-->

Dalem Waturenggong (Caka 1382 – 1472 atau 1460 – 1550 M)

Dalem Shri Aji Batur Enggong

Kemangkatan Gajah Mada pada tahun 1364, yang disusul pula kemudian dengan kemangkatannya Sri Hayam Wuruk pada tahun 1389, ternyatalah kedua peristiwa itu membuka jalan bagi runtuhnya kerajaan Majapahit dikemudian hari. 

Sejak itu sebenarnya kerajaan Majapahit sudahmulai mengalami kemunduran, karena tanpa adanya lagi muncul pemimpin-pemimpin baru yang cakap dan bijaksana untuk menggantikan Gajah Mada sebagai patih Mangkubumi.   Adanya usaha Baginda raja Sri Haya Wuruk ketika itu untuk mengadakan musyawah besar di istana Majapahit, ternyata tiada memberi hasil yang diharapkan. Malah sebaliknya, kemunduran yang dialami oleh kerajaan Majapahit ketika itu, dipergunakan oleh para Adipati di Daerah-daerah untuk memperkuat kedudukannya, terbukti dengan tindakan Sri Smara Kepakisan yang menjadi Adipati di Bali. Beliau menobatkan dirinya sebagai raja Rsi, dengan suatu upacara besar yang disebut Abhiseka. Walaupun demikian suatu perubahan yang terjadi, namun kerajaan Majapahit pernah menguasai Bali yang lamanya tiada kurang kira-kira dari 60 tahun. 


Hal itu diperkirakan dari mulai jatuhnya kerajaan Bedaulu pada tahun 1343 dan kemudian dengan terdapatnya 2 buah prasasti, yang kini sebuah masih disimpan di pura Abang di desa Batur bertahun 1384 M, dan yang sebuah lagi disimpan di pura Batur di desa Gobleg bertahun 1398 M. Agama Islam dikerajaan Pasuruan pada tahun 1546, penyerangan tentara kerajaan Gelgel ke Blangbangan pada tahun 1569 dan lain sebagainya. Selanjutnya kitab perpustakaan kuna yang berjudul “BABAD DALEM” dan "KIDUNG PAMANCANGAN” menyebutkan antara lain bahwa Sri Batur Enggong adalah putra Sri Smara Kapakisan. 

Pada Masa Pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir telah dinobatkan putra beliau yaitu Dalem Waturenggong sebagai Raja Muda tahun caka 1380 atau tahun 1458 M. Dengan wafatnya ayah beliau pada tahun 1460 maka Dalem Waturenggonglah yang menggantikan kedudukan beliau sebagai Raja di Kerajaan Gelgel dengan kekuasaan penuh terhadap Pulau Bali.

Pemerintah Dalem Waturenggong pada abad XVI (sekitar tahun 1550 M) merupakan awal lepasnya ikatan dan pengaruh Majapahit terhadap kerajaan Bali seiring runtuhnya kerajaan Majapahit oleh Kerajaan Islam Demak. Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit yang merupakan pemerintahan Pusat pada tahun 1478 yang dicandra sengkala Sirna Hilang Kertaning Bhumi atau caka 1400, maka Bali melepaskan diri dan menjadi wilayah yang merdeka. Kerajaan Gelgel kemudian memperluas wilayah kekuasaannya dengan menundukkan kerajaan Blambangan pada tahun 1512 M dan menguasai Pulau Lombok tahun 1520 M.

Dalem Waturenggong  menggantikan kedudukan ayahnya di Bali, mengemudikan sebuah kerajaan besar, yang luas wilayahnya meliputi dari barat Puger, Pasuruhan, Belambangan, hampir seluruh Jawa Timur dan sebelah Timur yaitu Sasak, Sambawa, Gurun dan Gowa. Dalem Waturenggong adalah raja yang sangat ditakuti oleh raja Pasuruan dan Raja Mataram.Baginda Dhalem Baturenggong sangat mahir dalam keagamaan dan sangat sakti, bisa berjalan di atas air dan kalau menaiki pedati, hanya tenggelam sampai mata kuku pedati tersebut.

Untuk menjaga wilayah timur, Baginda menempatkan putra-putranya menjadi raja yaitu
  1. I Dewa Mas Pakel menjadi raja di Sambawa 
  2. I Dewa Mas Panji menjadi raja di Gowa, 
  3. sedangkan putra-putranya di Bali yang terlahir dari Wini Ayu Midar masih sangat kecil yaitu Ida I Dewa Pemayun dan Ida I Dewa Dimade Sagening. 
  4. Dari istri baginda yang bernama Ni Ayu Tengenan melahirkan Ida Tebuwana, d 
  5. Dari istrinya Ni Gusti Ayu Ularan melahirkan putra bernama I Dewa Ularan.
Dalem Waturenggong mewarisi keris pusaka Ki Lobar , Si tandang langlang dan Si begawan Canggu yang diberikan oleh Patih Gajahmada kepada Kakek beliau Dalem Sri Kresna Kepakisan pada saat pertama kali memegang pemerintahan di Pulau Bali yang mana keberadaan senjata sakti tersebut sangat ditakuti oleh musuh musuh beliau karena dapat mencari sasarannya sendiri atas perintah si empunya. Kebangkitan sebuah kerajaan besar di Bali dibawah kekuasaan Sri Batur Enggong,dapat menunjukkan bahwa beliau adalah seorang raja yang cakap dan bijaksana di dalam mengemudikan pemerintahan.

Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong Kerajaan Bali mencapai masa keemasannya hal tersebut tercapai berkat kebijaksanaan beliau dalam mengatur pemerintahan dan penegakan hukum serta perhatian beliau terhadap kesejahteraan rakyat. Begitu juga orang orang Bali aga (asli) diberikan kedudukan dalam pemerintahan dan diperlakukan secara adil.

Menteri Mentri pada Jaman pemerintahan ayahnya yang sudah berusia lanjut digantikan oleh putra putranya diantaranya Ki Gusti Batan Jeruk sebagai patih Agung digantikan oleh oleh putranya yaitu Rakyan petandakan juga Ki Gusti Abian Tubuh dan Ki Gusti Pinatih telah menunjukkan rasa baktinya menuruti jejak orang tuanya masing masing kehadapan Dalem Waturenggong. Sedagkan para arya lainnya menduduki jabatan Menteri dengan sebutan Anglurah.

Ketertiban dan keamanan dapat dijada dengan baik. Pencuri dan perampok dijatuhi hukuman yang berat, sedangkan orang miskin mendapat bantuan dari pemerintah. Apabila terdapat pengemis berkeliaran pada suatu daerah, maka kepala di daerah itu yang bersalah karena tiada sanggup menciptakan kemakmuran di daerahnya sendiri. Ketegasan Baginda Sri Batur Enggong bertindak di dalam menegakkan keadilan dankebenaran, dimungkinkan dengan adanya sepasukan tentara pengawal kuat.

Pasukan pengawal itu disebut “Dulang Mangap”, beranggautakan 1600 orang dibawah pimpinan Ki Ularan sebagai panglima Perangnya yang merupakan warga Bali Aga (Bali Asli) keturunan Ki Pasung Grigis yang merupakan patih Kerajaan Bedulu sebelum dikalahkan Majapahit.

Sri Batur Enggong ketika masih muda pernah kedatangan seorang pemuka Agama Islam, yang megnaku dirinya adalah utusan dari Mekka. Pemuka Agama itu mendesak Baginda agar suka memeluk Agama Islam. Akan tetapi desakan pemuka Agama Islam itu ditolak mentah-mentah oleh Baginda. Kiranya pemuka Agama Islam yang datang itu tiada lain dari Pelatehan atau Fatahillah yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati. Dugaan itu didaarkan atas perkembangan Agama Islam kira-kira pada tahun 1546 yang terjadi di Jawa Timur, pada jamannya Sultan Trenggono menjadi Sultan di kerajaan Demak. Pada waktu itulah banyak orang-orang Jawa yang masih memuliakan Agama Siwa maupun Buddha, terpaksa mengadakan perpindahan besar-besaran ke Bali. Diantaranya ada pula yang mengungsi ke pegunungan Tengger dan daerah-daerah pegunungan lainnya di Jawa Timur. Kisah perjalanan seorang Pendeta yang kemudian amat masyur namanya di Bali, terjadi pula pada masa itu.

Akibat jatuhnya Majapahit maka banyak para arya dan Brahmana dari Majapahit yang datang ke Bali diantaranya Dang Hyang Nirarta yang di Bali terkenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rauh / Dang Hyang Dwijendra dan di Lombok terkenal dengan sebutan Sangupati dan di Pulau Sumbawa beliau disebut dengan Tuan Semeru.

Kedatangan Dang Hyang Nirarta ke Bali disambut oleh I Gusti Dauh Bale Agung. Beliau kemudian diangkat sebagai Bagawanta Kerajaan Gelgel. Peranan belaiu sebagai Bagawanta sangat besar dalam bidang keagamaan, arsitektur dan kesusatraan sehingga Kerajaan Gelgel pada abad ke 6 tersebut mencapai puncak kejayaannya. Beliau selalu memberikan petunjuk dan nasehat kepada Dalem Waturenggong dalam menjalankan pemerintahan, dan salah satu ajaran beliau yang diwarisi sampai sekarang adalah konsep TRI PURUSA (Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa yaitu :
  1. Parama Siwa yaitu Sifat Tuhan sebagai Brahma yang merupakan sumber dari segala sumber di alam semesta 
  2. Sada Siwa yaitu sifat Tuhan sebagai Asta Iswara dan Cadu Sakti 
  3. Siwa yaitu Sifat Tuhan sebagai jiwa alam semesta.
Dalam wujud tempat persembahyangan dinamakan Padmasana yang memadukan ajaran Tri Murti dari Mpu Kuturan dan Konsep Tri Purusa dari Dang Hyang Nirarta yang dipergunakan hingga saat ini.

Baginda raja Sri Batur Enggong sesudah berusia lanjut, lalu menjadi raja Rsi denan suatu upacara penobatan yang disebut Abhiseka. Bertindaklah Mpu Nirartha dalam memimpin upacara perayaan besar itu sebagai pendeta Siwa Budha, karena Mpu Angsoka seorang Pendeta Buddha yang diundangnya pada waktu itu tidak hadir. Beliau mempersilahkan Mpu Nirartha untuk merangkapnya. Karena itulah Mpu Nirartha dapat bertindak sebagai Pendeta Siwa-Buddha sebagai diterangkan diatas. Dan mulai saat itulah Mpu Nirartha baru diangkat menjadi “Purohito” (Pendeta kerajaan) dari Baginda raja Sri Batur Enggong yang sudah menjadi raja Rsi.

Tiada lama berselang sesudah Baginda Sri Batur Enggong menjadi Raja Rsi, datanglah dari Jawa ke Bali seorang Pendeta Agama Buiddha yang bernama Mpu Asthapaka, yakni anak dari Mpu Angsoka. Keberangkatan beliau ke Bali, disebabkan karena desakan Agama Islam yang makin meluas di Jawa Timur.
Akhirnya beliau menetap pada suatu tempat yang kini disebut Buddha Keling (Karangasem). Nama itu mengesankan bahwa Mpu Asthapaka mengikuti ajaran Agama Buddha yang bersal dari Kalingga (India Timur). Semenjak itu berkembanglah lagi Agama Buddha di Bali, disamping Agama Siwa yang dipimpin oleh Mpu Nirartha.

Perkembangan Agama Siwa dan Buddha di Bali pada waktu itu mengalami kemajuan yang pesat, lebih-lebih setelah Baginda Sri Batur Enggong megndakan suatu upacara keagamaan yang disebut “Homa”, yakni suatu upacara pemujaan terhadap Desa Api atau Hyang Agni.

Setelah selesai upacara Boma itu dilangsungkan, maka makurlah keadaan di pulau Bali sejak itu. Pohon kelapa dan padi berbuah lebat sepanjang masa, tiada pernah suatu hama penyakit yang menyerangnya.
Pama masa itu sekalian penduduk pulau Bali mengalami jaman keemasan, hidup berbhagia dibawah pemerintahan Baginda raja Sri Batur Enggong, yang selalu bertindak tegas, adil dan bijaksana.

Dalam keadaan yang demikian itulah Mpu Nirartha dan Mpu Asthapaka, dapat meneruskan usaha leluhurnya dimasa lampau, untuk menanamkan kesadaran rakyat dibidang beragama. Hingga kini nama Mpu Nirartha yang lebih terkenal dengan sebutan Padanda Wawu Rawuh sangat masyur di Bali.

Beliau banyak menulis karanganyang mengandung filsafat dan ajaran-ajaran Agama Siwa, seperti tersebut didalam kitab Karangannya yang berjudul : Gugutuk Menur, Sarakusua, ampik, Ewer, Legarang, Dharmatatwa, mahesa-Langit, kasisthasraya, Anjang Nirartha, Mahisamegat Kung, dan Kewidharma Putus.

Sedangkan Kiyai Panulisa Dawuh Bale Agung yang menjadi muridnya mengikuti juga jejak Maha gurunya. Diantara Karanganya yang bernilai ialah : Wukir Opadelengan, Tan Dhirga, Pupuh Sumaguna, Rareng Canggu, Wilet Majura, Anting-anting Timah, Karas Negara, Sagara Gunung dan Jagul Tuha.

Berkat keahliannya Kiyai panulisan Dawuh Bale Agung didalam karang mengarang, lalu pemerintah di kerajaan Gelgel memberi gelar kehormatan dnean sebutan “Rakryan Manguri”. Demikianlah keadaan pulau Bali dibawah kekusaan Baginda Raja Sri Batur Enggong, yang dialam menjalankan pemerintahannya beliau dibantu oleh seorang Patih Agung Yakni Kiyai Batan Jeruk. Patih Agung inilah yang keudian mengadakan pemberontakan, setelah keraton Gelgel dipimpin oleh sebuah Badan peraakilan, karena putra Mahkota yang akan dinobatkan masih kecil. Baginda raja Sri Batur Enggong yang masyhur namanya itu, mangkat kira-kira tiada antara lama sebelum tahun 1586).

Pada Masa Pemerintahan Dalem Waturenggong wafatlah Ida Shri Aji Tegal Besung yang merupakan Paman beliau atau anak dari Dalem Kresna Kepakisan Raja Bali I setelah ekspedisi Majapahit tahun 1343 M.  Pemerintahan Dhalem Baturenggong, dibantu oleh saudara sepupunya putra dari Ida Shri Aji Tegal Besung, dengan jabatan Manca Agung atau Dewan Penasehat Raja: yaitu Ida I Dewa Anggungan, Ida I Dewa Gedong Artha, Ida I Dewa Pagedangan, Ida I Dewa Nusa dan Ida I Dewa Bangli.

Putra putra beliau senantiasa mengabdikan diri kepada Dalem Waturenggong karena masih bersepupu dengan beliau dan oleh Dalem Waturenggong ke lima saudara sepupunya masing masing diberikan tempat tinggal dan sandang pangan secukupnya.

Pembangunan Pura di Masa Pemerintahan Dalem Waturenggong

Pura-pura yang dibangun atas petunjuk Dang Hyang Dwijendra adalah :
  • Pura Purancak di Jembrana 
  • Pura Rambut Siwi di dekat desa Yeh Embang dibangun kembali atas petunjuk beliau dan di sana disimpan potongan rambut Dang Hyang Dwijendra, 
  • Pura Pakendungan di desa Braban Tabanan, di sini disimpan keris beliau. 
  • Pura Sakti Mundeh dekat desa Kaba-kaba Tabanan 
  • Pura Petitenget di pantai laut dekat desa Kerobokan (Badung) di sini disimpan pecanangan (kotak tempat sirih) 
  • Pura Dalem Gandhamayu yang terletak di desa Kamasan (Klungkung) di tempat itu beliau menemukan bau harum sebagai isyarat dari Hyang widhi. 

Akhir Masa Pemerintahan Dalem Waturenggong

Dalem Baturenggong Berpulang ke Sunyaloka pada sangkala ” Saparenge Sang Pandita muang catur jadma yaitu caka 1472 atau 1550 Masehi, dengan meninggalkan putra yang masih kecil-kecil,yaitu :
  1. Raden Pangharsa/ Dalem Bekung 
  2. Raden Anom Sagening/ Dalem Sagening 
  3. Seorang putri tidak diceritakan
Setelah Dalem Watur Enggong Wafat maka putra tertua yaitu Raden Pangharsa dinobatkan sebagai Raja Gelgel tahun 1560 dengan Gelar Sri Aji Pamahyun / Dalem Bekung karena beliau tidak mempunyai keturunan.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter