-->

Misteri 'Hobbit' di Flores dan Kaitannya dengan Manusia Modern Nusantara

Seorang profesor asal Australia bernama Michael J Moorwood menemukan fosil 'Hobbit' di Flores, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2003. Ukuran fosil yang kecil dari ukuran tulang manusia modern itu membuat Moorwood meyakini hobbit adalah manusia purba berbadan kecil.

Namun Hobbit yang dikenal dengan nama Homo floresiensis ini menuai kontroversi. Banyak pakar yang menilai fosil berusia 12.000 tahun itu berukuran kecil karena penyakit, namun banyak juga yang meyakini ukuran fosil itu 'sehat'.

Penelitian terkait Hobbit ini masih berjalan hingga sekarang, namun tampaknya muncul harapan untuk menyudahi kontroversi tersebut. Para peneliti kini bergerak memanfaatkan teknologi penguraian DNA dari fosil hobbit, bekerja sama dengan peneliti asal Indonesia.

"Begitu banyak manusia purba yang ada di sini, lalu yang paling muda Hobbit itu. Temuan itu yang kontroversial sampai sekarang. Saya ditanya, apakah benar itu spesies baru atau karena penyakit? Saya sendiri tidak bisa menjawab," kata Deputi Direktur Eijkman Institute Herawati Sudoyo usai acara diskusi 'Human Evolution and Archaic Admixture' di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (29/10/2013).

Terpilihnya teknologi DNA untuk menjawab misteri Hobbit ini berawal dari penemuan fosil manusia purba di gua Denisova, Siberia, Rusia, pada tahun 2006. Fosil tersebut berhubungan dengan manusia purba 400.000 tahun lalu yang disebut Neanderthal, dan yang mengejutkan juga memiliki kaitan dengan manusia modern di Filipina, Papua, Maluku, Australia, Oceania, dan Flores.

"Rabu (30/10) besok, kita berangkat ke Flores. Kalau mereka (peneliti asing) hanya mendampingi, kita mau ketemu kepala adat, lalu lihat data-datanya. Biasanya kita tak pernah turun langsung, biasanya pendekatan dulu, dan mulai dari awal kita selalu dibantu warga. Kita ingin melihat perbedaan antara yang normal dan pendek, orang situ yang tahu. Jadi kita kumpulkan dan kita data," tutup Herawati.

Herawati menambahkan melalui teknologi DNA, peneliti bisa mengetahui penyakit yang dialami Hobbit, makanannya, dan informasi lainnya yang tak terbayangkan banyaknya. Teknologi ini juga bisa menentukan manusia purba yang disebut Hobbit ini spesies baru atau tidak dari temuan fosil-fosilnya.

"Tapi data awalnya memang dari fisik dan antropologi. Cuma memang DNA memberikan jawaban lebih tepat dan lebih bisa dianalisis. Misalnya, kita bisa melihat gen-gen yang berhubungan dari metabolik, nutrisi, apa makanan mereka, kemudian gen yang berurusan dengan kepekaan terhadap penyakit. Jadi dari situ banyak informasi," ujar Herawati.

Penggunaan DNA dalam penelitian ini juga diharapkan mampu menjawab keterkaitan antara manusia modern saat ini dengan manusia purba yang hidup sejak masa pra sejarah. Sehingga para peneliti membutuhkan genom DNA dari fosil manusia purba dan DNA dari manusia modern yang diduga atau terbukti memiliki hubungan.

"Kita bisa mengungkap urutan DNA Naenderthal, seperti kita ketahui bahwa Neanderthal itu terakhir hidup 30.000 tahun lalu, dan pemurnian dari DNA dapat dilakukan saat ini. Jadi kita dengan memiliki sample sedikit, bisa melakukan pemeriksaan DNA," kata Deputi Direktur Eijkman Institute Herawati Sudoyo di lokasi yang sama.

Penemuan ini selangkah lebih maju untuk menjawab mata rantai yang hilang dari teori evolusi manusia Charles Darwin. Rahasianya adalah meneliti DNA fosil yang ditemukan untuk mendapatkan segudang informasi kehidupan si pemilik fosil saat hidup.

"Tantangan khusus dalam menganalisis urutan DNA dari gugus kromosom atau genom Neanderthal adalah bahwa fragmen DNA yang paling Neanderthal diharapkan identik dengan manusia masa kini," kata peneliti dari Universitas California, Richard Edward Green, di lokasi yang sama.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter