-->

Perjalanan Mpu Brahmaraja atau Mpu Bumi Sakti keturunan Mpu Rajakertha

Bhagawan Pandya Mpu Bhumi Sakti keturunan Mpu Rajakertha

Adapun Mpu Dwijendra atau Mpu Rajakertha berputra 3 orang laki-laki, masing masing bernama 
  1. Gagakaking,
  2. Bukbuksah dan
  3. Mpu Brahma Wisesa atau Mpu Gni.
Kemudian Mpu Brahma Wisesa berputra 2 orang laki-laki, masing-masing bernama 
  1. Mpu Gandring tinggal di Lalumbang dan
  2. Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya.
Apa sebab disebut Mpu Gandring, sebab tugas atau pekerjaan beliau ‘angandring’ yaitu ahli membuat senjata dan barang/benda tajam lainnya. Mpu Gandring wafat ditikam oleh Ken Arok raja Singasari (1220-1227), dengan keris buatannya sendiri, sebab Mpu Gandring dalam membuat keris tersebut tidak memenuhi ‘catur dharma krya’.

Seterusnya Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya berputra
  1. Mpu Tusan, menurunkan Pande Tusan
  2. Mpu Lumbang,
  3. Mpu Galuh berputra seorang laki-laki bernama Mpu Brahmaraja.
  4. Mpu Gandu.
Adapun Mpu Brahmaraja (pada pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit 1350-2389) sangat terkenal, sering melakukan tapa brata, dan banyak orang datang ke pasaramannya di Silasanyane Madura mohon nasehat dan ajaran ajaran terutama yang berkaitan dengan kadyatmikan, kerohanian serta memohon beliau muput yajna yang disleenggarakan.

Diantaranya seorang patih kerajaan Madura bernama Patih Madhu datang menghadp Mpu Brahmaraja, mohon agar Sira Mpu berkenan memuja dan muput upacara pitrayajna yang akan diselenggarakan bagi leluhurnya. Mpu Brahmaraja memenuhi permohonan Patih Madhu dan berhasil baik serta selesai tuntas, tidak kurang suatu apapun. Seusai upacara pitrayajna itu Patih Madhu ingin mengetahui hasil daripada upacaranya itu, lalu ia bertanya kepada Mpu Brahmaraja, kepada siapa masalah itu harus ditanyakan. Diberitahu oleh Mpu Brahmaraja agar patih Madhu menanyakan kepada benda-benda yang ada dihadapan beliau. Benda yang ada dihadapan beliau adalah layang-layang, maka Patih Madhu bertanya kepada layang-layang tersebut, apakah upacara pitrayajna yang baru dilaksanakan sudah memenuhi syarat atau belum, dan bagaimana nasib para leluhurnya yang diupacarai itu. Tiba-tiba layang layang tersebut mengeluarkan suara, lalu menjawab bahwa upacara yang diselenggarakan oleh Patih Madhu tersebut sudah berhasil dengan baik, karena sudah memenuhi syarat dan seluruh arwah suci leluhurnya sudah memperoleh tempat yang baik di sorga. Namun Patih Madhu belum puas akan jawaban layang-layang tersebut, lalu ia bertanya kepada batu, pohon-pohonan dan sebagainya, dan ia mendapatkan jawaban yang sama dengan yang dijawab laying-layang. Para tamu, termasuk Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang juga hadir pada upacara tersebut merasa sangat takjub terhadap kemampuan Mpu Brahmaraja dan sejak saat itu Mpu Brahmaraja diberi gelar Bhagawan Pandya Mpu Bhumi Sakti (sekitar tahun 1380 M).

Setelah upacara Patih Madhu selesai, para tamu kembali ketempatnya masing-masing, sedangkan Mpu Brahmaraja atau Bhagawan Pandya Mpu Bhumi Sakti beberapa hari kemudian baru meninggalkan tempat upacara, dan sesudah minta diri, sendirian beliau berjalan menyusuri jalan setapak. Tiba ditepi sebuah kuburan, di tengah perjalanan tersebut, beliau bertemu dengan seorang anak gembala yang sedang menangis. Melihat keadaan anak tersebut timbul rasa kasihan dihati beliau, lalu bertanya kepada anak itu, mengapa ia menangis. Dijawab oleh anak itu bahwa gigi bajaknya patah akibat mengenai batu, nanti bila ayahnya tiba, pasti ia akan dimarahi. Mpu Brahmaraja berkata, bahwa janganlah merasa takut atau waswas, karena gigi bajak tersebut akan diperbaiki. Mendengar perkataan Mpu Brahmraja, anak tersebut sangat senang seraya menyerahkan gigi bajak yang patah untuk diperbaiki.

Mpu Brahmaraja sebagai seoang keturunan Bhatara Brahma dengan tingkat ilmu yang tinggi, lalu memusatkan pikiran dan tenaga serta kekuatan gaibnya melakukan yoga semadi. Lalu tiba tiba dari mata kanan keluar api yang menyala nyala jatuh tepat dihadapan beliau, dari hidung kiri keluar angin yang kencang, sedangkan hidung kanan tmpat masuknya angin. Adapun tangan kanan sebagai palu dan paha sebagai landasan, jari jari tangan sebagai jepitan dan air keringat sebagai untuk mendinginkan besi yang panas. Setelah mata bajak selesai diperbaiki, terlihat seperti semula, lalu diserahkan kepada anak gembala tadi. Anak itu menerimanya dengan senang sekali, sambil mengucapkan terimakasih, kemudian Mpu Brahmaraja melanjutkan perjalanannya.

Tidak diceritakan dalam perjalanan, kemudian beliau tiba di Aksobya, Pasraman Panditha Bhudda Bhairawa bernama Mpu Asthapaka. Ketika Mpu Brahmaraja tiba disana, dijumpai Mpu Asthapaka sedang memuja Hyang Amoghasidhi. Dalam pemujaan itu Mpu Asthapaka mempergunakan swambha (tempat air suci) dari tengkorak manusia, bersemayur usus besar, bertajuk bunga hati, berbaju kulit harimau. Setelah selesai melakukan puja, Mpu Asthapaka melihat Mpu Brahmaraja sedang berdiri dibawah pohon kepuh, lalu dilambai tangan supaya mendekat. Kemudian Mpu Asthapaka bertanya, siapa namanya, darimana asalnya dan hendak kemana serta apa tujuannya. Dijawab oleh Mpu Brahmaraja bahwa tujuan kedatangannya untuk berguru kepada Mpu Asthapaka. Mpu Asthapaka mengatakan sangat bahagian dengan kedatangan Mpu Brahmaraja, lalu mengatakan ingin memperoleh ilmu juga dari Mpu Brahmaraja, dengan menyampaikan pertanyaan, dari mana keluarnya api, dimana tempatnya angin, apa yang dipergunakan sebagai palu dan landasan pada saat mengerjakan pekerjaan Pande.

Mpu Brahmaraja dengan rendah hati mengatakan, akan memperlihatkan jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Lalu duduk bersila menyatukan pikiran, tiba tiba keluar api dari mata kanan, keluar angin dari kedua lubang hidung, kemudian ada anugrah dari para Dewa berupa emas dan perak, lalu Mpu Brahmaraja berputar tiga kali, emas dan perak telah berubah menjadi bhusana dan perhiasan untuk Mpu Asthapaka. Disana Mpu Asthapaka sangat kagum dengan kemampuan Mpu Brahmaraja. Kemudian Mpu Asthapaka menyerahkan putrinya yang bernama Dyah Amrtatma untuk diperistri oleh Mpu Brahmaraja. Selama tinggal di Aksobya Mpu Brahmaraja membangun sebuah purtha histha, yaitu sebuah kolam dengan pancuran dan balai pemujaan untuk memuja Hyang Eka Agni, Tryagni dan Kundagni. Sesudah cukup lama tinggal disana Mpu Brahmaraja dan Dyah Amrtatma meninggal Aksobya kembali ke Madura dan membangun sebuah pasraman yang diberi nama Pasraman Kayumanis.

Menjadi Guru Dalem Gelgel

Dalem Gelgel , Dalem Ktut Ngelesir yang bergelar Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan pada tahun Isaka 1320 (1380 M), setelah kembali dari menghadiri upacara pitra yadnya Patih Madhu di Madura, selalu terkenang dengan kemampuan Mpu Bumi Sakti yang memuja dan muput yajna tersebut. Beliau ingin menyucikan diri melalui upacara pudlaga (dwijati). Lalu Dalem mengirim utusan ke Madura, yaitu seorang dari warga Pasek Gelgel yang bernama Pasek Beya, keturunan dari Ki Gusti Pasek Gelgel dari Banjar Pegatepan Desa Gelgel.

Setibanya di Pasraman Kayumanis Madura, lalu disapa oleh Sira Mpu Bumi Sakti (Mpu Brahmaraja) dengan sopan santun dan ramah tamah, semabari menanyakan siapa nama, dari mana dan apa keperluannya. Selanjutnya Ki Pasek Beya menyatakan sebagai utusan Dalem Gelgel agar Sira Mpu berkenan datang ke Bali untuk menjadi guru Dalem gelgel, karena Beliau sangat kagum dengan kemampuan Sira Mpu yang dibuktikan ketika mupu upacara pitra yajna Patih madhu dahulu, dimana ketika itu Dalem gelgel ikut hadir menyaksikan. Kemudian Sira Mpu Bumi Sakti mengatakan bahwa beliau masih berkerabat dengan Ki Pasek Beya, karena beraal dari leluhur Bhatara Kawitan yang sama.

Sira Mpu Bumi Sakti mengatakan bahwa beliau bersedia memenuhi keinginan Dalem gelgel, namun beliau bertangguh karena akan mencari hari yang baik untuk berangkat ke Gelgel dan mempersilakan Ki Pasek Beya berangkat terlebih dahulu ke Bali. Sesudah mpohon diri Ki pasek Beya akhirnya kembali ke Bali dan dengan selamat tiba di Gelgel dan segera melapor kepada Dalem Gelgel hasil perjalanannya ke Pasraman Kayumanis Madura.

Selang beberapa minggu kemudian Sira Mpu Bumi Sakti berangkat dari Pasraman Kayumanis Madura menuju Bali. Entah berapa lama dalam perjalanan, pada suatu hari Sira Mpu tiba di gunung Agung. Sira Mpu sangat takjub melihat cahaya gemerlap di atas padmasana manik, lalu Sira Mpu melakukan persembahyangan yang ditujukan kepada Bhatara Tohlangkir. Kemudian terdengar sabda gaib yang datang dari cahaya padmasana manik, yang menanyakan maksud dan tujuan Sira Mpu datang kesini. Dijawab oleh Sira Mpu bahwa kedatangannya atas undangan Dalem Gelgel yang ingin menyucikan diri melalui upacara pudlaga. Kemudian sabda itu bertanya lagi, apakah Sira Mpu mengetahui ada apa ditelapak tangan kanan Bhatara, apabila Sira Mpu mampu menjawabnya barulah boleh menyucikan Dalem Gelgel, seketika tampak sebuah tangan dihadapan beliau. Sira Mpu minta ijin untuk menjawab bahwa yang ada ditelapak tangan kanan itu adalah ‘Panca Brahma’. Lagi pertanyaan, dimanakah tangan kanan itu harus dipukulkan, dijawab oleh Sira Mpu bahwa beliau tidak berani mengatakannya. Tiba-tiba cahaya dan tangan itu hilang seketika.

Sira Mpu mohon diri kepada Bhatara Tohlangkir serta melanjutkan perjalanan ke Gelgel. Tidak diceritakan dalam perjalanan, akhirnya Sira Mpu tiba di Gelgel dan diterima dengan baik oleh Dalem Gelgel, Sri Smara Kepakisan. Kemudian dipersilakan duduk sejajar dengan Dalem. Disana Sira Mpu kembali menanyakan maksud Dalem mengundang Sira Mpu ke Gelgel. Dijawab oleh Dalem bahwa Dalem ingin menyucikan diri seperti leluhurnya terdahulu. Sira Mpu sangat mendukung niat Dalem, karena Dalem adalah keturunan seorang brahmana, yang bersumber dari satu kawitan dengan Sira Mpu dan Pasek. Setelah menyelesaikan permintaan Dalem Gelgel, entah berapa lama Sira Mpu tinggal di Gelgel, akhirnya kembali ke Pasraman Kayumanis Madura.

Kemudian diceritakan Sira Mpu Bumi Sakti berputra dua orang laki dan perempuan, yang sulung laki laki bernama
  1. Brahma Rare Sakti kemudian dikenal dengan gelar Mpu Gandring Sakti
  2. Diah Kencanawati, kemudian diberi gelar Mpu Galuh
Adapun Brahma Rare Sakti sangat pandai seperti ayahnya, dan beliau diberi gelar Mpu Gandring Sakti (bukan yang wafat ditikam Ken Arok). Sedangkan Dyah Kencanawati memiliki sifat sifat seperti Bhatari Uma, pandai dalam hal weda serta gemar melakukan tapa brata kemudian diberi gelar Mpu Galuh. Setelah cukup umur Mpu Bumi Sakti menganugerahkan pusaka bertuah kepda kedua putranya. Mpu Gandring Sakti diberikan cincin emas bermatakan manic bang, yang bertuah dalam tugas Mpu Gandring Sakti membuat senjata dan benda benda tajam. Sedangkan kepada Mpu Galuh diberikan cincin dengan permata ratna cempaka, sebab beliau menguasi ilmu Kusumadewa. Itulah anugerah Mpu Bumi Sakti kepada anak-anaknya.

Setelah pemberian itu, lama kelamaan timbul rasa iri hati pada diri Mpu Gandring Sakti dan kurang senang dengan cincin pemberian ayahandannya, karena cincin tersebut dianggap tidak bertuah dan tidak berguna baginya. Lalu timbul rasa sakit hati kepada adiknya, yang dianggap tidak pantas memiliki cincin dengan permata ratna cempaka itu. Kemudian Mpu Gandring Sakti memanggil adiknya serta mengatakan, karena Mpu galuh masih muda, jadi belum boleh memiliki cincin itu, dan sebaiknya cicin itu diserahkan kepada beliau (Mpu Gandring Sakti). Namun Mpu galuh menolak permintaan itu. Walaupun berkali kali diminta tetap saja Mpu Galuh menolak. Akibatnya Mpu Gandring Sakti sangat marah lalu menganiaya adiknya. Kendatipun demikian Mpu Galuh yang memiliki sifat tenang dan taat pada ajaran agama, tidak mau mengadakan perlawanan tetapi juga tetap mau menyerahkan cincin permata mirah cempaka tersebut. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka pada suatu malam, secara sembunyi-sembunyi Mpu Galuh meninggalkan pasraman Kayumanis menuju gunung Renggakusuma, disana beliau melakukan tapa brata. Pada saat itu kebetulan Hyang Mahadewa sedang bersenang-senang disana, dan melihat Mpu Galuh melakukan tapa brata, kemudian didekati dan menanyakan siapa nama, dan mengapa melakukan tapa brata di hutan belantara. Dijawab oleh Mpu Galuh, bahwa bahwa beliau adalah seorang brahmani dari pasraman Kayumanis, anak dari Bhagawan Pandeya Mpu Bumi Sakti, dan melakukan tapa brata untuk melepaskan diri dari kehidupan duniawi guna mencapai sorga bila meninggal dunia. Kemudian bersabda Hyang Mahadewa “Wahai Mpu Galuh kamu adalah seorang wanita brahmani uttama, gunawan dan ahli dalam ajaran dan filsafat, sekarang aku perintahkan kamu agar pergi ke gunung Agung di Bali, disanalah pasramanku”.

Lanjut Hyang Mahadewa “Disana engkau supaya menggantikan kedudukan brahmana Sang Kulputih selaku pelayan disana, karena Sang Kulputih sudah tua dan akan segera kembali ke akhirat”. Mpu Galuh member hormat dan mengikuti perintah Hyang Mahadewa, berangkat dari gunung Renggakusuma ke pulau Bali.

Tidak diceritakan dalam perjalanan Mpu Galuh telah sampai di gunung Agung, disana Mpu galuh mengabdi kepada Hyang Mahadewa di Pura Besakih. Setiap hari melakukan persembahyanngan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa seperti yang dilakukan oleh Sang Kulputih terdahulu. Sejak saat itu Mpu Galuh diberi gelar Dyah Kulputih. Setiap hari Mpu Galuh memepersiapkan sesajen untuk persembahyangan dan selalu dibantu oleh seekor kera putih binatang piaraan Hyang Mahadewa.

Lahirnya Brahmana Dwala

Oleh karena Mpu Galuh menghilang, Mpu bumi Sakti lalu memerintahkan Mpu Gandring Sakti untuk mencarinya. Sesudah berbulan-bulan Mpu Gandring sakti menyusuri jalan, masuk hutan, mencari ke desa-desa, namun tetap tidak berhasil menemukan Mpu Galuh. Akhirnya Mpu Gandring melakukan yoga semadi. Mohon petunjuk Ida Sang Hyang Widhi, akhirnya diberikan petunjuk, tampak dalam yoga semadi beliau Mpu Galuh berada di gunung Agung Bali.

Mpu Gandring Sakti menghentikan yoga semadinya, lalu segera berangkat ke Bali. Tidak diceritakan dalam perjalanan, pada saat matahari akan tenggelam, Mpu Gandring Sakti tiba disuatu tempat, disana Mpu Gandring Sakti beristirahat dibawah pohon randu. Tiba-tiba muncul raksasi, wajahnya sangat menyeramkan dan menakutkan, dia berteriak teriak “wahai manusia, laki laki yang rupawan, siapakah engkau gerangan, dari mana asalmu dan apa maksud kedatanganmu kemari. Aku adalah raksasi yang sangat ingin memakan daging manusia”. Mendengar teriakan raksasi tersebut, Mpu Gandring Sakti lalu mengucapkan matra Wisnu Pajaramurti, mantra itu menghilangkan sifat raksasa seseorang, sehingga raksasi itu tiba-tiba menjadi ramah. Mpu Gandring Sakti lalu mengatakan siapa dirinya serta tujuannya untuk mencari adikanya. Mendengar jawaban Mpu Gandring Sakti, raksasi tersebut lalu jatuh cinta dengan Mpu Gandring Sakti, dan ingin diperistri, dengan permohonan agar Mpu Gandring Sakti memberinya seorang anak sebagai penyupatan dosa-dosanya. Mendengar hal tersebut Mpu Gandring Sakti memenuhi permintaan raksasi tersebut dengan syarat agar melepas sifat keraksasan terlebih dahulu.

Mendengar jawaban Mpu Gandring Sakti, sangat gembira hati raksasi tersebut, dan seketika berubah wajah menjadi seorang wanita yang cantik jelita. Kemudian wanita itu menjelaskan bahwa dia adalah seorang bidadari yang bernama Dyah Giri Sewaka yang dikutuk oleh dewata menajdi seorang raksasi karena melakukan suatu dosa. Kemudian Dyah Giri Sewaka mengajak Mpu Gandring Sakti ke rumahnnya. Disana Mpu Gandring Sakti tinggal beberapa hari sampai Dyah Giri Sewaka hamil. Hingga pada suatu hari Mpu Gandring Sakti mengatakan kepada istrinya Dyah Giri Sewaka, bahwa dia akan melanjutkan perjalanan mencari adiknya, sebagaimana perintah ayahandanya. Dan meminta istrinya menunggunya disini dan menjaga anak dalam kandungannya.

Akhirnya diceritakan bahwa Mpu Gandring Sakti sudah tiba di Besakih, dan dilihat adiknya Mpu Galuh sedang melakukan yiga semadi, hal itu membuat Mpu Gandring Sakti menjadi takjub dan semakin menyesali perbuatannya terdahulu. Sesudah selesai melakukan yoga semadi Mpu Galuh turun dari tempat duduknya, begitu melihat Mpu Gandring Sakti, Mpu Galuh segera menyongsong kedatangan kakaknya, dengan ramah tamah dan sopan santun menyapa, serta menyatakan kegembiraannya atas kedatangan Mpu Gandring Sakti.

Setelah dipersilakan duduk, Mpu Gandring Sakti lalu menjelaskan kedatangannya adalah mengemban tugas ayahanda. Namun kini ternyata Mpu Galuh sudah menjadi pengikut ajaran Sang Kulputih, selalu melakukan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi sebagai Siwa Budha. Om Nama Siwa Bhuda Ya. Mpu Gandring Sakti lanjut menyarankan supaya adiknya meneruskan cita-citanya yang mulia, yaitu mencapai tujuannya untuk manunggal kepada Sang Pencipta. Mendengar kata-kata Mpu Gandring Sakti tersebut, amatlah senang hati Mpu Galuh atau Dyah Kulputih.

Entah berapa lama Mpu Gandring Sakti tinggal di pasraman Mpu Galuh, lalu beliau permisi kepada adiknya untuk kembali ke pasraman Kayumanis, Madura, guna mempermaklumkan kepada ayahanndanya mengenai kabar baik tentang adiknya. Setelah cukup lama melakukan perjalanan meleati hutan belantara, samapailah Mpu Gandring Sakti di rumah istrinya Dyah Giri Sewaka, dan disambut dengan baik, sambil menggendong puteranya laki-laki yang baru beberapa pekan lahir. Mpu Gandring Sakti gembira sekali, menimang nimang puteranya, kemudian memberitahu istrinya tentang hasil perjalanannya. Lalu mengatakan bahwa beliau harus segera kembali ke Madura menyampaikan kabar baik ini. Dijawab oleh istrinya bahwa ia tidak mungkin ikut ke Madura dan akan menyerahkan puteranya untuk ikut ke Madura sebagai ganti atau bukti pengganti jiwanya. Puteranya itu kemudian diberi nama Brahmana Dwala.

Pada hari yang telah ditentukan untuk berangkat ke Madura, Mpu Gandring Sakti menggendong Brahmana Dwala. Kepada puteranya, Dyah giri Sewaka berucap, “anakku semoga engkau panjang usia, menurunkan pratisentana baik, dan dalam perjalananmu di hutan rimba tidak mendapat bahaya, begitu juga di kuburan, di sungai dan di laut tidak dihadang oleh mahluk jahat dan buas. Aku ibumu akan segera kemabali ke sorga, karena kutukan ibu sudah disupat oleh ayahmu” kemudian Dyah Giri Sewaka secara gaib hilang dari pandangan.

Adapun Mpu Gandring Sakti di dalam perjalanannya dengan menggendong puteranya melalui hutan rimba, tidak sedikit menghadapi rintangan, dan akhirnya beliau sampai di Pasaraman Kayumanis, Madura dengan selamat bersama puteranya. Setelah menghadap ayahandanya, beliau menyampaikan secara singkat hasil perjalannnya. Karena Mpu Gandring Sakti sudah tahu bahwa ayahandanya memiliki ilmu ‘duradarsana’ atau memiliki pengelihatan jauh. Mendengar laporan puteranya Mpu Bumi Sakti merasa sangat senang, karena beliau mengetahui apa maksud dan tujuan Mpu Galuh atau Dyah Kul Putih memilih jalan tersebut. Dan beliau berkeinginan untuk mendatangi pasraman Mpu Galuh di Besakih Bali.

Kemudian diceritakan bahwa Mpu Bumi Sakti memanggil Mpu Gandring Sakti, lalu berkata bahwa tugasnya sudah selesai di dunia fana ini, dan akan segera kemabli ke sorga. Setelah berkata tersebut Mpu Bumi Sakti secara tiba-tiba lenyap dari pandangan (moksa). Tinggalah Mpu Gandring Sakti bersama Brahmana Dwala.

Adapun Brahmana Dwala diceritakan sekarang sudah beranjak dewasa, beliau terkenal dalam hal melaksanakan pekerjaan Pande dan mengarang syair. Pada suatu hari Brahmana Dwala pergi ke Gunung Indrakila mengunjungi ayahandanya yang sejak lama melakukan tapa brata disana, memuja Dewa Hyang Agni. Disana Brahmana Dwala melihat ayahandanya sedang melakukan pranayama, Mpu Gandring Sakti dalam keadaan kurus karena melakukan brata makan dan minum, melihat hal itu timbul kasihan dihati Brahmana Dwala, bahkan sampai meneteskan air mata, bahkan sampai timbul niat beliau untuk ikut ayahandanya ke sorga meninggalkan bumi ini. Lalu Brahmana Dwala ikut duduk melakukan yoga semadi disamping ayahandannya. Setelah beberapa saat, tiba tiba dari angkasa berjatuhan bunga yang sangat harum semerbak disertai wedamantra dan sesat tampak roh suci Mpu Saguna atau Mpu patih Jaya berdiri didepan Brahmana Dwala, kemudian bersabda “Wahai cucuku Dwala, dengarkanlah baik-baik, aku datukmu Mpu Saguna atau Mpu Patih jaya, dan aku acapkali datang di Pura Penataran pande di Besakih, jangan sekali-kali engkau lupa kepada kawitan di Besakih sampaikan kepada anak cucu dikemudian hari.

Apabila engkau sungguh sungguh melakukan kewajiban Pande, harus dipelajari Dharma Kapandean seperti Mpu Bumi Sakti leluhurmu, begitu pula mengenai pekerjaan membuat senjata tajam, harus mengetahui ilmu ‘Batur Kamulan’ terutama tentang ajaran ‘Panca Bayu’. Yang dimaksud Panca Bayu adalah prana, apana, samana, udana dan byana. Dalam melaksanakan Dharma Kapandean, harus mengetahui tangan sebagai palu, jari tangan sebagai penjepitnya. Dan harus dapat melepaskan ‘asta candhala’ dari diri pribadi, itulah pantangan-pantangan yang harus diketahui, dan ditaati dalam melakukan tugas Kapandean. Kecuali itu ada lagi pantangan-pantangan, yaitu:
tidak boleh makan keleketu (dedalu/laron), ikan pinggulan (deleg/gabus) dan buah kaluwih (timbul). 
Selanjutnya apabila ayahmu Mpu Gandring Sakti meninggal dunia, tidak perlu dibuatkan upacara apa-apa lagi, karena ia sudah sempurna baik jiwa maupun raganya, dan jangan dimohonkan tirta pandita brahamana lagi, karena dikhawatirkan Pandita Brahmana itu belum sempurna, yang mengakibatkan atma ayahandamu jatuh ke neraka.

Kecuali itu harus kamu ketahui ‘kamandaka carita’”, demikian antara lain sabda roh suci Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya terhadap Brahmana Dwala, lalu Brahmana Dwala menyembah sambil berkata “ya datuk Pandita, seakan-akan mendapat tirta kamandalu rasanya”. Semua sabda Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya itu diingat oleh Brahmana Dwala, lalu beliau berjanji akan selalu taat mengikuti sabda arwah suci Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya sebagai leluhurnya, dan akan diteruskan kepada sanak keluarga dan keturunannya nanti. Jangan sampai ada sanak keluarga dan pratisantananya yang melanggar atau tidak mengikuti seperti sabada roh suci Mpu Saguna atau Mpu Patih Jaya.

Lahirnya Pande Bratan dan Pande Sadhaka

Beberapa lama setelah wafatnya Mpu Gandring Sakti, ada niat Brahmana Dwala untuk melaksanakan pudgala (dwijati) untuk menjadi seorang brahmana (pandhita), akan tetapi tidak ada satu orangpun yang dianggap patut menjadi gurunya (nabe). Untuk itu lalu dibuatlah arca pralingga Bhatara Kawitan yaitu Bhagawan Pandya Mpu Bumi Sakti dan istrinya Dyah Amertatma, kemudian arca tersebut ditempatkan di depan Padmasana di Pasraman Kayumanis Madura. Setiap hari Brahmana Dwala selalu memuja Bhatara kawitan, demikian taatnya melakukan yoga semadi, akhirnya Bhatara kawitan berkenan menganugerahkan ‘pustaka bang’ kepada Brahmana Dwala yaitu ajaran atau pustaka yang berisi cara cara untuk mencapai kebahagian hidup dan mati, sehingga hidup menjadi tenang dan tuntunan bekerja dengan baik dan benar. Demikian halinya Brahmana Dwala melakukan pekerjaan pande, sehingga beliau dijuluki ‘putra bhagawan Wiswakarma’, dan setelah melaksanakan pudgala dengan cara demikian, akhirnya Brahmana Dwala diberi gelar Mpu Dwala.

Setelah kawin berumah tangga, Mpu Dwala kemudian berputra 2 orang laki laki:
  1. Arya Pande Beratan
  2. Arya Pande Wulung yang kemudian bergelar Mpu Sadhaka
Pada saat ini Mpu Dwala membuat pasraman di Desa Beratan. Ketika itu yang bertahta di Bali adalah Dalem Waturenggong yang bergelar Sri Jaya Kresna Kepakisan yang dinobatkan pada tahun Isaka 1382 dan berkuasa sampai dengan tahun ISaka 1472 (1460-1550 M). Pemerintahan beliau dibantu oleh I Gusti Agung Widya dan I Gusti Dawuh Bale Agung.

Pada tahun 1478 M dalam pemerintahan Dalem Waturenggong, akan diselenggarakan upacara besar di Pura Besakih, yaitu Eka Dasa Rudra, atas nasihat DangHyang Nirartha selaku cudamani Dalem. Namun pada masa itu tidak tidak ada Pande Mas yang mumpuni di sekitar puri. Dalam keadaan bingung tersebut, tiba-tiba ada berita bahwa di Beratan ada seorang Pande yang bernama Arya Pande Wulung, Pande asal Madura putera Brahmana Dwala. Arya Pande Wulung adalah nama lain dari Arya pande Sadhaka, setelah madwijati bergelar Mpu Sadhaka adalah ahli dalam ilmu Kapandeyan terutama dalam membuat busana dan perhiasan dari emas dan perak, serta ahli dalam permata manik manikin.

Mpu Sadhaka lalu diundang oleh Dalem Waturenggong, setibanya di Gelgel, Dalem Waturenggong lalu minta bantuan Mpu Sadhaka untuk membantu pekerjaan persiapan yajna Eka Dasa Rudra di Besakih. Mpu Sadhaka menyatakan bersedia membantu sesuai kemampuan yang dimiliki. Kemudian upacara Eka Dasa Rudra berlangsung lancar dan sukses, lalu Dalaem Waturenggong menganugerahkan hadiah kepada semua orang yang dianggap berjasa, termasuk Mpu Sadhaka yang juga diberi gelar Mpu Swarnangkara. Setelah semuanya selesai Mpu Sadhaka kembali ke pasaraman di Beratan.

Tidak diceritakan lebih lanjut, Mpu Sadhaka menurunkan pratisentana, masing masing bernama:
  1. Arya Danu,
  2. Arya Suradnya setelah madwijati bergelar Mpu Pande Rsi,
  3. Pande Tusta,
  4. Pande Tonjok yang ahli membuat senjata tajam,
  5. Ida Wana ahli dalam pekerjaan sangging. Kemudian ada yang menjadi Kepala Desa di Beratan bernama I Gusti Pande Beratan.

Pada suatu hari, sabtu kliwon, diceritakan Arya Pande Beratan sedang asyiknya menyapu dihalaman Pura Ulun Danu Beratan, desa Candikuning, tiba tiba beliau merasa dikagetkan dengan kedatangan enam orang pedagang keliling (pengalu) dari desa Batur Kintamani, yang menambatkan kudanya di jaba sisi Pura Ulun Danu. Tampak dalam pandangan Arya Pande Beratan, pedagang tersebut begitu saja menambatkan kudanya tanpa memperhatikan bahwa itu adalah sebuah pura atau tempat suci. Dengan perlahan dan penuh kesopanan Arya pande Beratan menegur pedagang tersebut, meminta agar jangan menambatkan kudanya di halaman pura. Namun pedagang tersebut menjawab dengan kasar, seraya mengatakan tidak akan memindahkan kudanya. Karena tersinggung dan merasa ditantang, Arya pande Beratan memanggil saudara-saudaranya yang cepat datang lengkap dengan senjata ditangan. Akhirnya pedagang tersebut diserang. Satu orang tewas, sedangkan sisanya melarikan diri.

Pedagang yang selamat, yang melarikan diri akhirnya sampai juga di Batur. Mereka melaporkan kepada seluruh sanak keluarganya, bahwa mereka diserang dan dirampok oleh warga Pande Beratan yang mengakibatkan seorang temannya tewas. Mendengar laporan tersebut, seluruh sanak keluarganya yang merupakan keturunan dari Pasek Kayu Selem, menjadi sangat marah. Akhirnya kentongan dibunyikan, maka berkumpulah seluruh sanak keluarga mereka seraya membawa senjata lengkap guna menyerang warga Pande Beratan. Maka terjadilah pertempuran yang sangat sengit di Beratan, banyak korban jatuh dikedua belah pihak. Namun karena kalah jumlah, akhirnya warga Pande Beratan dibuat kocar kacir, banyak keluarga yang tewas, yang selamat melarikan diri dan bersembunyi di desa-desa yang tidak terjangkau oleh musuh. Peristiwa ini terjadi tahun 1570 M pada masa pemerintahan Dalem Bekung.

Diantara warga Pande yang melarikan diri itu, antara lain:
  • Mpu Jagarosa dengan membawa ‘Pustaka Bang’ melarikan diri ke desa Taman.
  • Pande Sarwadha ke desa Kapal,
  • Arya Pande Ramaja mengungsi ke desa Mengwi,
  • Arya Karsana ke Badung.
  • Arya Pande Swarna ke Buleleng, lalu mengabdi kepada Raja Buleleng I Gusti Agung Panji Sakti. Ada pula yang pindah ke desa Tusan daerah Klungkung,
  • Arya Pande Ruktya ke Bangli dengan membawa 2 arca kawitan, saudara sepupunya pindah ke Samu
  • Ida Arya Wana ke Bayan dan menjadi seorang undagi.
  • Mpu Tarub pindah ke desa Marga,
  • Arya Pande Dhanuwangsa pindah ke Desa Gadung Tabanan. 
Mpu Tarub yang sudah tinggal di desa Marga, pada hari Sabtu Kliwon wara Kuningan bertepatan dengan Suklapaksa melakukan yoga semadi di Pura Penatarannya, disana beliau mendengar sabda dari bhatara Kawitan yang mengatakan “janganlah engkau terlalu bersedih hati karena tertimpa musibah, sebab peristiwa ini merupakan kutukan dari Hyang Widi merupakan karmaphala, sebab kamu sebagai keturunan seorang brahmana telah melakukan kejahatan membunuh seseorang. Dan yang menjadi korbannya adalah warga Pasek keturunan Mpu Ketek yang juga keturunan brahmana dan masih kerabatmu yang berasal dari satu kawitan. Kemudian bilamana engkau menyelenggarakan yajna jangan mempergunakan tirta brahmana (pedanda), sebab kalau engkau memakai tirta brahmana sama dengan kamu melupakan atau melalaikan kawitanmu, aku adalah Brahmana Dwala atau Mpu Dwala leluhurmu. Semua sabdaku ini agar disampaikan kepada anak cucu keturunanmu” demikian sabda Brahmana Dwala kepada Mpu Tarub.
Begitu juga Arya Pande Ruktya di Bangli, tetap setia kepada dharmanya yaitu Pande emas dan perak, dan ketika itu yang berkuasa sebagai Anglurah di Bangli adalah I Gusti Paraupan, dibantu oleh sanak keluarganya bernama I Gusti Pemamoran, I Gusti Baingin dan lain lainnya. Sedangkan di Tamanbali yang bertahta sebagai raja ialah keturunan Tirtha Arum dan waktu itu terjadi perselisihan antara Anglurah Bangli dengan raja Tamanbali. Lalu I Gusti Paraupan di Bangli diserang oleh oleh raja Tamanbali bersama keluarganya, antara lain I Dewa Pering dari Nyalian, I Dewa Pindi dari Pegesangan. Maka terjadilah pertempuran yang sengit antara rakyat Bangli melawan rakyat Tamanbali, Nyalian, Pegesangan dan lain lain. Akhirnya I Gusti Peraupan menderita kekalahan dan gugur dalam pertempuran bersama sanak saudaranya. Sedangkan I Gusti Pemamoran disertai Arya Pande Ruktya dan Arya Pande Likub serta sanak saudaranya melarikan diri ke desa Camenggaon Gianyar, kemudian Arya Pande Likub melanjutkan perjalanan ke desa Timbul dengan membawa dua buah arca Kawitan. Akan tetapi di desa Timbul Arya pande Likub merasa kurang mendapat simpati dari masyarakat disana.

Karena terus dikejar musuh, Arya Pande Ruktya yang semula satu rombongan dengan I Gusti Pemamoran, akhirnya terpisah. Arya Pande Ruktya seterusnya bertempat tinggal di Blahbatuh berlindung kepada I Gusti Ngurah Jelantik. Tidak lama kemudian Arya pande Ruktya meninggal dunia karena sakit kena racun. Sanak keluarga Arya Pande Ruktya yang lain, lama kelamaan lupa dan lalai terhadap Bhatara Kawitan, akibatnya tidak menentu hidupnya, kemudian akhirnya mereka mengerti dan menjalankan dharma dan bakati kepada Bhatara Kawitan, sebab itu mereka membangun parahyangan ”Ratu Kepandean” dan “Dalem Bangli”, sejak saat itu hidup mereka berangsur-angsur membaik dan semakin bahagia.

Adapun Lurah Kepandean berputra 6 orang, yang sulung bernama:
  1. Pande Galuh
  2. Pande Bendesa Twa
  3. Pande Taman Bungbungan
  4. Pande Sasana Taman Bali
  5. Pande Bang Ngaran Banjar.
Kemudian mereka membangun Parahyangan di Banjar Jelantik desa Tojan Klungkung sebagai Penataran warga Pande, sekaligus Pura Kawitan. Pura Penataran ini mempergunakan kusen dan daun pintu dari batu, oleh sebab itu pura ini sering disebut Pura Penataran Kori Batu atau Sila Dwara.

Sekarang keturunan Pande Galuh, Pande Bendesa Twa, Pande Taman Bungbungan, Pande Sasana Taman Bali, Pande Bang Ngaran Banjar dan Pande Anom sudah tersebar keberbagai desa. Mereka memiliki keahlian dalam berbagai bidang seperti membuat senjata dan alat alat rumah tangga dari besi, sehingga mereka disebut Pande Besi. Yang ahli membuat busana, perhiasan dan alat alat dari yang terbuat dari logam emas dan perak disebut sebagai Pande Emas. Dan yang ahli membuat tetabuhan seperti gong, terompung, kempur dan gangsa disebut Pande Gong.

Selanjutnya mereka ini dikenal dengan Warga Pande, yang pada umumnya diikuti oleh bidang keahlian atau tempat domisili, sehingga akhirnya dikenal dengan nama Pande Beratan, Pande Tusan, Pande Kamasan, Pande Tamanbali, Pande Beng, Pande Tatasan dan lain lain. Mereka semua berasal dari satu kawitan yaitu Mpu Dwijendra atau Mpu Rajakertha
Dikutip dari buku: Prasati dan Babad Pande
Karya: Pande Made Purnajiwa

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter