadi, barangsiapa yang sudah berusia empat puluh tahun sementara kebaikannya tidak lebih besar dari keburukannya, hendaknya ia bersiap-siap untuk kedudukannya di neraka.

Bila kita simak hadis-hadis itu, rasanya kita sernua akan masuk neraka.

Lalu Imam Ali Zainal Abidin berkata kepada Hasan Al-Bashri, ‘Kalau kita perhatikan kasih sayang Allah swt, tampaknya tidak ada seorang pun yang masuk neraka.’ Dari sini dapat kita lihat bahwa Ali Zainal Abidin berada pada dataran jamäliyah Allah swt sementara Hasan AI-Bashri berada pada dataran jaläliyah Allah swt.

Sekiranya kita hanya berpegang pada dimensi jamäliyah Tuhan dan tidak memperhatikan sisi jaläliyah-Nya, kita akan menjadi orang yang sangat longgar. Kita akan seenaknya saja berbuat maksiat karena kita beranggapan toh Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kita akan melanggar berbagai aturan-Nya, karena ampunan Allah lebih luas dari dosa-dosa kita. Hukum Tuhan tidak akan bisa ditegakkan di muka bumi. Bila kita hanya menyerap sifat-sifat jamäliyah, ketika kita dirampok dan dizalimi, kita akan memaafkan saja. Karena Allah pun adalah Maha Pengampun. Dan kejahatan pun akan berkembang luar biasa di bumi ini.

Oleh sebab itu, hal ini harus kita imbangi dengan keadilan Ilahi. Keadilan Ilahi sangat ditakuti para sufi. Jika Allah itu adil dan mempertimbangkan semua amal kita, maka kita semua akan masuk neraka. Jika Dia membalas kita dengan balasan yang setimpal, celakalah kita. Jadi, keliru bila ada yang mendoakan orang yang meninggal dunia dengan ucapan, ‘Semoga Allah memberi balasan yang setimpal.’

Dalam salah satu doanya, Imam Ali Zainal Abidin berkata:

Ya Allah, setiap hari Engkau berkhidmat kepadaku
Seakan-akan tiada hamba yang lain selain aku
Padahal setiap hari pula para malaikat mengantarkan kemaksiatanku kepada-Mu
Seakan-akan aku punya Tuhan yang lain selain Engkau

Kita membantah Tuhan seakan-akan ada Tuhan yang lain yang bisa kita melarikan diri kepada-Nya. Kalau kita di-PHK dari Tuhan yang ini, kita bisa pindah kepada Tuhan yang lain. Tapi Tuhan melayani kita seakan-akan kitalah satu-satunya hamba-Nya.

Bila Allah membalas amal kita dengan keadilan-Nya, kita semua akan celaka. Kita beramal saleh, tapi amalan kita yang sedikit itu banyak sekali virusnya. Virus itu misalnya perasan riya’ (kurangnya keikhlasan) dan perasaan ‘ujub (takjub akan kesalehan kita sendiri).

Suatu saat, seorang sufi di antara shalat malamnya mendengarkan sebuah suara. Suara itu berkata, ‘Ya Aba Abdillah, kalau kejelekanmu aku ungkapkan kepada manusia yang lain, mereka akan melempari kamu dengan batu.’ Sufi itu menjawab, ‘Ya Allah, kalau Engkau ungkapkan kasih-sayang-Mu kepada semua hamba-Mu, nanti tidak akan ada seorang pun yang menyembah-Mu.” Lalu suara itu berkata, `Sudahlah, diamlah kamu supaya aku juga diam.’ Dialog itu mengkombinasikan jamäliyah dan jaläliyah Tuhan. Seorang sufi adalah seorang yang menerima dimensi jaläliyah Allah, tetapi ia lebih menitikberatkan pada dimensi jamäliyah-Nya.

Ilmu fikih berkaitan dengan hukum, keadilan, dan syariat. Ia menggarisbawahi sifat-sifat jaläliyah Tuhan. Karena itu, bila tasawuf tidak disertai dengan fikih akan lahir kelalaian dan kecenderungan untuk berbuat maksiat. Para sufi mengatakan: Tarekat tanpa syariat itu bätil (sesat) sedangkan syariat tanpa tarekat itu ‘ätil (kosong, tak berisi).

Ilmu Islam yang lain yang menekankan jaläliyah-Nya Allah Swt adalah ilmu kalam (teologi). Para filosof Islam lebih menekankan jaläliyah Allah Swt. Dulu ketika kita belajar sifat-sifat Allah, pelajaran yang kita peroleh itu berasal dari ilmu kalam. Yang kita hafalkan sifat Allah itu ada dua puluh. Kedua puluh sifat itu menunjukan perbedaan kita dengan Allah swt. Seperti wujud, qidam, baqa, dan mukhlafatuhu lil hawaditsi, semua itu menunjukan perbedaan. Sifat yang sama dengan kita hanya tiga yang terakhir: mendengar, melihat, dan berbicara. Sifat-sifat yang awal itu menunjukan sifat yang berbeda dengan kita. Bahkan ditegaskan dalam salah satu sifat-Nya, mukhalafatuhu lil hawaditsi: Allah itu berbeda dengan makhluknya. Itu semua berasal dari ilmu kalam.”


Etika Menolong Dalam Islam
Oleh : Dr. Jalaluddin Rahmat

Ada banyak nama untuk bulan Ramadhan. Nabi Muhammad SAW menyebutnya Bulan Keberkahan, Bulan Kesabaran, Bulan Ampunan, dan Bulan Berbagi (Syahr al-Muwasat). Pada bulan ini orang kaya bukan saja harus berbagi kekayaan dengan orang miskin, ia juga harus ikut berempati dengan penderitaan mereka. Orang beruntung harus berbagi kebahagiaan dengan orang yang malang.

Perintah untuk berbagi ini diingatkan dengan doa yang harus dibaca setiap selesai shalat wajib:

Ya Allah, masukkan kebahagiaan kepada para penghuni kubur
Ya Allah, kayakanlah semua orang yang miskin
Ya Allah, kenyangkan semua orang yang lapar
Ya Allah, beri pakaian semua orang yang telanjang
Ya Allah, tunaikan utang semua orang yang berutang
Ya Allah, lepaskan derita semua orang yang menderita
Ya Allah, kembalikan semua orang yang terasing
Ya Allah, bebaskan semua orang yang terpenjara
Ya Allah, sembuhkan semua orang yang sakit

Bersamaan dengan doa yang mereka lantunkan, semua Muslim harus menjadi tangan-tangan Tuhan untuk memenuhi doa itu. “Puasa itu hanya untuk Aku,” kata Tuhan. Puasa dipersembahkan hanya untuk Tuhan. Tidak ada persembahan yang paling agung selain perkhidmatan kepada makhluk-Nya. Mencintai Tuhan hanya dapat dilakukan dengan mencintai sesama manusia. Karena itu, amal yang paling dicintai Tuhan pada Bulan Berbagi bukanlah ibadah ritual yang bersifat individual, tetapi ibadah sosial yang membagikan kebahagiaan kepada orang banyak.

Mencintai Tuhan dengan mencintai manusia digambarkan Leigh Hunt, penyair Inggris, dalam kisah seorang sufi, Abou Ben Adhem, yakni Abou Ben Adhem (semoga kabilahnya bertambah) satu malam terbangun dari mimpinya yang indah. Dan ia lihat, di ruangan dalam cahaya terang rembulan, yang gemerlap ceria seperti bunga lili yang sedang merekah, seorang malaikat menulis pada kitab emas. Ketenteraman jiwa membuat Abou berani berkata kepada sang Sosok di kamarnya, “Apa yang sedang kamu tulis?”

Bayangan terang itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang lembut dan manis ia berkata, “Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan.” “Adakah namaku di situ?” kata Abou. “Tidak. Tidak ada,” jawab malaikat. Abou berkata dengan suara lebih rendah, tapi tetap ceria, “Kalau begitu aku bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia.” Malaikat menulis dan menghilang.

Pada malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Aduhai! Nama Abou Ben Adhem di atas semua nama.
Menolong mereka berarti menolong Aku

Abou Ben Adhem mungkin lahir di negara yang sekarang ini disebut Afganistan. Ia tidak begitu dikenal dibandingkan dengan teman senegaranya, Jalaluddin Balkhi (alias Rumi). Tetapi, keduanya menekankan pentingnya kecintaan kepada Tuhan sebagai hakikat keberagamaan.

Bagi kita semua, Rumi mendendangkan lagu ini:

Marilah kita jatuh cinta lagi/ Dan sebarkan debu emas ke seluruh penjuru Bumi/ Marilah kita menjadi musim semi baru/ Dan merasakan tiupan lembut dalam wewangian surgawi/ Marilah kita busanai bumi dalam kehijauan/ Dan seperti getah pohon yang muda/ Biarkan berkat dari dalam mengaliri kita/ Marilah kita ukir permata dari hati kita yang membatu/ Dan pancarkan cahayanya untuk menyinari jalan cinta/ Lirikan cinta sejernih kristal dan kita diberkati karena cahayanya.

Baik Abou Ben Adhem maupun Rumi percaya bahwa kita tidak bisa mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama manusia. Mereka menegaskan kembali apa yang dikatakan Tuhan kepada hamba-Nya pada hari kebangkitan: pada hari kiamat, Tuhan memanggil hamba-hamba- Nya.

Ia berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Aku lapar, tapi kamu tidak memberi makan kepada-Ku.” Ia berkata kepada yang lainnya, “Aku haus, tapi kamu tidak memberiku minum.” Ia berkata kepada hamba-Nya yang lainnya lagi, “Aku sakit, tapi kamu tidak menjenguk-Ku. ” Ketika hamba-hamba- Nya mempertanyakan semuanya ini, Ia menjawab, “Sungguh si fulan lapar; jika kamu memberi makan kepadanya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan sakit; jika kamu mengunjunginya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan haus; jika kamu memberinya minum, kamu akan menemukan Aku bersamanya.” (Ibn Arabi sering mengutip hadis ini dalam Al-Futuhat al-Makkiyah) .

Ketika seorang murid baru mengikuti tarekat, syaikh-nya akan mengajarinya untuk menjalankan tiga tahap latihan rohaniah selama tiga tahun. Ia baru diizinkan mengikuti Jalan Tasawuf bila ia lulus melewatinya. Tahun pertama adalah latihan berkhidmat kepada sesama manusia. Tahun kedua beribadat kepada Tuhan, dan tahun ketiga mengawasi hatinya sendiri. Kita tidak bisa beribadat kepada Tuhan sebelum kita berkhidmat kepada sesama manusia. Menyembah Allah adalah berkhidmat kepada makhluk-Nya.

Abou Said Abul Khayr terkenal sebagai sufi yang pertama kali mendirikan tarekat sufi. Ketika salah seorang pengikutnya menceritakan seorang suci yang dapat berjalan di atas air, ia berkata, “Sejak dahulu katak dapat melakukannya! ” Ketika muridnya kemudian menyebut orang yang dapat terbang, ia menjawab singkat, “Lalat dapat melakukannya lebih baik.” Muridnya bertanya, “Guru, gerangan apakah ciri kesucian itu?” Ia menjawab, “Cara terbaik untuk mendekati Tuhan adalah melakukan perkhidmatan sebaik-baiknya kepada sesama manusia, memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya.”

Mungkin karena perhatiannya yang sangat besar pada cinta kasih, tasawuf dianggap mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan agama Kristen. Tor Andrae, pernah menjadi bishop Lutheran dari Linkvping, mengungkapkan bagaimana Yesus sering dijadikan rujukan dalam ucapan-ucapan para sufi. Mereka belajar dari Yesus bukan saja tentang kesederhanaan hidup yang dijalankannya, tetapi juga perhatiannya untuk menolong orang lain.

Namun, kaum sufi bukan hanya merujuk kepada Kristus, mereka juga belajar jalan cinta dari Musa. Seorang syaikh menyampaikan cerita berikut ini, Kaum Bani Israil satu kali mendatangi Musa, “Wahai Musa, kami ingin mengundang Tuhan untuk menghadiri jamuan makan kami. Bicaralah kepada Tuhan supaya Dia berkenan menerima undangan kami.”

Dengan marah Musa menjawab, “Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak memerlukan makanan?” Tetapi, ketika Musa menaiki bukit Sinai, Tuhan berkata kepadanya, “Kenapa tidak engkau sampaikan kepada-Ku undangan itu? Hamba-hamba- Ku telah mengundang Aku. Katakan kepada mereka, Aku akan datang pada pesta mereka Jumat petang.”

Musa menyampaikan sabda Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka sibuk mempersiapkan pesta itu. Pada Jumat sore, seorang tua tiba dalam keadaan lelah dari perjalanan jauh. “Saya lapar sekali,” katanya kepada Musa. “Berilah aku makanan.” Musa berkata, “Sabarlah, Tuhan Rabbul Alamin akan datang. Ambillah ember ini dan bawalah air ke sini. Kamu juga harus memberikan bantuan.” Orang tua itu membawa air dan sekali lagi meminta makanan. Tapi tak seorang pun memberikan makanan sebelum Tuhan datang. Hari makin larut, dan akhirnya orang-orang mulai mengecam Musa yang mereka anggap telah memperdayakan mereka.

Musa menaiki bukit Sinai dan berkata, “Tuhanku, saya sudah dipermalukan di hadapan setiap orang karena Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan.” Tuhan menjawab, “Aku sudah datang. Aku telah menemui kamu langsung, bahkan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau menyuruh Aku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Baik kamu maupun umatmu tidak ada yang menyambut-Ku dengan penghormatan. “

“Tuhanku, seorang tua memang pernah datang dan meminta makanan, tapi ia hanyalah manusia biasa,” kata Musa.

“Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu memuliakan Aku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Seluruh langit terlalu kecil untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani mereka berarti melayani Aku.”

Berbakti kepada sesama manusia bukanlah kewajiban sekelompok orang. Setiap Muslim apa pun jenis kelamin, usia, dan status sosialnya berkewajiban memperlakukan semua orang dengan baik.

Dalam Al-Quran juga ada perintah, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan- Nya dengan sesuatu pun. Berbaktilah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang kehabisan bekal, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Kami telah menyediakan orang-orang kafir seperti itu, siksa yang menghinakan. ” (QS An Nisaa: 36-37)

Menolong Harus Tulus

Tindakan membahagiakan orang lain disebut sebagai shadaqah. Kata ini berasal dari “shadaqa”, yang berarti benar sejati atau tulus. Orang yang bersedekah adalah orang yang imannya tulus. Sedekah tidak selalu berbentuk harta atau uang. “Termasuk sedekah adalah engkau tersenyum ketika berjumpa dengan saudaramu, atau engkau singkirkan duri dari jalanan,” kata Nabi Muhammad SAW.

Untuk bisa menolong orang lain dengan tulus, kita memerlukan kecintaan tanpa syarat (unconditional love) kepada semua orang. Cinta inilah yang dimasukkan sebagai fitrah dalam hati kita. Cinta ini adalah seperseratus dari Rahmat Allah yang dijatuhkan Tuhan di Bumi.

Alkisah, bertahun-tahun yang lalu, seorang ibu dari salah seorang sultan dari Khilafah Utsmaniyah membaktikan hidupnya untuk kegiatan amal saleh. Ia membangun masjid, rumah sakit besar, dan sumur-sumur umum untuk daerah permukiman yang tidak punya air di Istanbul , Turki.

Pada suatu hari, ia mengawasi pembangunan rumah sakit yang dibiayai sepenuhnya dari kekayaannya. Ia melihat ada semut kecil jatuh pada adukan beton yang masih basah. Ia memungut semut itu dan menempatkannya pada tanah yang kering.

Tidak lama setelah itu, ia meninggal dunia. Kepada banyak kawannya, ia muncul dalam mimpi mereka. Ia tampak bersinar bahagia dan cantik. Kawan-kawannya bertanya, apakah ia masuk ke surga karena sedekah-sedekah yang dilakukannya ketika masih hidup? Ia menjawab, “Saya tidak masuk surga karena semua sumbangan yang sudah aku berikan. Saya masuk surga karena seekor semut.”

(Renungan ini semula berupa makalah dengan judul Die Ethik des Helfens im Islam, yang disampaikan Jalaluddin Rakhmat pada seminar “Die Ethik des Helfens aus der Sich verschiedener Religionen”, Basel, 8-13 September 2002)

Tuhan Kepercayaan


Islam tidak memberikan konsepsi yang jelas tentang Tuhan yang bernama Allah. Al-Quran dalam surat al-Ikhlas menjelaskan bahwa: “Allah itu esa, semua makhluk bergantung kepada-Nya, tidak beranak dan diperanakan dan tidak sesuatupun yang menyerupainya.”. Di ayat yang lain dinyatakan bahwa, Allah sangat dekat bahkan lebih dekat dari urat nadi leher manusia dan diayat yang lain dinyatakan pula bahwa kemanapun juga kita menghadap disitulah wajah Allah.

Jika kita tidak berhati-hati dalam memahami hal ini, bukan tidak mustahil bahwa pemahaman kita tentang Allah adalah sama seperti pemahaman kita tentang Tuhan seperti yang dimaksud Ibn al-Arabi. Ibn al-Arabi menyatakan bahwa ketika kita berpikir tentang Tuhan, maka pikiran kita menciptakan Tuhan kepercayaan. Dr Kautsar Azhari Noer menjelaskan pemikiran Ibn al-Arabi sebagai berikut:

“Tuhan kepercayaan” adalah gambar atau bentuk Tuhan atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada dirinya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai kemampuan, pengetahuan, penangkapan dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “ditempatkan” oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide atau gagasannya dan “diikat”-nya dengan dan dalam kepercayaannya.

“Bentuk”, “gambar”, atau “wajah” Tuhan seperti itu ditentukan dan diwarnai oleh persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Yang diketahui diwarnai oleh yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junaid, seorang sufi terkemuka, Ibn al-Arabi berkata: “Bentuk air adalah bentuk bejana yang ditempatinya.” Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadis qudsi berkata: “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku.” Tuhan disangka oleh manusia, bukan diketahuinya. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui.

Teori Ibn al-Arabi tentang “Tuhan kepercayaan” didasarkan pula kepada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW tentang penampakan diri Tuhan pada hari kiamat. Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan Diri-Nya kepada ummat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa tidak satupun diantara bentuk-bentuk itu yang merupakan Tuhan yang sebenarnya, dan akan menyadari pula bahwa sebenarnya Tuhan yang menampakkan Diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga, tidak lain.

“Tuhan kepercayaan” adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia. Orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokan dengan “kotak” akalnya. Orang seperti ini menolak bentuk Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran “kotak” akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn al-Arabi adalah hamba nalar bukan hamba Tuhan. (Dr Kautsar Azhari Noer)


Memahami Nur Muhammad

Nur adalah cahaya. An-Nur adalah Sang Cahaya, salah satu Asmaul Husna. Nur adalah cahaya ciptaan yang memancar dari Cahaya Allah Yang Tak Tercipta. Ketika cahaya ini masuk ke dalam hati, ia menghilangkan tatanan maujud (al kawn) yang menghilangkan mata bathin (al bashirah) sehingga ia tidak menyaksikan sesuatu selain Allah.

Nur Muhammad adalah Cahaya Muhammad. Ini singkatan dari istilah Bahasa Arab An-Nur Muhammadiyah artinya sebuah realitas dari Muhammad atau realitas ke-muhammadan yang diciptakan sebelum penciptaan alam, yakni ketika Tuhan menggenggam cahaya dan memerintahkan agar menjadi Muhammad. Jadi dari Nur Muhammad ini alam diciptakan.

Nur Muhammad ini yang memungkinkan salik melanjutkan perjalanan menuju Hakikat Muhammad. Karena sifatnya yang dingin sang salik bisa mencapainya, kalau tidak dingin maka dia akan terbakar habis.

Dari kalangan Syiah, mereka menyebutnya dalam Bahasa Parsi, Nur Muhammadi. Konsep ini dimaksudkan sebagai nilai kesempurnaan Imam mereka, ini merupakan konsep penting dalam doktrin imamah mereka. Menurut Jaffar AsShadiq “Cahaya Muhammad diwariskan kepada laki-laki terkemuka diantara keluarga kami, dan bersinar kembali dalam diri sang Imam, dan dari kita seluruh ilmu pengetahuan berasal… Al Mahdi adalah bukti kebenaran yang terakhir sebagai penutup para imam..”.

Dari konteks kalimat di atas, konsep ini mendorong lahirnya paham emanasionisme, iluminisionisme,dan pengetahuan pancaran.

Di kalangan suni, konsep ini memiliki pengertian berbeda, sebagai fondasi sebuah konsep yang menyatakan bahwa rosul adalah manifestasi dari being. Hal ini, disebutkan dalam filsafat Plato sebagai Intellect. (Source : The Concise Encyclopaedia of Islam, Cyryll glasse), tetapi menurut Kamus Filsafat, karya Lorens Bagus, mengungkapkan bahwa Intelek bersumber pada Aristotles. Intellect berasal dari bahasa Latin, dari asal kata inter artinya antara dan legere artinya mengumpulkan, menyerap atau membaca. Jadi, maksudnya kemampuan untuk mengetahui secara konseptual dan menghubungkan apa yang dimengerti.

Doktrin ini menjelaskan berasal dari mitos manichean tentang penciptaan, dimana kreator mencipta karena serangan prinsip kejahatan yang absolut. Tuhan menciptakan diri sebagai partikel cahaya yang kemudian berhambur menjadi ciptaan sebagai sarana perlindungan. Menurut paham manicheanisme, cahaya ini merupakan tuhan itu sendiri.

Paham tentang alam berawal dari cahaya, juga disampaikan oleh Pak Subuh (Subud).

Lalu bagaimana pendapat dari kalangan alim ulama maupun para sufi atau awliya, diantaranya Al Hallaj, Ibn Arabi, dan Al Jilli?

Konsep Al Hallaj

Nur Muhammad adalah adalah cahaya purba yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali, cahaya melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum), dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang rahasia-rahasia Illahi.

Allah telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam AS. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan mahluk lainnya, bahwa “Inilah mahluk Allah yang paling mulia”.

Konsep Ibn Arabi

Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melaluinyalah pengetahuan kudus itu diturunkan kepada semua nabi, termasuk Muhammad dan santo-santo, hanya kepada Ruh Muhammad saja diberikan jawami al kalim/averba dei/firman universal.

Konsep Al Jilli

Nur Muhammad memiliki banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan malak apabila dikaitkan dengan ketinggiannya. Tidak ada kekuasaan mahluk yang melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya, karena ia kutub dari segenap falak.

Ia disebut al haqq al mahluq bih, (Al Haqq sebagai alat pencipta), hanya Allah yang tahu hakikatnya secara pasti.

Dia disebut Al Qalam Al A’la (pena tertinggi) dan al Aql Al Awal (akal pertama) karena wadah pengetahuan tuhan terhadap alam maujud, dan melalui tuhan menuangkan sebagian pengetahuannya kepada mahluk.

Adapun disebut Ar Ruh Al Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al Quds (ruh Tuhan), Al Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia adalah perbendaharaan ilmu tuhan dan dapat dipercayai-Nya.

Perbedaan antara Nur Muhammad dan Hakikat Muhammad terletak dalam berbagai tingkatan kemenurunan (tanazul) wujud, dari kegaiban bathiniah khazanah tersembunyi hingga manifestasi lahiriah kosmos.

Demikian penjelasan dari khazanah ulama/sufi manca negara, di daerah Nusantara juga memiliki sudut pandang sendiri, seperti Ronggo Warsito dalam kitab Wirid hidayat Jati, yang boleh jadi merupakan saduran dari Muhammad Ibn Fadlilah dalam kitabnya Al tuhfah Al Mursalah ila Ruhin-nabi. Beberapa aliran spiritualis juga memiliki konsep sendiri-sendiri walaupun secara global mirip antara satu dengan yang lainnya.

Sumur Kering

Pernah saya baca kisah seorang ahli bahasa terperosok ke dalam sebuah sumur kering. Ia tak bisa naik. Ketika tampak olehnya orang bertopi melongok ke bawah, ia berteriak minta tolong.

“Tolonglah, keluarkan aku dari sini.”

“Oke,” jawab orang bertopi itu. Ia seorang sufi yang bermaksud mencari air minum. “Tunggulah sebentar, aku cari tali dan tangga,” kata sang sufi lagi.

“Huss, logika bahasamu salah,” teriak si ahli bahasa. “Seharusnya kau bilang tangga, baru kemudian tali,” katanya lagi.

Sufi kita, yang biasa berpikir tentang hakikat, tertegun sejenak. Ia menyadari betapa tak mudah berurusan dengan orang yang bisa cerewet mengenai persoalan “kulit” dan abai terhadap perkara “isi”. Tapi kemudian ia menyahut lagi.

“Baiklah Bung, kalau dalam keadaan darurat begini kau masih lebih mengutamakan kaidah bahasa ketimbang keselamatan jiwamu, tunggulah lima tahun di situ sampai saya kembali sebagai ahli bahasa.”

Sang sufi kemudian melangkah anggun menjauhi tempat itu dan tinggallah ahli bahasa kita, termenung – menung menyesali orientasinya yang sering kelewat teknis dalam menghadapi persoalan hidup yang kompleks dan warna-warni itu.

Boleh jadi, ahli bahasa dan sufi dalam kisah ini tak pernah ada. Kisah ini, dengan kata lain, bisa saja cuma sebuah rekaan belaka. Tapi bahwa manusia dengan sikap dan pemikiran seperti mereka itu ada di sekitar kita, sebaiknya tak usah diragukan.

Saya pikir-pikir, kisah itu merupakan sebuah karikatur yang pas buat dua orang tokoh di kampung saya: Haji Mangil dan Kang Kamidin. Haji Mangil itu resminya imam masjid. Dalam urusan doa-doa, selamatan dan aneka ritus agamis ia berada di “depan”. Orang banyak telah mengkiai-kan dia. Tetapi kekuasaan real Haji Mangil jauh lebih besar lagi karena ia ternyata juga dominan secara politis.

Kang Kamidin sebaliknya. Ia tak “tampak”. Kehadirannya dalam, dan absennya dari, pertemuan, misalnya, tak menambah dan tak mengurangi arti apa pun.

Pendeknya, ia tidak “dihitung”. Ia bukan pengikut yang baik. Diajak tahlilan tidak mau. Diajak Yasinan tiap malam Jum’at sering mencolot diam-diam, karena tidak hapal surat Yasin. Buat apa anggota macam dia?

Saya sendiri netral. Posisi “non-blok” ini membuat saya bisa luwes berdialog dengan pihak mana pun.

Pernah suatu hari, setelah salat lohor di masjid, saya bertanya pada “kiai” kita mengapa ia begitu menekankan perlunya menghapal doa dan ayat-ayat.

“Kamu ini bagaimana, semuanya itu kunci pokok. Kita dilarang melakukan suatu amal bila kita tak paham akan ilmunya. Ngerti?”

Karena saya kelihatan belum mengerti, Haji Mangil pun memberi contoh. “Bila tak paham ilmu, kita beramal, itu ibarat tukang jahit memotong-motong kain seorang pelanggan sebelum ditanya buat apa kain itu,” katanya.

“Dia potong buat jas, padahal pelanggan mau bikin celana. Kan kacau jadinya?” kata Pak Haji lagi.

Saya tahu, Pak Haji menyindir Kang Kamidin yang rajin puasa Senin-Kamis, rajin salat malam, tapi buta ayat dan doa-doa.

“Maksudnya, amal itu tak sampai pada Tuhan?”

“Jelas tidak. Amal begitu sama dengan surat tanpa alamat. Surat sudah ditulis, sudah dimasukkan ke dalam amplop, sudah ada prangko, tapi tak ada alamat. Ke mana tukang pos mau menyampaikannya, coba?”

Pak Haji seorang formalis. Ia bangga bahwa Islam tegas mengajarkan sikap disiplin. Berulang-ulang dia anjurkan jamaah berdisiplin memegang waktu, agar dalam salat jamaah ada di shaf paling depan.

“Shaf paling depan itu pahalanya paling besar: dapat unta,” katanya. “Belakangnya cuma lembu. Belakangnya lagi kambing. Nah, terserah kita. Mau pilih kelas unta apa puas dengan kelas kambing,” katanya lagi.

“Kalau begitu berarti Pak Haji selalu dapat unta, dan orang lain cuma kambing, mungkin malah cuma burung emprit,” kata saya.

“Salah mereka sendiri, bukan, memilih kelas emprit?”

Para jamaah setuju seratus persen. Tapi Kang Kamidin, yang tidak termasuk main stream itu, tentu tak akur dengan “kalkulasi” tersebut.

“Ibadah ya ibadah,” kata Kang Kamidin.

“Maksudnya?”

“Ibadah itu bukti ketulusan hati. Jadi tak usah dikaitkan dengan pahala.”

“Tapi pahala kan memang dijanjikan?”

“Ya, bagi ‘anak kecil’ yang menyapu demi hadiah permen; bagi jiwa yang sujud demi pahala.”

“Apakah berarti Haji Mangil salah?”

“Kita tak punya hak menilai ibadah orang lain. Itu urusan Tuhan.”

Saya pun bertanya, bagaimana sikapnya terhadap pandangan “kiai” kita yang menganggap ibadah tanpa ilmu ibarat surat tanpa alamat.

“Tuhan tak sebodoh tukang pos, Mas,” katanya.

Lama saya berpikir. Di balik kesederhanaannya itu terselip kecanggihan. Ia tidak mau terperosok ke dalam “sumur kering” penalaran yang serba formal dan teknis.

Oma Irama pernah bilang bahwa lagu-lagunya keluar dari hati, dan pasti akan sampai ke hati. Kang Kamidin tampaknya bersikap sama: ibadah yang tulus dari hati, akan ketangkap juga oleh gelombang cahaya Tuhan, yang mahabesar kasihnya, yang tak terhingga ampunannya, dan yang mahatahu pula, betapa kita ini cuma boneka-boneka tolol, di mata-Nya.

Mohammad Sobary, Editor, No.52/Thn.IV/14 September 1991

Lima Pintu Menuju Keindahan dan Kebahagiaan

Gede Prama memulai talkshow dengan bercerita tentang tokoh asal Timur Tengah, Nasruddin. Suatu hari, Nasruddin mencari sesuatu di halaman rumahnya yang penuh dengan pasir. Ternyata dia mencari jarum. Tetangganya yang merasa kasihan, ikut membantunya mencari jarum tersebut. Tetapi selama sejam mereka mencari, jarum itu tak ketemu juga.

Tetangganya bertanya, “Jarumnya jatuh dimana?”

“Jarumnya jatuh di dalam,” jawab Nasruddin.

“Kalau jarum bisa jatuh di dalam, kenapa mencarinya di luar?” tanya tetangganya. Dengan ekspresi tanpa dosa, Nasruddin menjawab, “Karena di dalam gelap, di luar terang.”

More…Begitulah, kata Gede Prama, perjalanan kita mencari kebahagiaan dan keindahan. Sering kali kita mencarinya di luar dan tidak mendapat apa-apa. Sedangkan daerah tergelap dalam mencari kebahagiaan dan keindahan, sebenarnya adalah daerah-daerah di dalam diri. Justru letak ‘sumur’ kebahagiaan yang tak pernah kering, berada di dalam. Tak perlu juga mencarinya jauh-jauh, karena ‘sumur’ itu berada di dalam semua orang.

Sayangnya karena faktor peradaban, keserakahan dan faktor lainnya, banyak orang mencari sumur itu di luar. Ada orang yang mencari bentuk kebahagiaannya dalam kehalusan kulit, jabatan, baju mahal, mobil bagus atau rumah indah. Tetapi kenyataannya, setiap pencarian di luar tersebut akan berujung pada bukan apa-apa. Karena semua itu, tidak akan berlangsung lama. Kulit, misalnya, akan keriput karena termakan usia, mobil mewah akan berganti dengan model terbaru, jabatan juga akan hilang karena pensiun.

“Setiap perjalanan mencari kebahagiaan dan keindahan di luar, akan selalu berujung pada bukan apa-apa, leads you nowhere. Setiap kekecewaan hidup yang jauh dari keindahan dan kebahagiaan, berangkat dari mencarinya di luar,” tegas Gede Prama. Untuk mencapai tingkatan kehidupan yang penuh keindahan dan kebahagiaan, seseorang harus melalui 5 (lima) buah ‘pintu’ yang menuju ke tempat tersebut.

Pintu pertama adalah stop comparing, start flowing. “Stop membandingkan dengan yang lain. Seorang ayah atau ibu belajar untuk tidak membandingkan anak dengan yang lain. Karena setiap pembandingan akan membuat anak-anak mencari kebahagiaan di luar,” ujar Gede Prama.

Setiap penderitaan hidup manusia, setiap bentuk ketidakindahan, menurut Gede Prama, dimulai dari membandingkan. Gede Prama mencontohkan orang kaya berkulit hitam yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa dia berkulit hitam. Orang itu sering kali membandingkan dirinya dengan orang kulit putih.

“Uangnya banyak, mampu mengongkosi hobinya untuk operasi plastik. Sehingga orang yang hidup dari satu perbandingan ke perbandingan lain, maka hidupnya kurang lebih sama dengan seorang orang kaya itu. Leads you nowhere,” kata Gede Prama dengan logatnya yang khas.

Karena itu, Gede Prama mengajak peserta ke sebuah titik, mengalir (flowing) menuju ke kehidupan yang paling indah di dunia, yaitu menjadi diri sendiri. Apa yang disebut flowing ini sesungguhnya sederhana saja.

Kita akan menemukan yang terbaik dari diri kita, ketika kita mulai belajar menerimanya. Sehingga kepercayaan diri juga dapat muncul. Kepercayaan diri ini berkaitan dengan keyakinan-keyakinan yang kita bangun dari dalam. “Tidak ada kehidupan yang paling indah dengan menjadi diri sendiri. Itulah keindahan yang sebenar-benarnya!” kata Gede Prama.

Pintu kedua menuju keindahan dan kebahagiaan adalah memberi. Sebab utama kita berada di bumi ini, kata Gede Prama, adalah untuk memberi. “Kalau masih ragu dengan kegiatan memberi, artinya kita harus memberi lebih banyak,” ujar Gede Prama.

“Saya melihat ada 3 tangga emas kehidupan; I intend good, I do good and I am good. Saya berniat baik, saya melakukan hal yang baik, kemudian saya menjadi orang baik. Yang baik-baik itu bisa kita lakukan, bila kita konsentrasi pada hal memberi,” lanjut Gede Prama lagi. Memberi tidak harus selalu dalam bentuk materi. Pemberian dapat berbentuk senyum, pelukan, perhatian. Dan setiap manusia yang sudah rajin memberi, dia akan memasuki wilayah beauty and happiness.

“Saya sering bertemu dengan orang-orang kaya. Ada yang suka memberi, ada yang pelit. Saya melihat orang yang tidak suka memberi muka orang itu keringnya minta ampun. Orang yang mukanya kering ini bertanya pada saya, apa rahasia kehidupan yang paling penting yang bisa saya bagi ke saya.

Saya bilang sleep well, eat well,” ungkap Gede Prama sambil tersenyum. Artinya memang, untuk ongkos untuk menjadi bahagia tidak mahal. Hanya saja orang sering kali memperumit hal yang sudah rumit. Kalau kita sederhanakan, sleep well, eat well akan jadi mudah jika diikuti dengan kegiatan memberi.

Pintu ketiga untuk menuju keindahan dan kebahagiaan adalah berawal dari semakin gelap hidup Anda, semakin terang cahaya Anda di dalam. Perhatikanlah bintang di malam hari tampak bercahaya, jika langitnya gelap. Sedangkan, lilin di sebuah ruangan akan bercahaya bagus, jika ruangannya gelap. Artinya, semakin Anda berhadapan dengan masalah dan cobaan dalam hidup, semakin bercahaya Anda dari dalam.

“Jika Anda punya suami yang keras dan marah-marah, jangan lupa bersyukurlah. Karena suami yang keras dan marah-marah, membuat sinar dari dalam diri Anda bercahaya. Anda punya istri cerewetnya minta ampun. Bersyukurlah, karena orang cerewet adalah guru kehidupan terbaik. Paling tidak dari orang cerewet kita belajar tentang kesabaran.

Jika Anda punya atasan diktatornya minta ampun. Bersyukurlah, karena Anda dapat belajar tentang kebijaksanaan,” ujar Gede Prama membesarkan hati.

Orang yang pada akhirnya menemukan keindahan dan kebahagiaan, menurut Gede Prama, biasanya telah lulus dari universitas kesulitan. Semakin banyak kesulitan hidup yang kita hadapi, semakin diri kita bercahaya dari dalam. Mengutip perkataan Jamaluddin Rumi, semuanya dikirim sebagai pembimbing kehidupan dari sebuah tempat yang tidak terbayangkan.

“Tidak hanya orang cantik saja yang berguna, orang jelek juga berguna. Gunanya adalah karena orang jelek, orang cantik terlihat jadi tambah cantik,” kata Gede Prama disambut tawa peserta. “Jadi semuanya ada gunanya, untuk menghidupkan cahaya-cahaya beauty and happiness,” tegasnya.

Pintu keempat adalah surga bukanlah sebuah tempat, melainkan adalah rangkaian sikap. “Bila Anda melihat hidup penuh dengan kesusahan dan godaan, maka neraka tidak diketemui setelah mati. Neraka sudah ketemu sekarang,” ujar Gede Prama.

Sedangkan Anda akan bertemu surga, jika hasil dari rangkaian sikap Anda benar. Sikap ini dimulai dari berhenti mengkhawatirkan segala sesuatunya, dan coba yakinkan diri bahwa everything will be allright. Setiap kali kita melalukan ritual peribadatan, tetapi setiap kali pula kita merasa takut. Padahal ketakutan adalah sebentuk ketidakyakinan terhadap kebenaran.

“Kalau Anda melalukan ritual peribadatan tapi masih takut, mending jangan melalukan ritual peribadatan, karena toh Anda tidak yakin terhadap kebenaran,” kata Gede Prama.

“Segala sesuatunya menjadi baik-baik saja jika Anda mencintai yang kecil,” sambung Gede Prama.

Pintu kelima menuju keindahan dan kebahagiaan yakni tahu diri kita dan kita tahu kehidupan. Manusia-manusia yang tidak tahu diri adalah manusia yang tidak pernah ketemu keindahan dan kebahagiaan dalam hidupnya.

“Sumur kehidupan yang tidak pernah kering berada di dalam. Sumur ini hanya kita temukan dan kita timba airnya kalau kita bisa mengetahui diri kita sendiri,” kata Gede Prama.

Seandainya diri sendiri telah ditemukan, maka artinya kita kemudian mengetahui arti kehidupan.


Di Zawiyyah Sebuah Masjid
Oleh : Emha Ainun Nadjib, 1987

Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di zawiyyah sebuah masjid.

Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.

“Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya,” berkata Pak Kiai kepada santri pertama, “apa yang Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?”

“Agama,” jawab santri pertama.
“Berapa jumlahnya?”
“Satu.”
“Tidak dua atau tiga?”

“Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih dari satu macam tuntunan.”

Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, “Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?”

“Islam.”
“Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?”
“Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda.”
 “Kenapa kau katakan demikian?”
“Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman, disediakan baginya sinar Islam.”

“Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?”

“Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia.”

**Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. “Allah mengajari Adam nama benda-benda,” katanya, “bahasa apa yang digunakan?”
Dijawab oleh santri ketiga, “Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur’an.”
“Bagaimana membuktikan hal itu?”

“Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah, juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal mereka buta sama sekali terhadap masa silam.”

“Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?”
“Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah.”
“Maksudmu, Nak?”

“Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur’an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, berlaku universal secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur’anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi.”

”Temanmu tadi mengatakan,” berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri keempat, “bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau menjelaskan hal itu?”
“Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan,” jawab santri keempat, “Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau proses pertumbuhan.”
“Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain Islam?”
“Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan akidah.”
“Apakah itu berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?”
“Aku mengakui nilai-nilai yang termuat dalam yang disebut agama-agama itu –sebelum dimanipulasikan– sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya pada tahap tertentu, yakni sebelum disempurnakan oleh Allah melalui Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama –dengan, ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau pengurangan– sebenarnya yang terjadi adalah pengorganisasian. Itu bukan agama Allah, melainkan rekayasa manusia.”

**Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke wajah santri kelima sambil bertanya, “Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman sebelum Muhammad?”

“Islam, Kiai.”
“Apa agama Ibrahim?”
“Islam.”
“Apa agama Musa?”
“Islam.”
“Dan agama Isa?”
“Islam.”
“Sudah bernama Islamkah ketika itu?”

“Tidak mungkin, demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum.”

”Maka apakah gerangan arti yang paling inti dari Islam?” Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam.
“Membebaskan,” jawab santri itu.
“Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!”
“Menyelematkan, Kiai.”
“Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?”

“Allah menyelamatkan manusia, diaparati oleh para khulafa’ atas bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber dan tujuannya ialah membebaskan manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah. Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam –sistem nilai hasil karya Allah yang dahsyat itu– dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu yang bukan Allah.”

“Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?”

“Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu. Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal, berupaya, merekayasa segala sesuatu dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah.”

**Pak Kiai menuding santri ketujuh, “Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?”

“Benar, Kiai,” jawabnya, “Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah.”

“Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?”

“Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapat dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah tawaran pencarian yang tak ada hentinya.”

“Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?”

“Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya.”

”Cahaya Islam. Apa itu gerangan?”

Santri ke delapan menjawab, “Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra’. Itulah cahaya Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia.”

“Pemikiranmu lumayan,” sahut Pak Kiai, “Cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya itu?”

“Ya, Kiai.”
“Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?”
“Dinihari rekayasa teknologi.”
“Dari Nuh?”
“Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah.”
“Hud?”
“Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi canggih.”

“Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah: pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?”

“Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran dan pengalaman secara lebih detil.”
“Pada Ismail?”
“Pengurbanan dan keikhlasan.”
“Ayyub?”
“Ketahanan dan kesabaran.”
“Dawud?”
“Tangis, perjuangan dan keberanian.”
“Sulaiman?”
“Ke-waskita-an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan.”

“Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!”

“Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian.”
“Dari Zakaria?”
“Dzikir.”
“Isa?”
“Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub.”
“Adapun dari Muhammad, anakku?”
“Kematangan, kesempurnaan, ilmu manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya.”

Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. “Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa ini?”

“Tak menentu, Kiai,” jawab sanri terakhir itu, “Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat lain kami adalah Ayyub –tetapi– yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok mengerjakan sawah-sawah Fir’aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu.”

Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, “Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang menggantikan ketersembelihan kami.”

“Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan.”

Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.

“Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera.”

“Anakku,” Pak Kiai menyela, “pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa putus asa.”

“Insyaallah tidak, Kiai,” jawab sang santri, “Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah memahami kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir’aun dan menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar berendah hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami telah makin mengerti bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar, hanyut dan tidak berjuang.”

Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.

“Sampai tahap ini,” kata Pak Kiai, “cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut ini kalian jawab.”
“Kami berusaha, Kiai,” jawab mereka.
“Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?”
“Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan gerak perjuangan,” berkata salah seorang.
“Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata Rasul Agung. Harus pas. Tak lebih tak kurang,” sambung lainnya.
“Muhammad juga mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat,” sambung yang lain lagi.
“Mencari titik koordinat yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu lintas situasi dan peta sejarah.”
“Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan.”
“Hikmah, maw’idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan.”
“Makan hanya ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun proses sejarah.”
“Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali ke Makkah untuk kemenangan.”
“Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah.”

Pak Kiai tersenyum, “Apa titik tengah di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku?”

“Lentur, Kiai!” kesembilan santri itu menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut Pak Kiai sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu.

“Fal-yatalaththaf!” ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu, “titik pusat Al-Qur’an!”


Ma’iyah Manembah
Oleh : Emha Ainun Nadjib
I

Barang siapa di antara hamba-hamba Allah yang tidak percaya kepada kuasa dan kasih sayangNya, hendaklah cepat-cepat mencari tuhan yang lain dan meminta perlindungan dari tuhannya itu
II

Barang siapa di antara hamba-hamba Allah yang cemas kepada nasibnya karena ragu terhadap keindahan takdir Allah, hendaklah cepat-cepat meninggalkan bumi dan alam semesta yang ini dan melamar untuk bertempat tinggal di bumi dan alam semesta tuhannya itu
III

Barang siapa di antara hamba-hamba Allah yang merasa gugup akan penghidupannya karena meremehkan kemuliaan Allah, hendaklah cepat-cepat berhijrah dari hamparan rumah Allah dan memohon perlindungan dan sandang pangan dari tuhannya itu
IV

Barang siapa di antara hamba-hamba, yang bersikap acuh tak acuh kepada kekasih Allah, yang merendahkan wali dan auliya’ Allah, yang meremehkan simpanan rahasia-rahasia Allah di balik segala sesuatu yang diabaikan oleh manusia, hendaklah bersiap-siap untuk mendengar suara genderang perang yang ditabuh oleh para Malaikat-Nya
V

Kalau di dalam kepalamu terdapat akal
Kalau engkau mempekerjakan pikiran sehingga engkau mengerti
bahwa engkau tidak sanggup menciptakan dirimu sendiri
bahwa engkau tidak sanggup menghidupkan jantungmu sendiri
tidak sanggup menggenggam dan menjaga nyawamu sendiri
tidak sanggup menumbuhkan barang sehelai rambutmu sendiri
tidak sanggup meramu barang setetes dari darahmu sendiri
tidak sanggup menguasai nasibmu sendiri
tidak sanggup mengetahui kapan engkau mati
Sebelum tiba sesuatu yang melumpuhkan kakimu
Sebelum tiba kejadian yang mengagetkan otakmu
Sebelum tiba peristiwa yang membuntu arah langkahmu
Sebelum tiba waqi’ah yang menggelapkan hidupmu
bersegeralah mengucapkan pengakuan –
VI

Barang siapa kakinya menapak di atas tanah
dan tidak ingat siapa yang menciptakannya
Barang siapa menghirup udara, menikmati hembusan angin
dan tidak ingat siapa yang meniupkannya
Barang siapa mereguk air
dan tidak ingat siapa pemiliknya
Barang siapa memetik buah dari tanam-tanaman
dan tidak ingat siapa yang menumbuhkannya
Barang siapa yang menggali tambang-tambang
dan tidak ingat siapa yang menyediakannya
Barang siapa menyalakan api dan menggali pancaran cahaya
dan tidak ingat siapa yang mengolah sumbernya
Barang siapa memandangi gunung, menatap langit
Barang siapa mengembarai ruang, menelusuri waktu
dan tidak ingat siapa pangkal muasal dan ujung tibanya
Sebelum tiba sesuatu yang tak pernah disangka-sangkanya
Sebelum tiba kejadian yang tak pernah diperhitungkannya
Sebelum tiba peristiwa yang membuatnya menangis sia-sia
Sebelum tiba waqi’ah yang mengiris meremas-remas nasibnya
Bersegeralah membungkukkan badan, menundukkan kepala
Memejamkan mata dan memerangi keangkuhan hatinya
VII

Siapa mengetahui Kekasih Sejati yang paling mencintainya
Bersegeralah menyatakan bahwa hanya Ia pulalah muara segala cintanya
Siapa maha penghibur hati yang senyata-nyatanya
Bersegeralah menyanyikan lagu-lagu yang diutamakan kepadaNya
Siapa mengetahui makhluk yang paling dicintai dan paling mencintainya
Sehingga cahaya cintaNya ditaburkan ke mahkota kemuliaan kekasihNya itu
Sehingga nyatalah kepalsuan segala tokoh, berhala dan idola
Bersegeralah meniadakan diri sendiri, melebur jadi taburan cintaNya
yang merahmati seluruh semesta maupun ruang-ruang gaib di luarnya

Gusti Allah Tidak Ndeso

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. “Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?”

Cak Nun menjawab lantang, “Ya, nolong orang kecelakaan.”

“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.

“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.

“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak. Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.”

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara. Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.

Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.

Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran. Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Sumber: Artikel lama, sudah beredar dari milis ke milis.

Sekedar Kata

Sombong tidak akan mampir ke diri kita, selama kita mau mengingat: “kita diciptakan dari apa, di dalam diri kita ada apa, dan kelak kita menjadi apa” Ahmad Mustofa Bisri -

Kebaikan itu memberi cahaya dalam hati, melahirkan kekuatan bagi tubuh, dan membuka pintu rezeki. Sementara, keburukan akan menggelapkan hati, melemahkan tubuh, dan mempersulit datangnya rezeki. Hasan Al-Bashri

Hendaklah engkau selalu bersikap jujur, meskipun ia akan membunuhmu. Umar bin Khaththab -

Dan janganlah engkau memalingkan mukamu (kerana memandang rendah) kepada manusia, dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan berlagak sombong; sesungguhnya Allah tidak suka kepada tiap-tiap orang yang sombong takbur, lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah langkahmu semasa berjalan, juga rendahkanlah suaramu (semasa berkata-kata), sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. Luqman:18-19 -

Seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, nasihatnya akan lenyap dari hati orang yang mendengarnya sebagaimana hilangnya setetes embun di atas batu yang halus. Malik bin Dinar -

Akhlak yang baik adalah wajah yang berseri-seri, kemurahan hati, dan menahan diri dari perbuatan yang menyakiti orang lain. Hasan Al-Bashri -

Harta karun terbesar akan kau peroleh jika kau dapat menghimpun harta karun dari perbuatan-perbuatan baikmu. Ali bin Abi Thalib -

Bekerjalah kalian tanpa banyak bicara. Namun, itu hanya bisa dikerjakan oleh orang yang berilmu dan bekerja karena Allah. Bagai rayap yang terus menerus menggerogoti, tanpa kata-kata. Abdul Qadir Al-Jailani

Jagalah keadilan dalam pemerintahan dan tanamkan hal itu pada dirimu. Karena ketidakpuasan rakyat akan membuat steril kepuasan segelintir elit, sementara ketidakpuasan segelintir orang itu, akan lenyap dengan sendirinya dalam kepuasan orang banyak. Ali bin Abi Thalib

Jika bekerja membuat seseorang menjadi lelah, tidak bekerja menyebabkan seseorang menjadi hancur.


Mengajari Keledai Membaca

Raja menghadiahi Amirudin seekor keledai. Amirudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Raja berkata, “Ajari keledai itu membaca. Dalam dua Minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya.”

Amirudin berlalu, dan dua Minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Sang Raja menunjuk ke sebuah buku besar. Amirudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.

Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Amirudin.

“Demikianlah,” kata Amirudin, “Keledaiku sudah bisa membaca.”

Sang Raja mulai menginterogasi, “Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?”

Amirudin berkisah, “Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran- lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik- balik halaman buku dengan benar.”

“Tapi,” tukas Sang Raja tidak puas, “Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?”

Amirudin menjawab, “Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan ?”

Sahabat :
Apa gunanya kita membaca buku tetapi tidak mengerti artinya ?..apa gunanya kita membaca situasi, membaca tanda-tanda jaman, tetapi kita tidak pernah bisa bahkan tidak pernah mau mengerti tentang apa yang sedang terjadi.

Mungkin anda sudah sekian tahun di tempat anda sekarang, pernahkah anda mengerti detail tentang bawahan anda, atasan anda, masalah yang terjadi..kekuatan, kelemahan, tantangan dan kesempatan yang ada ?

Mengerti .. akan membuat langkah kita lebih mantap dan lebih yakin tentang apa yang sedang dan akan kita kerjakan, lebih arif dan bijaksana dalam bertindak dan bertutur kata..

Seorang yang tidak bisa dan tidak mau mengerti akan seperti orang bermain sepak bola tanpa ada gawangnya asal nendang dan berputar-putar saja. akan seperti seorang petinju yang sembarangan memukul tanpa tahu kekuatan dan kelemahan lawan, akan seperti seorang petani yang tidak mengerti cara bercocok tanam dan tidak tahu cuaca..pada dasarnya orang orang seperti ini sudah kalah…

ISYARAT KEHANCURAN
(KH. Abdurrahman Arroisi)

Ada tiga sifat yang menimbulkan kerusakan terhadap sesama makhluk. Sifat-sifat itu, menurut Rasulullah SAW, Pertama Syuhhun Mutha’un, Kedua Hawan Muttaba’un, dan Ketiga I’jabul Mar-i bi Nafsihi.

Syuhhun Mutha’un berasal dari sifat kikir yang selalu ditaati. Naluri kesetanan itu memang paling mudah bersenyawa dengan watak buruk manusia yang lebih suka menerima daripada memberi, lebih gigih menuntut hak ketimbang membayarnya. Maka berbiaklah sifat durjana: selalu ingin menguasai, merampas segalanya, pantang memberi kesempatan pada orang lain.

Tanda-tanda sifat itu bisa disimak dari anak cucunya. Mereka, karena begitu mudah mendapatkan uang, akan mempergunakannya untuk menyebarkan kebinasaan dan kemaksiatan. Di belakang hari, nama besar pun takkan mampu menghapus mereka dari catatan sejarah.

Adapun Hawan Muttaba’un merupakan sisi lain dari kepribadian ganda manusia. Sebenarnya hawan atau nafsu adalah karunia Ilahi yang sangat mulia bila disalurkan sesuai norma kebaikan. Dengan nafsu, manusia akan menggerakkan akalnya untuk mencipta dan berkarya, menabur jasa bagi kesejahteraan bersama.

Cuma sayangnya, semua keutamaan nafsu itu sering menyimpang dari rel, melindas hak Allah dan hak makhluk, yakni jika dibiarkan bebas tanpa kendali. Nafsu seperti itu akan mengubah manusia menjadi gergasi. Kata Nabi Muhammad SAW, para pemimpin negara akan menjadi singa, para pemegang hukum akan menjadi anjing, para menteri akan menjadi serigala, dan rakyat akan teraniaya sebagai domba.

Sedangkan I’jabul Mar-i Binafsihi (bangga diri) bersumber dari keangkuhan dan kesombongan manusia. Seolah sesuatu yang baik takkan terwujud tanpa ”aku.” Ia hanya kagum akan dirinya, dan berpikir tak ada orang lain yang mampu seperti dia. Hanya ”aku” yang tidak berdosa, hanya ”aku” yang jujur, hanya ”aku” yang mampu, meski sebetulnya ”aku” lah biang segala kekacauan.

Allahu Akbar. Alangkah dahsyatnya kerusakan yang akan menimpa dunia, jika ketiga sifat itu berkumpul pada satu orang. Sungguh tak terbayangkan. Itu sebabnya Nabi Muhammad SAW memberi jalan keluar, seperti diingatkan melalui Alquran. ”Wahai nafsu yang damai, kembalilah ke jalan Tuhanmu dengan rela dan disukai.”

Bandingka sifat sang durjana itu dengan seorang pemimpin sederhana, Sa’ad bin Abi Waqqash. Lantaran setianya kepada Rasulullah SAW, sahabat itu dijamin akan dikabul semua doanya. Pantas kemudian ia menjadi gantungan harapan dari orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

Namun anehnya, ketika usianya kian lanjut, Sa’ad justru menderita rabun mata sampai nyaris buta sama sekali. ”Hai Sa’ad,” orang menegurnya. ”Kenapa engkau tidak berdoa supaya Allah menyembuhkan penyakit matamu dan memulihkan penglihatanmu? ” Dengan tawakal Sa’ad menjawab, ”Kerelaanku menerima takdir Tuhan lebih mulia bagiku daripada melihat dunia dengan mataku.”









There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter