|    
 
 
 
          |      
 
 Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury 
 
 
 
 POSISI BANGSA ARAB DAN KAUMNYA  
 
 Pada hakikatnya istilah Sirah Nabawiyah     merupakan ungkapan tentang risalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu     'Alaihi wasallam kepada manusia, untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan     menuju cahaya, dari 'ibadah kepada hamba menuju 'ibadah kepada Allah. Dan     tidak mungkin bisa menghadirkan gambarannya yang amat menawan secara pas     dan mengena kecuali setelah melakukan perbandingan antara latar belakang     risalah ini (risalah Nabawiyyah) dan pengaruhnya. Berangkat dari sinilah     kami merasa perlu mengemukakan fasal yang berbicara tentang kaum-kaum 'Arab     dan perkembangannya sebelum Islam, serta tentang kondisi-kondisi saat Nabi     Muhammad diutus.  
 
 Posisi Bangsa Arab  
 
 Menurut bahasa, 'Arab artinya padang pasir,     tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Sebutan dengan     istilah ini sudah diberikan sejak dahulu kala kepada jazirah Arab,     sebagaimana sebutan yang diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan     dengan daerah tertentu, lalu mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal.  
 
 Jazirah Arab dibatasi Laut Merah dan gurun Sinai     di sebelah barat, di sebelah timur dibatasi teluk Arab dan sebagian besar     negara Iraq bagian selatan, di sebelah selatan dibatasi laut Arab yang     bersambung dengan lautan India dan di sebelah utara dibatasi negeri Syam     dan sebagian kecil dari negara Iraq, sekalipun mungkin ada sedikit     perbedaan dalam penentuan batasan ini. Luasnya membentang antara satu juta     mil kali satu juta tiga ratus ribu mil.  
 
 Jazirah Arab memiliki peranan yang sangat besar     karena letak geografisnya. Sedangkan dilihat dari kondisi internalnya,     Jazirah Arab hanya dikelilingi gurun dan pasir di segala sudutnya. Karena     kondisi seperti inilah yang membuat jazirah Arab seperti benteng pertahanan     yang kokoh, yang tidak memperkenankan bangsa asing untuk menjajah, mencaplok     dan menguasai Bangsa Arab. Oleh karena itu kita bisa melihat penduduk     jazirah Arab yang hidup merdeka dan bebas dalam segala urusan semenjak     zaman dahulu. Sekalipun begitu mereka tetap hidup berdampingan dengan dua     imperium yang besar saat itu, yang serangannya tak mungkin bisa dihadang     andaikan tidak ada benteng pertahanan yang kokoh seperti itu.  
 
 Sedangkan hubungannya dengan dunia luar, Jazirah     Arab terletak di benua yang sudah dikenal semenjak dahulu kala, yang     mempertautkan daratan dan lautan. Sebelah barat Laut merupakan pintu masuk     ke benua Afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke benua     Eropa dan sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa non-Arab,     timur tengah dan timur dekat, terus membentang ke India dan Cina. Setiap benua     mempertemukan lautnya dengan Jazirah Arab dan setiap kapal laut yang     berlayar tentu akan bersandar di ujungnya.  
 
 Karena letak geografisnya seperti itu pula,     sebelah utara dan selatan dari jazirah Arab menjadi tempat berlabuh     berbagai bangsa untuk saling tukar-menukar perniagaan, peradaban, agama dan     seni.  
 
 Kaum-kaum Arab  
 
 Ditilik dari silsilah keturunan dan     cikal-bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum Arab menjadi tiga bagian,     yaitu:  
 
 Arab Bâ-idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu     yang sudah punah dan tidak mungkin sejarahnya bisa dilacak secara rinci dan     komplit, seperti 'Ad, Tsamud, Thasm, Judais, 'Imlaq dan lain-lainnya.  
 
 Arab 'ÂAribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal     dari keturunan Ya'rib bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab     Qahthaniyah.  
 
 Arab Musta'ribah. yaitu kaum-kaum Arab yang     berasal dari keturunan Isma'il, yang disebut pula Arab 'Adnaniyah.  
 
 Tempat kelahiran Arab 'ÂAribah atau kaum Qahthan     adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku,     yang terkenal adalah dua kabilah:  
 
 Kabilah Himyar, yang terdiri dari beberapa suku     terkenal, yaitu Zaid Al-Jumhur, Qudhâ'ah dan Sakâsik.  
 
 Kahlân, yang terdiri dari beberapa suku terkenal     yaitu Hamadan, Anmar, Thayyi', Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Azd, Aus,     Khazraj, anak keturunan Jafnah raja Syam dan lain-lainnya. Suku-suku Kahlân     banyak yang hijrah meninggalkan Yaman, lalu menyebar ke berbagai penjuru     Jazirah menjelang terjadinya banjir besar saat mereka mengalami kegagalan     dalam perdagangan. Hal ini sebagai akibat dari tekanan Bangsa Romawi dan     tindakan mereka menguasai jalur perdagangan laut dan setelah mereka     menghancurkan jalur darat serta berhasil menguasai Mesir dan Syam, (dalam     riwayat lain) dikatakan : bahwa mereka hijrah setelah terjadinya banjir     besar tersebut.  
 
 Juga tidak menutup kemungkinan jika hal itu     sebagai akibat dari persaingan antara suku-suku Kahlan dan suku-suku     Himyar, yang berakhir dengan keluarnya suku-suku Himyar dan pindahnya     suku-suku Kahlân.  
 
 Suku-Suku Kahlân yang berhijrah bisa dibagi     menjadi empat golongan :  
 
 Azd ; Kehijrahan mereka langsung dipimpin oleh     pemuka dan pemimpin mereka, 'Imran bin 'Amru Muzaiqiya'. Mereka     berpindah-pindah di negeri Yaman dan mengirim para pemandu; lalu berjalan     ke arah utara dan timur. Dan inilah rincian akhir tempat-tempat yang pernah     mereka tinggali setelah perjalanan mereka tersebut : Tsa'labah bin Amru     pindah dari al-Azd menuju Hijaz, lalu menetap diantara (tempat yang     bernama) Tsa'labiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya besar dan kuat, dia     pindah ke Madinah dan menetap disana. Dan diantara keturunan Tsa'labah ini     adalah Aus dan Khazraj, yaitu dua orang anak dari Haritsah bin Tsa'labah. 
 
 Diantara keturunan mereka yang bernama Haritsah     bin 'Amr (atau yang dikenal dengan Khuza'ah) dan anak keturunannya     berpindah ke Hijaz, hingga mereka singgah di Murr azh-Zhahran, yang     selanjutnya membuka tanah suci dan mendiami Makkah serta mengekstradisi     penduduk aslinya, al-Jarahimah. Sedangkan 'Imran bin 'Amr singgah di Omman     lalu bertempat tinggal di sana bersama anak-anak keturunannya, yang disebut     Azd Omman, sedangkan kabilah-kabilah Nashr bin aI-Azd menetap di Tuhâmah,     yang disebut Uzd Syanû-ah. Jafnah bin 'Amr pergi ke Syam dan menetap di     sana bersama anak keturunannya. Dia dijuluki Bapak para raja     al-Ghassâsinah, yang dinisbatkan kepada mata air di Hijaz, yang dikenal     dengan nama Ghassân yang telah mereka singgahi sebelum akhimya pindah ke     Syam.  
 
 Lakhm dan Judzam; mereka pindah ke bagian Timur     dan Barat. Tokoh di kalangan mereka adalah Nashr bin Rabi'ah, pemimpin     raja-raja Al-Manadzirah di Hirah. 
 
 Bani Thayyi' ; Mereka berpindah ke arah utara     setelah perjalanan Azd hingga singgah di antara dua gunung; Aja dan Salma,     dan akhirnya menetap di sana dan kedua gunung tersebut kemudian dekenal     dengan dua gunungThayyi'. 
 
 Kindah; Mereka singgah di Bahrain, kemudian     terpaksa meninggalkannya dan singgah di Hadhramaut. Namun nasib mereka     tidak jauh berbeda dengan apa yang menimpa mereka saat berada di Bahrain,     hingga mereka pindah lagi ke Najd. Di sana mereka mendirikan pemerintahan     yang besar dan kuat. Tapi pemerintahan itu cepat berakhir tanpa     meninggalkan bekas sedikitpun. Di sana ada satu kabilah Himyar yaitu     Qudha'ah (meskipun masih diperselisihkan penisbatannya kepada Himyar)yang     meninggalkan Yaman dan bermukim di daerah pedalaman as-Samawah, pinggiran     Iraq.*  
 
 * Lihat rincian tentang kabilah-kabilah ini dan     hijrahnya dalam buku-buku: "Nasab Ma'd wal Yaman al-Kabir",     "Jamharatun Nasab", "al-'Iqdul Farid", "Qalaidul     Jumman", "Nihayatul Arib", "Tarikh Ibni Khaldun",     "Saba-ikuz Zahab" , dll. Dan terdapat perbedaan yang cukup     mencolok dalam berbagai referensi sejarah dalam menetapkan periode     hijrah-hijrah yang mereka lakukan dan sebab-sebabnya. Tapi setel•h     mengamati secara cermat dari berbagai sudut pandang, maka kami telah menetapkan     pendapat yang kami anggap kuat dalam bab ini berdasarkan dalil yang ada.  
 
 Adapun Arab Musta'ribah, mereka merupakan cikal     bakal dari nenek moyang mereka yang tertua Ibrahim 'Alaihis-Salam, yang     berasal dari negeri Iraq, dari sebuah kota yang disebut Ar, dan terletak di     pinggir barat sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah. Cukup banyak upaya     penggalian dan pengeboran yang dilakukan untuk mengungkap rincian yang     mendetail tentang kota ini dan keluarga Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam serta     kondisi religius dan sosial yang ada di negeri itu.  
 
 Sudah diketahui bersama bahwa Ibrahim ' Alaihis     Salam hijrah dari Iraq ke Hâran atau Hirran, termasuk pula ke Palestina,     dan menjadikan negeri itu sebagai pijakan/markas dakwah beliau. Beliau     banyak menyusuri pelosok negeri ini dan lainnya, dan beliau pernah sekali     mengunjungi Mesir. Fir-'aun (sebutan bagi penguasa Mesir) kala itu berupaya     untuk melakukan tipu daya dan niat buruk terhadap istri beliau, Sarah.     Namun Allah membalas tipu dayanya (senjata makan tuan). Dan tersadarlah     Fir'aun itu betapa kedekatan hubungan Sarah dengan Allah hingga akhirnya ia     jadikan anaknya,** Hajar sebagai abdinya (Sarah). Hal itu dia lakukan     sebagai tanda pengakuannya terhadap keutamaannya, kemudian dia (Hajar)     dikawinkan oleh Sarah dengan Ibrahim. Ibrahim Alaihis Salam kembali ke     Palestina dan Allah menganugerahinya Isma'il dari Hajar. Sarah terbakar api     cemburu. Dia memaksa Ibrahim untuk mengekstradisi Hajar dan putranya yang     masih kecil, Isma'il. Maka beliau membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan     mereka berdua di suatu lembah yang tiada ditumbuhi tanaman (gersang dan     tandus) di sisi Baitul Haram, yang saat itu hanyalah berupa     gunduka~gundukan tanah. Rasa gundah mulai menggayuti pikiran Ibrahim,     Beliau menoleh ke kiri dan kanan, lalu meletakkan mereka berdua di dalam     tenda, diatas mata air zamzam, bagian atas masjid. Dan pada saat itu tak     ada seorang pun yang tinggal di Makkah dan tidak ada mata air. Beliau     meletakkan didekat mereka kantong kulit yang berisi kurma, dan wadah air.     Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Berselang beberapa hari     kemudian, bekal dan air pun habis. Sementara tidak ada mata air yang     mengalir. Disana tiba-tiba mata air Zamzam memancar berkat karunia Allah,     sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua hingga batas     waktu tertentu. Kisah mengenai hal ini sudah banyak diketahui secara     lengkapnya.  
 
 ** Menurut kisah yang sudah banyak dikenal,     Hajar adalah seorang budak wanita. Tetapi seorang penulis kenamaan,     al-'Allamah al-Qadhy Muhammad Sulaiman Al-Manshurfury telah melakukan     penelitian secara seksama bahwa Hajar adalah seorang wanita merdeka, dan     dia adalah putri Fir'aun sendiri. Lihat buku "Rahmatun lil'alamin,     2/3637 dan juga buku "Tarikh Ibni Khaldun", 2/1/77.  
 
 Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum Kedua) datang     setelah itu dan bermukim di Mekkah atas perkenan dari ibu Isma'il . Ada     yang mengatakan, mereka sudah berada di sana sebelum itu, tepatnya di     lembah-lembah di pinggir kota Makkah. Adapun riwayat Bukhari menegaskan     bahwa mereka singgah di Mekkah setelah kedatangan Isma'il dan ibunya,     sebelum Isma'il menginjak remaja. Mereka sudah biasa melewati lembah Makkah     ini sebelum itu.  
 
 Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke Makkah     untuk menjenguk keluarganya. Dalam hal ini tidak diketahui berapa kali     kunjungan/perjalanan yang dilakukannya, Hanya saja menurut beberapa     referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak     empat kali. Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur'an, bahwa Dia Ta'ala     memperlihatkan Ibrahim dalam mimpinya seolah-olah dia menyembelih anaknya,     Isma'il. Maka beliau langsung melaksanakan perintah ini. Allah berfirman :  
 
 "Tatkala keduanya telah berserah diri dan     Ibrahim menbaringkan onaknya atar pelipis(nya), (nyatalah kesabaran     keduanya). Dan, kami panggillah dia, 'Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah     mrmbenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada     orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang     nyata. Dan, Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. "     (Ash-Shaffat: 103-107).  
 
 Didalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa umur     Isma'il selisih tiga belas tahun lebih tua dari Ishaq. Secara tekstual,     kisah ini menunjukkan bahwa peristiwa itu tejadi sebelum kelahiran Ishaq     sebab kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah pengupasan     kisah ini secara keseluruhan.  
 
 Setidak-tidaknya kisah ini mengandung satu kisah     perjalanan sebelum Isma'il menginjak remaja. Sedangkan tiga kisah     selanjutnya telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara panjang lebar dari     Ibnu 'Abbas secara marfu', yang intinya bahwa ketika remaja Isma'il dan     belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum, mereka merasa tertarik kepadanya,     lalu mereka mengawinkannya dengan salah seorang wanita golongan mereka dan     saat itu ibu Isma'il sudah meninggal dunia. Maka suatu saat Ibrahim hendak     menjenguk keluarga yang ditinggalkannya setelah terjadinya pernikahan     tersebut, beliau tidak mendapatkan Isma'il, lalu beliau bertanya kepada     istrinya mengenai suaminya, Isma'il dan kondisi mereka berdua. Istri Isma'il     mengeluhkan kehidupm mereka yang melarat. Maka Ibrahim menitip pesan agar     suaminya nanti mengganti palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Isma'il     mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Isma'il menceraikan istrinya itu dan     kawin lagi dengan wanita lain, yaitu putri Madhdhadh bin 'Amr, pemimpin dan     pemuka kabilah Jurhum menurut pendapat kebanyakan (sejarawan-pen).  
 
 Setelah perkawinan Isma'il yang kedua ini,     Ibrahim datang lagi, namun tidak bertemu dengan Isma'il lalu akhirnya     kembali ke Palestina setelah beliau menanyakan kepada istrinya tersebit     tentang Isma'il dan kondisi mereka berdua, isterinya memuij kepada Allah     (atas apa yang dianugerahkan kepada mereka berdua). Kemudian Ibrahim     kembali menitip pesan lewat istri Isma'il, agar Isma'il memperkokoh palang     pintu rumahnya. Pada kedatangan yang ketiga kalinya Ibrahim bisa bertemu     dengan Isma'il, yang saat itu sedang meraut anak panahnya di bawah sebuah     pohon di dekat zamzam. Tatkala melihat kehadiran ayahnya, Isma'il berbuat     sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua bapaknya, begitu     juga dengan Ibrahim. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama yang sangat     jarang dijumpai seorang ayah yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut     bisa menahan kesabaran untuk bersua anaknya, begitu pula dengan Isma'il,     sebagai anak yang berbakti dan shalih. Dan kali ini mereka berdua membangun     Ka'bah dan meninggikan pondasinya. Kemudian Ibrahim pun mengumumkan kepada     khalayak agar melakukan haji sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah     kepadanya.  
 
 Dari perkawinannya dengan putri Madhdhadh,     Isma'il dikaruniai oleh Allah sebanyak dua belas orang anak yang semuanya     laki-laki, yaitu: Nabat atau Nabayuth, Qidar, Adba-il, Mubsyam, Misyma',     Duma, Misya, Hidad, Yatma, Yathur, Nafis dan Qaidaman. Dari mereka inilah     kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di     Mekkah untuk beberapa lama. Mata pencaharian mayoritas mereka adalah     berdagang dari negeri Yaman ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya     kabilah-kabilah ini menyebar di berbaga i penjuru Jazirah, dan bahkan     hingga keluar Jazirah, kemudian seiring dengan pejalanan waktu, keadaan     mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan Qidar.  
 
 Peradaban anak keturunan Nabat mengalami     kemajuan di bagian utara Hijaz. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang     kuat dan menguasai daerah-daerah di sekitarnya, dan menjadikan Al-Bathra'     sebagai ibukotanya. Tak seorangpun yang mampu melawan mereka hingga     datangnya pasukan Romawi yang berhasil melindas mereka. Sekelompok Peneliti     berpendapat bahwa raja-raja keturunan keluarga besar Ghassan, termasuk juga     kaum Anshor dari suku Aus dan Khazraj bukan berasal dari keturunan keluarga     besar Qahthan, tetapi mereka adalah dari keturunan keluaraga besar Nabat,     anak Isma'il dan sisa-sisa mereka masih berada di kawasan itu, dan pendapat     ini diambil oleh Imam Bukhari sedangkan Imam Ibnu Hajar menguatkan pendapat     yang mengatakan bahwa anak keturunan keluarga besar Qahthan adalah berasal     dari keturunan keluarga besar Nabat.  
 
 Adapun anak keturunan Qidar bin Isma'il masih     menetap di Makkah, beranak pinak di sana hingga menurunkan 'Adnan dan     anaknya Ma'ad. Dari dialah orang-orang Arab Adnaniyah menisbatkan nasab     mereka. Dan Adnan adalah nenek moyang kedua puluh satu dalam silsilah     keturunan Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam. Diriwayatkan bahwa Nabi     Shallallahu 'alaihi Wasallam, jika beliau menyebutkan nasabnya dan sampai     kepada Adnan, maka beliau berhenti dan bersabda, "Para ahli silsilah     nasab banyak yang berdusta", lalu beliau tidak melanjutkannya.     Segolongan ulama memperbolehkan mengangkat nasab dari Adnan ke atas dan     melemahkan (mendho'ifkan) hadits yang mengisyaratkan hal itu (hadits yang     disebut diatas). Menurut mereka berdasarkan penelitian yang detail;     sesungguhnya antara Adnan dan Ibrahim 'Alaihis-Salam terdapat empat puluh     keturunan.  
 
 Keturunan Ma'ad dari anaknya, Nizar telah     berpencar kemana-mana (menurut suatu pendapat, Nizar adalah satu-satunya     anak Ma'ad). Dan Nizar sendiri mempunyai empat orang anak, yang kemudian berkembang     menjadi empat kabilah yang besar, yaitu: Iyad, Anmar, Rabi'ah dan Mudhar.     Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan sukunya. Sedangkan     dari Rabi'ah muncul Asad bin Rabi'ah, Anzah, Abdul-Qais, dua anak Wa-il     ;Bakr dan Taghlib, Hanifah dan lain-lainnya.  
 
 Sedangkan kabilah Mudhar berkembang menjadi dua     suku yang besar, yaitu Qais 'Ailan bin Mudhar dan marga-marga Ilyas bin     Mudhar. Dan dari Qais 'Ailan muncul Bani Sulaim, Bani Hawazin, Bani     Ghathafan. Kemudian dari Ghathafan muncul 'Abs, Dzibyan, Asyja' dan Ghany     bin A'shar.  
 
 Dari Ilyas bin Mudhar muncul Tamim bin Murrah,     Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah dan marga-marga Kinanah bin     Khuzaimah. Dan dari Kinanah muncul Quraisy, yaitu anak keturunan Fihr bin     Malik bin an-Nadhar bin Kinanah.  
 
 Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, yang     terkenal adalah Jumuh, Sahm, 'Udai, Makhzum, Tim, Zuhrah dan suku-suku     Qushay bin Kilab, yaitu Abdud Dar bin Qushay, Asad bin Abdul 'Uzza bin     Qushay dan Abdu Manaf bin Qushay.  
 
 Sedangkan Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu     Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang     dipilih oleh Allah yang diantaanya muncul Muhammad bin Abdullah bin     Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah     bersabda:  
 
 "Sesungguhnya Allah telah memilih isma'il     dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak keturunan Isma'il,     memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari     keturunan Quraisy dan memilihku dari keturuan Bani Hasyim. ".(H.R.     Muslim dan at-Turmudzy).  
 
 Dari al-'Abbas bin Abdul Muththalib, dia     berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:  
 
 "Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk,     lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua     golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku diantara     sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga Ialu menjadikanku     diantara sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik jiwa     diantara mereka dan sebaik-baik keluarga diantara mereka".     (Diriwayatkan oleh at-Turmudzy).  
 
 Setelah anak-anak 'Adnan beranak-pinak, mereka     berpencar diberbagai tempat di penjuru jazirah Arab, menjelajahi     tempat-tempat yang banyak curah hujannya dan ditumbuhi oleh tanaman.  
 
 Abdul Qais dan keturunan Bakr bin Wa-il serta     keturunan Tamim pindah ke Bahrain dan menetap di sana. Sedangkan Bani     Hanifah bin Sha'b bin Ali bin Bakr bergerak menuju Yamamah dan singgah di     Hijr, ibukota Yamamah. Semua keluarga Bakr bin Wa-il menetap di berbagai     penjuru tanah Jazirah, mulai dari Yamamah, Bahrain, Saif Kazhimah hingga     mencapai laut, kemudian tanah kosong Iraq, al-Ablah hingga Haita.  
 
 Taghlib menetap di Jazirah dekat kawasan Eufrat,     diantaranya terdapat suku-suku yang pernah hidup berdampingan dengan     (kabilah) Bakr sedangkan Bani Tamim menetap di daerah pedalaman Bashrah.     Bani Sulaim menetap dekat Madinah, dari Wadi al-Qura hingga ke Khaibar     hingga bagian timur Madinah mencapai batas dua gunung hingga berakhir di     kawasan pegungan Hurrah. Sementara Tsaqif menetap di Tha'if dan Hawazin di     timur Makkah dipinggiran Authas yaitu dalam perjalanan antara Makkah dan     Bashrah. Dan Bani Asad bermukim di timur Taima' dan barat Kufah. Mereka dan     Taima' diantarai perkampungan Buhtur dari suku Thayyi'. Sedangkan masa     perjalanan mereka dan Kufah ditempuh selama lima hari. Ada lagi suku     Dzubyan yang bermukim di dekat Taima' menuju Huran. Di Tihamah tersisa     beberapa suku-suku Kinanah, sedangkan di Makkah tinggal suku-suku Quraisy.     Mereka berpencar-pencar dan tidak ada sesuatupun yang bisa menghimpun     mereka, hingga muncul Qushay bin Kilab. Dialah yang menyatukan mereka dan     membentuk satu kesatuan yang bisa mengangkat kedudukan dan martabat mereka. 
 
  |         |      
 
 KEKUASAAN DAN IMARAH DI KALANGAN BANGSA ARAB  
 
 Selagi kita hendak membicarakan masalah     kekuasaan di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam, berarti kita harus membuat     miniatur sejarah pemerintahan, imarah (keemiratan), agama dan kepercayaan     di kalangan Bangsa Arab, agar lebih mudah bagi kita untuk memahami kondisi     yang tengah bergejolak saat kemunculan Islam.  
 
 Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari     Islam, bisa dibagi menjadi dua kelompok:  
 
 Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada     hakikatnya mereka tidak memiliki independensi dan berdiri sendiri  
 
 Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang     memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja.     Mayoritas di antara mereka memiliki independensi. Bahkan boleh jadi     sebagian diantara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang     mengenakan mahkota.  
 
 Raja-raja yang memiliki mahkota adalah raja-raja     Yaman, raja-raja kawasan Syam, Ghassan dan Hirah. Sedangkan     penguasa-penguasa lainnya di jazirah Arab tidak memiliki mahkota.  
 
 Raja-raja di Yaman  
 
 Suku bangsa tertua yang dikenal di Yaman adalah     kaum Saba'. Mereka bisa diketahui lewat penemuan fosil Aur, yang hidup dua     puluh abad Sebelum Masehi (SM). Puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan     mereka dimulai pada tahun sebelas SM.  
 
 Klasifikasi periodisasi kekuasaan mereka dapat     diperkirakan sebagai berikut :  
 
 Antara tahun 1300 SM hingga 620 SM ; pada     periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Mu'iniah, sedangkan     raja-raja mereka dijuluki sebagai "Mukrib Saba'", dengan     ibukotanya Sharwah. Puing-puing peninggalan mereka dapat ditemui sekitar     jarak 50 km ke arah barat laut dari negeri Ma'rib, dan dari jarak 142 km     arah timur kota Shan'a' yang dikenal dengan sebutan Kharibah. Pada periode merekalah dimulainya pembangunan     bendungan, yang dikenal dengan nama bendungan Ma'rib, yang memiliki peran     tersendiri dalam sejarah Yaman. Ada yang mengatakan, wilayah kekuasaan kaum     Saba' ini meliputi daerah-daerah jajahan didalam dan luar negeri Arab. 
 
 Antara tahun 620 SM hingga 115 SM ; Pada periode     ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti Saba', dan mereka menanggalkan     julukan "Mukrib" alias hanya dikenal dengan raja-raja Saba'     dengan menjadikan Ma'rib sebagai ibukota, sebagai ganti dari Sharwah.     Puing-puing kota ini dapat ditemui sejauh 192 km dari arah timur Shan'a'. 
 
 Sejak tahun 115 SM hingga tahun 300 M ; Pada     periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah I, sebab     kabilah Himyar telah memisahkan diri dari kerajaan Saba', dan menjadikan     kota Raidan sebagai ibukotanya, menggantikan Ma'rib. Kota Raidan dikenal     kemudian dengan nama Zhaffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di     sebuah bukit yang memutar dekat Yarim. Pada periode ini mereka mulai melemah dan jatuh,     serta mengalami kerugian besar dalam perdagangan yang mereka lakukan.     Diantara penyebabnya adalah beberapa factor ; pertama, dikuasainya kawasan     utara Hijaz. Kedua, berhasilnya Bangsa Romawi menguasai jalur perdagangan     laut setelah sebelumnya mereka menancapkan kekuasaan mereka di Mesir, Syria     dan bagian utara kawasan Hijaz. Ketiga, adanya persaingan antar     masing-masing kabilah . Faktor-faktor inilah yang menyebabkan berpencarnya     keluarga besar suku Qahthan dan hijrahnya mereka ke negeri-negei yang jauh. 
 
 Sejak tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman     ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah II     dan kondisi yang mereka alami penuh dengan kerusuhan-kerusuhan dan     kekacauan, beruntunnya peristiwa kudeta, serta timbulnya perang keluarga     yang mengakibatkan mereka menjadi santapan kekuatan asing yang selalu     mengintai hingga hal itu kemudian mengakhiri kemerdekaan yang mereka pernah     renggut. Begitu juga, pada periode ini Bangsa Romawi berhasil memasuki kota     'Adn serta atas bantuan mereka, untuk pertama kalinya orang-orang Habasyah     berhasil menduduki negeri Yaman, yaitu tahun 340 M. Hal itu dapat mereka     lakukan berkat persaingan yang terjadi antara dua kabilah; Hamadan dan     Himyar. Pendudukan mereka berlangsung hingga tahun 378 M. Kemudian negeri     Yaman memperoleh kemerdekaannya akan tetapi kemudian bendungan Ma'rib jebol     hingga mengakibatkan banjir besar seperti yang disebutkan oleh Al-Qur'an     dengan istilah Sailul 'Arim pada tahun 450 atau 451 M. Itulah peristiwa     besar yang berkesudahan dengan lenyapnya peradaban dan bercerai berainya     suku bangsa mereka.  
 
 Pada tahun 523 M, Dzu Nawwas, seorang Yahudi     memimpin pasukannya menyerang orang-orang Nasrani dari penduduk Najran, dan     berusaha memaksa mereka meninggalkan agama nasrani. Karena mereka menolak,     maka dia membuat parit-parit besar yang di dalamnya api yang menyala, lalu     mereka dilemparkan ke dalam api tersebut hidup-hidup, sebagaimana yang     diisyaratkan oleh AlQur'an dalam surat al-Buruj. Kejadian ini membakar     dendam di hati orang-orang Nasrani dan mendorong mereka untuk memperluas     daerah kekuasaan dan penaklukan terhadap negeri Arab dibawah kemando     imperium Romawi. Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habasyah yang     sebelumnya telah mereka provokasi dan menyiapkan armada laut buat mereka     sehingga bergabunglah sebanyak 70.000 personil tentara dari mereka. Mereka     untuk kedua kalinya berhasil menduduki negeri Yaman dibawah komando Aryath     pada tahun 525 M. Dia menjadi penguasa di sana atas penunjukan dari raja     Habasyah hingga kemudian dia dibunuh oleh Abrahah bin ash-Shabbah     al-Asyram, anak buahnya sendiri pada tahun 549 M, dan selanjutnya dia     berhasil menggantikan Aryath setelah meminta restu raja Habasyah. Abrahah     inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah. Dalam     sejarah dia dan pasukannya dikenal dengan pasukan penunggang gajah     (ashhabul fil). Sepulangnya dari sana menuju Shan'a', dia mati dan digantikan     oleh kedua anaknya yang kedua-duanya ketika menjadi penguasa lebih otoriter     dan sadis dari orangtuanya.  
 
 Setelah peristiwa "gajah" tersebut,     penduduk Yaman meminta bantuan kepada orang-orang Persi untuk menghadang     serangan pasukan Habasyah dan kerjasama ini berhasil sehingga mereka     akhirnya dapat mengusir orang-orang Habasyah dari negeri Yaman. Mereka     memperoleh kemerdekaan pada tahun 575 M, berkat jasa seorang panglima yang     bernama Ma'di Yakrib bin Saif Dzi Yazin al-Himyari yang kemudian mereka     angkat menjadi raja mereka. Meskipun begitu, Ma'di Yakrib masih     mempertahankan sejumlah orang-orang Habasyah sebagai pengawal yang selalu     menyertainya dalam perjalanannya. Hal itu justru menjadi bumerang baginya,     maka pada suatu hari mereka berhasil membunuhnya. Dengan kematiannya     berakhirlah dinasti raja dari keluarga besar Dzi Yazin. Setelah itu Kisra     mengangkat penguasa dari Bangsa Persia sendiri di Shan'a', dan menjadikan     Yaman sebagai salah satu wilayah konfederasi kekisraan Persia. Kemudian hal     itu terus berlanjut hingga era kekisraan terakhir yang dipimpin oleh     Badzan, yang memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini     berakhirlah kekuasaan kekisraan Persia atas negeri Yaman *.  
 
 * Lihat rinciannya pada buku "al-Yaman     'abrat Tarikh" , hal. 77, 83, 124, 130, 157, 161, dst ; "Tarikh     ardhil Quran", Juz I, dari hal. 133 hingga akhir buku ini;     "Tarikhul 'Arab Qablal Islam", hal. 101-151 ; dalam menentukan     tahun-tahun peristiwa tersebut terjadi perbedaaan yang amat signifikan     antara referensi-referensi sejarah. Bahkan sebagian penulis mengomentari     tentang rincian tersebut, dengan mengutip firman Allah : "AlQuran ini     tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu".  
 
 Raja-raja di Hirah  
 
 Untuk beberapa periode, negeri Iraq masih     menjadi konfederasi kekisraan Persia hingga munculnya Cyrus Yang Agung     (557-529 SM.) yang dapat mempersatukan kembali Bangsa Persia. Maka selama     kekuasaannya, tak seorangpun yang dapat menandingi dan mengalahkannya,     hingga muncul Alexander dari Macedonia pada tahun 326 SM, yang mampu     mengalahkan "Dara I", raja mereka dan menceraiberaikan persatuan     mereka. Akibatnya negeri mereka terkotak-kotak dan muncullah di     masing-masing wilayah raja-raja baru, yang dikenal dengan raja-raja     ath-Thawa'if . Mereka berkuasa atas wilayah-wilayah masing-masing hingga     tahun 230 M. Pada era kekuasaan raja-raja ath-Thawa'if inilah orang-orang     Qahthan berpindah dan kemudian menempati daerah pedalaman Iraq. Mereka     kemudian berpapasan dengan orang-orang dari keturunan 'Adnan yang juga     berhijrah dan membanjiri pemukiman baru tersebut dan memilih bermukim di     wilayah teluk dari sungai Eufrat .  
 
 Bangsa Persia kembali menjadi suatu kekuatan     untuk kedua kalinya pada era Ardasyir, pendiri dinasti Sasaniyah sejak     tahun 226 M. Dialah yang berhasil mempersatukan Bangsa Persia dan memaksa     Bangsa Arab yang bermukim disana untuk mengakui kekuasaannya. Dan ini     merupakan sebab mengungsinya orang-orang Qudha'ah ke Syam dan tunduknya     penduduk Hirah dan Anbar kepadanya.  
 
 Pada era Ardasyir ini pula, Judzaimah     al-Wadhdhah berkuasa atas Hirah dan seluruh penduduk pedalaman Iraq dan     Jazirah Arab yang terdiri dari keturunan Rabi'ah dan Mudhar. Ardasyir     merasa mustahil dapat menguasai Bangsa Arab secara langsung dan mencegah     mereka untuk menyerang kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah     seorang dari mereka (Bangsa Arab) yang memiliki kefanatikan dan loyalitas     terhadapnya dalam membelanya sebagai kaki tangannya. Disamping itu, dia     juga sewaktu-waktu bisa meminta bantuan mereka untuk mengalahkan raja-raja     Romawi yang amat dia takuti. Dengan demikian dia dapat menandingi tentara     bentukan yang terdiri dari Bangsa Arab juga, seperti apa yang dibentuk oleh     raja-raja Romawi sehingga berbenturanlah antara Bangsa Arab Syam dan Iraq.     Dia juga masih mempersiapkan satu batalyon dari pasukan Persia untuk     disuplai dalam menghadapi para penguasa Arab pedalaman yang membangkang     terhadap kekuasaanya. Juzaimah meninggal sekitar tahun 268 M.  
 
 Sepeninggal Juzaimah, 'Amru bin 'Ady bin Nashr     al-Lakhmi naik tahta dan menjadi penguasa atas Hirah dan Anbar pada tahun     268-288 M. Dia adalah raja dari dinasti Lakhmi Pertama pada era Kisra Sabur     bin Ardasyir dan kekuasaan dinasti Lakhmi terus berlanjut atas kedua     wilayah tersebut hingga naiknya Qubbaz bin Fairuz menjadi Kisra Persia pada     tahun 448-531 M. Pada era kekuasaannya muncullah Mazdak, yang mempromosikan     gaya hidup permisivisme. Tindakannya ini diikuti juga oleh Qubbaz dan     kebanyakan rakyatnya. Qubadz kemudian mengirim utusan kepada raja Hirah,     yaitu al-Mundzir bin Ma'us Sama' (512-554 M), dan mengajaknya untuk memilih     faham ini dan menjadikannya sebagai jalan hidup . Namun al-Mundzir menolak     ajakan itu dengan penuh kesatria, sehingga Qubbadz mencopotnya dan     menggantikannya dengan al-Harits bin 'Amru bin Hajar al-Kindi yang     merespons ajakan kepada Mazdakisme tersebut.  
 
 Qubbadz kemudian diganti oleh Kisra Anusyirwan     (531-578 M) yang sangat membenci faham tersebut. Karenanya, dia kemudian     membunuh Mazdak dan banyak para pengikutnya serta mengangkat kembali     al-Munzir sebagai penguasa atas Hirah. Sementara itu dia terus memburu     al-Harits bin 'Amr akan tetapi dia memilih bersembunyi ke pemukiman kabilah     Kalb hingga meninggal di sana.  
 
 Kekuasaan Anusyirwan terus berlanjut sepeninggal     al-Munzir bin Ma'us Sama', hingga naiknya an-Nu'man bin al-Munzir. Dialah     orang yang memancing kemarahan Kisra, yang bermula dari adanya suatu fitnah     hasil rekayasa Zaid bin 'Adiy al-Ibady. Kisra akhirnya mengirim utusan     kepada an-Nu'man untuk memburunya, maka secara sembunyi-sembunyi, an-Nu'man     menemui Hani' bin Mas'ud, pemimpin suku Ali Syaiban seraya menitipkan     keluarga dan harta bendanya. Setelah itu, dia menghadap Kisra yang langsung     menjebloskannya ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Sebagai     penggantinya, Kisra mengangkat Iyas bin Qabishah Ath-Thaiy dan     memerintahkannva untuk mengirimkan utusan kepada Hani' bin Mas'ud agar dia     memintanya untuk menyerahkan titipan yang ada padanya namun Hani'menolaknya     dengan penuh keberanian bahkan dia memaklumatkan perang melawan raja. Tak     berapa lama tibalah para komandan batalyon berikut prajuritnya yang diutus     oleh Kisra dalam rombongan yang membawa Iyas tersebut sehingga kemudian     terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu pertempuran yang amat dahsyat di     dekat tempat yang bernama "Zi Qaar" dan pertempuran tersebut     akhirnya dimenangkan oleh Banu Syaiban, yang masih satu suku dengan Hani'     sementara hal ini bagi Persia merupakan kekalahan yang sangat memalukan.     Kemenangan ini merupakan yang pertama kalinya bagi bangsa Arab terhadap     kekuatan asing. Ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi tak berapa lama menjelang     kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebab beliau lahir delapan     bulan setelah bertahtanya Iyas bin Qabishah atas Hirah.  
 
 Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang     penguasa di Hirah dari bangsa Persia yang bernama Azazbah yang memerintah selama     tujuh belas tahun (614-631 M). Pada tahun 632 M tampuk kekuasaan disana     kembali dipegang oleh keluarga Lakhm. Diantaranya adalah al-Munzir bin     an-Nu'man yang dijuluki dengan "al-Ma'rur". Umur kekuasaannya     tidak lebih dari delapan bulan sebab kemudian berhasil dikuasai oleh     pasukan Muslimin dibawah komando Panglima Khalid bin al-Walid.  
 
 Raja-raja di Syam  
 
 Manakala Bangsa Arab banyak diwarnai perpindahan     berbagai kabilah, maka suku-suku Qudha'ah justru beranjak menuju kawasan     Syam dan menetap disana. Mereka terdiri dari Bani Salih bin Halwan yang     diantara anak keturunannya adalah Banu Dhaj'am bin Salih dan lebih dikenal     kemudian dengan adh-Dhaja'imah. Mereka berhasil dijadikan oleh Bangsa     Romawi sebagai kaki tangan dalam menghadang perbuatan iseng Bangsa Arab     daratan dan sebagai kekuatan penopang dalam menghadapi pasukan Persia.     Banyak diantara mereka yang diangkat sebagai raja dan hal itu berlangsung     selama bertahun-tahun. Raja dari kalangan mereka yang paling terkenal     adalah Ziyad bin al-Habulah. Periode kekuasaan mereka diperkirakan     berlangsung dari permulaan abad 2 M hingga berakhirnya yaitu setelah     kedatangan keluarga besar suku Ghassan yang dapat mengalahkan     adh-Dhaja'imah dan merebut semua kekuasaan mereka. Atas kemenangan suku     Ghassan ini, mereka kemudian diangkat oleh Bangsa Romawi sebagai raja atas     Bangsa Arab di Syam dengan pusat pemerintahan mereka di kota Hauran. Dalam     hal ini, kekuasaan mereka sebagai kaki tangan Bangsa Romawi disana terus     berlangsung hingga pecahnya perang "Yarmuk" pada tahun 13 H.     Tercatat, bahwa raja terakhir mereka Jabalah bin al-Ayham telah memeluk     Islam pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab     radhiallahu 'anhu.  
 
 Emirat di Hijaz  
 
 Isma'il 'alaihissalam menjadi pemimpin Mekkah     dan menangani urusan Ka'bah sepanjang hidupnya. Beliau meninggal pada usia     137 tahun. Sepeninggal beliau, kedua putra beliau yaitu; Nabit kemudian     Qaidar secara bergilir menggantikan posisinya. Ada riwayat yang mengatakan     bahwa Qaidar lah yang lebih dahulu kemudian baru Nabit. Sepeninggal     keduanya, urusan Makkah kemudian ditangani oleh kakek mereka Mudhadh bin     'Amru al-Jurhumi **.  
 
 ** Ini bukan Mudhadh al-Jurhumi tertua yang dulu     pernah disinggung dalam kisah Nabi Isma'il 'alaihissalam.  
 
 Dengan demikian beralihlah kepemimpinan ke     tangan suku Jurhum dan terus berlanjut dalam waktu yang lama. Kedua putra     Nabi Ismail menempati kedudukan yang terhormat di hati mereka lantaran jasa     ayahanda keduanya dalam membangun Baitullah, padahal mereka tidak memiliki     fungsi apapun dalam pemerintahan.  
 
 Hari-hari dan zaman pun berlalu sedangkan     perihal anak cucu Nabi Isma'il masih redup tak tersentuh hingga gaung suku     Jurhum pun akhirnya semakin melemah menjelang munculnya Bukhtunshar.     Dipihak lain, peran politik suku 'Adnan mulai bersinar di Mekkah pada masa     itu yang indikasinya adalah tampilnya 'Adnan sendiri sebagai pemimpin     Bangsa Arab tatkala berlangsung serangan Bukhtunshar terhadap mereka di Zat     'irq, sementara tak seorangpun dari suku Jurhum yang berperan dalam     peristiwa tersebut.  
 
 Bani 'Adnan berpencar ke Yaman ketika terjadinya     serangan kedua oleh Bukhtunshar pada tahun 587 M. Sedangkan Barkhiya,     seorang karib Yarmayah, Nabi dari Bani Israil mengajak Ma'ad untuk pergi     menuju Hiran, sebuah wilayah di Syam. Akan tetapi setelah tekanan     Bukhtunshar mulai mengendor, Ma'ad kembali lagi ke Mekkah dan setibanya     disana, dia tidak menemui lagi penduduk dari suku Jurhum kecuali Jarsyam     bin Jalhamah, lalu dia mengawini anaknya, Mu'anah dan melahirkan seorang anak     laki-laki bernama Nizar.  
 
 Di Mekkah, keadaan suku Jurhum semakin memburuk     setelah itu, dan mereka mengalami kesulitan hidup. Hal ini menyebabkan     mereka menganiaya para pendatang dan menghalalkan harta yang dimiliki oleh     administrasi Ka'bah. Tindakan ini menimbulkan kemarahan orang-orang dari     Bani 'Adnan sehingga membuat mereka mempertimbangkan kembali sikap terhadap     mereka sebelumnya. Ketika Khuza'ah melintasi Marr azh-Zhahran dan melihat     keberadaan rombongan orang-orang 'Adnan yang terdiri dari suku Jurhum, dia     tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, maka atas bantuan keturunan Bani     'Adnan yang lain yaitu Bani Bakr bin 'Abdu Manaf bin Kinanah mereka lantas     memerangi orang-orang Jurhum, akibatnya mereka diusir dari Mekkah. Dengan     begitu, dia berhasil mengusai pemerintahan Mekkah pada pertengahan abad II     M.  
 
 Tatkala orang-orang Jurhum akan mengungsi keluar     Mekkah, mereka menyumbat sumur Zamzam dan menghilangkan letaknya serta     mengubur didalamnya beberapa benda. Ibnu Ishaq berkata : " 'Amru bin     al-Harits bin Mudhadh al-Jurhumi keluar dengan membawa pintalan Ka'bah dan     Hajar Aswad lalu mengubur keduanya di sumur Zamzam, kemudian dia dan     orang-orang Jurhum yang ikut bersamanya berangkat menuju Yaman. Namun     betapa mereka sangat tertekan dan sedih sekali karena harus meninggalkan     kota Mekkah dan kekuasaan yang pernah mereka raih disana. Untuk mengenang     hal itu, 'Amru merangkai sebuah sya'ir :  
 
 Seakan tiada pelipur lara lagi, juga para     pegadang antara Hujun dan Shafa di kota Mekkah Sungguh, kamilah dulu penghuninya Namun oleh perubahan malam dan dataran berdebu,     kami dibinasakan  
 
 Periode Ismail 'alaihissalam diprediksi     berlangsung sekitar dua puluh abad sebelum Masehi. Dengan demikian masa     keberadaan Jurhum di Mekkah berkisar sekitar dua puluh satu abad sedangkan     masa kekuasaan mereka adalah selama dua puluh abad. Khuza'ah menangani     sendiri urusan administrasi Mekkah tanpa menyertakan peran Bani Bakr,     kecuali terhadap kabilah-kabilah Mudhar yang diberikan kepada mereka tiga     spesifikasi :  
 
 Memberangkatkan orang-orang (yang berhaji) dari     'Arafah ke Muzdalifah, dan membolehkan mereka berangkat dari Mina pada hari     Nafar (kepulangan dari melakukan haji tersebut) ; urusan ini ditangani oleh     Bani al-Ghauts bin Murrah, dari keturunan Ilyas bin Mudhar. Mereka ini dijuluki     dengan sebutan "Shûfah"; makna dari pembolehan tersebut adalah :     bahwa orang-orang yang berhaji tersebut tidak melempar pada hari Nafar     hingga salah seorang dari kaum "Shûfah" tersebut melakukannya     terlebih dulu, kemudian bila semua telah selesai melaksanakan prosesi     ritual tersebut dan mereka ingin melakukan nafar/pulang dari Mina, kaum     "Shûfah" mengambil posisi disamping kedua sisi (jumrah) 'Aqabah,     dan ketika itu, tidak boleh seorang pun lewat kecuali setelah mereka,     kemudian bila mereka telah lewat barulah orang-orang diizinkan lewat.     Tatkala kaum "Shûfah" sudah berkurang keturunannya/musnah,     tradisi ini dilanjutkan oleh Bani Sa'd bin Zaid Munah dari suku Tamim. 
 
 Melakukan ifâdhah (bertolak) dari Juma', pada     pagi hari Nahr (hari penyembelihan hewan qurban) menuju Mina ; urusan ini     diserahkan kepada Bani 'Udwan.  
 
 Merekayasa bulan-bulan Haram (agar tidak terkena     larangan berperang didalamnya-penj); urusan ini ditangani oleh Bani Tamim     dari keturunan Bani Kinanah.  
 
 Periode kekuasaan Khuza'ah berlangsung selama     tiga ratus tahun. Pada periode ini kaum 'Adnan menyebar di kawasan Najd,     pinggiran 'Iraq dan Bahrain. Sedangkan keturunan Quraisy ; mereka hidup     sebagai Hallul (suku yang suka turun gunung) dan Shirm (yang turun gunung     guna mencari air bersama unta mereka) dan menyebar ke pinggiran kota Mekkah     dan menempati rumah-rumah yang berpencar-pencar di tengah kaum mereka, Bani     Kinanah. Namun begitu, mereka tidak memiliki wewenang apa pun baik dalam     pengurusan kota Mekkah ataupun Ka'bah hingga kemunculan Qushai bin Kilab.  
 
 Mengenai jatidiri Qushai ini, diceritakan bahwa     bapaknya meninggal dunia saat dia masih dalam momongan ibunya, kemudian     ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki dari Bani 'Uzrah yaitu Rabi'ah     bin Haram, lalu ibunya dibawa ke negeri asalnya di pinggiran Kota Syam.     Ketika Qushai beranjak dewasa, dia kembali ke kota Mekkah yang kala itu     diperintah oleh Hulail bin Habasyah dari Khuza'ah lalu dia meminang putri     Hulail, Hubba maka gayung pun bersambut dan keduanya kemudian dinikahkan. Ketika     Hulail meninggal dunia, terjadi perang antara Khuza'ah dan Quraisy yang     berakhir dengan kemenangan Qushai dan penguasaannya terhadap urusan kota     Mekkah dan Ka'bah.  
 
 Ada tiga versi riwayat, berkaitan dengan sebab     terjadinya perang tersebut :  
 
 Bahwa ketika Qushai telah beranak pianak, harta     melimpah, pangkatnya semakin tinggi dan bersamaan dengan itu Hulail telah     tiada, dia menganggap dirinya lah yang paling berhak atas urusan Ka'bah dan     kota Mekkah daripada Khuza'ah dan Bani Bakr sebab suku Quraisy adalah     pemuka dan pewaris tunggal keluarga Nabi Ismail lantas dia membicarakan hal     ini dengan beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah dalam upaya mengusir     Khuza'ah dan Bani Bakr dari kota Mekkah. Idenya tersebut disambut baik oleh     mereka.  
 
 Bahwa Hulail, sebagaimana pengakuan Khuza'ah,     berwasiat kepada Qushai agar mengurusi Ka'bah dan Mekkah.  
 
 Bahwa Hulail menyerahkan urusan Ka'bah kepada     putrinya, Hubba dan mengangkat Abu Ghibsyan al-Khuza'i sebagai wakilnya     lantas kemudian dia yang mengurusi Ka'bah tersebut mewakili Hubba. Tatkala     Hulail meninggal, Qushai berhasil menipunya dan membeli kewenangannya atas     Ka'bah tersebut dengan segeriba arak, atau sejumlah onta yang berkisar     antara tiga ekor hingga tiga puluh ekor. Khuza'ah tidak puas dengan     transaksi jual beli tersebut dan berupaya menghalang-halangi Qushai atas     penguasaannya terhadap urusan Ka'bah tersebut. Menyikapi hal itu, Qushai     mengumpulkan sejumlah orang dari Quraisy dan Bani Kinanah untuk tujuan     mengusir mereka dari kota Mekkah, maka mereka menyambut hal itu.  
 
 Apa pun alasannya, setelah Hulail meninggal     dunia dan kaum Shûfah menjalani aktivitas mereka tersebut, maka Qushai     tampil bersama orang-orang Quraisy dan Kinanah di dekat 'Aqabah sembari     berseru: " Kami lebih berhak daripada kalian ! ". Karena     pelecehan ini, mereka lantas memeranginya namun Qushai berhasil mengalahkan     mereka dan merampas semua kekuasaan mereka. Khuza'ah dan Bani Bakr     mengambil sikap tidak menyerang setelah itu, maka Qushailah akhirnya yang     malah lebih dahulu mengambil inisiatif penyerangan dan sepakat untuk     memerangi mereka. Maka bertemulah kedua kekuatan tersebut dan terjadilah     peperangan yang amat dahsyat tetapi kedua musuhnya tersebut justru menjadi     mangsa yang empuk baginya. Akibat tekanan ini, mereka mengajaknya untuk berdamai     dan bertahkim kepada Ya'mur bin 'Auf, salah seorang dari Bani Bakr. Ya'mur     memutuskan bahwa Qushai lah yang berhak atas Ka'bah dan urusan kota Mekkah     daripada Khuza'ah. Begitu juga diputuskan, setiap tetes darah yang     ditumpahkan oleh Qushai maka akan menjadi tanggung jawabnya sendiri     sedangkan setiap nyawa yang melayang oleh tangan Khuza'ah dan Bani Bakr     harus dibayar dengan tebusan, serta (diputuskan juga) bahwa Qushai harus     dibebastugaskan dari pengelolaan atas Ka'bah. Maka dari sejak itu, Ya'mur     dijuluki sebagai asy-Syaddakh (Sang Pemecah masalah). Kekuasaan Qushai atas     penanganan Mekkah dan Ka'bah berlangsung pada pertengahan abad V Masehi     yaitu tahun 440 M. Dengan demikian, jadilah Qushai sekaligus suku Quraisy     memiliki kekuasaan penuh dan otoritas atas Mekkah serta pelaksana ritual     keagamaan bagi Ka'bah yang selalu dikunjungi oleh orang-orang Arab dari     seluruh Jazirah.  
 
 Di antara langkah yang diambil oleh Qushai     adalah memindahkan kaumnya dari rumah-rumah mereka ke Mekkah dan memberikan     mereka lahan yang dibagi menjadi empat bidang, lantas menempatkan setiap     suku dari Quraisy ke lahan yang telah ditentukan bagi mereka serta     menetapkan jabatan sebelumnya kepada mereka yang pernah memegangnya yaitu     suku Nasa-ah, Ali Shafwan, 'Udwan dan Murrah bin 'Auf sebab dia melihat     sudah selayaknya dia tidak merubahnya.  
 
 Qushai banyak meninggalkan     peninggalan-penginggalan sejarah; diantaranya adalah didirikannya Darun     Nadwah disamping utara Masjid Ka'bah (Masjidil Haram), dan menjadikan     pintunya mengarah ke masjid. Darun Nadwah merupakan tempat berkumpulnya     orang-orang Quraisy yang didalamnya dibahas hal-hal yang sangat strategis     bagi mereka. Oleh karena itu, ia mendapatkan tempat tersendiri dihati     mereka karena dapat mencetak kata sepakat diantara mereka dan menyelesaikan     sengketa secara baik.  
 
 Diantara wewenang Qushai dalam mengelola     pemerintahannya adalah sebagai berikut :  
 
 Mengepalai Darun Nadwah ; Dalam Darun Nadwah ini     mereka berembuk tentang masalah-masalah yang sangat strategis disamping     sebagai tempat mengawinkan anak-anak perempuan mereka.  
 
 Pemegang panji ; Panji perang tidak akan bisa     dipegang oleh orang lain selainnya termasuk anak-anaknya dan harus berada     di Darun Nadwah.  
 
 Qiyadah (wewenang memberikan izin perjalanan) ;     Kafilah dagang atau lainnya tidak akan bisa keluar dari Mekkah kecuali     dengan seizinnya atau anak-anaknya.  
 
 Hijabah yaitu wewenang atas Ka'bah ; pintu     Ka'bah tidak boleh dibuka kecuali olehnya begitu juga dalam seluruh hal     yang terkait dengan pelayanannya.  
 
 Siqayah (wewenang menangani masalah air bagi     jemaah haji) ; mereka mengisi penuh galon-galon air yang disisipkan     didekatnya buah kurma dan zabib (sejenis anggur kering). Dengan bagitu     jemaah haji yang datang ke Mekkah bisa meminumnya.  
 
 Rifadah (wewenang menyediakan makanan); mereka     menyediakan makanan khusus buat tamu-tamu mereka (jemaah haji). Qushai     mewajibkan semacam kharaj/ pajak kepada kaum Quraisy yang dikeluarkan pada     setiap musim haji dan hal tersebut kemudian dipergunakan untuk membeli     persediaan makanan buat jemaah haji, khususnya bagi mereka yang tidak     memiliki bekal yang cukup.  
 
 Semua hal tersebut adalah menjadi wewenang     Qushai, sedangkan anaknya 'Abdu Manaf juga otomatis telah memiliki kharisma     dan kepemimpinan di masa hidupnya, dan hal itu diikuti juga oleh adiknya     'Abdud Dar maka berkatalah Qushai kepadanya : " aku akan menghadapkanmu     dengan kaum kita meskipun sebenarnya mereka telah menghormatimu".     Kemudian Qushai berwasiat kepadanya agar dia memperhatikan wewenangnya     dalam mengemban mashlahat kaum Quraisy, lalu dia berikan kepadanya wewenang     atas Darun Nadwah, hijabah, panji, siqayah dan rifadah. Qushai termasuk     orang yang tidak pernah mengingkari dan mencabut kembali apa yang telah     terlanjur diucapkan dan diberikannya dan begitulah semua urusannya semasa     hidup dan setelah matinya yang diyakininya dan selalu konsisten terhadapnya.     Tatkala Qushai meninggal dunia, anak-anaknya dengan setia menjalankan     wasiatnya dan tidak tampak perseteruan diantara mereka, akan tetapi ketika     'Abdu Manaf meninggal dunia, anak-anaknya bersaing keras dengan anak-anak     paman mereka, 'Abdud Dar (saudara-saudara sepupu mereka) dalam     memperebutkan wewenang tersebut. Akhirnya, suku Quraisy terpecah menjadi     dua kelompok bahkan hampir saja terjadi perang saudara diantara mereka,     untunglah hal itu mereka bawa ke meja perundingan. Hasilnya, wewenang atas     siqayah dan rifadah diserahkan kepada anak-anak 'Abdu Manaf sedangkan Darun     Nadwah, panji dan hijabah diserahkan kepada ana-anak 'Abdud Dar. Anak-anak     'Abdu Manaf kemudian memilih jalan undian untuk menentukan siapa diantara     mereka yang memiliki kewenangan atas siqayah dan rifadah. Undian itu     akhirnya jatuh ketangan Hasyim bin 'Abdu Manaf sehingga dialah yang berhak     atas pengelolaan keduanya selama hidupnya. Dan ketika dia meninggal dunia,     wewenang tersebut dipegang oleh adiknya, al-Muththolib bin 'Abdu Manaf yang     diteruskan kemudian oleh 'Abdul Muththolib bin Hasyim bin 'Abdu Manaf,     kakek Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam . Kewenangan tersebut terus     dilanjutkan oleh keturunannya hingga datangnya Islam dimana ketika itu     kewenangannya berada ditangan al-'Abbas bin 'Abdul al-Muththolib. Dalam     riwayat lain, dikatakan bahwa Qushai sendirilah yang membagi-bagikan     wewenang atas urusan-urusan tersebut diantara anak-anaknya untuk kemudian     setelah dia meninggal tinggal dijalankan oleh mereka.  
 
 Selain itu suku Quraisy juga mempunyai     kewenangan yang lain yang mereka bagi-bagi diantara mereka, yaitu     masing-masing boleh membentuk negara-negara kecil, bahkan bila boleh     diungkapkan dengan ungkapan yang pas saat ini adalah semacam semi negara     demokrasi. Instansi-instansi yang ada, begitu juga dengan bentuk     pemerintahannya hampir menyerupai bentuk pemerintahan yang ada sekarang     yaitu sistim parlemen dan majelis-majelisnya. Berikut penjelasannya :  
 
 Al-Isar : penanganan bejana-bejana tempat darah     ketika terjadi sumpah, dan urusan ini diserahkan kepada suku Jumah.  
 
 Tahjirul amwal (pembekuan harta) : yaitu     diperuntukkan dalam tata cara penyerahan qurban/sesajian dan nazar-nazar     kepada berhala-berhala mereka, begitu juga dalam memecahkan     sengketa-sengketa dan perkerabatan, dan urusan ini diserahkan kepada Bani     Sahm.  
 
 Syura : yang diserahkan kepada Bani Asad.  
 
 Al-Asynaq : peraturan dalam menangani kasus     diyat (denda bagi tindak kriminal) dan gharamat (denda pelanggaran     perdata), dan urusan ini diserahkan kepada Bani Tayyim.  
 
 Al-'iqab : pemegang panji kaum dan ini     diserahkan kepada Bani Umayyah.  
 
 Al-Qabbah : peraturan kemiliteran dan menunggang     kuda. Hal ini diserahkan kepada Bani Makhzum.  
 
 As-Sifarah (kedutaan) : Hal ini diserahkan     kepada Bani 'Ady ***.  
 
 *** Lihat; "Tarikh ardhil Quran",     II/104, 105, 106 . Riwayat yang masyhur adalah bahwa yang membawa panji     adalah Bani 'Abdid Dar, sedang kepemimpinan berada ditangan Bani Umayyah.  
 
 Kekuasaan di seluruh negeri Arab  
 
 Di bagian muka telah kami singgung tentang     kepindahan kabilah-kabilah Qahthan dan 'Adnan, begitu juga dengan kondisi     negeri-negeri Arab yang terpecah-pecah diantara mereka sendiri;     Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Hirah tunduk kepada raja Arab di     Hirah, dan suku yang tinggal di pedalaman Syam tunduk terhadap raja     Ghassan. Hanya saja ketundukan mereka ini sekedar nama (bersifat simbolis)     bukan secara riil di lapangan. Sedangkan mereka yang berada di     daerah-daerah pedalaman dalam jazirah Arab mendapatkan kebebasan mutlak.  
 
 Sebenarnya, setiap kabilah-kabilah tersebut     memiliki para pemuka yang mereka angkat sebagai pemimpin kabilah, begitu     juga kabilah ibarat pemerintah mini yang landasan berpijaknya adalah     kesatuan ras dan kepentingan yang saling menguntungkan dalam menjaga secara     bersama tanah air dan membendung serangan lawan.  
 
 Posisi para pemuka kabilah tersebut di tengah     pengikutnya tak ubahnya seperti posisi para raja. Jadi, setiap kabilah     selalu tunduk kepada pendapat pemimpinnya baik dalam kondisi damai ataupun     perang dan tidak ada yang berani membantahnya. Kekuasaannya dalam memimpin     dan memberikan pendapat bak seorang diktator yang kuat sehingga bila ada     sebagian yang marah maka beribu-ribu pedang berkilatan lah yang bermain dan     ketika itu tak seorang pun yang bertanya kenapa hal itu terjadi. Anehnya,     karena persaingan dalam memperebutkan kepemimpinan terjadi diantara sesama     keturunan satu paman sendiri kadang membuat mereka sedikit bermuka dua     alias over acting dihadapan orang banyak. Hal itu tampak dalam     prilaku-prilaku dalam berderma, menjamu tamu, menyumbang, berlemah lembut,     menonjolkan keberanian dan menolong orang lain yang mereka lakukan     semata-mata agar mendapatkan pujian dari orang, khususnya lagi para penyair     yang merangkap penyambung lidah kabilah pada masa itu. Disamping itu,     mereka lakukan juga, agar derajat mereka lebih tinggi dari para pesaingnya.      
 
 Para pemuka dan pemimpin kabilah memiliki hak     istimewa sehingga mereka bisa mengambil bagian dari harta rampasan tersebut     ; baik mendapat bagian mirba', shaffi, nasyithah atau fudhul . Dalam     menyifati tindakan ini, seorang penyair bersenandung :  
 
 Bagimu bagian mirba', shaffi, nasyithah, dan     fudhul Dalam kekuasaanmu terhadap kami  
 
 Yang dimaksud dengan mirba' adalah seperempat     harta rampasan. Ash-Shaffi adalah bagian yang diambil untuk dirinya     sendiri. An-Nasyithah adalah sesuatu yang didapat oleh pasukan di jalan     sebelum sampai tujuan. Sedangkan al-Fudhul adalah bagian sisa dari harta     rampasan yang tidak dapat dibagikan kepada individu-individu para pejuang     seperti keledai, kuda dan lain-lain.  
 
 Kondisi Politik  
 
 Setelah.kami jelaskan tentang para penguasa di     negeri Arab, maka akan kami jelaskan sedikit gambaran tentang kondisi     politik yang mereka alami. Tiga wilayah yang letaknya berdampingan dengan     negeri asing, kondisinya sangat lemah dan tidak pernah berubah positif.     Mereka dikelompokkan kepada golongan tuan-tuan atau para budak, para     penguasa atau rakyat. Para tuan-tuan, terutama bila mereka orang asing,     memiliki seluruh kambing sedangkan para budak, sebaliknya yaitu mereka     semua wajib membayar upeti. Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, bahwa     rakyat ibarat posisi sebuah sawah yang selalu mendatangkan hasil buat     dipersembahkan kepada pemerintah yang memanfaatkannya sebagai sarana untuk     bersenang-senang, melampiaskan hawa nafsu, keinginan-keinginan, kelaliman     dan upaya memusuhi orang. Sementara rakyat itu sendiri tenggelam dalam     kebutaan, hidup tidak menentu, dan saat kelaliman menimpa mereka, tak     seorangpun diantara mereka yang mampu mengadu, bahkan mereka diam tak     bergerak dalam menghadapi kelaliman dan beraneka macam siksaan . Hukum kala     itu benar-benar bertangan besi, sedangkan hak-hak asasi hilang ternoda.     Adapun kabilah-kabilah yang berdampingan dengan kawasan ini, mengambil     posisi ragu dan oleng oleh hawa nafsu dan tujuan pribadi masing-masing ;     terkadang mereka terdaftar sebagai penduduk Iraq tapi terkadang juga     terdaftar sebagai penduduk Syam. Kondisi kabilah-kabilah dalam Jazirah Arab     tersebut benar-benar berantakan dan tercerai berai, masing-masing lebih     memilih untuk berselisih dalam masalah suku, ras dan agama. Seorang dari     mereka berdesah :  
 
 Aku tak lain dari seorang pelacak jalan, jika ia     tersesat  Maka tersesatlah aku, dan jika sampai ketujuan     maka sampai pulalah aku  
 
 Mereka tidak lagi memiliki seorang raja yang     dapat menyokong kemerdekaan mereka, atau seorang penengah tempat dimana     mereka merujuk dan mengadu dikala ditimpa kesusahan.  
 
 Sedangkan pemerintahan Hijaz sebaliknya, mata     seluruh orang-orang Arab tertuju kepadanya dan mendapatkan penghargaan dan     penghormatan dari mereka. Mereka menganggapnya sebagai pemimpin dan     pelaksana keagamaan. Realitasnya, memang pemerintahan tersebut merupakan     akumulasi antara kepemimpinan keduniawiaan, pemerintahan dalam arti yang     sebenarnya dan kepemimpinan keagamaan. Ketika mengadili persengketaan yang     terjadi antar orang-orang Arab, pemerintahan tersebut bertindak mewakili     kepemimpinan keagamaan dan ketika mengelola urusan masjid Haram dan hal-hal     yang berkaitan dengannya, maka ia lakukan sebagai pemerintah yang mengurusi     kemashlahatan orang-orang yang berkunjung ke Baitullah/Ka'bah, begitu juga     ia masih menjalankan syari'at Nabi Ibrahim. Pemerintahannya juga,     sebagaimana kami singgung sebelumnya, memiliki instansi-instansi dan bentuk-bentuk     yang menyerupai sistim parlemen, namun pemerintahan ini sangat lemah     sehingga tak mampu memikul tanggungjawabnya sebagaimana saat mereka     menyerang orang-orang Habasyah dulu. 
 
  |         |      
 
 AGAMA BANGSA ARAB  
 
 Mayoritas Bangsa Arab masih mengikuti dakwah     Nabi Ismail 'alaihissalam dan menganut agama yang dibawanya. Beliau     meneruskan dakwah ayahnya, Ibrahim 'alaihissalam, yaitu menyembah Allah dan     mentauhidkanNya. Untuk beberapa lama mereka akhirnya mulai lupa banyak hal     tentang apa yang pernah diajarkan kepada mereka. Sekalipun begitu, tauhid     dan beberapa syiar agama Ibrahim masih tersisa pada mereka, hingga     munculnya Amru bin Luhai, pemimpin Bani Khuza'ah. Dia tumbuh sebagai orang     yang dikenal suka berbuat kebajikan, bershadaqah dan respek terhadap     urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir     mereka menganggapnya sebagai salah seorang ulama besar dan wali yang     disegani. Kemudian dia mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat     penduduk Syam yang menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai sesuatu     yang baik serta benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para rasul dan     kitab. Maka dia pulang sambil membawa Hubal dan meletakkannya di dalam     ka'bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk menjadikan sekutu     bagi Allah. Orang-orang Hijaz pun banyak yang mengiktui penduduk Mekkah     karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka'bah dan penduduk tanah suci.  
 
 Berhala yang paling dahulu mereka sembah adalah     Manat, yang ditempatkan di Musyallal di tepi laut Merah dekat Qudaid.     Kemudian mereka membuat Lata di Thaif dan Uzza di lembah kurma (wadi     nakhlah). Ketiga berhala tersebut merupakan yang paling besarnya. Setelah     itu kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil     bertebaran di setiap tempat di Hijaz. Dikisahkan bahwa Amru bin Luhai     mempunyai pembantu dari jenis jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa     berhala-berhala kaum Nuh (Wud, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr) terpendam di     Jeddah. Maka dia datang ke sana untuk mencari keberadaannya, lalu     membawanya ke Tihamah. Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan     berhala-berhala itu kepada berbagai kabilah. Mereka membawa pulang     berhala-berhala itu ke tempat mereka masing-masing. Sehingga di setiap     kabilah dan di setiap rumah hampir pasti ada berhalanya. Mereka juga memajang     berbagai macam berhala dan patung di al-Masjidil Haram . Tatkala Rasulullah     Shallallahu 'alaihi wasallam menaklukkan Mekkah, di sekitar Ka'bah terdapat     tiga ratus enam puluh berhala. Beliau menghancurkan berhala-berhala itu     hingga runtuh semua, lalu memerintahkan agar berhala-berhala tersebut     dikeluarkan dari masjid dan dibakar.  
 
 Begitulah kisah kemusyrikan dan penyembahan     terhadap berhala, yang menjadi fenomena terbesar dari agama orang-orang     Jahiliyyah, yang menganggap dirinya masih menganut agama Ibrahim.  
 
 Mereka juga mempunyai beberapa tradisi dan     upacara penyembahan berhala, yang hampir semuanya dibuat oleh Amru bin     Luhai. Sementara orang-orang mengira apa yang dibuat Amru tersebut adalah     sesuatu yang baru dan baik serta tidak merubah agama Ibrahim. Diantara     upacara penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah :  
 
 Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya,     berkomat-kamit di hadapannya, meminta pertolongan tatkala menghadapi     kesulitan, berdoa untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa     berhala-berhala itu bisa memberikan syafa'at di sisi Allah dan mewujudkan     apa yang mereka kehendaki. 
 
 Mereka menunaikan haji dan thawaf di sekeliling     berhala, merunduk dan sujud di hadapannya. 
 
 Mereka bertaqarrub kepada berhala mereka dengan     berbagai bentuk taqarrub/ibadah; mereka menyembelih dan berkorban untuknya     dan dengan namanya. Dua jenis penyembelihan ini telah disebutkan     Allah di dalam firmanNya :  "…Dan apa yang disembelih untuk     berhala…." (al-Maidah: 3) "Dan jagnanlah kalian memakan binatang-binatang     yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya". (Al-An'am: 121).      
 
 Jenis taqarrub yang lain, mereka mengkhususkan     sebagian dari makanan dan minuman yang mereka pilih untuk disajikan kepada     berhala, dan juga mengkhususkan bagian tertentu dari hasil panen dan     binatang ternak mereka. Diantara hal yang amat aneh adalah perbuatan mereka     mengkhususkan bagian yang lain untuk Allah. Banyak sebab-sebab yang mereka     jadikan alasan kenapa mereka memindahkan sesembahan yang sebenarnya mereka     peruntukkan untuk Allah kepada berhala-berhala mereka, akan tetapi mereka     tidak memindahkan sama sekali sesembahan yang sudah diperuntukkan untuk     berhala mereka. Allah berfirman : "Dan, mereka memperuntukkan bagi Allah satu     bagian dari tanaman yang diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai     dengan persangkaan mereka, ' Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala     kami'. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka     tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah,     maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah     ketetapan mereka itu". (Al-An'am: 136). 
 
 Diantara jenis taqarrub yang mereka lakukan     ialah dengan bernazar menyajikan sebagian hasil tanaman dan ternak untuk     berhala-berhala. Allah berfirman :  " Dan, mereka mengatakan,'inilah binatang     ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang     yang kami kehendaki', menurut anggapan mereka, dan binatang ternak yang     mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata     membuat-buat kedustaan terhadap Allah". (Al-An'am: 138). 
 
 Diantaranya lagi adalah ritual al-bahirah,     as-sa'ibah, al-washilah, al-hami . Ibnu Ishaq berkata: "al-bahirah     ialah anak as-sa'ibah yaitu onta betina yang telah beranak sepuluh betina     secara berturut-turut dan tidak diselingi sama sekali oleh yang jantan. Onta     semacam inilah yang dilakukan terhadapnya ritual sa'ibah; ia tidak boleh     ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, susunya tidak boleh diminum     kecuali oleh tamu. Jika kemudian melahirkan lagi anak betina, maka     telinganya harus dibelah. Setelah itu ia harus dilepaskan secara bebas     bersama induknya, dan juga harus mendapat perlakuan yang sama seperti     induknya. Al-Washilah adalah domba betina yang lahir dari lima perut; jika     kemudian lahir sepuluh betina secara berturut-turut dan tidak diantarai     lahirnya yang jantan, mereka mengadakan ritual washilah. Mereka berkata:     "aku telah melakukan washilah". Kemudian bila domba tersebut     beranak lagi, maka mereka persembahkan kepada kaum laki-laki saja kecuali     ada yang mati maka dalam hal ini kaum laki-laki dan wanita bersama-sama     melahapnya. Sedangkan Al-hami adalah onta jantan yang sudah membuahkan     sepuluh anak betina secara berturut-turut tanpa ada jantannya. Punggung     onta seperti ini dijaga, tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil     bulunya, harus dibiarkan lepas dan tidak digunakan kecuali untuk     kepentingan ritual tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah     menurunkan ayat : "Allah sekali-kali tidak pernah     mensyari'atkan adanya bahirah, sa'ibah, washilah dan hami. Akan tetapi     orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan     mereka tidak mengerti". (al-Maidah: 103). 
 
 Allah juga menurunkan ayat : " Dan, mereka mengatakan :'apa yang di     dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan     diharamkan atas wanita kami', dan jika yang dalam perut itu dilahirkan     mati, maka pria dan wantia sama-sama boleh memakannya". (Al-An'am:     139).  
 
 Sa'id bin al-Musayyab telah menegaskan bahwa     binatang-binatang ternak diperuntukkan bagi taghut-taghut mereka. Di dalam     hadits yang shahih dan marfu', bahwa Amru bin Luhai adalah orang pertama     yang melakukan ritual saibah (mempersembahkan onta untuk berhala). 
 
 Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap     berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa     mendekatkan mereka kepada Allah, menghubungkan mereka kepadaNya serta     meminta syafa'at kepadaNya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur'an :  
 
 "Kami tidak menyembah mereka melainkan     supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya".     (Az-Zumar:3).  
 
 "Dan, mereka menyembah selain daripada     Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan     tidak (pula) manfaat, dan mereka berkata: 'mereka itu adalah pemberi     syafa'at kepada kami disisi Allah". (Yunus: 18). 
 
 Orang-orang Arab juga mengundi nasib dengan     sesuatu yang disebut al-azlam atau anak panah yang tidak ada bulunya. Anak     panah itu ada tiga jenis: satu jenis ditulis dengan kata "ya",     satu lagi ditulis dengan kata "tidak" dan jenis ketiga dengan     kata "dibiarkan". Mereka mengundi nasib untuk menentukan apa yang     akan dilakukan, seperti bepergian, menikah atau lain-lainnya, dengan     menggunakan anak panah itu. Jika yang keluar tulisan "ya", mereka     melaksanakannya, dan jika yang keluar adalah tulisan "tidak" ,     mereka menangguhkannya pada tahun itu hingga mereka melakukannya lagi. Dan     jika yang mncul adalah tulisan "dibiarkan" mereka mengulangi     undiannya. Ada lagi jenis lain, yaitu tulisan "air" dan     "tebusan", begitu juga tulisan "dari kalian",     "bukan dari kalian" atau "disusul". Bila mereka ragu     terhadap nasab seseorang mereka membawanya ke hubal dan membawa serta juga     seratus hewan kurban lalu diserahkan kepada pengundi. Dalam hal ini, jika     yang keluar adalah tulisan "dari kalian", maka dia diangkat     sebagai penengah/pemutus perkara diantara mereka. Jika yang keluar tulisan     "bukan dari kalian" maka dia diangkat sebagai sekutu. Sedangkan     jika yang keluar adalah tulisan "disusul" maka kedudukannya di     tengah mereka adalah sebagai orang yang tidak bernasab dan tidak diangkat     sebagai sekutu.  
 
 Tak beda jauh dengan hal ini adalah perjudian     dan undian. Mereka membagi-bagikan daging unta yang mereka sembelih     berdasarkan undian tersebut. 
 
 Mereka juga percaya kepada perkataan peramal,     dukun (para normal) dan ahli nujum (astrolog). Peramal adalah orang yang     suka memberikan informasi tentang hal-hal yang akan terjadi di masa depan,     mengaku-aku dirinya mengetahui rahasia-rahasia. Diantara para peramal ini,     ada yang mendakwa dirinya memiliki pengikut dari bangsa jin yang memberikan     informasi kepadanya. Diantara mereka juga ada yang mendakwa mengetahui     hal-hal yang ghaib berdasarkan pemahaman yang diberikan kepadanya. Ada lagi     dari mereka yang mendakwa dirinya mengetahui banyak hal dengan mengemukan     premis-premis dan sebab-sebab yang dapat dijadikan bahan untuk mengetahui     posisinya berdasarkan kepada ucapan si penanya, perbuatannya atau     kondisinya; inilah yang disebut dengan 'arraf (dukun/para normal) seperti     orang yang mendakwa dirinya mengetahui barang yang dicuri, letak terjadinya     pencurian, juga orang yang tersesat, dan lain-lain. Sedangkan ahli nujum     (astrolog) adalah orang yang mengamati keadaan bintang dan planet, lalu dia     menghitung perjalanan dan waktu peredarannya, agar dengan begitu dia bisa     mengetahui berbagai keadaan di dunia dan peristiwa-peristiwa yang bakal     terjadi di kemudian hari. Membenarkan ramalan ahli nujum/astrolog ini pada     hakikatnya merupakan bentuk kepercayaan terhadap bintang-bintang. Diantara     keyakinan mereka terhadap bintang-bintang adalah keyakinan terhadap anwa'     (simbol tertentu yang dibaca sesuai dengan posisi bintang) ; oleh karenanya     mereka selalu mengatakan ; 'hujan yang turun ke atas kami ini lantaran     posisi bintang begini dan begitu'.  
 
 Di kalangan mereka juga beredar kepercayaan     ath-Thiyarah yaitu merasa nasib sial atau meramal nasib buruk (karena melihat     burung, binatang lainnya atau apa saja) . Pada mulanya mereka mendatangi     seekor burung atau kijang, lalu mengusirnya. Jika burung atau kijang itu     mengambil arah kanan, maka mereka jadi bepergian ke tempat yang hendak     dituju dan hal itu dianggap sebagai pertanda baik. Jika burung atau kijang     itu mengambil arah kisri, maka mereka tidak berani bepergian dan mereka     meramal hal itu sebagai tanda kesialan. Mereka juga meramal sial jika di     tengah jalan bertemu burung atau hewan tertentu. 
 
 Tak bebeda jauh dengan hal ini adalah kebiasaan     mereka yang menggantungkan ruas tulang kelinci (dengan kepercayaan bahwa     hal itu dapat menolak bala'-penj). Mereka juga menyandarkan kesialan kepada     hari-hari, bulan-bulan, hewan-hewan, rumah-rumah atau wanita-wanita. Begitu     juga keyakinan terhadap penularan penyakit dan binatang berbisa. Mereka     percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tenteram jika     dendamnya tidak dilampiaskan. Ruhnya bisa menjadi binatang berbisa dan     burung hantu yang beterbangan di padang sahara/tanah lapang seraya     berteriak: 'Haus! haus! beri aku minum! beri aku minum!', dan bila telah     dilampiaskan dendamnya maka ruhnya merasa tenang dan tentram kembali. 
 
 Orang-orang Jahiliyah masih dalam kondisi     kehidupan demikian, tetapi ajaran Ibrahim masih tersisa pada mereka dan     belum ditinggalkan sama sekali, seperti pengagungan terhadap baitullah     (ka'bah), thawaf, haji, umrah, wukuf di 'Arafah dan Muzdalifah, serta     ritual mempersembahkan onta sembelihan untuk ka'bah. Memang, dalam hal ini     terjadi hal-hal yang mereka ada-adakan. Diantaranya; orang-orang Quraisy     berkata, 'kami anak keturunan Ibrahim dan penduduk tanah haram, penguasa     ka'bah dan penghuni Mekkah. Tak seorangpun dari Bangsa Arab yang mempunyai     hak dan kedudukan seperti kami- dalam hal ini, mereka menjuluki diri mereka     dengan alhums (kaum pemberani)- ; oleh karena itu tidak selayaknya kami     keluar dari tanah haram menuju tanah halal (di luar tanah haram). Mereka     tidak melaksanakan wuquf di Arafah, juga tidak ifadhah dari sana, tapi     melaukan ifadhah dari Muzdalifah. Mengenai hal ini,turun firman Allah: "Kemudian bertolaklah kalian dari tempat     bertolaknya orang-orang banyak" . (al-Baqarah: 199). 
 
 Diantara hal-hal lain yang mereka katakana     adalah : "tidak selayaknya alhums mengkonsumsi keju, memasak dan menyaring     samin/mentega saat mereka sedang berihram, serta memasuki rumah-rumah     dengan pakaian dari bulu/wol. Juga tidak selayaknya berteduh ketika lagi     berteduh kecuali di rumah-rumah yang terbuat dari kulit selama mereka dalam     keadaan berihram". 
 
 Mereka juga berkata: "Penduduk di luar     tanah haram tidak boleh memakan makanan yang mereka bawa dari luar tanah     haram ke tanah haram, jika kedatangan mereka itu dimaksudkan untuk     melakukan haji atau umrah". 
 
 Hal-Hal lainya yang mereka buat-buat adalah     mereka melarang orang yang datang dari luar tanah haram bila mereka datang     dan berthawaf untuk pertama kalinya kecuali dengan mengenakan pakaian     kebesaran alhums dan jika mereka tidak mendapatkannya maka kaum laki-laki     harus thawaf dalam keadaan telanjang. Sementara wanita juga harus     menanggalkan seluruh pakaiannya kecuali pakaian rumah yang longgar,kemudian     baru berthawaf dan melantunkan :  
 
 "Hari ini tampak sebagian atau seluruhnya     apa yang nampak itu tiadalah ia perkenankan" Dan berkaitan dengan itu, turun firman Allah : "Hai anak Adam! Pakailah pakaian yang indah     di setiap (memasuki) masjid". (al-A'raf: 31). 
 
 Jika salah seorang dari laki-laki dan wanita     merasa lebih hormat untuk thawaf dengan pakaian yang dikenakannya dari luar     tanah haram maka sehabis thawaf dia harus membuangnya dan ketika itu tak     seorangpun yang boleh menggunakannya lagi; baik dari mereka maupun selain     mereka.  Hal lainya lagi adalah perlakuan mereka yang     tidak mau masuk rumah dari pintu depan bila sedang berihram, tetapi mereka     melubangi bagian tengah rumah untuk tempat masuk dan keluar, dan mereka     manganggap pikiran sempit semacam ini sebagai kebaktian (birr); maka hal     semacam ini kemudian dilarang oleh Al-Qur'an dalam firmanNya :  
 
 "Dan bukanlah kebaktian itu memasuki     rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian     orang yang bertakwa". (al-Baqarah: 189). 
 
 Kepercayaan semacam ini ; kepercayaan bernuansa     syirik, penyembahan terhadap berhala, keyakinan terhadap hipotesis-hipotesis     lemah dan khurafat-khurafat adalah merupakan kepercayaan/agama mayoritas     Bangsa Arab. Disamping itu juga, ada agama lain seperti; Yahudi, Nashrani,     Majusi dan Shabi'ah. Agama-agama ini juga mendapatkan jalan untuk memasuki     pemukiman Bangsa Arab. Ada dua periode yang sempat mewakili keberadaan     orang-orang Yahudi di jazirah Arab:  
 
 Proses hijrah yang mereka lakukan pada periode     penaklukan Bangsa Babilonia dan Assyiria di Palestina; tekanan yang dialami     oleh orang-orang Yahudi, luluh lantaknya negeri dan hancurnya rumah ibadah     mereka oleh Bukhtanashshar pada tahun 587 SM serta ditawan dan dibawanya     sebagian besar mereka ke Babilonia menyebabkan sebagian mereka yang lain     meninggalkan negeri Palestina menuju Hijaz dan bermukim di sekitar belahan     utaranya. 
 
 Diawali dari sejak pendudukan yang dilakukan     oleh Bangsa Romawi terhadap Palestina dibawah komando Pettis pada tahun 70     M; adanya tekanan dari orang-orang Romawi terhadap bangsa Palestina, hancur     dan luluh lantaknya rumah ibadah mereka membuahkan berimigrasinya banyak     suku dari bangsa Yahudi ke Hijaz dan menetap di Yatsrib (Madinah     sekarang-penj), Khaibar dan Taima'. Disana mereka mendirikan perkampungan,     istana-istana dan benteng-benteng. Agama Yahudi tersebar di kalangan     sebagian bangsa Arab melalui kaum imigran Yahudi tersebut. Di kemudian     harinya mereka memiliki peran yang sangat signifikan dalam percaturan     politik pada periode tersebut sebelum munculnya Islam. Ketika Islam muncul,     suku-suku Yahudi yang sudah ada dan masyhur adalah Khaibar, an-Nadhir,     al-Mushthaliq, Quraizhah dan Qainuqa'. Sejarawan, as-Samhudi menyebutkan     dalam bukunya "wafâul wafa' " halaman 116 bahwa suku-suku Yahudi     yang mampir di Yatsrib dan datang ke sana dari waktu ke waktu berjumlah     lebih dari dua puluh suku.  
 
 Sementara itu, masuknya agama Yahudi di Yaman     adalah melalui penjual jerami, As'ad bin Abi Karb. Ketika itu, dia pergi     berperang ke Yatsrib dan disanalah dia memeluk agama Yahudi. Dia membawa     serta dua orang ulama Yahudi dari suku Bani Quraizhah ke Yaman. Agama     Yahudi tumbuh dan berkembang dengan pesat di sana, terlebih lagi ketika     anaknya, Yusuf yang bergelar Dzu Nuwas menjadi penguasa di Yaman; dia     menyerang penganut agama Nashrani dari Najran dan mengajak mereka untuk     menganut agama Yahudi, namun mereka menolak. Karena penolakan ini, dia     kemudian menggali parit dan mencampakkan mereka ke dalamnya lalu mereka     dibakar hidup-hidup. Dalam tindakannya ini, dia tidak membedakan antara     laki-laki dan perempuan, anak-anak kecil dan orang-orang berusia lanjut.     Sejarah mencatat, bahwa jumlah korban pembunuhan massal ini berkisar antara     20.000 hingga 40.000 jiwa. Peristiwa itu terjadi pada bulan Oktober tahun     523 M. Al-Qur'an menceritakan sebagian dari drama tragis tersebut dalam     surat al-Buruj (tentang Ashhabul Ukhdud).  
 
 Sedangkan agama Nasrani masuk ke jazirah Arab     melalui pendudukan orang-orang Habasyah dan Romawi. Pendudukan orang-orang     Habasyah yang pertama kali di Yaman terjadi pada tanun 340 M dan     berlangsung hingga tahun 378 M. Pada masa itu, gerakan kristenisasi mulai     merambah pemukiman di Yaman. Tak berapa jauh dari masa ini, seorang yang     yang dikenal sebagai orang yang zuhud, doanya mustajab dan juga dianggap     mempunyai kekeramatan. Orang ini dikenal dengan sebutan Fimiyun; dialah     yang datang ke Najran. Dia mengajak penduduk Najran untuk memeluk agama     Masehi. Mereka melihat tanda-tanda kejujuran pada dirinya dan kebenaran     agamanya. Oleh karena itu mereka menerima dakwahnya dan bersedia memeluk     agama Nasrani.  
 
 Tatkala orang-orang Habasyah menduduki Yaman     untuk kedua kalinya pada tahun 525 M; sebagai balasan atas perlakuan Dzu     Nuwas yang dulu pernah dilakukannya, dan tampuk pimpinan dipegang oleh     Abrahah, maka dia menyebarkan agama Nasrani dengan gencar dan target     sasaran yang luas hingga mencapai puncaknya yaitu tatkala dia membangun     sebuah gereja di Yaman, yang diberi nama "Ka'bah Yaman". Dia     menginginkan agar haji yang dilakukan oleh Bangsa Arab dialihkan ke gereja     ini. Disamping itu,dia juga berniat menghancurkan Baitullah di Mekkah,     namun Allah membinasakannya dan akan mengazabnya di dunia dan akhirat.  
 
 Agama Nashrani dianut oleh kaum Arab Ghassan,     suku-suku Taghlib dan Thayyi' dan selain kedua suku terakhir ini. Hal itu     disebabkan mereka bertetangga dengan orang-orang Romawi. Bukan itu saja,     bahkan sebagian raja-raja Hirah juga telah memeluknya.  
 
 Sedangkan agama Majusi lebih banyak berkembang     di kalangan orang-orang Arab yang bertetangga dengan orang-orang Persia     yaitu orang-orang Arab di Iraq, Bahrain (tepatnya di Ahsa'), Hajar dan     kawasan tepi pantai teluk Arab yang bertetangga dengannya. Elite-Elite     politik Yaman juga ada yang memeluk agama Majusi pada masa pendudukan     Bangsa Persia terhadap Yaman.  
 
 Adapun agama Shabi'ah; menurut penemuan yang     dilakukan melalui penggalian dan penelusuran peninggalan-peninggalan mereka     di negeri Iraq dan lain-lainnya menunjukkan bahwa agama tersebut dianut     oleh kaum Ibrahim Chaldeans. Begitu juga, agama tersebut dianut oleh     mayoritas penduduk Syam dan Yaman pada zaman purbakala. Setelah beruntunnya     kedatangan beberapa agama baru seperti agama Yahudi dan Nasrani, agama ini     mulai kehilangan identitasnya dan aktivutasnya mulai redup. Tetapi masih     ada sisa-sisa para pemeluknya yang membaur dengan para pemeluk Majusi atau     hidup berdampingan dengan mereka, yaitu di masyarakat Arab di Iraq dan di     kawasan tepi pantai teluk Arab.  
 
 Kondisi Kehidupan Agama  
 
 Agama-agama tersebut merupakan agama yang sempat     eksis sebelum kedatangan Islam. Namun dalam agama-agama tersebut, sudah     terjadi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang Musyrik yang     mendakwa diri mereka adalah penganut agama Ibrahim, justeru keadaannya     teramat jauh dari perintah dan larangan syariat Ibrahim. Ajaran-ajaran     tentang akhlaq mulia mereka sudah abaikan sehingga maksiat tersebar     dimana-mana. Seiring dengan peralihan zaman secara bertahap terjadi     perkembang yang sama seperti ajpa yang dilakukan oleh para penyembah     berhala (paganis). Adat istiadat dan tradisi-tradisi yang berlaku telah     berubah menjadi khurafat-khurafat dalam agama dan ini memiliki dampak     negatif yang amat parah terhadap kehidupan sosio politik dan religi     masyarakat.  
 
 Lain lagi perubahan yang terjadi terhadap     orang-orang Yahudi; mereka telah menjadi manusia yang dijangkiti penyakit     riya' dan menghakimi sendiri. Para pemimpin mereka menjadi sesembahan selain     Allah; menghakimi masyarakat seenaknya dan bahkan menvonis mereka seakan     mereka mengetahui apa yang terbetik dihati dan dibibir mereka. Ambisi utama     mereka hanyalah bagaimana mendapatkan kekayaan dan kedudukan, sekalipun     berakibat lenyapnya agama dan menyebarnya kekufuran serta pengabaian     terhadap ajaran-ajaran yang telah diperintahkan oleh Allah dan yang harus     dijunjung tinggi oleh setiap orang.  
 
 Berbeda dengan agama Nashrani, ia berubah     menjadi agama berhala (paganisme) yang sulit dipahami dan mengalami     pencampuradukan yang amat janggal antara pemahaman terhadap Allah dan     manusia. Agama semacam ini tidak berpengaruh banyak dan secara signifikan terhadap     bangsa Arab karena ajaran-ajarannya jauh dari gaya hidup yang mereka kenal     dan lakoni. Karenanya, tidak mungkin pula mereka jauh dari gaya hidup     tersebut.  
 
 Sementara kondisi semua agama bangsa Arab, tak     ubahnya seperti kondisi orang-orang Musyrik; perasaan hati yang sama,     kepercayaan yang beragam, tradisi dan kebiasaan yang saling sinkron. 
 
  |         |      
 
 GAMBARAN MASYARAKAT ARAB JAHILIYAH  
 
 Setelah pada bagian yang lalu membahas kondisi     politik dan agama di jazirah Arab, kita masih menyisakan pembahasan tentang     kondisi sosial, politik dan moral. Berikut ulasan singkatnya:  
 
 Kondisi Sosial  
 
 Terdapat beragam klasifikasi dalam tatanan     masyarakat Arab dimana antar satu dengan lainnya, kondisinya berbeda-beda.     Hubungan seorang laki-laki dengan keluarganya di lapisan kaum bangsawan     mendapatkan kedudukan yang amat terpandang dan tinggi, kemerdekaan     berkehendak dan pendapat yang mesti didengar mendapatkan porsi terbesar.     Hubungan ini selalu dihormati dan dijaga sekalipun dengan pedang yang     terhunus dan darah yang tertumpah. Seorang laki-laki yang ingin dipuji     karena kemurahan hati dan keberaniannya di mata orang Arab, maka hendaklah     waktunya yang banyak hanya dipergunakan untuk berbicara dengan wanita. Jika     seorang wanita menghendaki, dia dapat mengumpulkan suku-suku untuk     kepentingan perdamaian, namun juga dapat menyulut api peperangan diantara     mereka. Meskipun demikian, tak dapat disangkal lagi bahwa seorang laki-laki     adalah kepala keluarga dan yang menentukan sikap didalamnya. Hubungan     antara laki-laki dan wanita yang berlangsung melalui akad nikah dan diawasi     oleh para walinya (wanita). Seorang wanita tidak memiliki hak untuk     menggurui mereka.  
 
 Sementara kondisi kaum bangsawan demikian,     kondisi yang dialami oleh lapisan masyarakat lainnya amat berbeda. Terdapat     beragam gaya hidup yang bercampur baur antara kaum laki-laki dan wanita.     Kami hanya bisa mengatakan bahwa semuanya adalah berupa pelacuran,     gila-gilaan, pertumpahan darah dan perbuatan keji. Imam Bukhari dan lainnya     meriwayatkan dari 'Aisyah radhiallâhu 'anha bahwa pernikahan pada masa     Jahiliyah terdiri dari empat macam:  
 
 Pertama , Pernikahan seperti pernikahan orang     sekarang; yaitu seorang laki-laki mendatangi laki-laki yang lain dan     melamar wanita yang dibawah perwaliannya atau anak perempuannya, kemudian     dia menentukan maharnya dan menikahkannya. 
 
 Kedua, seorang laki-laki berkata kepada     isterinya manakala ia sudah suci dari haidnya, "pergilah kepada si     fulan dan bersenggamalah dengannya", kemudian setelah itu, isterinya     ini ia tinggalkan dan tidak ia sentuh selamanya hingga tampak tanda     kehamilannya dari laki-laki tersebut. Dan bila tampak tanda kehamilannya,     bila si suaminya masih berselera kepadanya maka dia akan menggaulinya. Hal     tersebut dilakukan hanyalah lantaran ingin mendapatkan anak yang pintar.     Pernikahan semacam ini dinamakan dengan nikah al-Istibdha'.  
 
 Ketiga , sekelompok orang dalam jumlah yang     kurang dari sepuluh berkumpul, kemudian mendatangi seorang wanita dan     masing-masing menggaulinya. Jika wanita ini hamil dan melahirkan, kemudian     setelah berlalu beberapa malam dari melahirkan, dia mengutus kepada mereka     (sekelompok orang tadi), maka ketika itu tak seorang pun dari mereka yang     dapat mengelak hingga semuanya berkumpul kembali dengannya, lalu si wanita     ini berkata kepada mereka: "kalian telah mengetahui apa yang telah     kalian lakukan dan aku sekarang telah melahirkan, dan dia ini adalah anakmu     wahai si fulan!". Dia menyebutkan nama laki-laki yang dia senangi dari     mereka, maka anaknya dinasabkan kepadanya.  
 
 Keempat , Banyak laki-laki mendatangi seorang     wanita sedangkan si wanita ini tidak menolak sedikitpun siapa pun yang     mendatanginya. Mereka ini adalah para pelacur; di pintu-pintu rumah mereka     ditancapkan bendera yang menjadi simbol mereka dan siapa pun yang     menghendaki mereka maka dia bisa masuk. Jika dia hamil dan melahirkan,     laki-laki yang pernah mendatanginya tersebut berkumpul lalu mengundang ahli     pelacak (al-Qaafah) kemudian si ahli ini menentukan nasab si anak tersebut     kepada siapa yang mereka cocokkan ada kemiripannya dengan si anak lantas     dipanggillah si anak tersebut sebagai anaknya. Dalam hal ini, si laki-laki     yang ditunjuk ini tidak boleh menyangkal. Maka ketika Allah mengutus Nabi     Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau hapuskan semua pernikahan     kaum Jahiliyah tersebut kecuali pernikahan yang ada saat ini.  
 
 Dalam tradisi mereka, antara laki-laki dan     wanita harus selalu berkumpul bersama dan diadakan dibawah kilauan     ketajaman mata pedang dan hulu-hulu tombak. Pemenang dalam perang antar     suku berhak menyandera wanita-wanita suku yang kalah dan menghalalkannya.     Anak-anak yang ibunya mendapatkan perlakuan semacam ini akan mendapatkan     kehinaan semasa hidupnya.  
 
 Kaum Jahiliyah terkenal dengan kehidupan dengan     banyak isteri (poligami) tanpa batasan tertentu. Mereka mengawini dua     bersaudara, mereka juga mengawini isteri bapak-bapak mereka bila telah     ditalak atau karena ditinggal mati oleh bapak mereka. Allah berfirman:     "Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh     ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu     amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).(22)     Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;     saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;     saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu     yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;     ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu     dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan     isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu     mengawininya; (Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu     (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang     bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah     Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(23)". [Q.,s. 4/an-Nisa': 22-23].     Hak mentalak ada pada kaum laki-laki tetapi tidak memiliki batasan     tertentu.  
 
 Perbuatan zina merata pada setiap lapisan     masyarakat. Tidak dapat kita mengkhususkan hal itu kepada satu lapisan tanpa     menyentuh lapisan yang lainnya. Ada sekelompok laki-laki dan wanita yang     terkecuali dari hal tersebut. Mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa     besar dan menolak keterjerumusan dalam lumpur kehinaan. Wanita-wanita     merdeka kondisinya lebih bagus dari kondisi para budak wanita. Kondisi     mereka (budah wanita) amat parah sekali. Nampaknya, mayoritas kaum     Jahiliyah tidak merasakan keterjerumusan dalam perbuatan keji semacam itu     menjadi suatu aib bagi mereka. Imam Abu Daud meriwayatkan dari 'Amru bin     Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata: seorang laki-laki berdiri     sembari berkata: wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulan adalah anakku dari     hasil perzinaanku dengan seorang budak wanita pada masa Jahiliyah.     Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda: "tidak ada     dakwaan dalam Islam (yang berkaitan dengan masa Jahiliyah). Urusan yang     terkait dengan masa Jahiliyah telah lenyap. Seorang anak adalah dari hasil     ranjang (dinasabkan kepada yang empunya ranjang,yaitu suami yang dengan     nikah yang shah-penj), sedangkan kehinaan adalah hanya bagi wanita     pezina". Begitu juga dalam hal ini, terdapat kisah yang amat terkenal     yang terjadi antara Sa'ad bin Abi Waqqash dan 'Abd bin Zam'ah dalam     mempersoalkan nasab anak dari budak wanita Zam'ah, yaitu 'Abdur Rahman bin     Zam'ah.  
 
 Sedangkan hubungan antara seorang bapak dengan     anak-anaknya, amat berbeda-beda; diantara mereka ada yang menguraikan     rangkaian bait:  Sungguh kehadiran anak-anak di tengah kami Bagai buah hati, berjalan melenggang diatas bumi      
 
 Diantara mereka, ada yang mengubur hidup-hidup     anak- anak wanita mereka karena takut malu dan enggan menafkahinya. Anak     laki-laki dibunuh lantaran takut menjadi fakir dan melarat. Allah     berfirman: "…dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut     kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka..".     (Q.,s.6/al-An'am:151). Allah juga berfirman: "Dan apabila seseorang     dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah     padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.(58) Ia menyembunyikan dirinya dari     orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah     dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan     menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya     apa yang mereka tetapkan itu. (59)". (Q.,s. 16/an-Nahl: 58-59). Allah     berfirman lagi: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut     kemiskinan. Kami lah Yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga     kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar".(Q.,s.     17/al-Isra': 31). Allah berfirman dalam ayat yang lain: "dan apabila     bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya". (Q.,s.     81/at-Takwir: 8). Akan tetapi kita tidak bisa menganggap bahwa apa yang     termaktub dalam ayat-ayat diatas telah mencerminkan moral yang berlaku umum     di masyarakat. Di sisi lain, mereka justru sangat mengharapkan anak     laki-laki untuk dapat membentengi diri mereka dari serangan musuh.  
 
 Sedangkan pergaulan antar seorang laki-laki     dengan saudaranya, anak-anak paman dan kerabatnya sangat kental dan kuat.     Mereka hidup dan mati demi fanatisme kesukuan. Semangat untuk bersatu     begitu membudaya antar sesama suku yang menambah rasa fanatisme tersebut.     Bahkan prinsip yang dipakai dalam sistem sosial adalah fanatisme rasial dan     hubungan tali rahim. Mereka hidup dibawah semboyan yang bertutur:     "Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zhalim ataupun dizhalimi".     Mereka menerapkan semboyan ini sebagaimana adanya, tidak seperti arti yang     telah diralat oleh Islam yaitu menolong orang yang berbuat zhalim maksudnya     mencegahnya melakukan perbuatan itu. Meskipun begitu, perseteruan dan     persaingan dalam memperebutkan martabat dan kepemimpinan seringkali     mengakibatkan terjadinya perang antar suku yang masih memiliki hubungan     se-bapak. Kita dapat melihat fenomena tersebut pada apa yang terjadi antara     suku Aus dan Khazraj, 'Abs dan Dzubyan, Bakr dan Taghlib, dan lain-lain.  
 
 Di lain pihak, hubungan yang terjadi antar suku     yang berbeda-beda benar-benar berantakan. Kekuatan yang ada mereka gunakan     untuk berjibaku dalam peperangan. Hanya saja terkadang, rasa sungkan serta     rasa takut mereka terhadap sebagian tradisi dan kebiasan bersama yang sudah     ada dan berlaku antara ajaran agama dan khurafat sedikit mengurangi deras     dan kerasnya genderang perseteruan tersebut. Dan dalam kondisi tertentu,     loyalitas, persekutuan dan subordinasi yang terjalin menyebabkan antar suku     yang berbeda berangkul dan bersatu. Dan satu-satunya yang merupakan rahmat     dan penolong bagi mereka adalah adanya bulan-bulan yang diharamkan berperang     (al-Asyhurul Hurum) sehingga mereka dapat menghirup kehidupan dan mencari     rizki guna kebutuhan sehari-hari.  
 
 Singkat kata, bahwa kondisi sosial yang berlaku     di masyarakat Jahiliyah benar-benar rapuh dan dalam kebutaan. Kebodohan     mencapai puncaknya dan khurafat merajalela dimana-mana. Orang-Orang hidup     layaknya binatang ternak. Wanita diperjual belikan bahkan terkadang     diperlakukan bak benda mati. Hubungan antar umat sangat lemah, sementara     setiap ada pemerintahan maka ujug-ujugnya hanyalah untuk mengisi gudang     kekayaan mereka yang diambil dari rakyat atau menggiring mereka untuk     berperang melawan musuh-musuh yang mengancam kekuasaan mereka.  
 
 Kondisi Ekonomi  
 
 Kondisi sosial diatas berimbas kepada kondisi     ekonomi. Hal ini diperjelas dengan melihat cara dan gaya hidup bangsa Arab.     Berniaga merupakan sarana terbesar mereka dalam menggapai kebutuhan hidup,     namun begitu, roda perniagaan tidak akan stabil kecuali bila keamanan dan     perdamaian membarenginya. Akan tetapi kedua situasi tersebut lenyap dari Jazirah     Arab kecuali pada "al-Asyhurul Hurum" saja. Dalam bulan-bulan     inilah pasar-pasar Arab terkenal seperti 'Ukazh, Dzil Majaz, Majinnah dan     lainya beroperasi.  
 
 Sedangkan dalam kegiatan industri mereka     termasuk bangsa yang amat jauh jangkauannya dari hal itu. Sebagian besar     hasil perindustrian yang ada di kalangan bangsa Arab hanyalah berupa     tenunan, samak kulit binatang dan lainnya. Kegiatan ini ada pada masyarakat     Yaman, Hirah, dan pinggiran kota Syam. Benar, di kawasan domestik Jazirah     ada sedikit industri bercocok tanam, membajak sawah, dan beternak kambing,     sapi serta onta. Kaum wanita rata-rata menekuni seni memintal. Namun     barang-barang tersebut sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran peperangan.     Kemiskinan, kelaparan serta kehidupan papa menyelimuti masyarakat.  
 
 Kondisi Moral  
 
 Kita tidak dapat memungkiri bahwa masyarakat     Jahiliyah identik dengan kehidupan nista, pelacuran dan hal-hal lain yang     tidak dapat diterima oleh akal sehat dan ditolak oleh perasaan. Namun     begitu, mereka juga mempunyai akhlak mulia dan terpuji yang amat menawan     siapa saja dan membuatnya terkesima dan takjub. Diantara akhlak tersebut     adalah:  
 
 Kemurahan hati Mereka berlomba-lomba dalam sifat ini dan     membangga-banggakannya. Setengah dari bait-bait Sya'ir mereka penuh dengan     ungkapan tentang sifat ini antara pujian kepada diri sendiri dan kepada     orang lain yang memiliki sifat yang sama. Seseorang terkadang kedatangan     tamu di musim dingin yang membeku, kelaparan yang menggelayut serta dalam     kondisi tidak memiliki harta apa-apa selain onta betina yang merupakan     satu-satunya sumber hidupnya dan keluarganya, akan tetapi getaran kemurahan     hati yang menggema di dada membuat mereka tidak ragu-ragu untuk     mempersembahkan suguhan istimewa buat tamunya, lantas disembelihlah onta     satu-satunya tersebut. Diantara pengaruh sifat murah hati tersebut; mereka     sampai-sampai rela menanggung denda yang berlipat dan beban-beban berat     demi upaya mencegah pertumpahan darah dan lenyapnya jiwa. Mereka berbangga     dengan hal itu dan memuji-muji diri dihadapan para tokoh dan pemuka. 
 
 Pengaruh lain dari sifat tersebut, mereka     memuji-muji diri karena minum khamar/arak. Hal ini sebenarnya bukanlah     lantaran bangga dengan esensi minum-minum itu, tetapi lantaran hal itu     merupakan sarana menuju tertanamnya sifat murah hati tersebut, dan juga     sarana yang memudahkan tumbuhnya jiwa yang boros. Dan lantaran itu pula,     mereka menamakan pohon anggur dengan al-Karom (murah hati) sedangkan arak     yang terbuat dari anggur itu mereka namakan bintul Karom. Jika anda membuka     kembali Diwan (Buku-buku/lembaran-lembaran yang mengoleksi) sya'ir-sya'ir     Jahiliyah, anda akan menemukan satu bab yang bertema : al-Madih wal fakhr     (puji-pujian dan kebanggaan diri) . Dalam hal ini, 'Antarah bin Syaddad     al-'Absy mengurai bait-bait syairnya dalam Mu'allaqah-nya (Mu'allaqah     artinya yang digantungkan maksudnya bahwa kumpulan sya'ir-sya'ir tujuh     Penyair 'Arab terkenal pada masa itu yang dinamakan dengan al-Mu'allaqat     as-Sab', termasuk diantaranya 'Antarah ini, digantungkan secara bersama di     dinding ka'bah sehingga semua orang yang melakukan thawaf dapat mengetahui     sekaligus membacanya-penj): 
 
 "Sungguh aku telah menenggak arak di tempat     mulia sesudah wanita-wanita penghibur ditelantarkan dengan cangkir dari     kaca kuning diatas nampan nan terangkai bunga dalam genggaman tangan dingin     Saat aku menenggak, sungguh aku habiskan seluruh Hartaku,namun begitu,     kehormatanku masih sadarkan Kala aku tersadarkan, takkan lengah menyongsong     panggilan Sebagaimana hal itu melekat pada sifat dan tabi'atku" 
 
 Pengaruh lainnya dari sifat al-Karom adalah     mereka menyibukkan diri dalam bermain judi dimana mereka menganggap hal itu     sebagai sarana menuju sifat tersebut karena dari keuntungan yang diraih     dalam berjudi tersebut, mereka persembahkan buat memberi makan fakir     miskin. Atau bisa juga diambil dari sisa keuntungan yang diraih     masing-masing pemenang. Oleh karena itu, anda lihat Al-Qur'an tidak     mengingkari manfa'at dari khamar dan judi (maysir) itu, akan tetapi     menyatakan : "..Dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".     (Q,.s. 2/al-Baqarah: 219). 
 
 Menepati Janji Janji dalam tradisi mereka adalah laksana agama     yang harus dipegang teguh meskipun untuk mendapatkannya mereka menganggap     enteng membunuhi anak-anak mereka dan menghancurkan tempat tinggal mereka     sendiri. Untuk mengetahui hal itu, cukup dengan membaca kisah Hani' bin     Mas'ud asy-Syaibany, as-Samaual bin 'Adiya dan Hajib bin Zurarah at-Tamimy.      
 
 Kebanggan pada diri sendiri dan sifat pantang     menerima pelecehan dan kezhaliman Implikasi dari sifat ini, tumbuhnya pada diri     mereka keberanian yang amat berlebihan, cemburu buta dan cepatnya emosi     meluap. Mereka adalah orang-orang yang tidak akan pernah mau mendengar     ucapan yang mereka cium berbau penghinaan dan pelecehan. Dan apabila hal     itu terjadi, maka mereka tak segan-segan menghunus pedang dan mengacungkan     tombak, dan mengobarkan peperangan yang panjang. Mereka juga tidak peduli     bila nyawa mereka menjadi taruhannya demi mempertahankan sifat tersebut. 
 
 Tekad yang pantang surut Bila mereka sudah bertekad untuk melakukan     sesuatu yang mereka anggap suatu kemuliaan dan kebanggaan maka tak ada     satupun yang dapat menyurutkan tekad mereka tersebut, bahkan mereka akan     nekad menerjang bahaya demi hal itu. 
 
 Lemah lembut, tenang dan waspada Mereka menyanjung sifat-sifat semacam ini, hanya     saja keberadaannya seakan terhalangi oleh amat berlebihannya sifat     pemberani dan ketergesaan mereka dalam mengambil sikap untuk berperang. 
 
 Gaya hidup lugu dan polos ala Badui yang belum     terkontaminasi oleh kotoran peradaban dan tipu dayanya Implikasi dari gaya hidup semacam ini, timbulnya     sifat jujur, amanah serta anti menipu dan mengibul. Kita melihat bahwa tertanamnya akhlak yang amat     berharga ini, disamping letak geografis jazirah Arab di mata dunia adalah     sebagai sebab utama terpilihnya mereka untuk mengemban risalah yang     bersifat umum dan memimpin umat manusia dan masyarakat dunia. Sebab akhlak     ini meskipun sebagiannya dapat membawa kepada kejahatan dan menimbulkan     peristiwa yang tragis, namun sebenarnya ia adalah akhlak yang amat     berharga, dan akan menciptakan keuntungan bagi umat manusia secara umum     setelah adanya sedikit koreksi dan perbaikan atasnya. Dan hal inilah yang     dilakukan oleh Islam ketika datang. 
 
 Nampaknya, akhlak yang paling berharga dan amat     bermanfaat menurut mereka setelah sifat menepati janji adalah sifat     kebanggaan pada diri dan tekad pantang surut. Hal demikian, karena tidak     mungkin dapat mengikis kejahatan dan kerusakan yang ada serta menciptakan     sistem yang penuh dengan keadilan dan kebaikan kecuali dengan kekuatan yang     memiliki daya gempur dan tekad yang membaja. Selain sifat-sifat diatas, mereka juga memiliki     sifat-sifat mulia lainnya namun bukanlah maksud kami menghadirkannya disini     untuk melacaknya secara tuntas. 
 
  |         |      
 
 Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam 
 
 Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terbagi     ke dalam tiga klasifikasi: Pertama, yang disepakati oleh ahlus Siyar wal     Ansaab (Para Sejarawan dan Ahli Nasab); yaitu urutan nasab beliau hingga     kepada Adnan. Kedua, yang masih diperselisihkan antara yang mengambil sikap     diam dan tidak berkomentar dengan yang mengatakan sesuatu tentangnya, yaitu     urutan nasab beliau dari atas Adnan hingga Ibrahim 'alaihissalam. Ketiga,     yang tidak diragukan lagi bahwa didalamnya terdapat riwayat yang tidak     shahih, yaitu urutan nasab beliau mulai dari atas Ibrahim hingga Nabi Adam     'alaihissalam. Kami sudah singgung sebagiannya, dan berikut ini penjelasan     detail tentang ketiga klasifikasi tersebut:  
 
 Klasifikasi Pertama: Muhammad bin 'Abdullah bin     'Abdul Muththalib (nama aslinya; Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya: 'Amru)     bin 'Abdu Manaf (nama aslinya: al-Mughirah) bin Qushai (nama aslinya: Zaid)     bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr (julukannya:     Quraisy yang kemudian suku ini dinisbatkan kepadanya) bin Malik bin     an-Nadhar (nama aslinya: Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama     aslinya: 'Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'add bin Adnan. 
 
 Klasifikasi Kedua: (dari urutan nasab diatas     hingga ke atas Adnan) yaitu, Adnan bin Adad bin Humaisa' bin Salaaman bin     'Iwadh bin Buuz bin Qimwaal bin Abi 'Awwam bin Naasyid bin Hiza bin Buldaas     bin Yadlaaf bin Thaabikh bin Jaahim bin Naahisy bin Maakhi b in 'Iidh bin     'Abqar bin 'Ubaid bin ad-Di'aa bin Hamdaan bin Sunbur bin Yatsribi bin     Yahzan bin Yalhan bin Ar'awi bin 'Iidh bin Diisyaan bin 'Aishar bin Afnaad     bin Ayhaam bin Miqshar bin Naahits bin Zaarih bin Sumay bin Mizzi bin     'Uudhah bin 'Uraam bin Qaidaar bin Isma'il bin Ibrahim 'alaihimassalam. 
 
 Klasifikasi Ketiga: (dari urutan nasab kedua     klasifikasi diatas hingga keatas Nabi Ibrahim) yaitu, Ibrahim 'alaihissalam     bin Taarih (namanya: Aazar) bin Naahuur bin Saaruu' atau Saaruugh bin     Raa'uw bin Faalikh bin 'Aabir bin Syaalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh     'alaihissalam bin Laamik bin Mutwisylakh bin Akhnukh (ada yang mengatakan     bahwa dia adalah Nabi Idris 'alaihissalam) bin Yarid bin Mahlaaiil bin     Qainaan bin Aanuusyah bin Syits bin Adam 'alaihissalam.  Keluarga besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam 
 
 Al-Usrah an-Nabawiyyah (Keluarga Besar Nabi     Shallallahu 'alaihi wasallam) lebih dikenal dengan sebutan al-Usrah     al-Hasyimiyyah (dinisbatkan kepada kakek beliau, Hasyim bin 'Abdu Manaf),     oleh karenanya kita sedikit akan menyinggung tentang kondisi Hasyim ini dan     orang-orang setelahnya dari keluarga besar beliau Shallallahu 'alaihi     wasallam :  
 
 Hasyim : Sebagaimana telah kita singgung bahwa     Hasyim adalah orang yang bertindak sebagai penanggung jawab atas penanganan     air (as-Siqayah) dan penyediaan makanan (ar-Rifadah) terhadap Baitullah     dari keluarga Bani 'Abdi Manaf ketika terjadi perundingan antara Banu 'Abdi     Manaf dan Banu 'Abdid Daar dalam masalah pembagian kekuasaan antar kedua     belah fihak. Hasyim dikenal sebagai orang yang hidup dalam kondisi yang     baik dan memiliki martabat tinggi. Dia lah orang pertama yang menyediakan     makanan berbentuk ats-Tsarid (semacam roti yang diremuk dan direndam dalam     kuah) kepada jama'ah-jama'ah haji di Mekkah. Nama aslinya adalah 'Amru,     adapun kenapa dia dinamakan Hasyim, hal ini dikarenakan pekerjaannya yang     meremuk-remukan roti (sesuai dengan arti kata Hasyim dalam Bahasa     Arabnya-red). Dia juga lah orang pertama yang mencanangkan program dua kali     rihlah (bepergian) bagi kaum Quraisy, yaitu: Rihlatus Syitaa' ; bepergian     di musim dingin dan Rihlatush Shaif; bepergian di musim panas (sebagaimana     dalam surat Quraisy ayat 2 -red). Berkenaan dengan hal ini, seorang penyair     bersenandung: 
 
 'Amru lah orang yang menghidangkan at-Tsarid     kepada kaumnya Kaum yang ditimpa kurang hujan dan paceklik Dia lah yang mencanangkan bagi mereka dua rihlah     musiman Rihlah/bepergian di musim dingin dan di musim     panas  
 
 Diantara kisah tentang dirinya; suatu hari dia     pergi ke kota Syam untuk berdagang, namun ketika sampai di Madinah dia     menikah dahulu dengan Salma binti 'Amru, salah seorang puteri 'Uday bin     an-Najjar. Dia tinggal bersama isterinya untuk beberapa waktu kemudian     berangkat ke kota Syam (ketika itu isterinya ditinggalkan bersama     keluarganya dan sedang mengandung bayinya yang kemudian dinamai dengan     'Abdul Muththalib). Hasyim akhirnya meninggal di kota Ghazzah (Ghaza) di     tanah Palestina. Isterinya, Salma melahirkan puteranya, 'Abdul Muththalib     pada tahun 497 M. Ibunya menamakannya dengan Syaibah karena tumbuhnya uban     (yang dalam Bahasa 'Arabnya adalah "syaibah"- red) di kepalanya.     Dia mendidik anaknya di rumah ayahnya (Hasyim-red) di Yatsrib sedangkan     keluarganya yang di Mekkah tidak seorang pun diantara mereka yang tahu     tentang dirinya. Hasyim mempunyai empat orang putera dan lima orang puteri.     Keempat puteranya tersebut adalah: Asad, Abu Shaifi, Nadhlah dan 'Abdul     Muththalib. Sedangkan kelima puterinya adalah: asy-Syifa', Khalidah,     Dha'ifah, Ruqayyah dan Jannah. 
 
 'Abdul Muththalib : dari pembahasan yang telah     lalu kita telah mengetahui bahwa tanggung jawab atas penanganan as-Siqayah     dan ar-Rifadah setelah Hasyim diserahkan kepada saudaranya, al-Muththalib     bin 'Abdu Manaf {Dia adalah orang yang ditokohkan, disegani dan memiliki     kharisma di kalangan kaumnya. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan al-Fayyadh     karena kedermawanannya (sebab al-Fayyadh artinya dalam Bahasa Arab adalah     yang murah hati-red)}. Ketika Syaibah ('Abdul Muththalib) menginjak remaja     sekitar usia 7 tahun atau 8 tahun lebih, al-Muththalib, kakeknya mendengar     berita tentang dirinya lantas dia pergi mencarinya. Ketika bertemu dan     melihatnya, berlinanglah air matanya, lalu direngkuhnya erat-erat dan     dinaikkannya ke atas tunggangannya dan memboncengnya namun cucunya ini     menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya. Kakeknya, al- Muththalib     kemudian meminta persetujuan ibunya agar mengizinkannya membawa serta     cucunya tersebut tetapi dia (ibunya) menolak permintaan tersebut.     Al-Muththalib lantas bertutur: "sesungguhnya dia (cucunya, 'Abdul     Muththalib) akan ikut bersamanya menuju kekuasaan yang diwarisi oleh     ayahnya (Hasyim-red), menuju Tanah Haram Allah". Barulah kemudian     ibunya mengizinkan anaknya dibawa. Abdul Muththalib dibonceng oleh     kakeknya, al-Muththalib dengan menunggangi keledai miliknya. Orang-orang     berteriak: "inilah 'Abdul Muththalib!". Kakeknya, al-Muththalib     memotong teriakan tersebut sembari berkata: "celakalah kalian! Dia ini     adalah anak saudaraku (keponakanku), Hasyim". 'Abdul Muththalib     akhirnya tinggal bersamanya hingga tumbuh dan menginjak dewasa. Al-Muthtthalib     meninggal di Rodman, di tanah Yaman dan kekuasaannya kemudian digantikan     oleh cucunya, 'Abdul Muththalib. Dia menggariskan kebijakan terhadap     kaumnya persis seperti nenek-nenek moyang dulu akan tetapi dia berhasil     melampaui mereka; dia mendapatkan kedudukan dan martabat di hati kaumnya     yang belum pernah dicapai oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu; dia     dicintai oleh mereka sehingga kharisma dan wibawanya di hati mereka semakin     besar. 
 
 Ketika al-Muththalib meninggal dunia, Naufal     (paman 'Abdul Muththalib) menyerobot kekuasaan keponakannya tersebut.     Tindakan ini menimbulkan amarahnya yang serta merta meminta pertolongan     para pemuka Quraisy untuk membantunya melawan sang paman. Namun mereka     menolak sembari berkata: "kami tidak akan mencampuri urusanmu dengan     pamanmu itu". Akhirnya dia menyurati paman-pamannya dari pihak ibunya,     Bani an-Najjar dengan rangkaian bait-bait sya'ir yang berisi ungkapan     memohon bantuan mereka. Pamannya, Abu Sa'd bin 'Uday bersama delapan puluh     orang kemudian berangkat menuju ke arahnya dengan menunggang kuda. Sesampai     mereka di al-Abthah, sebuah tempat di Mekkah dia disambut oleh 'Abdul     Muththalib yang langsung bertutur kepadanya: "silahkan mampir ke     rumah, wahai paman!". Pamannya menjawab: "demi Allah, aku tidak     akan ( mampir ke rumahmu-red) hingga bertemu dengan Naufal", lantas     dia mendatanginya dan mencegatnya yang ketika itu sedang duduk-duduk di     dekat al-Hijr (Hijr Isma'il) bersama para sesepuh Quraisy. Abu Sa'd     langsung mencabut pedangnya seraya mengancam: "Demi Pemilik rumah ini (Ka'bah)!     Jika tidak engkau kembalikan kekuasaan anak saudara perempuanku     (keponakanku) maka aku akan memenggalmu dengan pedang ini". Naufal     berkata: "sudah aku kembalikan kepadanya!". Ucapannya ini     disaksikan oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah dia mampir     ke rumah 'Abdul Muththalib dan tinggal di sana selama tiga hari. Selama     disana, dia melakukan umrah (ala kaum Quraisy dahulu sebelum kedatangan     Islam-red) kemudian pulang ke Madinah. Menyikapi kejadian yang dialaminya     tersebut, Naufal akhirnya bersekutu dengan Bani 'Abdi Syams bin 'Abdi Manaf     untuk menandingi Bani Hasyim. Suku Khuza'ah tergerak juga untuk menolong     'Abdul Muththalib setelah melihat pertolongan yang diberikan oleh Bani     an-Najjar terhadapnya. Mereka berkata (kepada Bani an-Najjar):"kami juga     melahirkannya ('Abdul Muththalib juga merupakan anak/turunan kami-red)     seperti kalian, namun kami justru lebih berhak untuk menolongnya". Hal     ini lantaran ibu dari 'Abdi Manaf adalah keturunan mereka. Mereka memasuki     Darun Nadwah dan bersekutu dengan Bani Hasyim untuk melawan Bani 'Abdi     Syams dan Naufal. Persekutuan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan     Mekkah sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.  
 
 Ada dua momentum besar yang terjadi atas     Baitullah di masa 'Abdul Muththalib: Pertama, Penggalian sumur Zam-zam.     Kedua, datangnya pasukan gajah. 
 
 Ringkasan momentum pertama : 'Abdul Muththalib     bermimpi dirinya diperintahkan untuk menggali Zam-zam dan dijelaskan     kepadanya dimana letaknya, lantas dia melakukan penggalian (sesuai dengan     petunjuk mimpi tersebut-red) dan menemukan didalamnya benda-benda terpendam     yang dulu dikubur oleh suku Jurhum ketika mereka akan keluar meninggalkan     Mekkah; yaitu berupa pedang-pedang, tameng-tameng besi (baju besi) dan dua     pangkal pelana yang terbuat dari emas. Pedang-pedang kemudian dia jadikan     sebagai pintu Ka'bah, sedangkan dua pangkal pelana tersebut dia jadikan     sebagai lempengan-lempengan emas dan ditempelkan di pintu tersebut. Dia     juga menyediakan tempat untuk pelayanan air Zam-zam bagi para jama'ah haji. 
 
 Ketika sumur Zam-zam berhasil digali,     orang-orang Quraisy mempermasalahkannya. Mereka berkata kepadanya:     "ikutsertakan kami!". Dia menjawab: "aku tidak akan     melakukannya sebab ini merupakan proyek yang sudah aku tangani secara     khusus". Mereka tidak tinggal diam begitu saja tetapi menyeretnya ke     pengadilan seorang dukun wanita dari Bani Sa'd, di pinggiran kota Syam     namun dalam perjalanan mereka, bekal air pun habis lalu Allah turunkan     hujan ke atas 'Abdul Muththalib tetapi tidak setetespun tercurah ke atas     mereka. Mereka akhirnya tahu bahwa urusan Zam-zam telah dikhususkan kepada     'Abdul Muththalib dan pulang ke tempat mereka masing-masing. Saat itulah     'Abdul Muththalib bernazar bahwa jika dikaruniai sepuluh orang anak dan     mereka sudah mencapai usia baligh, meskipun mereka mencegahnya guna     mengurungkan niatnya untuk menyembelih salah seorang dari mereka disisi     Ka'bah maka dia tetap akan melakukannya. 
 
 Ringkasan momentum kedua: Abrahah ash-Shabbah     al-Habasyi, penguasa bawahan an-Najasyi di negeri Yaman ketika melihat orang-orang     Arab melakukan haji ke Ka'bah, dia juga membangun gereja yang amat megah di     kota Shan'a'. Tujuannya adalah agar orang-orang Arab mengalihkan haji     mereka ke sana. Niat jelek ini didengar oleh seorang yang berasal dari Bani     Kinanah. Dia secara diam-diam mengendap-endap menerobos malam memasuki     gereja tersebut, lalu dia lumuri kiblat mereka tersebut dengan kotoran.     Tatkala mengetahui perbuatan ini meledaklah amarah Abrahah dan sertamerta     dia mengerahkan pasukan besar yang kuat (berkekuatan 60.000 personil) ke     Ka'bah untuk meluluhlantakkannya. Dia juga memilih gajah paling besar     sebagai tunggangannya. Dalam pasukan tersebut terdapat sembilan ekor gajah     atau tiga ekor. Dia meneruskan perjalanannya hingga sampai di al-Maghmas     dan disini dia memobilisasi pasukannya, menyiagakan gajahnya dan     bersiap-siap melakukan invasi ke kota Mekkah. Akan tetapi baru saja mereka     sampai di Wadi Mahsar (Lembah Mahsar) yang terletak antara Muzdalifah dan     Mina, tiba-tiba gajahnya berhenti dan duduk. Gajah ini tidak mau lagi     berjalan menuju Ka'bah dan ogah dikendalikan oleh mereka baik ke arah     selatan, utara atau timur; setiap mereka perintahkan ke arah-arah tersebut,     gajah berdiri dan berlari dan bila mereka arahkan ke Ka'bah, gajah tersebut     duduk. Manakala mereka mengalami kondisi semacam itu, Allah mengirimkan ke     atas mereka burung-burung yang berbondong-bondong yang melempari mereka     dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Dia Ta'ala menjadikan     mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). Burung tersebut semisal besi     yang berkeluk/pengait (khathaathiif) dan kacang adas (balsan). Setiap     burung melempar tiga buah batu; sebuah diparuhnya, dan dua buah di kedua     kakinya berbentuk seperti kerikil. Bila lemparan batu tersebut mengenai     seseorang maka anggota-anggota badan orang tersebut akan menjadi     berkeping-keping dan hancur. Tidak semua mereka terkena lemparan tersebut;     ada yang dapat keluar melarikan diri tetapi mereka saling berdesakan satu     sama lainnya sehingga banyak yang jatuh di jalan-jalan lantas mereka binasa     terkapar di setiap tempat. Sedangkan Abrahah sendiri, Allah kirimkan     kepadanya satu penyakit yang membuat sendi jari-jemari tangannya tanggal     dan berjatuhan satu per-satu. Sebelum dia mencapai Shan'a' maka dia tak     ubahnya seperti seekor anak burung yang dadanya terbelah dari hatinya,     untuk kemudian dia roboh tak bernyawa. 
 
 Adapun kondisi orang-orang Quraisy; mereka     berpencar-pencar ke lereng-lereng gunung dan bertahan di bukit-bukitnya     karena merasa ngeri dan takut kejadian tragis yang menimpa pasukan Abrahah     tersebut akan menimpa diri mereka juga. Manakala pasukan tersebut telah     mengalami kejadian tragis dan mematikan tersebut, mereka turun gunung dan     kembali ke rumah masing-masing dengan rasa penuh aman. 
 
 Peristiwa tragis tersebut terjadi pada bulan     Muharram, lima puluh hari atau lima puluh lima hari (menurut pendapat     mayoritas) sebelum kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam; yaitu     bertepatan dengan penghujung bulan Pebruari atau permulaan bulan Maret pada     tahun 571 M. Peristiwa tersebut ibarat prolog yang disajikan oleh Allah     untuk NabiNya dan BaitNya. Sebab ketika kita memandang ke Baitul Maqdis,     kita melihat bahwa kiblat ini (dulu, sebelum Ka'bah-red) telah dikuasai     oleh musuh-musuh Allah dari kalangan kaum Musyrikin dimana ketika itu     penduduknya beragama Islam, yakni sebagaimana yang terjadi dengan tindakan     Bukhtanashshar terhadapnya pada tahun 587 SM dan oleh bangsa Romawi pada     tahun 70 M. Sebaliknya Ka'bah tidak pernah dikuasai oleh orang-orang     Nasrani (mereka ketika itu disebut juga sebagai orang-orang Islam/Muslimun)     padahal penduduknya adalah kaum Musyrikin. 
 
 Peristiwa tragis tersebut juga terjadi dalam     kondisi yang dapat mengekspos beritanya ke seluruh penjuru dunia yang     ketika itu sudah maju; Diantaranya, Negeri Habasyah yang ketika itu     memiliki hubungan yang erat dengan orang-orang Romawi . Di sisi lain, orang-orang     Farsi masih mengintai mereka dan menunggu apa yang akan terjadi terhadap     orang-orang Romawi dan sekutu-sekutunya. Maka, ketika mendengar peristiwa     tragis tersebut, orang-orang Farsi segera berangkat menuju Yaman. Kedua     negeri inilah (Farsi dan Romawi) yang saat itu merupakan negara maju dan     berperadaban (superpower). Peristiwa tersebut juga mengundang perhatian     dunia dan memberikan isyarat kepada mereka akan kemuliaan Baitullah.     Baitullah inilah yang dipilih olehNya untuk dijadikan sebagai tempat suci.     Jadi, bila ada seseorang yang berasal dari tempat ini mengaku sebagai     pengemban risalah kenabian maka hal inilah sesungguhnya yang merupakan kata     kunci dari terjadinya peristiwa tersebut dan penjelasan atas hikmah     terselubung di balik pertolongan Allah terhadap Ahlul Iman (kaum Mukminin)     melawan kaum Musyrikin; suatu cara yang melebihi kejadian Alam yang     bernuasa kausalitas ini.  
 
 'Abdul Muththalib mempunyai sepuluh orang     putera, yaitu: al-Harits, az-Zubair, Abu Thalib, 'Abdullah, Hamzah, Abu     Lahab, al-Ghaidaaq, al-Muqawwim, Shaffar, al-'Abbas. Ada riwayat yang     menyebutkan bahwa mereka berjumlah sebelas orang, yaitu ditambah dengan     seorang putera lagi yang bernama Qutsam. Ada lagi versi riwayat yang     menyebutkan bahwa mereka berjumlah tiga belas orang ditambah (dari     nama-nama yang sudah ada pada dua versi diatas) dengan dua orang putera     lagi yang bernama 'Abdul Ka'bah dan Hajla. Namun ada riwayat yang     menyebutkan bahwa 'Abdul Ka'bah ini tak lain adalah al-Muqawwim diatas     sedangkan Hajla adalah al-Ghaidaaq dan tidak ada diantara putera-puteranya     tersebut yang bernama Qutsam. Adapun puteri-puterinya berjumlah enam orang,     yaitu: Ummul Hakim (yakni al-Baidha'/si putih), Barrah, 'Atikah, Arwa dan     Umaimah. 
 
 'Abdullah, ayahanda Rasulullah Shallallahu     'alaihi wasallam : Ibu 'Abdullah bernama Fathimah binti 'Amru bin 'Aaiz bin     'Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah. 'Abdullah ini adalah anak yang     paling tampan diantara putera-putera 'Abdul Muththalib, yang paling bersih     jiwanya dan paling disayanginya. Dia lah yang sebenarnya calon kurban yang     dipersembahkan oleh 'Abdul Muththalib sesuai nazarnya diatas. Ceritanya;     ketika 'Abdul Muththalib sudah komplit mendapatkan sepuluh orang putera dan     mengetahui bahwa mereka mencegahnya untuk melakukan niatnya, dia kemudian memberitahu     mereka perihal nazar tersebut sehingga mereka pun menaatinya. Dia menulis     nama-nama mereka di anak panah yang akan diundikan diantara mereka dan     dipersembahkan kepada patung Hubal, kemudian undian tersebut dimulai maka     setelah itu keluarlah nama 'Abdullah. 'Abdul Muththalib membimbingnya     sembari membawa pedang dan mengarahkan wajahnya ke Ka'bah untuk segera     disembelih, namun orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya     (dari fihak ibu) dari Bani Makhzum dan saudaranya, Abu Thalib. Menghadapi     sikap tersebut, 'Abdul Muththalib berkata: "lantas, apa yang harus     kuperbuat dengan nazarku?". Mereka menyarankannya agar dia     menghadirkan dukun/peramal wanita dan meminta petunjuknya. Dia kemudian     datang kepadanya dan meminta petunjuknya. Dukun/peramal wanita ini     memerintahkannya untuk menjadikan anak panah undian tersebut diputar antara     nama 'Abdullah dan sepuluh ekor onta; jika yang keluar nama Abdullah maka     dia ('Abdul Muththalib) harus menambah tebusan sepuluh ekor onta lagi,     begitu seterusnya hingga Tuhannya ridha. Dan jika yang keluar atas nama     onta maka dia harus menyembelihnya sebagai kurban. 'Abdul Muththalib pun     kemudian pulang ke rumahnya dan melakukan undian (sebagaimana yang     diperintahkan dukun wanita tersebut) antara nama 'Abdullah dan sepuluh ekor     onta, lalu keluarlah yang nama 'Abdullah; bila yang terjadi seperti ini     maka dia terus menambah tebusan atasnya sepuluh ekor onta begitu     seterusnya, setiap diundi maka yang keluar adalah nama 'Abdullah dan diapun     terus menambahnya dengan sepuluh ekor onta hingga onta tersebut sudah     berjumlah seratus ekor berulah undian tersebut jatuh kepada onta-onta     tersebut, maka dia kemudian menyembelihnya dan meninggalkannya begitu saja     tanpa ada yang menyentuhnya baik oleh tangan manusia maupun binatang buas.     Dulu diyat (denda) di kalangan orang Quraisy dan Bangsa 'Arab secara     keseluruhan dihargai dengan sepuluh ekor onta, namun sejak peristiwa itu     maka dirubah menjadi seratus ekor onta yang kemudian dilegitimasi oleh     Islam. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya     beliau bersabda: "Aku lah anak (cucu) kedua orang yang dipersembahkan     sebagai sembelihan/kurban". Yakni, Nabi Isma'il 'alaihissalam dan ayah     beliau 'Abdullah (Ibnu Hisyam;I/151-155, Tarikh ath-Thabari; II/240-243).  
 
 'Abdul Muththalib memilihkan buat puteranya,     'Abdullah seorang gadis bernama Aminah binti Wahab bin 'Abdu Manaf bin     Zahrah bin Kilab. Aminah ketika itu termasuk wanita idola di kalangan     orang-orang Quraisy baik dari sisi nasab ataupun martabatnya. Ayahnya adalah     pemuka suku Bani Zahrah secara nasab dan kedudukannya. Akhirnya 'Abdullah     dikawinkan dengan Aminah dan tinggal bersamanya di Mekkah. Tak berapa lama     kemudian, dia dikirim oleh ayahnya, 'Abdul Muththalib ke Madinah. Ketika     sampai disana dia sedang dalam kondisi sakit, sehingga kemudian meninggal     disana dan dikuburkan di Daar an-Naabighah al-Ja'di. Ketika (meninggal) itu     dia baru berumur 25 tahun dan tahun meninggalnya tersebut adalah sebelum     kelahiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana pendapat     mayoritas sejarawan. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa dia meninggal dua     bulan atau lebih setelah kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.     Ketika berita kematiannya sampai ke Mekkah, Aminah, sang isteri meratapi     kepergian sang suami dengan untaian ar-Ratsaa' (bait syair yang berisi     ungkapan kepedihan hati atas kematian seseorang dengan menyebut     kebaikan-kebaikannya-red) yang paling indah dan menyentuh:  
 
 Seorang putera Hasyim tiba (dengan kebaikan) di     tanah lapang berkerikil Keluar menghampiri liang lahad tanpa     meninggalkan kata yang jelas Rupanya kematian mengundangnya lantas     disambutnya Tak pernah ia (maut) mendapatkan orang semisal     putera Hasyim Di saat mereka tengah memikul keranda     kematiannya Kerabat-kerabatnya saling berdesakan untuk melayat/mengantarnya Bila lah pemandangan berlebihan itu diperlakukan     maut untuknya Sungguh itu pantas karena dia adalah si banyak     memberi dan penuh kasih. 
 
 Keluruhan harta yang ditinggalkan oleh 'Abdullah     adalah: lima ekor onta, sekumpulan kambing, seorang budak wanita dari     Habasyah bernama Barakah dan Kun-yah (nama panggilannya) adalah Ummu Aiman     yang merupakan pengasuh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. 
 
  |         |      
 
 MILAD DAN EMPAT PULUH TAHUN SEBELUM KENABIAN  
 
 Milad Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam  
 
 Sayyidul Mursalin, Rasulullah Shallallahu     'alaihi wasallam di lahirkan di tengah kabilah besar, Bani Hasyim di Mekkah     pada pagi hari Senin, tanggal 9 Rabi'ul Awwal, tahun pertama tragedi     pasukan gajah atau empat puluh tahun dari berlalunya kekuasaan kisra Anusyirwan.     Juga bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M sesuai dengan     analisis seorang 'Alim Besar, Muhammad Sulaiman al-Manshur Furi dan     Astrolog (Ahli Ilmu Falak), Mahmud Basya. 
 
 Ibnu Sa'ad meriwayatkan bahwa ibunda Rasulullah     Shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "ketika aku melahirkannya, dari     farajku keluar cahaya yang menerangi istana-istana negeri Syam". Imam     Ahmad, ad-Darimi dan selain keduanya juga meriwayatkan versi yang hampir     mirip dengan riwayat tersebut. 
 
 Ada riwayat yang menyebutkan telah terjadi     irhashaat (tanda-tanda awal yang menunjukkan kenabian) ketika milad beliau     Shallallahu 'alaihi wasallam, diantaranya; runtuhnya empat belas balkon     istana kekaisaran, padamnya api yang sekian lama disembah oleh kaum Majusi,     hancurnya gereja-gereja disekitar danau Saawah setelah airnya menyusut.     Riwayat tersebut dilansir oleh ath-Thabari, al-Baihaqi dan selain keduanya     namun tidak memiliki sanad yang valid. 
 
 Setelah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam     dilahirkan, beliau dikirim oleh ibundanya ke rumah kakeknya, 'Abdul     Muththalib dan menginformasikan kepadanya berita gembira perihal cucunya     tersebut. Kakeknya langsung datang dengan sukacita dan memboyong cucunya     tersebut masuk ke Ka'bah; berdoa kepada Allah dan bersyukur kepadaNya.     Kemudian memberinya nama Muhammad padahal nama seperti ini tidak populer     ketika itu di kalangan bangsa Arab, dan pada tujuh hari kelahirannya dia     mengkhitan beliau sebagaimana tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab. 
 
 Wanita pertama yang menyusui beliau Shallallahu     'alaihi wasallam setelah ibundanya adalah Tsuaibah. Wanita ini merupakan     budak wanita Abu Lahab yang saat itu juga tengah menyusui bayinya yang     bernama Masruh . Sebelumnya, dia juga telah menyusui Hamzah bin 'Abdulul     Muththalib, kemudian menyusui Abu Salamah bin 'Abdul Asad al-Makhzumi     setelah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam. 
 
 Hidup di tengah kabilah Bani Sa'ad 
 
 Tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab     yang sudah berperadaban adalah mencari para wanita yang dapat menyusui     bayi-bayi mereka sebagai tindakan prefentif terhadap serangan     penyakit-penyakit yang biasa tersebar di alam peradaban. Hal itu mereka     lakukan agar tubuh bayi-bayi mereka tersebut kuat, otot-otot mereka kekar     serta menjaga agar lisan Arab mereka tetap orisinil sebagaimana lisan ibu     mereka dan tidak terkontaminasi. Oleh karena itu, 'Abdul Muththalib mencari     wanita-wanita yang dapat menyusui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam;     dia memilih seorang wanita dari kabilah Bani Sa'ad bin Bakr, yaitu Halimah     binti Abu Dzuaib sebagai wanita penyusu beliau. Suami dari wanita ini     bernama al-Harits bin 'Abdul 'Uzza yang berjuluk Abu Kabsyah, dari kabilah     yang sama. 
 
 Dengan begitu, di sana Rasulullah Shallallahu     'alaihi wasallam memiliki banyak saudara sesusuan, yaitu; 'Abdullah bin al-Harits,     Anisah binti al-Harits, Hudzafah atau Judzamah binti al-Harits (dialah yang     berjuluk asy-Syaima' yang kemudian lebih populer menjadi namanya dan yang     juga merawat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam) serta Abu Sufyan bin     al-Harits bin 'Abdul Muththalib, saudara sepupu Rasulullah. 
 
 Paman beliau Shallallahu 'alaihi wasallam,     Hamzah bin 'Abdul Muththalib juga disusui di tengah kabilah Bani Sa'ad bin     Bakr. Ibunya juga menyusui beliau selama sehari, yaitu ketika beliau berada     disisi ibu susuannya, Halimah. Dengan demikian Hamzah merupakan saudara     sesusuan Rasulullah dari dua sisi: Tsuaibah dan (Halimah) as-Sa'diyyah. 
 
 Halimah merasakan adanya keberkahan serta     kisah-kisah yang aneh lainnya sejak kehadiran Rasulullah Shallallahu     'alaihi wasallam di tengah keluarganya. Untuk itu, baiklah kita biarkan dia     mengisahkannya sendiri secara detail: 
 
 " Ibnu Ishaq berkata: 'Halimah pernah     berkisah: bahwasanya suatu ketika dia pergi keluar bersama suami dan     bayinya yang masih kecil dan menyusui. Dia juga membawa serta beberapa     wanita yang sama-sama tengah mencari bayi-bayi susuan. Ketika itu sedang     dilanda musim paceklik sedangkan kami sudah tidak memiliki apa-apa lagi,     lalu aku pergi dengan mengendarai seekor keledai betina berwarna putih     kehijauan milikku beserta seekor onta yang sudah tua. Demi Allah! Tidak     pernah hujan turun meski setetespun, kami juga tidak bisa melewati malam     dengan tidur pulas lantaran tangis bayi kami yang mengerang kelaparan     sedangkan ASI di payudaraku tidak mencukupi. Begitu juga dengan air susu     onta tua yang bersama kami tersebut sudah tidak berisi. Akan tetapi kami     selalu berharap pertolongan dan jalan keluar. Aku kembali pergi keluar     dengan mengendarai onta betina milikku yang sudah tidak kuat lagi untuk     meneruskan perjalanan sehingga hal ini membuat rombongan kami gelisah     akibat letih dan kondisi kekeringan yang melilit. Akhirnya kami sampai juga     ke Mekkah untuk mencari bayi-bayi susuan akan tetapi tidak seorang wanita     pun diantara kami ketika disodorkan untuk menyusui Rasulullah Shallallahu     'alaihi wasallam melainkan menolaknya setelah mengetahui kondisi beliau     yang yatim. Sebab, tujuan kami (rombongan wanita penyusu bayi), hanya     mengharapkan imbalan materi dari orang tua si bayi sedangkan beliau     Shallallahu 'alaihi wasallam bayi yang yatim, lantas apa gerangan yang     dapat diberikan oleh ibu dan kakeknya buat kami?. Kami semua tidak     menyukainya karena hal itu; akhirnya, semua wanita penyusu yang bersamaku     mendapatkan bayi susuan kecuali aku. Tatkala kami semua sepakat akan     berangkat pulang, aku berkata kepada suamiku: 'demi Allah! Aku tidak sudi     pulang bersama teman-temanku tanpa membawa seorang bayi susuan. Demi Allah!     Aku akan pergi ke rumah bayi yatim tersebut dan akan mengambilnya menjadi     bayi susuanku. Lalu suamiku berkata: 'tidak ada salahnya bila kamu     melakukan hal itu, mudah-mudahan Allah menjadikan kehadirannya di tengah     kita suatu keberkahan. Akhirnya aku pergi ke rumah beliau Shallallahu     'alaihi wasallam dan membawanya serta. Sebenarnya, motivasiku membawanya     serta hanyalah karena belum mendapatkan bayi susuan yang lain selain     beliau. Setelah itu, aku pulang dengan membawanya serta dan mengendarai     tungganganku. Ketika dia kubaringkan di pangkuanku dan menyodorkan puting     susuku ke mulutnya supaya menetek ASI yang ada seberapa dia suka, diapun     meneteknya hingga kenyang, dilanjutkan kemudian oleh saudara sesusuannya     (bayiku) hingga kenyang pula. Kemudian keduanya tertidur dengan pulas     padahal sebelumnya kami tak bisa memicingkan mata untuk tidur karena tangis     bayi kami tersebut. Suamiku mengontrol onta tua milik kami dan ternyata     susunya sudah berisi, lalu dia memerasnya untuk diminum. Aku juga ikut     minum hingga perut kami kenyang, dan malam itu bagi kami adalah malam tidur     yang paling indah yang pernah kami rasakan. Pada pagi harinya, suamiku     berkata kepadaku:' demi Allah! Tahukah kamu wahai Halimah?; kamu telah     mengambil manusia yang diberkahi'. Aku berkata: 'demi Allah! Aku berharap     demikian'. Kemudian kami pergi keluar lagi dan aku menunggangi onta     betinaku dan membawa serta beliau Shallallahu 'alaihi wasallam diatasnya.     Demi Allah! Onta betinaku tersebut sanggup menempuh perjalanan yang tidak     sanggup dilakukan oleh onta-onta mereka, sehingga teman-teman wanitaku     dengan penuh keheranan berkata kepadaku:'wahai putri Abu Zuaib! Celaka!     Kasihanilah kami bukankah onta ini yang dulu pernah bersamamu?, aku     menjawab:'demi Allah! Inilah onta yang dulu itu!'. Mereka berkata:'demi     Allah! Sesungguhnya onta ini memiliki keistimewaan'. Kemudian kami     mendatangi tempat tinggal kami di perkampungan kabilah Bani Sa'ad.     Sepanjang pengetahuanku tidak ada bumi Allah yang lebih tandus darinya;     ketika kami datang, kambingku tampak dalam keadaan kenyang dan banyak air     susunya sehingga kami dapat memerasnya dan meminumnya padahal orang-orang     tidak mendapatkan setetes air susupun walaupun dari kambing yang gemuk.     Kejadian ini membuat orang-orang yang hadir dari kaumku berkata kepada para     pengembala mereka: celakalah kalian! Pergilah membuntuti kemana saja     pengembala kambing putri Abu Zuaib mengembalakannya. Meskipun demikian,     realitasnya, kambing-kambing mereka tetap kelaparan dan tidak mengeluarkan     air susu setetespun sedangkan kambingku selalu kenyang dan banyak air     susunya. Demikianlah, kami selalu mendapatkan tambahan nikmat dan kebaikan     dari Allah hingga tak terasa dua tahun pun berlalu dan tiba waktuku untuk     menyapihnya. Dia tumbuh besar namun tidak seperti kebanyakan anak-anak     sebayanya; sebab belum mencapai usia dua tahun dia sudah tumbuh dengan     postur yang bongsor. Akhirnya, kami mengunjungi ibunya dan dalam hati yang     paling dalam kami sangat berharap dia masih berada di tengah keluarga kami     dikarenakan keberkahan yang kami rasakan sejak keberadaannya dan itu semua     kami ceritakan kepada ibundanya. Aku berkata kepadanya: 'kiranya anda sudi     membiarkan anak ini bersamaku lagi hingga dia besar, sebab aku khawatir dia     terserang penyakit menular yang ada di Mekkah'. Kami terus mendesaknya     hingga dia bersedia mempercayakannya kepada kami lagi". 
 
 Begitulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi     wasallam akhirnya tetap tinggal di lingkungan kabilah Bani Sa'ad, hingga     terjadinya peristiwa dibelahnya dada beliau ketika berusia empat atau lima     tahun. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah Shallallahu     'alaihi wasallam didatangi oleh Jibril 'alaihissalam saat beliau tengah     bermain bersama teman-teman sebayanya. Jibril memegang beliau sehingga     membuatnya pingsan lalu membelah bagian dari hatinya, kemudian     mengeluarkannya segumpal darah bersamanya. Jibril berkata: 'ini adalah     bagian syaithan yang ada pada dirimu! Kemudian meletakkannya di dalam     baskom yang terbuat dari emas dan mencucinya dengan air zam-zam, merapikan     dan mengembalikannya ke tempat semula. Teman-teman sebayanya tersebut     berlarian mencari ibu susuannya seraya berkata:'sesungguhnya Muhammad sudah     dibunuh!'. Mereka akhirnya beramai-ramai menghampirinya dan menemukannya     dalam kondisi rona muka yang sudah berubah. Anas berkata: 'sungguh aku     telah melihat bekas jahitan itu di dada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam     '. 
 
 Kembali ke pangkuan ibunda nan amat mengasihinya 
 
 Setelah peristiwa tersebut, Halimah merasa cemas     atas diri beliau sehingga dikembalikan lagi kepada ibundanya. Beliau hidup     bersama ibundanya sampai berusia enam tahun. 
 
 Aminah memandang perlu untuk menziarahi kuburan     suaminya di Yatsrib sebagai bentuk kesetiaannya terhadapnya. Akhirnya, dia     keluar dari Mekkah dengan menempuh perjalanan yang mencapai 500 km bersama     anaknya yang masih yatim, Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam,     pembantunya, Ummu Aiman dan mertuanya, 'Abdul Muththalib. Setelah menginap     selama sebulan disana, dia kembali pulang ke Mekkah akan tetapi di tengah     perjalanan dia diserang sakit keras sehingga akhirnya meninggal dunia di     al-Abwa' , suatu tempat yang terletak antara Mekkah dan Madinah. 
 
 Di pangkuan sang kakek nan amat menyayanginya  
 
 Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dibawa     kembali ke Mekkah oleh kakeknya. Perasaan kasih terhadap sang cucu yang     sudah yatim piatu semakin bertambah di sanubarinya, dan hal ini ditambah     lagi dengan adanya musibah baru yang seakan menimpali luka lama yang belum     sembuh betul. Maka ibalah ia terhadapnya; sebuah perasaan yang tak pernah     ia tumpahkan terhadap seorangpun dari anak-anaknya. Dia tidak lagi     membiarkan cucunya tersebut hanyut dengan kesendirian yang harus dialaminya     bahkan dia lebih mengedepankan kepentingannya daripada kepentingan     anak-anaknya. Ibnu Hisyam berkata: " Biasanya, 'Abdul Muththalib     menghamparkan permadaninya di naungan Ka'bah, lalu anak-anaknya duduk di     sekitar permadani tersebut hingga dia keluar, dan ketika itu, tak     seorangpun dari anak-anaknya tersebut yang berani duduk-duduk disitu untuk     menghormati kedudukannya. Namun tidak demikian halnya dengan Rasulullah     Shallallahu 'alaihi wasallam ; tatkala beliau masih berusia di bawah dua     dengan postur tubuh yang bongsor datang dan langsung duduk-duduk diatas     permadani tersebut, paman-pamannya sertamerta mencegahnya agar tidak     mendekati tempat itu. Melihat tindakan anak-anaknya itu, dia berkata kepada     mereka: 'biarkan saja anakku ini melakukan apa saja! Demi Allah! Sesungguhnya     dia nanti akan menjadi orang yang besar!'. Kemudian dia duduk-duduk bersama     beliau di permadani itu, mengelus-elus punggungnya dengan tangan kasihnya.     Dia merasa senang dengan apa yang dilakukan oleh cucunya tersebut".  
 
 Kakek beliau Shallallahu 'alaihi wasallam     meninggal di Mekkah saat beliau berusia delapan tahun dua bulan sepuluh     hari. Sebelum meninggal, dia memandang bahwa selayaknya dia menyerahkan     tanggung jawab terhadap cucunya tersebut kepada paman beliau Shallallahu     'alaihi wasallam, Abu Thalib ; saudara kandung ayahanda beliau. 
 
 Di pangkuan sang paman nan penuh perhatian     terhadapnya 
 
 Abu Thalib menjalankan kewajiban yang diembankan     kepadanya untuk mengasuh keponakannya dengan penuh tanggung jawab     sepertihalnya dia mengasuh anak-anaknya sendiri. Dia bahkan mendahulukan     kepentingannya diatas kepentingan mereka. Dia juga, mengistimewakannya     dengan penghargaan yang begitu berlebihan. Perlakuan tersebut terus     berlanjut hingga beliau Shallallahu 'alaihi wasallam berusia diatas empat     puluh tahun; pamannya masih tetap memuliakan beliau, memberikan pengamanan     terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun mengobar permusuhan dalam rangka     membelanya. Dan sekilas tentang hal itu, akan kami paparkan nanti pada     bagian pembahasan tersendiri.  
 
 Meminta turunnya hujan melalui "wajah"     beliau 
 
 Ibnu 'Asaakir mengeluarkan hadits dari Jalhamah     bin 'Arfathah, dia berkata: " ketika aku datang ke Mekkah, mereka     sedang mengalami musim paceklik (tidak turunnya hujan), lantas orang-orang     Quraisy berseru:'wahai Abu Thalib! Lembah telah mengering airnya dan     kemiskinan merajalela, untuk itu mari kita meminta turun hujan!'. Kemudian     Abu Thalib keluar dengan membawa seorang anak yang laksana matahari yang     diselimuti oleh awan tebal pertanda hujan lebat akan turun, dan disekitarnya     terdapat sumber mata air sumur; Abu Thalib memegang anak tersebut,     menempelkan punggungnya ke Ka'bah, serta menggandengnya dengan     jari-jemarinya. Ketika itu tidak ada sama sekali gumpalan awan, maka     tiba-tiba awan menggumpal kemudian turunlah hujan dengan lebatnya sehingga     lembah jebol dan lahan-lahan tanah menjadi subur. Mengenai peristiwa ini,     Abu Thalib menyinggungnya dalam rangkaian baitnya : 
 
 "…putih, seorang penolong anak-anak yatim     meminta turunnya hujan  melalui 'wajah'-nya demi menjaga kehormatan para     janda" 
 
 Bersama sang Rahib, Buhaira 
 
 Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam     berusia dua belas tahun - ada riwayat yang menyatakan; dua belas tahun dua     bulan sepuluh hari - pamannya, Abu Thalib membawanya serta berdagang ke     negeri Syam hingga mereka sampai di suatu tempat bernama Bushra yang masih     termasuk wilayah Syam dan merupakan ibukota Hauraan . Ketika itu juga, Syam     merupakan ibukota negeri-negeri Arab yang masih dibawah kekuasaan Romawi.     Di negeri inilah dikenal seorang Rahib yang bernama Buhaira (ada yang     mengatakan nama aslinya adalah Jirjis). Ketika rombongan tiba, dia langsung     menyongsong mereka padahal sebelumnya tidak pernah dia lakukan hal itu,     kemudian menyampiri mereka, satu-persatu hingga sampai kepada Rasulullah     lalu memegang tangannya sembari berkata: "inilah penghulu para     makhluk, inilah Rasul Rabb alam semesta, dia diutus oleh Allah sebagai     rahmat bagi alam semesta ini". Abu Thalib dan pemuka kaum Quraisy     bertanya kepadanya: "bagaimana anda tahu hal itu?". Dia menjawab:     "sesungguhnya ketika kalian menanjak bebukitan, tidak satupun dari     bebatuan ataupun pohon melainkan bersujud terhadapnya, dan kedua makhluk     itu tidak akan bersujud kecuali terhadap Nabi. Sesungguhnya aku dapat     mengetahuinya melalui cincin kenabian yang terletak pada bagian bawah     tulang rawan pundaknya yang bentuknya seperti apel. Sesungguhnya kami     mengetahui beritanya dari kitab suci kami. Kemudian barulah sang Rahib     mempersilahkan mereka dan menjamu mereka secara istimewa. Lalu dia meminta     kepada Abu Thalib agar memulangkan keponkannya tersebut ke Mekkah dan tidak     lagi membawanya serta ke Syam sebab khawatir bila tercium oleh orang-orang     Romawi dan Yahudi. Akhirnya, pamannya mengirimnya bersama sebagian     anak-anaknya ke Mekkah. 
 
 Perang "Fijar" 
 
 Perang Fijar yang terjadi antara kabilah Quraisy     dan sekutu mereka dari Bani Kinanah melawan kabilah Qais dan 'Ilan meletus     pada saat beliau berusia dua puluh tahun. Harb bin Umayyah terpilih menjadi     komandan perang membawahi kabilah Quraisy dan Kinanah secara umum karena     faktor usia dan kedudukan. Perang pun meletus, pada permulaan siang hari,     kemenangan berada di pihak kabilah Qais terhadap Kinanah namun pada     pertengahan hari keadaan terbalik; justeru kemenangan berpihak pada     Kinanah. Dinamakan "Perang Fijar" karena dinodainya kesucian     asy-Syahrul Haram pada bulan tersebut. Dalam perang ini, Rasulullah     Shallallahu 'alaihi wasallam ikut serta dan membantu paman-pamannya     menyediakan anak panah buat mereka. 
 
 Hilful Fudhuul 
 
 Peperangan tersebut berdampak pada terjadinya     suatu perjanjian (kebulatan tekad/sumpah setia) yang disebut dengan     "Hilful Fudhuul" pada bulan Dzul Qaidah di bulan haram. Hampir     seluruh kabilah Quraisy berkumpul dan menghadirinya, mereka terdiri dari:     Bani Hasyim, Bani al-Muththalib, Asad bin 'Abdul 'Uzza, Zahrah bin Kilaab     dan Tiim bin Murrah. Mereka berkumpul di kediaman 'Abdullah bin Jud'an     at-Tiimy karena faktor usia dan kedudukannya. Isi dari perjanjian tersebut;     mereka bersepakat dan berjanji untuk tidak membiarkan ada orang yang dizhalimi     di Mekkah baik dia penduduk asli maupun pendatang, dan bila hal itu terjadi     mereka akan bergerak menolongnya hingga dia meraih haknya kembali.     Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menghadiri hilf tersebut. Setelah     beliau dimuliakan oleh Allah dengan ar-Risalah , beliau berkomentar     :"aku telah menghadiri suatu hilf (perjanjian) di kediaman 'Abdullah     bin Jud'an yang lebih aku sukai ketimbang aku memiliki Humrun Na'am (onta     merah yang merupakan harta yang paling termahal dan menjadi kebanggaan bangsa     Arab ketika itu-red). Andai di masa Islam aku diundang untuk menghadirinya,     niscaya aku akan memenuhinya". 
 
 Sebagai catatan, semangat perjanjian ini     bertentangan dengan fanatisme Jahiliyyah yang digembar-gemborkan ketika     itu. Diantara hal yang disebutkan sebagai sebab terjadinya perjanjian     tersebut adalah ada seorang dari kabilah Zabiid datang ke Mekkah membawa     barang dagangannya, kemudian barang tersebut dibeli oleh al-'Ash bin Waa-il     as-Sahmi akan tetapi dia tidak memperlakukannya sesuai dengan haknya. Orang     tersebut meminta bantuan kepada sukutu-sekutu al-'Ash namun mereka     mengacuhkannya. Akhirnya, dia menaiki gunung Abi Qubais dan menyenandungkan     sya'ir-sya'ir yang berisi kezhaliman yang tengah dialaminya seraya     mengeraskan suaranya. Rupanya, az-Zubair bin 'Abdul Muththalib mendengar     hal itu dan bergerak menujunya lalu bertanya-tanya:"kenapa orang ini     diacuhkan?". Tak berapa lama kemudian berkumpullah kabilah-kabilah     yang telah menyetujui perjanjian Hilful Fudhuul diatas, lantas mereka     mendatangi al-'Ash bin Waa-il dan mendesaknya agar mengembalikan hak orang     tersebut, mereka berhasil setelah membuat suatu perjanjian. 
 
 Menjalani kehidupan dengan kerja keras 
 
 Diawal masa mudanya, beliau Shallallahu 'alaihi     wasallam tidak memiliki pekerjaan tertentu, hanya saja riwayat-riwayat yang     ada menyebutkan bahwa beliau bekerja sebagai pengembala kambing dan     mengembalanya di perkampungan kabilah Bani Sa'ad disamping bekerja untuk     Ahli Mekkah dengan upah sebesar Qaraariith (jamak dari kata qiiraath ;     yaitu bagian dari uang dinar, ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa itu     adalah nama suatu tempat di Mekkah akan tetapi pendapat ini tidak     kuat-[lihat; fathul Bari dalam syarahnya terhadap hadits tentang ini]-red).     Ketika berusia dua puluh lima tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam     dengan modal yang diperoleh dari Khadijah radhiallâhu 'anha . Ibnu Ishaq     berkata: "Khadijah binti Khuwailid adalah salah seorang wanita     pedagang yang memiliki banyak harta dan bernasab baik. Dia menyewa banyak     kaum lelaki untuk memperdagangkan hartanya dengan sistem bagi hasil.     Kabilah Quraisy dikenal sebagai pedagang handal, maka tatkala sampai ke     telinganya perihal kejujuran bicara, amanah dan akhlaq Rasulullah     Shallallahu 'alaihi wasallam yang mulia, dia mengutus seseorang untuk     menemuinya dan menawarkannya untuk memperdagangkan harta miliknya ke negeri     Syam. Dia menyerahkan kepada beliau barang dagangan yang istimewa yang     tidak pernah dipercayakannya kepada pedagang-pedagang yang lainnya. Beliau     juga didampingi oleh seorang pembantunya bernama Maisarah. Beliau menerima     tawaran tersebut dan berangkat dengan barang-barang dagangannya bersama     pembantunya tersebut hingga sampai ke Syam. 
 
 Menikah dengan Khadijah  
 
 Ketika beliau pulang ke Mekkah dan Khadijah     melihat betapa amanahnya beliau terhadap harta yang diserahkan kepadanya     begitu juga dengan keberkahan dari hasil perdagangan yang belum pernah     didapatinya sebelum itu, ditambah lagi informasi dari Maisarah, pembantunya     tentang budi pekerti beliau, kejeniusan, kejujuran dan keamanahannya; maka     dia seakan menemukan apa yang dicarinya selama ini (calon pendamping     idaman-red) padahal banyak kaum laki-laki bangsawan dan pemuka yang sangat     berkeinginan untuk menikahinya namun semuanya dia tolak. Akhirnya dia     menceritakan keinginan hatinya kepada teman wanitanya, Nafisah binti     Munayyah yang kemudian bergegas menemui beliau Shallallahu 'alaihi wasallam     dan meminta kesediaan beliau untuk menikahi Khadijah. Beliau pun menyetujuinya     dan menceritakan hal tersebut kepada paman-pamannya. Kemudian mereka     mendatangi paman Khadijah untuk melamar keponakannya. Maka pernikahan pun     berlangsung setelah itu dan 'aqad tersebut dihadiri oleh Bani Hasyim dan     para pemimpin Mudhar. Pernikahan tersebut berlangsung dua bulan setelah     kepulangan beliau dari negeri Syam. Beliau memberikan mahar berupa dua     puluh ekor onta muda sedangkan Khadijah ketika itu sudah berusia empat     puluh tahun. Dia adalah wanita kabilahnya yang paling terhormat nasabnya,     paling banyak hartanya dan paling brilian otaknya. Dialah wanita pertama     yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dimana beliau     tidak menikah lagi dengan wanita selainnya hingga dia wafat. 
 
 Semua putra-putri beliau Shallallahu 'alaihi wasallam     lahir dari rahim Khadijah kecuali putranya, Ibrahim. Putra-putri beliau     tersebut adalah:1). al-Qasim (dimana beliau dijuluki dengannya). 2).     Zainab. 3). Ruqayyah. 4). Ummu Kultsum. 5). Fathimah. 6). 'Abdullah     (julukannya adalah ath-Thayyib dan ath-Thaahir). Semua putra beliau     meninggal ketika masih kecil sedangkan putri-putri beliau semuanya hidup     pada masa Islam, menganutnya dan juga ikut berhijrah namun semuanya     meninggal dunia semasa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup     kecuali Fathimah radhiallâhu 'anha yang meninggal enam bulan setelah beliau     wafat. 
 
 Membangun Ka'bah dan Penyelesaian pertikaian 
 
 Pada saat beliau Shallallahu 'alaihi wasallam     berusia tiga puluh lima tahun, kabilah Quraisy membangun Ka'bah karena     kondisinya sebelum itu hanyalah berupa tumpukan-tumpukan batu-batu     berukuran diatas tinggi badan manusia, yaitu setinggi sembilan hasta di     masa Ismail 'alaihissalam dan tidak memiliki atap. Karenanya, harta     terpendam yang ada didalamnya berhasil dicuri oleh segerombolan para pencuri.     Disamping itu, karena merupakan peninggalan sejarah, ka'bah sering diserang     oleh pasukan berkuda sehingga merapuhkan bangunannya dan merontokkan     sendi-sendinya. Lima tahun sebelum beliau diutus menjadi Rasulullah, Mekkah     dilanda banjir besar dan airnya meluap mencapai pelataran al-Baitul Haram     sehingga mengakibatkan bangunan ka'bah hampir ambruk. Orang-orang Quraisy     terpaksa merenovasi bangunannya untuk menjaga reputasinya dan bersepakat     untuk tidak membangunnya dari sembarang sumber dana selain dari sumber     usaha yang baik; mereka tidak mau memakai dana dari mahar hasil pelacuran,     transaksi ribawi dan hasil pemerasan terhadap orang-orang. Mereka merasa     segan untuk merobohkan bangunannya, sampai akhirnya dimulai oleh al-Walid     bin al-Mughirah al-Makhzumi baru kemudian diikuti oleh yang lainnya setelah     mereka melihat tidak terjadi apa-apa terhadapnya. Mereka terus melakukan     perobohan hingga sampai ke pondasi pertama yang dulu diletakkan oleh     Ibrahim 'alaihissalam . Setelah itu mereka memulai perenovasiannya;     pertama-pertama mereka membagi bagian bangunan ka'bah yang akan dikerjakan     beberapa bagian, yaitu masing-masing kabilah mendapat satu bagian dan     mengumpulkan sejumlah batu sesuai dengan jatah masing-masing lalu     dimulailah perenovasiannya. Sedangkan yang menjadi pimpinan proyeknya     adalah seorang arsitek asal Romawi yang bernama Baqum . Tatkala pengerjaan     tersebut sampai ke al-Hajar al-Aswadi, mereka bertikai tentang siapa yang     paling berhak untuk meletakkannya ke tempat semula dan pertikaian tersebut     berlangsung selama empat atau lima malam bahkan semakin meruncing sehingga     hampir terjadi peperangan yang maha dahsyat di tanah al-Haram . Untunglah,     Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi menengahi dan menawarkan penyelesaian     pertikaian diantara mereka lewat perundingan damai, caranya; siapa yang     paling dahulu memasuki pintu masjid diantara mereka maka dialah yang berhak     meletakkannya. Tawaran ini dapat diterima oleh semua dan atas kehendak     Allah Ta'ala, Rasulullah lah yang menjadi orang pertama yang memasukinya. Tatkala     mereka melihatnya, dia disambut dengan teriakan: "inilah al-Amiin!     Kami rela! Inilah Muhammad! ". Dan ketika beliau mendekati mereka dan     diberitahu tentang hal tersebut, beliau meminta sehelai selendang dan     meletakkan al-Hajar al-Aswad ditengahnya, lalu pemimpin-pemimpin kabilah     yang bertikai tersebut diminta agar masing-masing memegang ujung selendang     dan memerintahkan mereka untuk mengangkatnya tinggi-tinggi hingga manakala     mereka telah menggelindingkannya dan sampai ke tempatnya, beliau Shallallahu     'alaihi wasallam mengambilnya dengan tangannya dan meletakkannya di     tempatnya semula. Ini merupakan solusi yang tepat dan jitu yang diridhai     oleh semua pihak. 
 
 Orang-orang Quraisy kekurangan dana dari sumber     usaha yang baik sehingga mereka harus membuang sebanyak enam hasta dari     bagian utara, yaitu yang dinamakan dengan al-Hijr (Hijr Isma'il-red) dan     al-Hathim, lalu mereka tinggikan pintunya dari permukaan bumi agar tidak     dapat dimasuki kecuali saat menginginkannya. Tatkala pembangunan sudah     mencapai lima belas hasta, mereka memasang atap yang disangga dengan enam     tiang. 
 
 Akhirnya Ka'bah yang baru diselesaikan tersebut     berubah menjadi hampir berbentuk kubus dengan ketinggian 15 m dan panjang     sisi yang berada di bagian al-Hajar al-Aswad dan bagian yang searah     dengannya adalah 10,10 m. al-Hajar al-Aswad sendiri dipasang diatas     ketinggian 1,50 m dari permukaan pelataran thawaf. Adapun panjang sisi yang     berada di bagian pintu dan bagian yang searah dengannya adalah 12 m     sedangkan tinggi pintunya adalah 2 m diatas permukaan bumi. Dan dari     sebelah luarnya dikelilingi oleh tumpukan batu bangunan, tepatnya di bagian     bawahnya, tinggi rata-ratanya adalah 0,25 m dan lebar rata-ratanya 0,30 m     dan bagian ini dikenal dengan nama asy-Syaadzirwan yang merupakan bagian     dari pondasi asal Ka'bah akan tetapi orang-orang Quraisy membuangnya. 
 
 Sirah Nabawiyyah secara global sebelum kenabian  
 
 Sesungguhnya telah terhimpun pada diri Nabi     Shallallahu 'alaihi wasallam sejak dari perkembangannya kelebihan-kelebihan     yang merupakan terbaik yang ada pada lapisan masyarakat kala itu. Beliau     adalah tipe manusia utama dari sisi kejernihan berpikir dan ketajaman     pandangan. Beliau memiliki porsi kecerdikan yang lebih, orisinilitas     pemikiran dan ketepatan sarana dan misi. Beliau biasa diam berlama-lama     untuk renungan yang panjang, pemusatan pikiran serta pencapaian kebenaran.     Dengan akalnya yang brilian dan fithrahnya yang suci beliau memonitor     lembaran kehidupan, urusan manusia dan kondisi banyak kelompok. Karenanya,     beliau acuh terhadap segala bentuk khurafat dan jauh sejauh-sejauhnya dari     hal itu. Beliau berinteraksi dengan manusia secara profesional baik     terhadap dirinya ataupun diri mereka; hal yang baik beliau ikut     berpartisipasi didalamnya dan jika tidak, maka beliau lebih memilih untuk mengasingkan     diri. Beliau tidak pernah minum khamar, tidak pernah makan daging yang     dipersembahkan kepada berhala, tidak pernah menghadiri perayaan untuk     berhala ataupun pesta-pestanya bahkan dari sejak pertumbuhannya sudah     menghindari dari sesembahan yang bathil. Lebih dari itu, beliau malah amat     membencinya dan tidak dapat menahan dirinya bila mendengar sumpah serapah     dengan nama laata dan 'uzza. 
 
 Tidak dapat disangkal lagi bahwa berkat takdir     ilahi lah beliau dapat terjaga dari hal tersebut; manakala hawa nafsu     menggebu-gebu untuk mengintai sebagian kenikmatan duniawi dan rela     mengikuti sebagian tradisi tak terpuji, ketika itulah 'inaayah rabbaniyyah     menghalanginya dari hal-hal tersebut. 
 
 Ibnu al-Atsir meriwayatkan, Rasulullah     Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "aku hanya dua kali pernah     berkeinginan untuk melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Ahli Jahiliyyah     namun semua itu dihalangi oleh Allah sehingga aku tidak melakukannya,     kemudian aku berkeinginan lagi untuk melakukannya hingga Dia Ta'ala memuliakanku     dengan risalahNya. (Pertama kalinya-red);Suatu malam aku pernah berkata     kepada seorang anak yang menggembala kambing bersamaku di puncak Mekkah;     'sudikah kamu mengawasi kambingku sementara aku akan memasuki Mekkah dan     bergadang ria seperti yang dilakukan oleh para pemuda tersebut?'. Dia     menjawab: 'ya, aku sudi! '. Lantas aku pergi keluar hingga saat berada di     sisi rumah yang posisinya paling pertama dari Mekkah, aku mendengar suara     alunan musik (tabuhan rebana), lalu aku bertanya: apa gerangan ini?, mereka     menjawab: 'prosesi pernikahan si fulan dengan si fulanah! '. Kemudian aku     duduk-duduk untuk mendengarkan, namun Allah melarangku untuk     mendengarkannya dan membuatku tertidur. Dan tidurku amat lelap sehingga     hampir tidak terjaga bila saja terik panas matahari tidak menyadarkanku.     Akhirnya, aku kembali menemui temanku yang langsung bertanya kepadaku     tentang apa yang aku alami dan akupun memberitahukannya. Kemudian (kedua     kalinya-red), aku berkata pada suatu malam yang lain seperti itu juga; aku     memasuki Mekkah namun aku mengalami hal yang sama seperti malam sebelumnya;     lantas aku bertekad, untuk tidak akan berkeinginan jelek sedikitpun".  
 
 Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin     'Abdullah, dia berkata: "ketika Ka'bah direnovasi, Nabi Shallallahu     'alaihi wasallam dan 'Abbas bekerja mengangkut bebatuan, lalu 'Abbas     berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam :'tarik kainmu hingga     sebatas lututmu agar kamu tidak terluka oleh bebatuan, namun beliau tetap     tersungkur ke tanah dalam posisi terlentang sedangkan kedua mata beliau     mengarah ke langit, tak berapa lama kemudian beliau baru tersadar, sembari     berkata: 'mana kainku! mana kainku!'. Lalu beliau mengikat kembali kain     tersebut dengan kencang. Dan dalam riwayat yang lain:'maka setelah itu,     tidak pernah lagi 'aurat beliau kelihatan'. 
 
 Di kalangan kaumnya, Nabi Shallallahu 'alaihi     wasalam memiliki keistimewaan dalam tabi'at yang manis, akhlak yang mulia     dan sifat-sifat yang terpuji. Beliau merupakan orang yang paling utama dari     sisi muruu-ah (penjagaan kesucian dan kehormatan diri), paling baik     akhlaknya, paling agung dalam bertetangga, paling besar tingkat     kelemahlembutannya, paling jujur bicaranya, paling lembut wataknya, paling     suci jiwanya, paling dermawan dalam kebajikan, paling baik dalam beramal, paling     menepati janji serta paling amanah sehingga beliau dijuluki oleh mereka     dengan al-Amiin. Hal itu semua lantaran bertemunya kepribadian yang shalih     dan pekerti yang disenangi. Maka pantaslah dikatakan terhadap beliau     sebagaimana yang dikatakan oleh Ummul Mukminin, Khadijah radhiallâhu 'anha     ; "orang yang memikul beban si lemah, memberi nafkah terhadap si papa     (orang yang tidak memiliki/tanpa apa-apa), menjamu tetamu dan selalu     menolong dalam upaya penegakan segala bentuk kebenaran. 
 
  |         |      
 
 PERIODE MEKKAH 
 
 Kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi     wasallam setelah beliau dimuliakan oleh Allah dengan nubuwwah dan risalah     terbagi menjadi dua periode yang masing-masing memiliki keistimewaan     tersendiri secara total, yaitu:  
 
 PERIODE MEKKAH : berlangsung selama lebih kurang     13 tahun  
 
 PERIODE MADINAH : berlangsung selama 10 tahun     penuh  
 
 Dan masing-masing periode mengalami beberapa     tahapan sedangkan masing-masing tahapan memiliki karakteristik tersendiri     yang menonjolkannya dari yang lainnya. Hal itu akan tampak jelas setelah     kita melakukan penelitian secara seksama dan detail terhadap kondisi yang     dilalui oleh dakwah dalam kedua periode tersebut.  
 
 Periode Mekkah dapat dibagi menjadi tiga     tahapan:  
 
 Tahapan Dakwah sirriyyah (sembunyi-sembunyi);     berlangsung selama tiga tahun.  
 
 Tahapan Dakwah secara terang-terangan kepada     penduduk Mekkah; dari permulaan tahun ke-empat kenabian hingga hijrah     Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ke Madinah.  
 
 Tahapan Dakwah di luar Mekkah dan penyebarannya     di kalangan penduduknya; dari penghujung tahun ke-sepuluh kenabian-dimana     juga mencakup Periode Madinah- dan berlangsung hingga akhir hayat     Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.  
 
 Adapun mengenai tahapan-tahapan Periode Madinah     maka rincian pembahasannya akan diketengahkan pada tempatnya nanti.  
 
 DIBAWAH NAUNGAN KENABIAN DAN KERASULAN  
 
 Di Gua Hira'  
 
 Setelah melalui perenungan yang lama dan telah     terjadi jurang pemisah antara pemikiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi     wasallam dan kaumnya, beliau nampak lebih menggandrungi untuk mengasingkan     diri. Hal ini terjadi tatkala beliau menginjak usia 40 tahun; beliau     membawa roti dari gandum dan bekal air ke gua Hira' yang terletak di jabal     an-Nur , yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini merupakan gua yang     indah, panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran zira' al-Hadid     (hasta ukuran besi). Di dalam gua tersebut, beliau berpuasa bulan Ramadhan,     memberi makan orang-orang miskin yang mengunjunginya. Beliau menghabiskan     waktunya dalam beribadah dan berfikir mengenai pemandangan alam di     sekitarnya dan adanya kekuasaan dalam menciptakan dibalik itu. Kaumnya yang     masih menganut 'aqidah yang amburadul dan cara pandang yang rapuh membuatnya     tidak tenang akan tetapi beliau tidak memiliki jalan yang jelas, manhaj     yang terprogram serta cara yang terarah yang membuatnya tenang dan setuju     dengannya.  
 
 Pilihan mengasingkan diri ('uzlah) yang diambil     oleh beliau Shallallahu 'alaihi wasallam ini merupakan bagian dari tadbir     (aturan) Allah terhadapnya. Juga, agar terputusnya hubungannya dengan     kesibukan-kesibukan di muka bumi, gemerlap hidup dan nestapa-nestapa kecil     yang mengusik kehidupan manusia menjadi noktah perubahan dalam     mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya sehingga     siap mengemban amanah kubro, merubah wajah bumi dan meluruskan garis     sejarah. 'Uzlah yang sudah ditadbir oleh Allah ini terjadi tiga tahun     sebelum beliau ditaklif dengan risalah. Beliau mengambil jalan 'uzlah ini     selama sebulan dengan semangat wujud yang bebas dan mentadabburi kehidupan     ghaib yang tersembunyi dibalik wujud tersebut hingga tiba waktunya untuk     berinteraksi dengan kehidupan ghaib ini saat Allah memperkenankannya.  
 
 Jibril 'alaihissalam turun membawa wahyu  
 
 Tatkala usia beliau mencapai genap empat puluh     tahun- yaitu usia yang melambangkan kematangan, dan ada riwayat yang     menyatakan bahwa diusia inilah para Rasul diutus – tanda-tanda nubuwwah     (kenabian) sudah tampak dan mengemuka, diantaranya; adanya sebuah batu di     Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau, terjadinya ar-Ru'ya     –ash-Shadiqah- (mimpi yang benar) yang datang berupa fajar subuh yang     menyingsing. Hal ini berlangsung hingga enam bulan –masa kenabian     berlangsung selama dua puluh tiga tahun- dan ar-Ru'ya ash-Shadiqah ini     merupakan bagian dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika memasuki     tahun ketiga dari pengasingan dirinya ('uzlah) di gua Hira', tepatnya di     bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmatNya dilimpahkan kepada penduduk     bumi dengan memberikan kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan sebagai     Nabi dan menurunkan Jibril kepadanya dengan membawa beberapa ayat     al-Qur'an.  
 
 Setelah melalui pengamatan dan perenungan     terhadap beberapa bukti-bukti dan tanda-tanda akurat, kami dapat menentukan     persisnya pengangkatan tersebut, yaitu hari Senin, tanggal 21 malam bulan     Ramadhan dan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610 M. Tepatnya     usia beliau saat itu empat puluh tahun enam bulan dua belas hari menurut     penanggalan qamariyyah (berdasarkan peredaran bulan; hijriyyah) dan sekitar     tiga puluh sembilan tahun tiga bulan dua puluh hari; ini menurut     penanggalan syamsiyyah (berdasarkan peredaran matahari; masehi).  
 
 Mari kita dengar sendiri 'Aisyah ash-Shiddiqah     radhiallâhu 'anha menuturkan kisahnya kepada kita mengenai peristiwa yang     merupakan noktah permulaan nubuwwah tersebut dan yang mulai membuka     tabir-tabir gelapnya kekufuran dan kesesatan sehingga dapat mengubah alur     kehidupan dan meluruskan garis sejarah; 'Aisyah radhiallâhu 'anha berkata: "Wahyu     yang mula pertama dialami oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam     adalah berupa ar-Ru'ya ash-Shalihah (mimpi yang benar) dalam tidur dan     ar-Ru'ya itu hanya berbentuk fajar shubuh yang menyingsing, kemudian beliau     lebih menyenangi penyendirian dan melakukannya di gua Hira'; beribadah di     dalamnya beberapa malam sebelum dia kembali ke rumah keluarganya. Dalam     melakukan itu, beliau mengambil bekal kemudian kembali ke Khadijah     mengambil perbekalan yang sama hingga datang kebenaran kepadanya; yaitu     saat beliau berada di gua Hira' tersebut, seorang malaikat datang     menghampiri sembari berkata: "bacalah!", lalu aku menjawab (ini     adalah jawaban Rasulullah sendiri yang sepertinya oleh pengarang buku ini     dinukil langsung dari naskah asli haditsnya-red): "aku tidak bisa     membaca!". Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bertutur lagi:     "kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga,     lalu setelah itu melepaskanku sembari berkata: "bacalah!". Aku     tetap menjawab: "aku tidak bisa membaca!". Lalu dia untuk kedua     kalinya, memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga kemudian     melepaskanku seraya berkata lagi: "bacalah!". Lalu aku tetap     menjawab: "aku tidak bisa membaca!". Kemudian dia melakukan hal     yang sama untuk ketiga kalinya, sembari berkata: "bacalah dengan     (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia     dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mu lah Yang Paling Pemurah".     (Q.S. al-'Alaq: 1-3). Rasulullah pulang dengan merekam bacaan tersebut     dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui Khadijah binti Khuwailid     sembari berucap: "selimuti aku! Selimuti aku!". Beliau pun     diselimuti hingga rasa ketakutannya hilang. Beliau bertanya kepada     Khadijah: "apa yang terjadi terhadapku ini?". Lantas beliau menceritakan     pengalamannya, dan berkata: "aku amat khawatir terhadap diriku!".     Khadijah berkata: "sekali-kali tidak akan! Demi Allah! Dia Ta'ala     tidak akan menghinakanmu selamanya! Sungguh engkau adalah penyambung tali     rahim, pemikul beban orang lain yang mendapatkan kesusahan, pemberi orang     yang papa, penjamu tamu serta penolong setiap upaya menegakkan     kebenaran". Kemudian Khadijah berangkat bersama beliau untuk menemui     Waraqah bin Naufal bin Asad bin 'Abdul 'Uzza, anak paman Khadijah     (sepupunya). Dia (anak pamannya tersebut) adalah seorang yang menganut     agama Nashrani pada masa Jahiliyyah, dia bisa menulis dengan tulisan     'Ibrani dan sempat menulis dari injil beberapa tulisan yang mampu ia tulis     –sebanyak apa yang dikehendaki oleh Allah- dengan tulisan 'Ibrani. Dia     juga, seorang yang sudah tua renta dan buta; ketika itu Khadijah berkata     kepadanya: "wahai anak pamanku! Dengarkanlah (cerita) dari anak     saudaramu!". Waraqah berkata: "wahai anak laki-laki saudara     (laki-laki)-ku! Apa yang engkau lihat?". Lalu Rasulullah Shallallahu     'alaihi wasallam membeberkan pengalaman yang sudah dilihatnya. Waraqah     berkata kepadanya: "sesungguhnya inilah sebagaimana ajaran yang     diturunkan kepada Nabi Musa! Andai saja aku masih bugar dan muda ketika itu     nanti! Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu!".     Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya: "benarkah     mereka akan mengusirku?". Dia menjawab: "ya! Tidak seorangpun     yang membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan dimusuhi, dan jika aku     masih hidup pada saat itu niscaya aku akan membantumu dengan sekuat     tenaga". Kemudian tak berapa lama dari itu Waraqah meninggal dunia dan     wahyu pun terputus (mengalami masa stagnan).  
 
 Masa Stagnan Turunnya Wahyu  
 
 Mengenai hal ini, sebagaimana diriwayatkan oleh     Ibnu Sa'ad dari Ibnu Abbas yang intinya menyatakan bahwa masa stagnan itu     berlangsung selama beberapa hari ; pendapat inilah yang rajih/kuat bahkan     setelah melalui penelitian dari segala aspeknya secara terfokus harus     menjadi acuan. Adapun riwayat yang berkembang bahwa hal itu berlangsung     selama tiga tahun atau dua tahun setengah tidaklah shahih sama sekali,     namun disini bukan pada tempatnya untuk membantah hal itu secara detail.  
 
 Pada masa stagnan tersebut, Rasulullah     Shallallahu 'alaihi wasallam dirundung kesedihan yang mendalam yang     diselimuti oleh rasa kebingungan dan panik.  
 
 Dalam kitab "at-Ta'bir" , Imam Bukhari     meriwayatkan naskah sebagai berikut:" menurut berita yang sampai     kepada kami, wahyupun mengalami stagnan hingga membuat Nabi Shallallahu     'alaihi wasallam sedih dan berkali-kali berlarian agar dia dapat     terjerembab ke ujung jurang-jurang gunung, namun setiap beliau mencapai     puncak gunung untuk mencampakkan dirinya, malaikat Jibril menampakkan     wujudnya sembari berkata: "wahai Muhammad! Sesungguhnya engkau sebenar-benar     utusan Allah!". Spirit ini dapat menenangkan dan memantapkan kembali     jiwa beliau. Lalu pulanglah beliau ke rumah, namun manakala masa stagnan     itu masih terus berlanjut beliaupun mengulangi tindakan sebagaimana     sebelumnya; dan ketika dia mencapai puncak gunung, malaikat Jibril     menampakkan wujudnya dan berkata kepadanya seperti sebelumnya (memberi     spirit kepada beliau-red)".  
 
 Jibril 'alaihissalam Turun Kembali Membawa Wahyu      
 
 Ibnu Hajar berkata: "Masa stagnan itu     sungguh telah menghilangkan ketakutan yang telah dialami oleh beliau     Shallallahu 'alaihi wasallam dan membuatnya bersemangat untuk kembali     mengalaminya. Dan ketika hal ini benar terjadi dan beliau mulai menanti-nanti     datangnya wahyu, maka datanglah malaikat Jibril 'alaihissalam untuk kedua     kalinya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin 'Abdullah bahwasanya dia     mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan tentang masa     stagnan itu, beliau bercerita: "Ketika aku tengah berjalan-jalan,     tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal dari langit, lalu aku     mendongakkan pandangan ke arah langit, ternyata malaikat yang dulu     mendatangiku ketika di gua Hira' duduk diatas kursi antara langit dan bumi.     Melihat hal itu aku terkejut hingga aku tersungkur ke bumi. Kemudian aku     mendatangi keluargaku sembari berkata: 'selimutilah aku! Selimutilah aku!'.     Lantas mereka menyelimutiku, baru kemudian Allah menurunkah surat     al-Muddatstsir;yaitu dari firmanNya; yaa ayyuhal muddatstsir….hingga     firmanNya: …fahjur'. (Q.S. al-Muddatstsir: 1-5). Setelah itu wahyu tetap     terjaga dan datang secara teratur". Dalam hadits yang shahih: "     Aku tinggal di dekat gua Hira' selama sebulan; tatkala aku sudah selesai     melakukan itu, maka aku turun gunung. Dan ketika aku sampai ke sebuah     lembah dan aku dipanggil oleh seseorang…". Kemudian (teks hadits     selanjutnya-red) beliau Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan (cerita)     sebagaimana yang telah dikemukakan diatas yang intinya; bahwa ayat tersebut     turun setelah sempurnanya beliau menyertai bulan Ramadhan dan dengan     begitu, artinya masa stagnan antara dua wahyu tersebut berlangsung selama     sepuluh hari sebab beliau Shallallahu 'alaihi wasallam tidak sempat lagi     menyertai Ramadhan berikutnya setelah turunnya wahyu pertama.  
 
 Ayat-ayat tersebut merupakan permulaan dari masa     kerasulan (risalah) beliau Shallallahu 'alaihi wasallam alias datang     setelah masa kenabian (nubuwwah) yang berjarak selama masa stagnan turunnya     wahyu. Ayat-ayat tersebut mengandung dua jenis taklif (pembebanan syara')     beserta penjelasan konsekuensinya.  
 
 Jenis pertama adalah mentaklif beliau     Shallallahu 'alaihi wasallam dengan penyampaian (al-Balagh) dan peringatan     ( at- Tahzir) saja. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:     "bangunlah! Lalu berilah peringatan" (Surat al-Muddatstsir:2);     makna ayat ini adalah agar beliau memperingatkan manusia akan azab Allah     atas mereka jika mereka tidak bertaubat dari dosa, kesesatan, beribadah     kepada selain Allah Yang Maha Tinggi serta berbuat syirik kepadaNya dalam     zat, sifat-sifat, hak-hak dan perbuatan-perbuatan.  
 
 Jenis kedua adalah mentaklif beliau Shallallahu     'alaihi wasallam dengan penerapan perintah-perintah Allah Ta'ala terhadap     zatNya dan komitmen terhadapnya dalam jiwa beliau agar mendapatkan keridhaan     Allah dan menjadi suri teladan yang baik bagi orang yang beriman kepada     Allah. Hal ini tercermin pada ayat-ayat berikutnya. FirmanNya Ta'ala:     "dan Rabb-mu agungkanlah!"(al-Muddatstsir: 3); maknanya adalah     khususkanlah Dia Ta'ala dengan pengagungan dan janganlah menyekutukanNya     dengan seseorangpun. Dan firmanNya: "dan pakaianmu bersihkanlah!"     (al-Muddatstsir:4); makna lahiriyahnya adalah menyucikan/membersihkan     pakaian dan jasad sebab tidaklah layak bagi orang yang mengagungkan Allah     dan menghadapNya dalam kondisi dilumuri oleh najis dan kotor. Jika saja     kesucian/kebersihan ini dituntut untuk dilakukan maka kesucian/kebersihan     diri dari virus-virus syirik, pekerjaan dan akhlak yang hina tentunya lebih     utama untuk dituntut. Dan firmanNya: "dan perbuatan dosa (menyembah     berhala) tinggalkanlah!" (al-Muddatstsir:5) ; maknanya adalah     jauhkanlah dari sebab-sebab turunnya kemurkaan Allah dan azabNya, dan hal     ini direalisasikan melalui komitmen untuk ta'at kepadaNya dan meninggalkan     maksiat. Sedangkan firmanNya: "dan janganlah kamu memberi (dengan     maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak!" (al-Muddatstsir: 6);     yakni janganlah kamu berbuat baik dengan menginginkan upah dari manusia     atasnya atau balasan yang lebih utama di dunia ini.  
 
 Adapun makna ayat terakhir (yang diturunkan saat     itu kepada beliau-red); didalamnya terdapat peringatan akan adanya gangguan     dari kaumnya ketika beliau Shallallahu 'alaihi wasallam berbeda agama     dengan mereka, mengajak mereka kepada Allah semata dan memperingatkan     mereka akan azab dan siksaanNya; yaitu dalam firmanNya: "dan untuk     memenuhi (perintah Rabb-mu) bersabarlah!" (al-Muddatstsir: 7).  
 
 Permulaan ayat-ayat tersebut (surat     al-Muddatstsir) berbicara tentang panggilan langit nan agung- terekam dalam     suara Yang Maha Besar dan Maha Tinggi- yang mengajurkan agar Nabi     Shallallahu 'alaihi wasallam melakukan urusan yang mulia ini dan     memerintahkannya agar mengenyahkan tidur, selimut dan berhangat-hangat guna     menyongsong panggilan jihad, berjuang dan menempuh jalan penuh ranjau; ini     tergambar dalam firmanNya: "Hai orang yang berselimut! bangunlah! Lalu     berilah peringatan" (Surat al-Muddatstsir:2) . Seakan-akan dikatakan     (kepada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam ): sesungguhnya orang yang     hanya hidup untuk kepentingan dirinya saja, bisa saja hidup tenang dan     nyaman sedangkan engkau yang memikul beban yang besar ini; apa gunanya     tidur bagimu? Apa gunanya istirahat/refreshing bagimu? Apa gunanya     permadani yang hangat bagimu? Apa gunanya hidup yang tenang bagimu? Apa     gunanya kesenangan yang membuaikan bagimu? Bangunlah untuk melakukan urusan     maha penting yang menunggumu dan beban berat yang disediakan untukmu!     Bangunlah untuk berjuang, bergiat-giat, bekerja keras dan berletih-letih!     Bangunlah! Karena waktu tidur dan istirahat sudah berlalu, dan tidak akan     kembali lagi sejak hari ini; yang ada hanyalah mata yang meronda secara     kontinyu, jihad yang panjang dan melelahkan. Bangunlah! Persiapkan diri     menyambut urusan ini dan bersiagalah!.  
 
 Sungguh ini merupakan ucapan agung dan     kharismatik yang (seakan) melucuti beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dari     kehangatan permadani di suatu rumah yang nyaman dan pelukan yang suam untuk     kemudian melemparkannya keluar menuju samudera luas yang diselimuti oleh     deru ombak dan hujan yang mengguyur, (dan samudera) dimana terjadi tarik     menarik yang membuat posisinya di hati manusia dan realitas hidup sama     saja.  
 
 Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah     bangun dan tetap bangun setelah perintah itu selama lebih dari dua puluh     tahun; tidak pernah beristirahat dan tidak pula hanya hidup untuk     kepentingan dirinya dan keluarganya. Bangun dan tetap bangun diatas pondasi     dakwah kepada Allah, mengembankan di pundaknya beban yang amat berat namun     beliau tidak menganggapnya berat; beban amanah kubro di muka bumi ini,     beban manusia secara keseluruhan, beban 'aqidah secara keseluruhan, beban     perjuangan dan jihad di medan-medan yang berbeda. Beliau hidup menghadapi     pertempuran yang kontinyu selama lebih dari dua puluh tahun. Selama     tenggang waktu ini, tidak satupun hal yang dapat membuatnya lengah, yaitu     sejak beliau mendengar panggilan langit nan agung yang menyerahkan taklif     yang begitu dahsyat untuk diembannya… semoga Allah membalas jasa beliau     terhadap manusia secara keseluruhan dengan sebaik-baik imbalan.  
 
 Sekilas ulasan tentang urutan kronologi turunnya     wahyu  
 
 Sebelum beranjak ke penjelasan detail mengenai     kehidupan di bawah naungan risalah dan nubuwwah, kami melihat perlu kita     mengetahui urutan kronologi turunnya wahyu yang merupakan sumber risalah     dan tinta dakwah. Ibnu al-Qayyim berkata, ketika menyinggung urutan     kronologi turunnya wahyu tersebut:  
 
 Pertama, berupa ar-Ru'ya ash-Shaadiqah (mimpi     yang benar); ini merupakan permulaan turunnya wahyu kepada beliau     Shallallahu 'alaihi wasallam.  
 
 Kedua, berupa sesuatu yang ditimbulkan oleh     malaikat terhadap rau' (hati yang ketakutan, akal) dan hatinya tanpa dapat     melihatnya; hal ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam :     "Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril 'alaihissalam)     menghembuskan ke dalam hatiku (yang diliputi ketakutan) bahwasanya jiwa     tidak akan mati hingga disempurnakan rizki baginya. Oleh karena itu,     bertakwalah kalian kepada Allah, berindah-indahlah dalam meminta serta     janganlah keterlambatan rizki atas kalian mendorong kalian untuk memintanya     dengan cara melakukan perbuatan maksiat kepadaNya, karena sesungguhnya apa     yang ada disisi Allah tidak akan didapat kecuali dengan berbuat ta'at     kepadaNya".  
 
 Ketiga, berupa malaikat yang berwujud seorang     laki-laki; lantas dia mengajak beliau berbicara hingga mengingat dengan     jelas apa yang dikatakan kepadanya. Dalam urutan ini, terkadang para     shahabat melihat malaikat tersebut.  
 
 Keempat, berupa bunyi gemerincing lonceng yang     datang kepada beliau; peristiwa ini merupakan pengalaman yang paling berat     bagi beliau dimana malaikat memakai cara ini hingga membuat keningnya     mengerut bersimbah peluh. Ini terjadi di hari yang amat dingin. Demikian     pula, mengakibatkan onta beliau duduk bersimpuh ke bumi bila beliau     menungganginya. Dan pernah juga wahyu datang seperti kondisi tersebut dan     saat itu paha beliau ditaruh diatas paha Zaid bin Tsabit yang seketika     dirasakan olehnya (Zaid) demikian berat sehingga hampir saja remuk.  
 
 Kelima, berupa malaikat dalam bentuk aslinya     yang dilihat langsung oleh beliau, lalu diwahyukan kepada beliau beberapa     wahyu yang dikehendaki oleh Allah; peristiwa seperti ini dialami oleh     beliau sebanyak dua kali sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam surat     an-Najm.  
 
 Keenam, berupa wahyu yang diwahyukan kepada     beliau; yaitu saat beliau berada diatas lelangit pada malam mi'raj ,     diantaranya ketika diwajibkannya shalat dan lainnya.  
 
 Ketujuh, berupa Kalamullah kepada beliau     (dariNya kepadanya) tanpa perantaraan malaikat sebagaimana Allah berbicara     kepada Musa bin 'Imran; peristiwa seperti ini terjadi dan diabadikan secara     qath'i berdasarkan nash al-Qur'an. Sedangkan terhadap Nabi Shallallahu     'alaihi wasallam terjadi dalam hadits yang berbicara tentang Isra' .  
 
 Sebagian para ulama menambah urutannya menjadi     delapan, yaitu; Allah berbicara kepada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam     secara langsung tanpa hijab; ini merupakan permasalahan yang diperdebatkan     oleh ulama Salaf dan Khalaf. Demikian, sebagaimana yang dituturkan oleh     Ibnu al-Qayyim dengan sedikit diringkas dalam penjelasan tentang urutan     pertama dan kedelapan. Pendapat yang benar, bahwa urutan terakhir ini     (kedelapan) tidak tsabit (valid dan dipercaya keabsahan riwayatnya-red). 
 
  |         |      
 
 TAHAPAN PERTAMA BERJIHAD MELALUI DAKWAH KEPADA     ALLAH 
 
 Tahapan Dakwah Sirriyyah selama tiga tahun  
 
 Seperti yang sudah diketahui bahwa kota Mekkah     merupakan pusat agama bagi bangsa Arab. Disana terdapat para pengabdi     ka'bah dan tiang sandaran bagi berhala dan patung-patung yang dianggap suci     oleh seluruh bangsa Arab. Untuk mencapai sasaran perbaikan yang memadai     terhadap kondisi yang ada nampaknya akan bertambah sulit dan keras jika     jauh dari jangkauan kondisionalnya. Karenanya, kondisi tersebut membutuhkan     tekad baja yang tak mudah tergoyahkan oleh beruntunnya musibah dan bencana     yang menimpa; maka adalah bijaksana dalam menghadapi hal itu, memulai     dakwah secara sirri (sembunyi-sembunyi) agar penduduk Mekkah tidak     dikagetkan dengan hal yang (bisa saja) memancing emosi mereka. 
 
 Gelombang Pertama 
 
 Sudah merupakan sesuatu yang lumrah bila yang     pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah     menawarkan Islam kepada orang-orang yang dekat hubungannya dengan beliau,     keluarga besar serta shahabat-shahabat karib beliau; mereka semua didakwahi     oleh beliau untuk memeluk Islam. Beliau juga tak lupa mendakwahi orang yang     sudah saling mengenal dengan beliau dan memiliki sifat baik dan suka     berbuat baik, mereka yang beliau kenal sebagai orang-orang yang mencintai     Allah al-Haq dan kebaikan atau mereka yang mengenal beliau Shallallâhu     'alaihi wasallam sebagai sosok yang selalu menjunjung tinggi nilai     kejujuran dan keshalihan. Hasilnya, banyak diantara mereka – yang tidak     sedikitpun digerayangi oleh keraguan terhadap keagungan, kebesaran jiwa     Rasulullah serta kebenaran berita yang dibawanya- merespons dengan baik     dakwah beliau. Mereka ini dalam sejarah Islam dikenal sebagai as-Saabiquun     al-Awwalluun (orang-orang yang paling dahulu dan pertama masuk Islam). Di     barisan depan mereka terdaftar isteri Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam,     Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid, maula (budak) beliau, Zaid bin     Haritsah bin Syarahil al-Kalbi, keponakan beliau; 'Ali bin Abi Thalib –     yang ketika itu masih anak-anak dan hidup dibawah tanggungan beliau – serta     shahabat paling dekat beliau, Abu Bakr ash-Shiddiq. Mereka semua memeluk     Islam pada permulaan dakwah.  
 
 Kemudian, Abu Bakr bergiat dalam mendakwahi     Islam. Dia adalah sosok laki-laki yang lembut, disenangi, fleksibel dan     berbudi baik. Para tokoh kaumnya selalu mengunjunginya dan sudah tidak     asing dengan kepribadiannya karena keintelekan, kesuksesan dalam berbisnis     dan pergaulannya yang luwes. Dia terus berdakwah kepada orang-orang dari     kaumnya yang dia percayai dan selalu berinteraksi dan bermajlis dengannya.     Berkat hal itu, maka masuk Islam lah 'Utsman bin 'Affana al-Umawi,     az-Zubair bin al-'Awam al-Asadi, 'Abdurrahman bin 'Auf, Sa'd bin Abi     Waqqash az-Zuhriyan dan Thalhah bin 'Ubaidillah at-Timi. Kedelapan orang     inilah yang terlebih dahulu masuk Islam dan merupakan gelombang pertama dan     palang pintu Islam. 
 
 Diantara orang-orang pertama lainnya yang masuk     Islam adalah Bilal bin Rabah al-Habasyi, kemudian diikuti oleh Amin     (Kepercayaan) umat ini, Abu 'Ubaidah; 'Amir bin al-Jarrah yang berasal dari     suku Bani al-Harits bin Fihr, Abu Salamah bin 'Abdul Asad, al-Arqam bin     Abil Arqam (keduanya berasal dari suku Makhzum), 'Utsman bin Mazh'un - dan     kedua saudaranya; Qudamah dan 'Abdullah -, 'Ubaidah bin al-Harits bin     al-Muththalib bin 'Abdu Manaf, Sa'id bin Zaid al-'Adawy dan isterinya;     Fathimah binti al-Khaththab al-'Adawiyyah - saudara perempuan dari 'Umar     bin al-Khaththab -, Khabbab bin al-Arts, 'Abdullah bin Mas'ud al-Hazaly     serta banyak lagi selain mereka. Mereka itulah yang dinamakan     as-Saabiquunal Awwaluun. Mereka terdiri dari semua suku Quraisy yang ada     bahkan Ibnu Hisyam menjumlahkannya lebih dari 40 orang. Namun, dalam     penyebutan sebagian dari nama-nama tersebut masih perlu diberikan catatan.  
 
 Ibnu Ishaq berkata: "…kemudian banyak orang     yang masuk Islam secara berbondong-bondong baik laki-laki maupun wanita     sampai akhirnya tersiarlah gaung "Islam" di seantero Mekkah dan     mulai banyak menjadi bahan perbincangan orang.  
 
 Mereka semua masuk Islam secara     sembunyi-sembunyi. Maka cara yang sama pun dilaklukan oleh Rasulullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam dalam pertemuan beliau dengan pengarahan agama     yang diberikan karena dakwah ketika itu masih bersifat individu dan     sembunyi-sembunyi. Wahyu turun secara berkesinambungan dan memuncak setelah     turunnya permulaan surat al-Muddatstsir. Ayat-ayat dan penggalan-penggalan     surat yang turun pada masa ini merupakan ayat-ayat pendek; memiliki     pemisah-pemisah yang indah dan valid, senandung yang menyejukkan dan     memikat seiring dengan suasana suhu domestik yang begitu lembut dan halus.     Ayat-ayat tersebut membicarakan solusi memperbaiki penyucian diri (     tazkiyatun nufuus), mencela pengotorannya dengan gemerlap duniawi dan     menyifati surga dan neraka yang seakan-akan terlihat oleh mata kepala     sendiri. Juga, menggiring kaum Mukminin ke dalam suasana yang lain dari     kondisi komunitas sosial kala itu. 
 
 Perintah Shalat 
 
 Termasuk wahyu pertama yang turun adalah     perintah mendirikan shalat. Ibnu Hajar berkata: "sebelum terjadinya     Isra', beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam secara qath'i pernah melakukan     shalat, demikian pula dengan para shahabat akan tetapi yang diperselisihkan     apakah ada shalat lain yang telah diwajibkan sebelum (diwajibkannya) shalat     lima waktu ataukah tidak?. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang telah     diwajibkan itu adalah shalat sebelum terbit dan terbenamnya matahari".     Demikian penuturan Ibnu Hajar.  
 
 Al-Harits bin Usamah meriwayatkan dari jalur     Ibnu Lahi'ah secara maushul ( disambungkan setelah sanad-sanadnya mu'allaq     [terputus di bagian tertentu]) dari Zaid bin Haritsah bahwasanya pada awal     datangnya wahyu, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam didatangi oleh     malaikat Jibril; dia mengajarkan beliau tata cara berwudhu. Maka tatkala     selesai melakukannya, beliau mengambil seciduk air lantas memercikkannya ke     faraj beliau. Ibnu Majah juga telah meriwayatkan hadits yang semakna dengan     itu, demikian pula riwayat semisalnya dari al-Bara' bin 'Azib dan Ibnu     'Abbas serta hadits Ibnu 'Abbas sendiri. Hal tersebut merupakan kewajiban     pertama. 
 
 Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa bila waktu shalat     telah masuk, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dan para shahabat pergi ke     perbukitan dan menjalankan shalat disana secara sembunyi-sembunyi jauh dari     kaum mereka. Abu Thalib pernah sekali waktu melihat Nabi Shallallâhu     'alaihi wasallam dan 'Ali melakukan shalat, lantas menegur keduanya namun     manakala dia mengetahui bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang serius, dia     memerintahkan keduanya untuk berketetapan hati (tsabat). 
 
 Kaum Quraisy mendengar perihal dakwah secara     global 
 
 Meskipun dakwah pada tahapan ini dilakukan     secara sembunyi-sembunyi dan bersifat individu, namun perihal beritanya     sampai juga ke telinga kaum Quraisy. Hanya saja, mereka belum     mempermasalahkannya karena Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tidak     pernah menyinggung agama mereka ataupun tuhan-tuhan mereka. 
 
 Tiga tahunpun berlalu sementara dakwah masih     berjalan secara sembunyi-sembunyi dan individu; dalam tempo waktu ini     terbentuklah suatu jamaah Mukminin yang dibangun atas pondasi ukhuwwah     (persaudaraan) dan ta'awun (solidaritas) serta penyampaian risalah dan     proses reposisinya. Kemudian turunlah wahyu yang membebankan Rasulullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam agar menyampaikan dakwah kepada kaumnya secara     terang-terangan; menentang kebatilan mereka serta menyerang berhala-berhala     mereka. 
 
  |         |      
 
 TAHAPAN KEDUA BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH     JAHRIYYAH)  
 
 Perintah Pertama untuk menampakkan Dakwah  
 
 Sehubungan dengan hal ini, ayat pertama yang     turun adalah firmanNya: "dan berilah peringatan kepada keluargamu yang     terdekat" (Q.S.26/asy-Syu'ara' : 214). Terdapat jalur cerita     sebelumnya yang menyinggung kisah Musa 'alaihissalaam dari permulaan     kenabiannya hingga hijrahnya bersama Bani Israil, lolosnya mereka dari     kejaran Fir'aun dan kaumnya serta tenggelamnya fir'aun bersama kaumnya.     Kisah ini mengandung beberapa tahapan yang dilalui oleh Musa 'alaihissalaam     dalam dakwahnya terhadap Fir'aun dan kaumnya agar menyembah Allah.  
 
 Seakan-akan rincian ini hanya dipaparkan seiring     dengan perintah kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam agar     berdakwah kepada Allah secara terang-terangan sehingga dihadapan beliau dan     para shahabatnya terdapat contoh dan gambaran yang akan dialami oleh mereka     nantinya;yaitu berupa pendustaan dan penindasan manakala mereka melakukan     dakwah tersebut secara terang-terangan. Demikian pula, agar mereka mawas     diri dalam melakukan hal itu dan berdasarkan ilmu semenjak awal memulai dakwah     mereka tersebut.  
 
 Disamping itu, surat tersebut (asy-Syu'ara')     juga berbicara mengenai nasib yang akan dialami oleh pendusta-pendusta para     Rasul, diantaranya sebagaimana yang dialami oleh kaum nabi Nuh, kaum 'Ad     dan Tsamud, kaum Nabi Ibrahim, kaum Nabi Luth serta Ashhabul Aykah (selain     yang berkaitan dengan perihal Fir'aun dan kaumnya). Hal itu semua     dimaksudkan agar mereka yang melakukan pendustaan mengetahui bahwa mereka     akan mengalami nasib yang sama seperti nasib kaum-kaum tersebut dan     mendapatkan pembalasan dari Allah bila melakukan hal yang sama. Demikian     pula, agar kaum Mukminin tahu bahwa kesudahan yang baik dari itu semua akan     berpihak kepada mereka bukan kepada para pendusta tersebut.  
 
 Berdakwah di kalangan Kaum Kerabat  
 
 Setelah menerima perintah dalam ayat tersebut,     Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mengundang keluarga terdekatnya,     Bani Hasyim. Mereka datang memenuhi undangan itu disertai oleh beberapa     orang dari Bani al-Muththalib bin 'Abdi Manaf. Mereka semua berjumlah     sekitar 45 orang laki-laki. Namun tatkala Rasulullah ingin berbicara,     tiba-tiba Abu Lahab memotongnya sembari berkata: "mereka itu (yang     hadir) adalah paman-pamanmu, anak-anak mereka; bicaralah dan tinggalkanlah     masa kekanak-kanakan! Ketahuilah! Bahwa kaummu tidak memiliki cukup     kekuatan untuk melawan seluruh bangsa Arab. Akulah orang yang berhak     membimbingmu. Cukuplah bagimu suku-suku dari pihak bapakmu. Bagi mereka,     jika engkau ngotot melakukan sebagaimana yang engkau lakukan sekarang,     adalah lebih mudah ketimbang bila seluruh suku Quraisy bersama-sama bangsa     Arab bergerak memusuhimu. Aku tidak pernah melihat seseorang yang datang     kepada suku-suku dari pihak bapaknya dengan membawa suatu yang lebih jelek     dari apa yang telah engkau bawa ini". Rasulullah Shallallâhu 'alaihi     wasallam hanya diam dan tidak berbicara pada majlis itu.  
 
 Kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam     mengundang mereka lagi, dan berbicara: "alhamdulillah, aku memujiNya,     meminta pertolongan, beriman serta bertawakkal kepadaNya. Aku bersaksi     bahwa tiada Tuhan melainkan Allah semata Yang tiada sekutu bagiNya".     Selanjutnya beliau berkata: "sesungguhnya seorang pemimpin tidak     mungkin membohongi keluarganya sendiri. Demi Allah yang tiada Tuhan     selainNya! Sesungguhnya aku adalah Rasulullah yang datang kepada kalian     secara khusus, dan kepada manusia secara umum. Demi Allah! sungguh kalian     akan mati sebagaimana kalian tidur dan kalian akan dibangkitkan sebagaimana     kalian bangun dari tidur. Sungguh kalian akan dihisab (diminta     pertanggungjawabannya) terhadap apa yang kalian lakukan. Sesungguhnya yang     ada hanya surga yang abadi atau neraka yang abadi". Kamudian Abu     Thalib berkomentar: "alangkah senangnya kami membantumu, menerima     nasehatmu, dan sangat membenarkan kata-katamu. Mereka, yang merupakan     suku-suku dari pihak bapakmu telah berkumpul. Sesungguhnya aku hanyalah     salah seorang dari mereka namun aku adalah orang yang paling cepat merespek     apa yang engkau inginkan; oleh karena itu teruskan apa yang telah     diperintahkan kepadamu. Demi Allah! aku masih akan melindungi dan membelamu     akan tetapi diriku tidak memberikan cukup keberanian kepadaku untuk     berpisah dengan agama Abdul Muththalib ". Ketika itu, berkata Abu     Lahab: "demi Allah! ini benar-benar merupakan aib besar. Ayo cegahlah     dia sebelum dia berhasil menyeret orang lain selain kalian!. Abu Thalib     menjawab: "demi Allah! sungguh selama kami masih hidup, kami akan     membelanya".  
 
 Di atas Bukit Shafa  
 
 Setelah yakin tugasnya menyampaikan wahyu     Rabbnya telah mendapatkan perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, beliau     Shallallâhu 'alaihi wasallam suatu hari berdiri tegak diatas bukit Shafa     sembari berteriak: " Ya shabaahah! (seruan untuk menarik perhatian orang     agar berkumpul di waktu pagi)". Lalu berkumpullah suku-suku Quraisy.     Kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam mengajak mereka kepada tauhid,     beriman kepada risalah yang dibawanya dan Hari Akhir.  
 
 Imam Bukhari telah meriwayatkan satu sisi dari     kisah ini, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, dia berkata:     "tatkala turun ayat {firmanNya: 'dan berilah peringatan kepada     keluargamu yang terdekat' [Q.S. asy-Syu'ara' : 214] } Nabi Shallallâhu     'alaihi wasallam naik ke atas bukit Shafa lalu memanggil-manggil : 'wahai     Bani Fihr! Wahai Bani 'Adiy! Seruan ini diarahkan kepada suku-suku Quraisy.     Kemudian tak berapa lama, merekapun berkumpul. Karena maha pentingnya     panggilan itu, seseorang yang tidak bisa keluar memenuhinya, mengirimkan     utusan untuk melihat apa gerangan yang terjadi?. Maka, tak terkecuali Abu     Lahab dan kaum Quraisypun berkumpul juga. Kemudian beliau Shallallâhu     'alaihi wasallam berbicara: 'bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku     beritahukan kepada kalian bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah     sana yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?. Mereka     menjawab: 'ya! Kami tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran'. Beliau     Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata: 'Sesungguhnya aku adalah sebagai     pemberi peringatan kepada kalian terhadap azab yang amat pedih'. Abu Lahab     menanggapi: 'celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini     engkau kumpulkan kami?. Maka ketika itu turunlah ayat {firmanNya:     "binasalah kedua tangan Abu Lahab…"} [Q.S. al-Masad: 1] ".  
 
 Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan satu sisi     yang lain dari kisah tersebut, yaitu riwayat dari Abu Hurairah radhiallaahu     'anhu, dia berkata: "Tatkala ayat ini turun {firmanNya: 'dan berilah     peringatan kepada keluargamu yang terdekat' [Q.S. asy-Syu'ara' : 214] }     Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mendakwahi mereka baik dalam skala     umum ataupun khusus. Beliau berkata: 'wahai kaum Quraisy! Selamatkanlah     diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Ka'b! Selamatkanlah diri kalian     dari api neraka. Wahai Fathimah binti Muhammad! Selamatkanlah dirimu dari     api neraka. Demi Allah! sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatupun (untuk     menyelamatkan kalian) dari azab Allah selain kalian memiliki ikatan rahim     yang akan aku sambung karenanya".  
 
 Teriakan yang keras ini merupakan bentuk dari     esensi penyampaian dakwah yang optimal dimana Rasulullah telah menjelaskan     kepada orang-orang yang memiliki hubungan terdekat dengannya bahwa     membenarkan risalah yang dibawanya tersebut adalah bentuk dari efektifitas     hubungan antara dirinya dan mereka. Demikian pula, bahwa fanatisme     kekerabatan yang dibudayakan oleh orang-orang Arab akan lumer di bawah     terik panasnya peringatan yang datang dari Allah tersebut.  
 
 Menyampaikan al-Haq secara terang-terangan dan     sikap kaum Musyrikin terhadapnya  
 
 Teriakan lantang yang dipekikkan oleh Rasulullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam tersebut masih terasa gaungnya di seluruh     penjuru Mekkah. Puncaknya saat turun firmanNya Ta'ala: "Maka     sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan     (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik" (Q.S.     al-Hijr: 94). Lalu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan dakwah     kepada Islam secara terang-terangan (dakwah jahriyyah) di tempat-tempat     berkumpulnya kaum musyrikin dan di club-club mereka. Beliau membacakan     Kitabullah kepada mereka dan menyampaikan ajakan yang selalu disampaikan     oleh para Rasul terdahulu kepada kaum mereka: 'wahai kaumku! Sembahlah     Allah. kalian tidak memiliki Tuhan selainNya'. Beliau juga, mulai     memamerkan cara beribadahnya kepada Allah di depan mata kepala mereka     sendiri; beliau melakukan shalat di halaman ka'bah pada siang hari secara     terang-terangan dan dihadapan khalayak ramai.  
 
 Dakwah yang beliau lakukan tersebut semakin     mendapatkan sambutan sehingga banyak orang yang masuk ke dalam Dienullah     satu per-satu. Namun kemudian antara mereka (yang sudah memeluk Islam) dan     keluarga mereka yang belum memeluk Islam terjadi gap; saling membenci,     menjauhi dan berkeraskepala. Melihat hal ini, kaum Quraisy merasa gerah dan     pemandangan semacam ini amat menyakitkan mereka.  
 
 Sidang Majlis membahas upaya menghalangi Jemaah     Haji agar tidak mendengarkan Dakwah Muhammad  
 
 Sepanjang hari-hari tersebut, ada hal lain yang     membuat kaum Quraisy gundah gulana; yaitu bahwa belum beberapa hari atau     bulan saja dakwah jahriyyah tersebut berlangsung hingga (tak terasa)     mendekati musim haji. Dalam hal ini, kaum Quraisy mengetahui bahwa delegasi     Arab akan datang ke negeri mereka. Oleh karena itu, mereka melihat perlunya     merangkai satu pernyataan yang nantinya (secara sepakat) mereka sampaikan     kepada delegasi tersebut perihal Muhammad agar dakwah yang disiarkannya     tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jiwa-jiwa mereka (delegasi     Arab tersebut). Maka berkumpullah mereka di rumah al-Walid bin al-Mughirah     untuk membicarakan satu pernyataan yang tepat dan disepakati bersama     tersebut. Lalu al-Walid berkata:" Bersepakatlah mengenai perihalnya     (Muhammad) dalam satu pendapat dan janganlah berselisih sehingga membuat     sebagian kalian mendustakan pendapat sebagian yang lain dan sebagian lagi     menolak pendapat sebagian yang lain".  
 
 Mereka berkata kepadanya: "Katakan kepada     kami pendapatmu yang akan kami jadikan acuan!".  
 
 Lalu dia berkata: "justru kalian yang harus     mengemukakan pendapat kalian biar aku dengar dulu".  
 
 Mereka berkata: "(kita katakan) dia     (Muhammad) adalah seorang dukun".  
 
 Dia menjawab: "Tidak! Demi Allah dia     bukanlah seorang dukun. Kita telah melihat bagaimana kondisi para dukun     sedangkan yang dikatakannya bukan seperti komat-kamit ataupun sajak     (mantera-mantera) para dukun".  
 
 Mereka berkata lagi: "kita katakan saja;     dia seorang yang gila".  
 
 Dia menjawab: "Tidak! Demi Allah! dia bukan     seorang yang gila. Kita telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya     sedangkan yang dikatakannya bukan dalam kategori ketercekikan, kerasukan     ataupun was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut".  
 
 Mereka berkata lagi: "kalau begitu kita     katakan saja; dia adalah seorang Penya'ir' ".  
 
 Dia menjawab: "Dia bukan seorang Penya'ir.     Kita telah mengenal semua bentuk sya'ir; rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh dan     mabsuth-nya sedangkan yang dikatakannya bukanlah sya'ir".  
 
 Mereka berkata lagi: "Kalau begitu; dia     adalah Tukang sihir".  
 
 Dia menjawab: "Dia bukanlah seorang Tukang     sihir. Kita telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir mereka     sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan) ataupun 'uqad     (buhul-buhul) mereka".  
 
 Mereka kemudian berkata: "kalau begitu, apa     yang harus kita katakan?".  
 
 Dia menjawab: "Demi Allah! sesungguhnya     ucapan yang dikatakannya itu amatlah manis dan mengandung sihir (saking     indahnya). Akarnya ibarat tandan anggur dan cabangnya ibarat pohon yang     rindang. Tidaklah kalian merangkai sesuatupun sepertinya melainkan akan     diketahui kebathilannya. Sesungguhnya, pendapat yang lebih dekat mengenai     dirinya adalah dengan mengatakan bahwa dia seorang Tukang sihir yang     mengarang suatu ucapan berupa sihir yang mampu memisahkan antara seseorang     dengan bapaknya, saudaranya dan isterinya. Mereka semua menjadi terpisah     lantaran hal itu".  
 
 Sebagian riwayat menyebutkan bahwa tatkala     al-Walid menolak semua pendapat yang mereka kemukakan kepadanya; mereka     berkata kepadanya: "kemukakan kepada kami pendapatmu yang tidak ada     celanya!". Lalu dia berkata kepada mereka: "beri aku kesempatan     barang sejenak untuk memikirkan hal itu!". Lantas al-Walid berfikir     dan menguras fikirannya hingga dia dapat menyampaikan kepada mereka     pendapatnya tersebut sebagaimana yang disinggung diatas.  
 
 Dan mengenai al-Walid ini, Allah Ta'ala     menurunkan enam belas ayat dari surat al-Muddatstsir, yaitu dari ayat 11     hingga ayat 26; dipertengahan ayat-ayat tersebut terdapat gambaran     bagaimana dia berfikir keras, Dia Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya dia     telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya) [18]. maka     celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan,[19]. kemudian celakalah dia!     Bagaimanakah dia menetapkan, [20]. kemudian dia memikirkan, [21]. sesudah     itu dia bermasam muka dan merengut, [22]. kemudian dia berpaling (dari     kebenaran) dan menyombongkan diri, [23]. lalu dia berkata:"(al-Qur'an)     ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), [24].     ini tidak lain hanyalah perkataan manusia". [25].  
 
 Setelah majlis menyepakati keputusan tersebut,     mereka mulai melaksanakannya; duduk-duduk di jalan-jalan yang dilalui orang     hingga delegasi Arab datang pada musim haji. Setiap ada orang yang lewat,     mereka peringatkan dan singgung kepadanya perihal Rasulullah Shallallâhu     'alaihi wasallam .  
 
 Sedangkan yang dilakukan oleh Rasululllah     Shallallâhu 'alaihi wasallam manakala sudah datang musimnya adalah     mengikuti dan membuntuti orang-orang sampai ke rumah-rumah mereka, di pasar     'Ukazh, Majinnah dan Dzul Majaz. Beliau mengajak mereka ke jalan Allah     namun Abu Lahab yang selalu membuntuti di belakang beliau memotong setiap     ajakan beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan berbalik mengatakan     kepada mereka: "jangan kalian ta'ati dia karena sesungguhnya dia     adalah seorang Shabi' (orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu     atau orang yang menyembah bintang atau menyembah dewa-dewa) lagi     Pendusta".  
 
 Akhir yang terjadi, justru dari musim itu     delegasi Arab banyak mengetahui perihal Rasulullah Shallallâhu 'alaihi     wasallam sehingga namanya menjadi buah bibir orang di seantero negeri Arab.      
 
 Metode-Metode yang digunakan dalam menghadapi     Dakwah Islamiyyah  
 
 Manakala kaum Quraisy menyelesaikan rituil haji,     mereka segera memikirkan metode-metode yang bakal digunakan dalam     menghadapi dakwah Islamiyyah di tempat bertolaknya, lalu mereka memilih     beberapa metode berikut:  
 
 Mengejek, menghina, merendahkan, mendustai dan     menertawakan : Target mereka adalah menghinakan kaum Muslimin     dan melemahkan semangat juang mereka. Mereka menuduh nabi Shallallâhu     'alaihi wasallam dengan tuduhan-tuduhan yang kerdil dan celaan-celaan yang     nista; menjuluki beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai orang gila ,     dalam firmanNya: "dan mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan     kepadanya adz-Dzikr (al-Qur'an), sesungguhnya engkau adalah orang yang     benar-benar gila". (Q.S.15/ al-Hijr: 6). Mereka juga menuduh beliau     sebagai tukang sihir dan pendusta, dalam firmanNya: "Dan mereka heran     karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan     mereka; dan orang-orang kafir berkata :"ini adalah seorang ahli sihir     yang banyak berdusta". (Q.S. 38/Shaad: 4). Mereka mengunjungi dan     menyambut beliau dengan penuh rasa dendam dan gemuruh kemarahan, {Allah     berfirman} :" Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar     hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka     mendengar al-Qur'an dan mereka berkata:"Sesungguhnya ia (Muhammad)     benar-benar orang yang gila". (QS. 68/al-Qalam:51).  
 
 Bila beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sedang     duduk-duduk dan disekitarnya shabat-shahabat beliau yang terdiri dari al-     Mustadh'afun (kaum-kaum lemah), mereka mengejek sembari berkata:     "(semacam) mereka itulah teman-teman duduk (ngobrol) nya, {Allah     berfirman}: "orang-orang semacam itukah diantara kita yang diberi     anugerah oleh Allah kepada mereka?". (Q.S. 6/al-An'am: 53), lalu Allah     membantah ucapan mereka tersebut: "Tidakkah Allah mengetahui tentang     orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?". (Q.S. 6/al-An'am: 53).     Kondisi mereka sebenarnya persis sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah     kepada kita, dalam firmanNya: "Sesungguhnya orang-orang yang berdusta,     adalah mereka yang dahulunya (di dunia) mentertawakan orang-orang yang     beriman (29). Dan apabila orangp-orang beriman lalu di hadapan mereka,     mereka saling mengedipkan matanya (30). Dan apabila ornag-orang berdosa itu     kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira (31). Dan apabila     mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: 'sesungguhnya mereka     itu benar-benar orang-orang yang sesat (32). Padahal orang-orang yang     berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin (33)".     [Q.S. 83/al-Muththaffifiin: 29-33]. 
 
 Memperburuk citra ajaran-ajaran yang dibawanya,     menyebarkan syubhat-syubhat, mempublikasikan dakwaan-dakwaan dusta,     menyiarkan statement-statement yang keliru seputar ajaran-ajaran, diri dan     pribadi beliau serta membesar-besarkan tentang hal itu:  
 
 Tindakan tersebut mereka maksudkan untuk tidak     memberi kesempatan kepada orang-orang awam merenungi dakwahnya: Mereka     selalu berkata tentang al-Qur'an: {Allah berfirman}:     "dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan,     maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang"     (Q.S.25/al-Furqan: 5). {Dan firmanNya}: " al-Qur'an ini tidak lain     hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh     kaum yang lain…". (Q.S. 25/al-Furqan: 4). Mereka sering berkata: {dalam     firmanNya}: "sesungguhnya al-Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia     kepadanya (Muhammad)". (Q.S. 16/an-Nahl: 103). Mereka juga sering     mengatakan tentang Rasululullah : {dalam firmanNya}: "mengapa Rasul     ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?". (Q.S.25/al-Furqan:     7). Di dalam al-Qur'an terdapat banyak contoh bantahan terhadap     statement-statement mereka setelah menukilnya ataupun tanpa menukilnya. 
 
 Menghalangi orang-orang agar tidak dapat     mendengarkan al-Qur'an dan mengimbanginya dengan dongengan-dongengan     orang-orang dahulu serta membuat sibuk mereka dengan hal itu:  
 
 Mereka menyebutkan bahwa an-Nadhar bin al-Harits     pergi ke Hirah. Disana dia belajar cerita-cerita tentang raja-raja Persia,     cerita-cerita tentang Rustum dan Asvandiar. Jika Rasulullah Shallallâhu     'alaihi wasallam sedang duduk-duduk di suatu majlis dalam rangka berwasiat     kepada Allah dan mengingatkan manusia akan pembalasan-Nya, maka seusai     beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan hal itu; an-Nadhar berbicara     kepada orang-orang sembari berkata: "Demi Allah! ucapan Muhammad     tersebut tidaklah lebih baik dari ucapanku ini". Kemudian dia     mengisahkan kepada mereka tentang cerita raja-raja Persia, Rustum dan     Asvandiar. Setelah itu, dia berceloteh: "Kalau begitu, bagaimana bisa     ucapan Muhammad lebih bagus dari ucapanku ini?". 
 
 Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas     disebutkan bahwa an-Nadhar membeli seorang budak perempuan. Maka, setiap     dia mendengarkan ada seseorang yang tertarik terhadap Islam, dia segera     menggandengnya menuju budak perempuannya tersebut, lalu berkata (kepada     budak perempuannya): "beri dia makan, minum dan penuhi kebutuhannya.     Ini adalah lebih baik dari apa yang diajak oleh Muhammad kepadamu".     Maka turunlah ayat mengenai dirinya, Allah berfirman: "Dan diantara manusia     (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk     menyesatkan (manusia) dari jalan Allah…". (Q.S.31/Luqman: 6). 
 
  |         |      
 
 TAHAPAN KEDUA BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH     JAHRIYYAH)  
 
 Beragam Penindasan 
 
 Kaum Musyrikun menjalankan metode-metode     terdahulu sedikit-demi sedikit untuk mengekang perkembangan dakwah     Islamiyyah setelah kemunculannya pada permulaan tahun IV kenabian. Mereka     baru sebatas melakukan metode-metode tersebut selama beberapa minggu dan bulan,     tidak bergeser ke metode yang baru. Akan tetapi, manakala mereka melihat     bahwa metode-metode tersebut tidak membuahkan hasil sama sekali dalam upaya     menggagalkan dakwah Islamiyyah; mereka mengadakan pertemuan sekali lagi     untuk memusyawarahkan hal tersebut antar sesama mereka. Akhirnya, mereka     memutuskan untuk melakukan penyiksaan terhadap kaum Muslimin dan menguji     dien mereka. Tindakan yang diambil pertama kali adalah bergeraknya     masing-masing kepala suku untuk menginterogasi siapa saja yang masuk Islam     dari kabilah mereka, kemudian ditindaklanjuti oleh bawahan dan kroco-kroco     mereka. Maka mulailah mereka mendera kaum Muslimin dengan berbagai siksaan     yang membuat bulu kuduk merinding dan hati tersayat-sayat mendengarnya: 
 
 Adalah Abu Jahal, bila mendengar seorang     laki-laki masuk Islam, berketurunan bangsawan serta memiliki perlindungan     (suaka), maka dia mencaci, menghina serta mengancamnya dengan mengatakan     bahwa dia akan membuatnya mengalami kerugian materil dan psikologis.     Sedangkan bila orang tersebut lemah maka dia menggebuk dan menghasutnya. 
 
 'Utsman bin 'Affan digulung oleh pamannya ke     dalam tikar yang terbuat dari daun-daun kurma, kemudian diasapi dari     bawahnya. 
 
 Mush'ab bin 'Umair, manakala ibundanya     mengetahui keislamannya, membiarkan dirinya kelaparan dan mengusirnya dari     rumah padahal sebelumnya dia termasuk orang yang hidup berkecukupan.     Lantaran tindakan ibundanya tersebut, kulitnya menjadi bersisik layaknya     kulit ular. 
 
 Shuhaib bin Sinan ar-Rumy disiksa hingga     kehilangan ingatan dan tidak memahami apa yang dibicarakannya sendiri. 
 
 Bilal, maula Umayyah bin Khalaf al-Jumahi     mengalami perlakuan yang sangat kejam dari majikannya. Pundaknya diikat     dengan tali lantas tali tersebut diserahkan kepada anak-anak kecil untuk     diseret dan dibawa keliling sepanjang pegunungan Mekkah. Akibatnya, bekas     tali tersebut masih nampak di pundaknya. Umayyah, sang majikan selalu     mengikatnya kemudian menderanya dengan tongkat. Kadang ia dipaksa duduk di     bawah teriknya sengatan matahari. Ia juga pernah dipaksa lapar. Puncak dari     itu semua adalah saat dia dibawa keluar pada hari yang suhunya sangat     panas, kemudian dibuang ke Bathha' (tanah lapang berkerikil) Mekkah.     Setelah itu, ia ditindih dengan batu besar dan ditaruh ke atas dadanya.     Ketika itu, berkata Umayyah kepadanya:"Tidak, demi Allah! engkau akan     tetap mengalami seperti ini sampai engkau mati atau engkau kafir terhadap     (ajaran) Muhammad dan menyembah al-Laata dan al-'Uzza". Meskipun dalam     kondisi demikian, ia tetap berteriak: "Ahad, Ahad". Mereka terus     menyiksanya hingga suatu hari Abu Bakar melewatinya, lalu membelinya dan     menukarkannya dengan seorang anak berkulit hitam. Ada riwayat yang     mengatakan: dengan tujuh uqiyyah (satu uqiyyah= 12 dirham atau 28 gram-red)     atau lima uqiyyah dari perak, kemudian beliau memerdekakannya. 
 
 'Ammar bin Yasir maula Bani Makhzum sekeluarga     radhiallaahu 'anhum ; dia, ayahnya dan ibunya yang masuk Islam tak luput     dari penganiayaan. mereka diseret keluar menuju al-Abthah (suatu tempat di     Mekkah) oleh kaum Musyrikin yang dipimpin oleh Abu Jahal. Saat itu suhu     udara sangat panas dan menyengat. Maka dalam kondisi seperti itulah mereka     menyiksa keluarga tersebut. Ketika mereka sedang menjalani siksaan, Nabi     Shallallâhu 'alaihi wasallam melintas di hadapan mereka sembari bersabda:     "Bersabarlah wahai Ali Yasir (keluarga besar Yasir)! Sesungguhnya     tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga". Yasir, ayahnya     meninggal dunia dalam siksaan tersebut sedangkan ibunya, Sumayyah ditusuk     oleh Abu Jahal dari arah qubulnya dengan tombak dan meninggal dunia     seketika. Dialah syahidah (wanita yang mati syahid) pertama dalam Islam.     Setelah itu, kaum Musyrikin tersebut meningkatkan frekuensi siksaan mereka     terhadap 'Ammar; terkadang dengan menjemurnya saja, terkadang dengan     meletakkan batu besar yang memerah (saking panasnya) diatas dadanya dan     terkadang dengan menenggelamkannya alias membenamkan mukanya ke dalam air.     Kala itu, mereka berkata kepadanya: "kami tidak akan terus menyiksamu     hingga engkau mencaci Muhammad atau mengatakan sesuatu yang baik terhadap     al-Laata dan al-'Uzza. Maka, dia pun secara terpaksa menyetujui hal itu.     Setelah itu dia mendatangi Nabi sambil menangis dan meminta ma'af atas     kejadian tersebut kepada beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam. Ketika itu,     turunlah ayat: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman     (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir     padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…".     (Q.S. 16/an-Nahl: 106). 
 
 Abu Fakihah – namanya Aflah – seorang maula Bani     'Abdi ad-Daar mukanya dijerembabkan oleh kaum Musyrikin ke tanah yang     melepuh oleh terik matahari, kemudian diletakkan diatas punggungnya sebuah     batu besar hingga dia tak dapat bergerak lagi. Dia dibiarkan dalam keadaan     demikian hingga hilang ingatan. Suatu kali, mereka mengikat kakinya dengan     tali, lalu menyeretnya dan melemparkannya ke tanah yang melepuh oleh terik     matahari seperti yang dilakukan terhadapnya sebelumnya, kemudian     mencekiknya hingga mereka mengira dia telah mati. Saat itu, Abu Bakar     melewatinya lalu membeli dan memerdekakannya karena Allah Ta'ala. 
 
 Khabbab bin al-Aratt, maula Ummi Anmaar binti     Siba' al-Khuza'iyyah disiksa oleh kaum Musyrikin dengan aneka siksaan;     rambutnya mereka jambak dengan keras sekali, lehernya mereka betot dengan     kasar lalu melemparkannya ke dalam api yang membara kemudian –dalam kondisi     demikian- jasadnya mereka tarik sehingga api itu terpadamkan oleh lemak     yang meleleh dari punggungnya.  
 
 Dari kalangan budak Muslimah, terdapat riwayat     Zunairah, an-Nahdiyyah dan Ummu 'Ubais. Tatkala mereka masuk Islam, kaum     Musyrikinpun melakukan penyiksaan terhadap mereka sama seperti yang telah     dilakukan terhadap para shahabat sebelumnya diatas.  
 
 Seorang budak perempuan Bani Muammal – mereka     adalah dari suku Bani 'Adiy – dipukul oleh 'Umar bin al-Khaththab, kala ia     masih Musyrik, dan manakala merasa jenuh, dia berkata: "sesungguhnya     yang membuatku membiarkanmu hanyalah karena kejenuhan".  
 
 Semua budak-budak wanita tersebut dibeli oleh     Abu Bakar kemudian dimerdekakannya sebagaimana yang telah dilakukannya     terhadap Bilal dan 'Amir bin Fuhairah. 
 
 Kaum Musyrikin juga pernah membungkus sebagian     shahabat dalam buntalan yang terbuat dari kulit onta dan sapi, kemudian     dilempar ke bumi yang sudah melepuh oleh terik matahari. Sedangkan sebagian     yang lain, pernah mereka kenakan baju besi lantas dilemparkan ke atas batu     besar yang memanas. 
 
 Deretan para korban yang disiksa karena membela     dienullah demikian panjang dan amat histeris. Pokoknya, siapa saja yang     mereka ketahui telah memeluk Islam maka tak ayal akan dihadang geraknya dan     disakiti. 
 
 Sikap Kaum Musyrikin terhadap Rasulullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam  
 
 Adapun Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam     (kala itu) tidaklah mengalami siksaan yang sedemikian. Beliau adalah     seorang ksatria, terhormat dan sosok yang langka. Baik kawan maupun lawan     sama-sama segan dan mengagungkannya; setiap orang yang berjumpa dengannya,     pasti akan menyambutnya dengan rasa hormat dan pengagungan. Tidak     seorangpun yang berani melakukan perbuatan tak senonoh dan hinadina     terhadap beliau selain manusia-manusia kerdil dan picik. Disamping itu,     beliau juga mendapatkan perlindungan (suaka) dari pamannya, Abu Thalib yang     merupakan tokoh terpandang di Mekkah. Dia memang terpandang nasabnya dan     disegani orang. Oleh karena itu, amatlah sulit bagi seseorang untuk melecehkan     orang yang sudah berada dalam perlindungannya. Kondisi ini tentu amat     mencemaskan kaum Quraisy dan membuat mereka terjepit sehingga tidak dapat     berbuat banyak. Hal ini, memaksa mereka untuk memikirkan secara jernih     jalan keluarnya tanpa harus berurusan dengan wilayah larangan yang bila     tersentuh tentu akibatnya tidak diharapkan. Akhirnya, mereka mendapatkan     ide penyelesaiannya, yaitu dengan memilih jalan berunding dengan sang     penanggung jawab terbesar; Abu Thalib. Akan tetapi tentunya dengan lebih     banyak melakukan pendekatan secara hikmah dan ekstra serius, disisipi     dengan trik menantang dan ultimatum terselubung sampai dia mau tunduk dan     mendengarkan apa yang mereka katakan. 
 
 Utusan Quraisy menghadap Abu Thalib 
 
 Ibnu Ishaq berkata: "sekelompok tokoh bangsawan     kaum Quraisy menghadap Abu Thalib, lalu berkata kepadanya: 'wahai Abu     Thalib! Sesungguhnya keponakanmu telah mencaci tuhan-tuhan kita, mencela     agama kita, membuyarkan impian kita dan menganggap sesat nenek-nenek moyang     kita. Karenanya, engkau hanya punya dua alternatif: mencegahnya atau     membiarkan kami dan dia menyelesaikan urusan ini. Sesungguhnya kondisimu     adalah sama seperti kami, tidak sependapat dengannya, oleh karena itu kami     berharap dapat mengandalkanmu dalam menjinakkannya'. Abu Thalib berkata     kepada mereka dengan tutur kata yang lembut dan membalasnya dengan cara     yang halus dan baik. Setelah itu mereka pun akhirnya undur diri. Sementara     itu, Rasulullah tetap melakukan aktivitas seperti biasanya; mengkampanyekan     dienullah dan mengajak kepadanya". Akan tetapi, orang-orang Quraisy     tidak dapat berlama-lama sabar manakala melihat beliau Shallallâhu 'alaihi     wasallam terus melakukan aktivitasnya tersebut dan berdakwah kepada Allah     bahkan hal itu semakin membuat mereka mempersoalkannya dan mengumpatinya.     Lantaran itu pula, mereka kemudian memutuskan untuk menghadap Abu Thalib     sekali lagi namun dengan cara yang lebih kasar dan keras daripada     sebelumnya. 
 
 Kaum Quraisy mengultimatum Abu Thalib 
 
 Para tokoh kaum Quraisy kembali mendatangi Abu     Thalib seraya berkata kepadanya: "wahai Abu Thalib! Sesungguhnya kami     menghargai usia, kebangsawanan dan kedudukanmu. Dan sesungguhnya pula, kami     telah memintamu menghentikan gelagat keponakanmu itu, namun engkau tidak     melakukannya. Sesungguhnya kami, demi Allah! tidak akan mampu bersabar atas     perbuatan mencela nenek moyang kami, membuyarkan impian kami dan mencemooh     tuhan-tuhan kami hingga engkau mencegahnya sendiri atau kami yang akan     membuat perhitungan dengannya dan denganmu sekaligus. Setelah itu, kita     lihat siapa diantara dua kelompok ini yang akan binasa". 
 
 Ancaman dan ultimatum yang keras tersebut sempat     membuat nyali Abu Thalib bergetar juga, karenanya dia menyongsong     Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sembari berkata kepadanya:     "wahai keponakanku! Sesungguhnya kaummu telah mendatangiku dan mengatakan     begini dan begitu kepadaku. Oleh karena itu berdiamlah demi kemaslahatanku     dan dirimu sendiri. Janganlah engkau membebaniku dengan sesuatu yang tak     mampu aku lakukan!". Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mengira     bahwa dengan ini pamannya telah mengucilkannya dan tak mampu lagi     melindungi dirinya, maka beliaupun menjawab: "wahai pamanku! Demi     Allah! andaikata mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di     tangan kiriku agar aku meninggalkan agama ini -hingga Allah memenangkannya     atau aku binasa karenanya- niscaya aku tidak akan meninggalkannya".     Beliau mengungkapkannya dengan berlinang air mata dan tersedu, lalu berdiri     untuk berpaling namun ketika itu, pamannya memanggilnya dan menghampirinya     sembari berkata: "Pergilah wahai keponakanku! Katakanlah apa yang     engkau suka, demi Allah! aku tidak akan pernah selamanya menyerahkanmu     kepada siapapun!". Lalu dia merangkai beberapa untai bait (artinya):  
 
 Demi Allah! mereka semua tidak akan dapat     menjamahmu Hingga aku terkubur berbantalkan tanah Berterang-teranganlah dengan urusanmu, tiada     cela bagimu Bergembira dan bersuka citalah dengan hal itu 
 
 Kaum Quraisy kembali menghadap Abu Thalib 
 
 Tatkala kaum Quraisy melihat Rasulullah masih     terus melakukan aktivitasnya, tahulah mereka bahwa Abu Thalib tak berkeinginan     untuk mengucilkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan telah bulat     hatinya untuk memisahkan diri dan memusuhi mereka. Maka sebagai upaya     membujuk, mereka membawa 'Imarah bin al-Walid bin al-Mughirah ke hadapannya     seraya berujar:"wahai Abu Thalib! Sesungguhnya ini ada seorang pemuda     yang paling rupawan dan tampan di kalangan kaum Quraisy! Ambillah dia, maka     dengan begitu, engkau dapat berbuat sesukamu; mengikatnya atau     membebaskannya (membelanya). Jadikanlah dia sebagai anakmu, maka dia jadi milikmu.     Lalu serahkan kepada kami keponakanmu yang telah menyelisihi agamamu dan     agama nenek-nenek moyangmu itu, menceraiberaikan persatuan kaummu,     membuyarkan impian mereka untuk kami bunuh. Ini adalah barter diantara kita     dan menjadi impas; seorang dengan seorang". Abu Thalib menjawab:     "Demi Allah! sungguh tawaran kalian tersebut sesuatu yang murahan!     Apakah kalian ingin memberikan kepadaku anak kalian ini agar aku beri makan     untuk kepentingan kalian sementara aku memberikan anakku agar kalian     bunuh?. Demi Allah! ini tidak akan pernah terjadi!". Al-Muth'im bin     'Adiy bin Naufal bin 'Abdu Manaf berkata:"Demi Allah, wahai Abu     Thalib! Kaummu telah berbuat adil terhadapmu dan berupaya untuk     membebaskanmu dari hal yang tidak engkau sukai. Jadi, apa sebabnya aku lihat     engkau tidak mau menerima sesuatupun dari tawaran mereka?". Dia     menjawab: "Demi Allah! kalian bukannya berbuat adil terhadapku, akan     tetapi kalian telah bersepakat menghinakanku dan mengkonfrontasikanku     dengan kaum Quraisy. Oleh sebab itu, lakukanlah apa yang ingin kalian     lakukan!". 
 
 Ketika kaum Quraisy gagal dalam perundingan     tersebut dan tidak berhasil membujuk Abu Thalib untuk mencegah Rasululullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam dan mengekang laju dakwahnya kepada Allah;     maka mereka pun memutuskan untuk memilih langkah yang sebelumnya telah     berupaya mereka hindari dan tidak menyerempetnya karena khawatir akan     akibat serta implikasinya, yaitu langkah memusuhi pribadi Rasululullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam. 
 
 Bentuk-Bentuk Pelecehan mereka terhadap Rasulullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam  
 
 Kaum Quraisy membatalkan sikap pengagungan dan     penghormatan yang dulu pernah mereka tampakkan terhadap Rasulullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam semenjak munculnya dakwah Islamiyyah di     lapangan. Memang, sungguh sulit merubah sikap yang terbiasa dengan     kebengisan dan kesombongan untuk berlama-lama sabar, maka dari itu, mereka     mulai mengulurkan tangan permusuhan terhadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi     wasallam. Sebagai implementasinya, mereka melakukan berbagai bentuk ejekan,     hinaan, pencemaran nama baik, pengaburan, keusilan dan lain sebagainya.     Tentunya, sudah lumrah bila yang pertama-tama menjadi ujung tombaknya     adalah Abu Lahab sebab dia adalah seorang kepala suku Bani Hasyim. Dia     tidak pernah memikirkan pertimbangan apapun sebagaimana yang selalu     dipertimbangkan oleh tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Dia adalah musuh     bebuyutan Islam dan para pemeluknya. Sejak pertama, dia sudah menghadang     Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sebelum kaum Quraisy berkeinginan     melakukan hal itu. Kita telah membahas bagaimana prilaku mereka terhadap     Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam di majlis Bani Hasyim dan di bukit Shafa.     Sebelum beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam diutus, Abu Lahab telah     mengawinkan kedua anaknya; 'Utbah dan 'Utaibah dengan kedua putri     Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam; Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Namun     tatkala beliau diutus menjadi Rasul, dia memerintahkan kedua anaknya     tersebut agar menceraikan kedua putri beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam     dengan cara yang kasar dan keras, hingga akhirnya terjadilah perceraian     itu. 
 
 Ketika 'Abdullah, putra kedua Rasulullah wafat,     Abu Lahab amat gembira dan menyampiri semua kaum Musyrikin untuk     memberitakan perihal Muhammad yang sudah menjadi Abtar (orang yang     terputus/buntung) *.  
 
 *Terhadapnya Allah Ta'ala menurunkan ayat 3,     surat al-Kautsar –red. 
 
 Sebagaimana dalam bahasan terdahulu, bahwa Abu     Lahab selalu menguntit di belakang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam     saat musim haji dan di pasar-pasar sebagai upaya mendustakannya. Dalam hal     ini, Thariq bin 'Abdullah al-Muhariby meriwayatkan suatu berita yang     intinya bahwa yang dilakukannya tidak sekedar mendustakan Rasulullah, akan     tetapi lebih dari itu, dia juga memukul beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam     dengan batu hingga kedua tumit beliau berdarah. 
 
 Isteri Abu Lahab, Ummu Jamil binti Harb bin     Umayyah saudara perempuan Abu Sufyan, tidak kalah frekuensi permusuhannya     terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dibanding sang suami. Dia pernah     membawa dedurian dan menebarkannya di jalan yang dilalui oleh Nabi     Shallallâhu 'alaihi wasallam bahkan juga, di depan pintu rumah beliau pada     malam harinya. Dia adalah sosok perempuan yang judes. Lisannya selalu     dijulurkan untuk mencaci beliau, mengarang berita dusta dan berbagai isu,     menyulutkan api fitnah serta mengobarkan perang membabibuta terhadap Nabi     Shallallâhu 'alaihi wasallam. Oleh karena itulah, al-Qur'an menyifatinya     dengan Hammaalatal Hathab (wanita pembawa kayu bakar).  
 
 Ketika dia mendengar ayat al-Qur'an yang turun     mengenainya dan suaminya, dia langsung mendatangi Rasulullah Shallallâhu     'alaihi wasallam yang sedang duduk-duduk bersama Abu Bakar ash-Shiddiq. Dia     telah membawa segenggam batu ditangannya, namun ketika dia berdiri di     hadapan keduanya, Allah membutakan pandangannya dari beliau sehingga dia     tidak melihat selain Abu Bakar, lantas dia berkata: "wahai Abu Bakar!     Mana shahabatmu itu? Aku mendapat berita bahwa dia telah mengejekku. Demi     Allah! andai aku menemuinya niscaya akan aku tampar mulutnya dengan     segenggam batu ini. Demi Allah! Bukankah sesungguhnya aku ini seorang     Penyair?. Kemudian dia menguntai bait berikut (artinya):  
 
 Si tercela yang kami tentang, Urusannya yang     kami tolak, Diennya yang kami benci 
 
 Kemudian dia berlalu. Setelah kepergiannya, Abu     Bakar lantas berkata: "wahai Rasulullah! Adakah engkau melihatnya     dapat melihatmu?". Beliau menjawab: "Dia tidak dapat melihatku.     Sungguh! Allah telah membutakan pandangannya dariku".  
 
 Abu Bakar al-Bazzar meriwayatkan kisah diatas.     Di dalamnya disebutkan bahwa ketika dia berdiri di hadapan Abu Bakar, dia     berkata: "wahai Abu Bakar! Shahabatmu itu telah mengejek kami".     Abu Bakar menjawab: "Tidak, demi Rabb bangunan ini (Ka'bah)! Dia tidak     pernah berbicara dengan memakai sya'ir ataupun melantunkannya". Dia     menjawab: "Sungguh! apa yang engkau ucapkan memang benar". 
 
 Demikianlah yang dilakukan oleh Abu Lahab     padahal beliau adalah paman beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sekaligus     tetangganya, rumahnya menempel dengan rumah beliau. Sama seperti     tetangga-tetangga beliau yang lain yang selalu mengganggu beliau padahal     beliau tengah berada di dalam rumah. 
 
 Ibnu Ishaq berkata: "Mereka yang selalu     mengganggu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam saat beliau berada di rumah     tersebut adalah Abu Lahab, al-Hakam bin Abi al-'Ash bin Umayyah, 'Uqbah bin     Abi Mu'ith, 'Adiy bin Hamra' ats-Tsaqafy dan Ibnu al-Ashda' al-Hazaly.     Semuanya adalah tetangga-tetangga beliau namun tak seorangpun diantara     mereka yang masuk Islam kecuali al-Hakam bin Abi al-'Ash. Salah seorang     diantara mereka ada yang melempari beliau dengan rahim kambing saat beliau     tengah melakukan shalat. Yang lain lagi, bila priuk milik beliau -yang     terbuat dari batu- tengah dipanaskan, pernah memasukkan bangkai tersebut ke     dalamnya. Hal ini, membuat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mamasang     tabir agar dapat terlindungi dari mereka manakala beliau tengah melakukan     shalat. Bila usai mereka melakukan hal itu, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi     wasallam membawanya keluar dan meletakkannya diatas sebatang ranting,     kemudian berdiri di depan pintu rumahnya lalu berseru: "wahai Bani     'Abdi Manaf! Tetangga-tetangga model apa yang begini kelakuannya?".     Kemudian barang tersebut beliau lempar ke jalan. 
 
 'Uqbah bin Abi Mu'ith malah melakukan hal yang     lebih buruk dan busuk dari itu lagi. Imam Bukhari meriwayatkan dari     'Abdullah bin Mas'ud radhiallaahu 'anhu bahwa pernah suatu hari Nabi     Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan shalat di sisi Baitullah sedangkan     Abu Jahal dan rekan-rekannya tengah duduk-duduk. Lalu sebagian mereka     berkata kepada sebagian yang lain: "Siapa diantara kalian yang akan     membawa kotoran onta Bani Fulan lalu menumpahkannya ke punggung Muhammad     saat dia sedang sujud?". Maka bangkitlah 'Uqbah bin Abi Mu'ith, sosok yang     paling sangar diantara mereka, membawa kotoran tersebut sembari     memperhatikan gerak-gerik Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam.     Tatkala beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam beranjak sujud kepada Allah,     dia menumpahkan kotoran tersebut ke arah punggungnya diantara dua bahunya.     Aku (Ibnu Mas'ud-red) memandangi hal itu dan ingin sekali melakukan sesuatu     andai aku memiliki perlindungan (suaka). Lalu mereka tertawa sambil     masing-masing saling mencolek dan memiringkan badan satu sama lainnya     dengan penuh kesombongan dan keangkuhan sedangkan Rasulullah masih sujud.     Beliau tidak dapat mengangkat kepalanya hingga Fathimah datang dan membuang     kotoran tersebut dari punggung beliau, barulah beliau mengangkat kepala,     kemudian berdoa: 'Ya Allah! berilah balasan (setimpal) kepada kaum Quraisy     tersebut'. Beliau mengucapkannya tiga kali. Doa beliau ini menyesakkan hati     mereka. Dia (Ibnu Mas'ud-red) bertutur lagi: 'mereka menganggap bahwa     berdoa di negeri itu (Mekkah) adalah mustajabah. Kemudian dalam doanya     tersebut, beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menyebutkan nama mereka satu     per-satu: ' Ya Allah! binasakanlah Abu Jahal, 'Utbah bin Rabi'ah, Syaibah     bin Rabi'ah, al-Walid bin 'Utbah, Umayyah bin Khalaf, 'Uqbah bin Abi Mu'ith     – Ibnu Mas'ud menyebutkan yang ke tujuh namun tidak mengingat namanya - .     Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya! Sungguh aku telah melihat orang-orang     yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tewas     mengenaskan di al-Qalib , yaitu kuburan di Badar, Madinah". Adapun     nama orang yang ke tujuh tersebut adalah 'Imarah bin al-Walid. 
 
 Lain lagi yang dilakukan oleh Ummayyah bin     Khalaf; bila melihat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam, dia langsung     mengumpat dan mencelanya. Karenanya, turunlah terhadapnya     ayat:"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat (al-Humazah) lagi     pencela". (Q.S. 104/al-Humazah: 1). Ibnu Hisyam berkata:"kata     al-Humazah maknanya adalah orang yang mencemooh seseorang secara     terang-terangan dan tanpa tedeng aling-aling, memain-mainkan kedua matanya     sambil mengerdipkannya, sedangkan kata al-Lumazah maknanya adalah orang     yang mencela manusia secara sembunyi dan menyakiti hati mereka". 
 
 Sama halnya dengan saudara laki-lakinya, Ubay     bin Khalaf; mereka berdua seiring dan sejalan. Suatu ketika, 'Uqbah duduk     di majlis Nabi sembari mendengarkan dakwahnya, namun manakala berita     tersebut sampai ke telinga Ubay; dia langsung mencaci dan mencemooh     saudaranya tersebut serta memintanya agar meludah ke wajah Rasulullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam , maka diapun melakukannya. Sementara Ubay     sendiri juga tidak mau kalah, dia menumbuk tulang belulang yang ada hingga     remuk redam lalu meniupkannya ke angin yang berhembus ke arah Rasulullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam. 
 
 Bentuk pelecehan lainnya adalah apa yang     diperbuat oleh al-Akhnas bin Syuraiq at-Tsaqafy yang selalu mengerjai     Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Untuk itu, al-Qur'an menyifatinya     dengan sembilan sifat yang menyingkap perangainya, yaitu firman Allah     Ta'ala: " Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah     lagi hina (10). Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah     (11). Yang enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (12).     Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (13)".     (Q.S. 68/al-Qalam: 10-13). 
 
 Demikian pula dengan Abu Jahal, terkadang dia     datang kepada Rasulullah dan mendengarkan al-Qur'an, kemudian berlalu namun     hal itu tidak membuatnya beriman, tunduk, sopan apalagi takut. Bahkan dia     menyakiti Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan perkataannya, menghadang     jalan Allah, berlalu lalang dengan angkuh memproklamirkan apa yang     diperbuatnya dan bangga dengan kejahatan yang dilakukannya tersebut seakan     sesuatu yang enteng saja. Terhadapnya turunlah ayat: "Dan ia tidak mau     membenarkan (Rasul dan al-Qur'an) dan tidak mau mengerjakan shalat…     dst". (QS. 75/al-Qiyaamah: 31- dst). Dia selalu mencegah Rasulullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk melakukan shalat sejak pertama kali     melihat beliau melakukannya di Masjid al-Haram. Suatu kali, dia melewati     beliau yang sedang melakukan shalat di sisi Maqam (nabi Ibrahim     'alaihissalaam-red), lalu berkata: "wahai Muhammad! Bukankah sudah aku     larang engkau melakukan ini?". Dia mengancam beliau, mengasari serta     membentaknya. Dia berkata kepada beliau:"wahai Muhammad! Dengan apa     engkau akan mengancamku?Demi Allah! bukankah sesungguhnya aku adalah orang     yang paling banyak memanggil (berdoa) di lembah ini (Mekkah)". Maka     turunlah ayat: "Maka biarkanlah dia memanggil golongannya (untuk     menolongnya),[17]. kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah,[18]     ". (Q.S.96/al-'Alaq: 17-18).  
 
 Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa Nabi     Shallallâhu 'alaihi wasallam mencengkeram lehernya dan     menggoyang-goyangkannya sembari membacakan firman Allah:     "Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu,[34].     kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah     bagimu.[35]". (Q.S. 75/al-Qiyaamah: 34-35). Lantas musuh Allah itu     berkata: "Engkau hendak mengancamku, wahai Muhammad? Demi Allah!     engkau dan TuhanMu tidak akan sanggup melakukan apapun. Sesungguhnya     aku-lah seperkasa orang yang berjalan diantara dua gunung di Mekkah     ini!". 
 
 Sekalipun sudah membentak-bentak tersebut, Abu     Jahal tidak pernah kapok dari kedunguannya bahkan semakin blingsatan saja.     Berkaitan dengan ini, Imam Muslim mengeluarkan dari Abu Hurairah, dia     berkata: "Abu Jahal berkata:'Apakah Muhammad sujud dan menempelkan     jidatnya di tanah (shalat) di depan batang hidung kalian?". Salah     seorang menjawab: "ya, benar!". Dia berkata lagi:"demi     al-Laata dan al-'Uzza! Sungguh aku akan menginjak-injak lehernya dan     membenamkan mukanya ke tanah!". Tak berapa lama, datanglah Rasulullah     lalu melakukan shalat. Abu Jahal sebelumnya mendakwa akan menginjak-injak     lehernya, namun sebaliknya, yang terjadi sungguh mengagetkan mereka; dia     tidak jadi bergerak maju dan malah menutupi kedua tangannya untuk     berlindung. Mereka lalu bertanya: "wahai Abu Jahal! Ada apa gerangan     denganmu?". Dia menjawab: "Sesungguhnya ada parit dari api,     sesuatu yang menakutkan dan sayap-sayap yang mengantarai aku dan dia".     Kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata: "andai dia     sedikit lagi mendekat kepadaku, niscaya tubuhnya akan disambar malaikat dan     terkoyak satu per-satu". 
 
 Demikianlah gambaran yang amat mini sehubungan     dengan bentuk-bentuk pelecehan dan penganiayaan yang dialami oleh     Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan kaum Muslimin dari para Thaghut     kaum Musyrikin yang mendakwa bahwa mereka adalah Ahlullah (Kekasih Allah)     dan penduduk tanah haramNya. 
 
 Aktivitas di Darul Arqam 
 
 Diantara hikmah kenapa Rasulullah dalam     menghadapi penindasan-penindasan tersebut, melarang kaum Muslimin     memproklamirkan keislaman mereka baik dalam bentuk perkataan maupun     perbuatan serta tidak mengizinkan mereka bertemu dengan beliau kecuali     secara rahasia adalah karena bila mereka bertemu dengan beliau secara     terbuka maka tidak diragukan lagi kaum Musyrikin akan membatasi gerak     beliau sehingga keinginan beliau untuk mentazkiyah (menyucikan diri) kaum     Muslimin dan mengajarkan mereka al-Kitab dan as-Sunnah akan terhalangi. Dan     barangkali, bisa menyebabkan berbenturnya antara kedua belah pihak bahkan     (realitasnya) hal itu benar-benar terjadi pada tahun ke empat dari     kenabian, yaitu manakala shahabat-shahabat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi     wasallam berkumpul di lereng-lereng perbukitan tempat mereka melakukan     shalat secara rahasia. Tiba-tiba, hal itu terlihat oleh beberapa orang     kafir Quraisy. mereka ini lalu mencaci maki dan memerangi mereka.     Menghadapi hal itu, Sa'ad bin Abi Waqqash yang merupakan salah seorang dari     para shahabat tersebut memukul seorang dari kaum Musyrikin tersebut     sehingga tertumpahlah darah ketika itu. Inilah, darah pertama yang     tertumpah dalam Islam. 
 
 Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa bila     perbenturan ini terus terulang dan berkepanjangan maka tentunya akan     berdampak kepada musnah dan binasanya kaum Muslimin. Oleh karena itu,     adalah bijak untuk melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Nyatanya, para     shahabat secara umum menyembunyikan keislaman, peribadatan, dakwah dan     pertemuan mereka. Sedangkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam     melakukannya secara terbuka dalam berdakwah dan beribadah di depan mata     kaum Musyrikin. Tidak ada sesuatupun yang dapat menghalang-halanginya.     Namun begitu, beliau tetap melakukan pertemuan dengan kaum Muslimin secara     rahasia demi kepentingan mereka dan agama Islam. Maka adalah Daar     (kediaman) al-Arqam bin Abi al-Arqam berada diatas bukit shafa dan     terpencil sehingga luput dari intaian para Thaghut dan bahan pembicaraan     persidangan-persidangan mereka. Tempat itulah yang dijadikan oleh beliau     Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai pusat dakwah dan berkumpulnya kaum     Muslimin. Disana, beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,     menyucikan hati mereka serta mengajarkan mereka al-Kitab dan al-Hikmah     (as-Sunnah). 
 
  |         |      
 
 TAHAPAN KEDUA BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH     JAHRIYYAH)  
 
 
 
 Hijrah Pertama menuju negeri Habasyah 
 
 Penindasan yang terjadi, pada permulaannya -     yakni pada pertengahan atau akhir tahun ke-4 dari kenabian - adalah tidak     seberapa, namun kemudian dari hari demi hari bahkan bulan demi bulan     berubah menjadi lebih sadis dan mengkhawatirkan, terutama pada pertengahan     tahun ke-5 sehingga tiada tempat lagi bagi mereka di Mekkah dan memaksa     mereka untuk memikirkan siasat lolos dari siksaan-siksaan tersebut. Dalam     kondisi yang seperti inilah, turun surat az-Zumar yang mengisyaratkan     perlunya berhijrah dan mengumumkan bahwa bumi Allah tidaklah sempit, dalam     firmanNya: "…orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh     kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang     yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas".     (Q.S.39/az-Zumar: 10). Rasulullah telah mengetahui bahwa Ash-himah     an-Najasyi, raja Habasyah adalah seorang yang adil, tidak seorangpun yang     berada disisinya terzhalimi; oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum     Muslimin agar berhijrah ke sana guna menyelamatkan agama mereka dari     fitnah. 
 
 Rombongan pertama yang membawa para shahabat     bergerak pada bulan Rajab tahun ke-5 dari kenabian. Rombongan ini terdiri dari     12 orang laki-laki dan 4 orang wanita, dikepalai oleh 'Utsman bin 'Affan     yang ditemani oleh Ruqayyah binti Rasulillah Shallallâhu 'alaihi wasallam.     Rasulullah menyifati keduanya sebagai "keluarga pertama yang berhijrah     di jalan Allah setelah Nabi Ibrahim dan Luth 'alaihimassalaam". 
 
 Kepergian mereka dilakukan dengan     mengendap-endap pada malam yang gelap-gulita –agar tidak diketahui oleh     kaum Quraisy- menuju laut kemudian mengarah ke pelabuhan rakyat. Ternyata,     takdir mereka sejalan dan seiring dengan itu dimana ketika itu ada dua buah     kapal dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan merekapun ikut serta     bersamanya. Kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal itu, lalu menelusuri jejak     perjalanan kaum muslimin akan tetapi tatkala mereka baru sampai di tepi pantai,     kaum muslimin telah bergerak dengan aman. Akhirnya, kaum muslimin menetap     di Habasyah dan mendapatkan sebaik-baik pelayanan. 
 
 Kisah sujudnya kaum Musyrikin dan kembalinya     kaum muslimin yang berhijrah 
 
 Pada bulan Ramadhan di tahun yang sama, Rasulullah     pergi ke mesjid al-Haram. Ketika itu, sekumpulan besar kaum Quraisy tengah     berada disana; terdapat para pemuka dan tokoh-tokoh mereka. Beliau     Shallallâhu 'alaihi wasallam kemudian berdiri di tengah mereka sembari     melantunkan surat an-Najm tanpa sepengetahuan mereka alias secara     tiba-tiba. Orang-orang kafir tersebut sebelumnya, tidak pernah mendengarkan     secara langsung Kalamullah, karena program yang mereka lancarkan secara     kontinyu adalah melakukan apa yang telah saling diingatkan oleh sebagian mereka     terhadap sebagian yang lain yang bunyinya sebagaimana dalam firmanNya:     "…janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur'an ini     dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan     (mereka)". (Q.S.41/Fushshilat: 26). Maka, manakala lantunan surat     tersebut menyergap mereka secara tiba-tiba dan Kalam Ilahi yang demikian     indah menawan – yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata akan     keagungan dan keindah-menawanannya- mengetuk telinga mereka; mereka seakan     mengesampingkan semua apa yang tengah dilakukan dan masing-masing     terkonsentrasi untuk mendengarkannya sehingga tidak ada yang terlintas di     hatinya selain lantunan itu. Lalu sampailah beliau pada akhir surat ini;     ketukan yang membawa hati seakan terbang melayang, beliau membaca firmanNya     :"…maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia".     (Q.S.53/an-Najm: 62), kemudian beliau sujud. Melihat pemandangan itu, tak     seorangpun dari mereka yang dapat menahan dirinya untuk tidak sujud,     sehingga merekapun sujud bersama beliau. Sebenarnya, keindah-menawanan     al-Haq telah meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa-jiwa kaum yang     takabbur dan suka mengejek; mereka semua tak sanggup menahannya bahkan     jatuh bersujud kepada Allah. 
 
 Mereka linglung dan tak tahu harus berbuat apa,     manakala keagungan Kalamullah telah mempelintir kendali yang selama ini     mereka pegang sehingga membuat mereka melakukan sesuatu yang selama ini     justru dengan susah payah berusaha mereka hapus dan lenyapkan. Kejadian     tersebut mendapatkan kecaman dari teman-teman mereka yang tidak sempat     hadir ketika itu. Dengan begitu, mereka merasa inilah pula momen bagi     mereka untuk mendustakan Rasulullah dan mencemarkan nama baik beliau dengan     membalikkan fakta yang sebenarnya; yaitu, bahwa yang terjadi sebenarnya,     justru beliau-lah yang berbuat demikian terhadap berhala mereka. Mereka     mengatakan bahwa kisah itu hanyalah " itulah al-Gharaniiq yang Mulia,     yang syafa'atnya selalu diminta ". Isu bohong ini mereka     gembar-gemborkan agar dapat menjadi alasan sujud mereka bersama Nabi Shallallâhu     'alaihi wasallam ketika itu. Tentunya, respons semacam ini tidak begitu     mengherankan sekali sebab sumbernya adalah dari orang yang selama ini     pekerjaannya suka mengarang-ngarang dusta serta menghembuskan isu.  
 
 Berita tersebut (tentang sujudnya kaum     Quraisy-red) sampai ke telinga kaum muslimin yang berhijrah di Habasyah     akan tetapi versi beritanya sangat kontras dengan realitas yang sebenarnya;     yang sampai kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Oleh karena     itu, merekapun kembali ke Mekkah pada bulan Syawwal di tahun yang sama,     namun ketika mereka berada di tempat yang tidak berapa jauh dari Mekkah,     yaitu sesaat di waktu siang lalu mereka akhirnya mengetahui duduk     persoalannya; sebagian mereka ada yang kembali lagi ke Habasyah sedangkan sebagian     yang lain ada yang memasuki Mekkah secara diam-diam atau berlindung di     bawah suaka seseorang dari suku Quraisy. 
 
 Hijrah Kedua ke negeri Habasyah 
 
 Setelah peristiwa tersebut, kaum Quraisy     meningkatkan frekuensi penindasan dan penyiksaan terhadap mereka dan kaum     muslimin secara umum, tak luput suku mereka sendiri memperlakukan hal yang     hampir sama. Meskipun demikian, kaum Quraisy merasa gerah dengan berita     yang mereka dapatkan bahwa an-Najasyi adalah seorang raja yang     memperlakukan tamunya dengan baik. Disamping itu, Rasulullah juga telah     memberikan isyarat bolehnya para shahabat berhijrah kembali ke negeri     Habasyah. Perjalanan hijrah kali ini dirasakan amat sulit dari perjalanan     sebelumnya mengingat kaum Quraisy sudah mengantisipasinya dan bertekad untuk     menggagalkannya. Akan tetapi, Allah memudahkan perjalanan kaum muslimin     sehingga mereka bergerak lebih cepat dan menuju kepada suaka an-Najasyi,     raja Habasyah sebelum kaum Quraisy menciumnya. 
 
 Hijrah kali ini membawa rombongan yang terdiri     dari 83 orang laki-laki - dalam hal ini, riwayat yang menyatakan     keikutsertaan 'Ammar bin Yasir dalam rombongan ini masih diragukan     kevalidannya - dan 18 atau 19 orang wanita. 
 
 Trik kaum Quraisy untuk memperdaya kaum muslimin     yang berhijrah ke Habasyah 
 
 Kaum musyrikin tidak pernah merasa senang bila     kaum muhajirin tersebut mendapatkan keamanan bagi diri dan dien mereka.     Untuk itulah, mereka mengutus dua orang pilihan yang dikenal sebagai orang     telah yang teruji lagi cerdik, yaitu 'Amru bin al-'Ash dan 'Abdulullah bin Abi     Rabi'ah – sebelum keduanya masuk Islam -. Keduanya membawa titipan hadiah     yang menggiurkan dari pemuka Quraisy untuk an-Najasyi dan para uskupnya.     Kedua orang ini mempersembahkan hadiah kepada para uskup terlebih dahulu     sambil membekali mereka beberapa alasan yang dengannya kaum muslimin dapat     diusir dari negerinya. Setelah para uskup menyetujui untuk mengangkat     permintaan keduanya tersebut kepada an-Najasyi agar mengusir kaum muslimin,     keduanya langsung berhadapan dengan sang raja, menyerahkan beberapa buah     hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya. Keduanya berkata: "wahai     tuan raja! Sesungguhnya beberapa orang yang masih bau kencur memasuki     negeri anda sebagai orang asing; mereka meninggalkan agama kaum mereka     namun tidak juga menganut agamamu bahkan mereka membawa agama baru yang     tidak kami ketahui, demikian juga dengan tuan. Kami disini, adalah sebagai     utusan kepadamu. Diantara orang yang mengutus kami tersebut ada yang     merupakan pemuka kaum mereka dari nenek moyang, paman-paman serta suku     mereka agar tuan mengembalikan para pendatang ini kepada mereka. Tentunya,     mereka lebih banyak memantau tindak tanduk para pendatang tersebut dan     polah mereka mencela dan mencaci-maki mereka". 
 
 Para uskup serta merta menimpali: "benar     apa yang dikatakan oleh keduanya wahai tuan raja! Serahkanlah mereka kepada     keduanya agar keduanya membawa mereka pulang ke kaum dan negeri     mereka". 
 
 Akan tetapi an-Najasyi berpandangan bahwa     masalah ini perlu ada kejelasan dan mendengarkan dari kedua belah pihak     sekaligus. Lalu dia mengutus orang untuk menemui kaum muslimin dan     mengundang mereka untuk hadir. Merekapun menghadirinya dan telah bersepakat     akan mengatakan sejujur-jujurnya apa yang telah terjadi. An-Najasyi berkata     kepada mereka:"apa gerangan agama yang bisa memisahkan kalian dari     kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk ke dalam agamaku atau     agama-agama yang lain?". 
 
 Ja'far bin Abi Thalib sebagai juru bicara kaum     muslimin bertutur:"wahai tuan raja! Kami dahulunya adalah ahli     Jahiliyyah; menyembah berhala, memakan bangkai binatang, melakukan     perbuatan keji, memutus tali rahim, suka mengusik tetangga. Kaum yang kuat     diantara kami menindas kaum yang lemah. Demikianlah kondisi kami ketika     itu, hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari bangsa kami     sendiri yang kami tahu persis nasab, kejujuran, amanat serta kesucian     dirinya. Lalu dia mengajak kami kepada Allah guna mentauhidkan dan     menyembahNya serta agar kami tidak lagi menyembah batu dan berhala yang     dulu disembah oleh nenek moyang kami. Beliau memerintahkan kami agar     berlaku jujur dalam bicara, melaksanakan amanat, menyambung tali rahim,     berbuat baik kepada tetangga dan menghindari pertumpahan darah. Dia     melarang kami melakukan perbuatan yang keji, berbicara ngibul, memakan     harta anak yatim serta menuduh wanita yang suci melakukan zina tanpa bukti.     Beliau memerintahkan kami agar menyembah Allah semata, tidak     menyekutukanNya dengan sesuatupun, memerintahkan kami agar melakukan     shalat, membayar zakat, berpuasa, (….selanjutnya Ja'far menyebutkan hal-hal     lainnya) … lalu kami membenarkan hal itu semua dan beriman kepadanya. Kami     ikuti ajaran yang dibawanya dari Allah ; kami sembah Allah semata dan tidak     menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, apa yang diharamkannya atas kami adalah     haram menurut kami dan dan apa yang dihalalkannya adalah halal menurut     kami. Lantaran itu, kaum kami malah memusuhi kami, menyiksa, merayu agar     keluar dari agama yang memerintahkan kami beribadah kepada Allah, dan     mengajak kami kembali menyembah berhala-berhala, menghalalkan kami     melakukan perbuatan-perbuatan keji yang dahulu pernah kami lakukan. Nah,     manakala mereka memaksa kami, menganiaya, mempersempit ruang gerak serta     menghalangi agar kami tidak dapat melakukan ritual agama, kami akhirnya     menempuh jalan melarikan diri menuju negeri tuan. Kami lebih memilih tuan     daripada selain tuan dan lebih suka berada dibawah suaka tuan. Ini semua     dengan harapan agar kami tidak terzhalimi disisimu, wahai tuan raja!". 
 
 An-Najasyi bertanya: "apakah ada sesuatu     yang dibawanya dari Allah bersama kalian?". Ja'far menjawab: "ya!     Ada". An-Najasyi bertanya lagi: "tolong bacakan kepadaku!".     Lalu dia membacakan permulaan surat Maryam, firmanNya:     "Kâf-hâ-yâ-'aîn-shâd". Manakala mendengar lantunan ayat tersebut,     demi Allah! (ucapan ini sebenarnya berasal dari penutur kisah ini, yaitu     Ummu Salamah yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri peristiwa     ini-red) sang rajapun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya.     Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata mereka membasahi     mushhaf-mushhaf (lembaran-lembaran-red) yang berada di tangan mereka.     Kemudian an-Najasyi berkata kepada mereka:"sesungguhnya ini dan apa     yang dibawa oleh 'Isa adalah bersumber dari satu lentera". Lalu kepada     kedua utusan Quraisy dia berkata:"pergilah kalian berdua, demi Allah,     sekali-kali tidak akan aku serahkan mereka kepada kalian dan tidak akan hal     itu terjadi". Keduanya pun keluar namun 'Amru bin al-'Ash sempat     berkata kepada 'Abdullah bin Rabi'ah: "demi Allah! sungguh akan aku     datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan perihal mereka dan akan aku     habisi mereka (argumentasi kaum muslimin-red) sebagaimana aku menghabisi     ladang mereka". 'Abdullah bin Rabi'ah berkata: "jangan kamu     lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih memiliki hubungan tali rahim     dengan kita sekalipun mereka menentang kita". Akan tetapi 'Amru tetap     ngotot dengan tekadnya. 
 
 Benar saja, keesokan harinya dia mendatangi     an-Najasyi dan berkata kepadanya:"wahai tuan raja! Sesungguhnya mereka     itu mengatakan suatu perkataan yang sangat serius terhadap 'Isa bin     Maryam". An-Najasyi pun mengirim utusan kepada kaum muslimin untuk     mempertanyakan perihal perkataan terhadap 'Isa al-Masih tersebut. Mereka     sempat kaget menyikapi hal itu, namun akhirnya tetap bersepakat untuk     berkata dengan sejujur-jujurnya apapun yang terjadi. Ketika mereka datang     di hadapan sang raja dan dia bertanya kepada mereka tentang hal itu, Ja'far     berkata kepadanya:"kami mengatakan tentangnya sebagaimana yang dibawa     oleh Nabi kami Shallallâhu 'alaihi wasallam : 'dia adalah hamba Allah,     Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, si     perawan yang ahli ibadah".  
 
 An-Najasyi kemudian memungut sebatang ranting     pohon dari tanah seraya berujar:"demi Allah! apa yang kamu ungkapkan     itu tidak melangkahi 'Isa bin Maryam meski seukuran ranting ini".     Mendengar itu, para uskup mendengus, dan dengusan itu angsung     ditimpalinya:'demi Allah! sekalipun kalian mendengus". 
 
 Dia kemudian berkata kepada kaum     muslimin:"pergilah! Kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang     mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka     dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Aku     tidak akan menyakiti siapapun diantara kalian, meski aku memiliki gunung     emas" (perkataan itu diungkapkan dalam bahasa Habasyah). 
 
 Kemudian an-Najasyi berkata kepada para pejabat     istana: "Kembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada keduanya, karena aku     tidak memerlukannya. Demi Allah! Dia Ta'ala tidak pernah mengambil sogokan     dariku tatkala kerajaan ini Dia kembalikan kepadaku, sehingga dengan itu,     aku patut mengambilnya pula, dan Dia juga tidak membuat manusia patuh     kepadaku sehingga aku harus patuh pula kepada mereka karena itu".  
 
 Ummu Salamah yang meriwayatkan kisah ini     berkata: "kemudian keduanya keluar dari hadapannya dengan raut muka     yang kusam karena alasan yang dikemukakan mental sama sekali. Setelah itu,     kami menetap disisinya dengan penuh kenyamanan bersama tetangga yang paling     baik". 
 
 Riwayat ini adalah versi Ibnu Ishaq, sedangkan     riwayat lainnya menyebutkan bahwa perutusan 'Amru bin al-'Ash kepada     an-Najasyi terjadi setelah perang Badr. Sebagian ahli sejarah menyinkronkan     kedua versi riwayat tersebut dengan menyatakan bahwa perutusan itu terjadi     dua kali akan tetapi tanya jawab-tanya jawab yang disebutkan terjadi antara     an-Najasyi dan Ja'far dalam perutusan yang kedua kalinya itu adalah hampir     sama dengan apa yang diriwayatkan dalam versi Ibnu Ishaq. Selain itu,     materi yang termuat dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan     terjadinya proses murâfa'at (pembelaan, pendengaran di muka hakim dalam     istilah hukum-red) pertama yang diadukan kepada an-Najasyi. 
 
  |         |      
 
 TAHAPAN KEDUA BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH     JAHRIYYAH)  
 
 Meningkatnya frekuensi siksaan dan upaya     menghabisi Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam  
 
 Manakala kaum musyrikun gagal dalam tipu     muslihat mereka untuk memulangkan kaum Muhajirin; mereka semakin bertambah     geram. Kedongkolan mereka bervariasi antara satu dan yang lainnya. Semakin     lama semakin memuncak dan mereka timpakan juga kepada kaum muslimin yang     lainnya, bahkan mereka sudah menjangkaukan tangan mereka kepada Rasulullah     untuk menyakiti beliau. Tampak dari gerak-gerik mereka hal yang menunjukkan     adanya keinginan untuk menghabisi Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam     sehingga mereka dapat menumpas habis fitnah hingga ke akar-akarnya yang     selama ini menggetarkan tempat tidur mereka, sebagaimana yang mereka kira. 
 
 Sedangkan kaum Muslimin sendiri, sebagian mereka     masih tinggal di Mekkah meskipun dalam jumlah yang sedikit. Mereka dapat     melakukan hal itu baik lantaran ada diantara mereka yang memang termasuk     orang-orang terpandang dan memiliki gigi atau mendapatkan suaka dari     seseorang. Meskipun demikian, mereka tetap menyembunyikan keislaman mereka     dan menjauh dari pandangan para Thughat sedapat mungkin. Akan tetapi,     sekalipun kehati-hatian dan kewaspadaan itu dilakukan, mereka sama sekali     tidak dapat lolos begitu saja dari gangguan, penghinaan serta penganiayaan.      
 
 Dalam pada itu, Rasulullah tetap melakukan     shalat dan beribadah kepada Allah didepan mata kepala para Thughat     tersebut; beliau leluasa berdoa baik secara pelan atau terang-terangan.     Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi dan memalingkannya dari hal itu     sebab semua itu dilakukan dalam rangka menyampaikan risalah Allah semenjak     beliau diperintahkan olehNya, dalam firmanNya: "Maka sampaikanlah     olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari     orang-orang yang musyrik". (QS. 15/Al-Hijr: 94).  
 
 Dengan demikian, sebenarnya sewaktu-waktu, bisa     saja kaum Musyrikun menyakiti beliau bila mereka mau sebab secara zhahirnya     tidak ada yang menghalangi antara mereka dan diri beliau selain rasa malu     dan segan serta adanya jaminan Abu Thalib dan rasa hormat terhadapnya.     Sebab lainhnya, karena kekhawatiran mereka terhadap akibat yang fatal dari     tindakan tersebut sehingga akan membuat suku Bani Hasyim berhimpun melawan     mereka. Namun, lambat laun perasaan tersebut pupus dan tidak berpengaruh     banyak terhadap physikologis mereka; karenanya mereka mulai menganggap     remeh akan hal itu semenjak mereka merasa eksistensi berhala dan kepimpinan     sprituil yang selama ini mereka pegang sudah semakin memudar, kalah saing     oleh dakwah Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam. 
 
 Diantara peristiwa-peristiwa yang dikisahkan     oleh kitab-kitab as-Sunnah dan Sirah kepada kita serta didukung oleh     bukti-bukti otentik bahwa memang terjadi pada masa tersebut adalah kisah     'Utaibah bin Abi Lahab yang mendatangi Rasululullah pada suatu hari sembari     berkata:"aku mengingkari firman Allah: [wan najmi idzâ hawâ: Demi     bintang ketika terbenam, (QS. 53:1)] dan yang (disebutkan sebagai) [danâ fa     tadallâ : Kemudian dia (Jibril) mendekat, lalu bertambah dekat lagi, (QS.     53:8)] ". Selepas itu, dia menyakiti beliau, merobek bajunya serta     meludah ke arah wajahnya namun untung saja tidak mengenainya. Ketika itu     Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mendoakan (kebinasaan) atasnya: "Ya     Allah, kirimkanlah kepadanya seekor anjing dari anjing-anjing (ciptaanMu)     untuk (menerkam)-nya". Doa beliau ini telah diijabah oleh Allah, yaitu     manakala suatu hari 'Utaibah keluar bersama beberapa orang Quraisy dan     singgah di suatu tempat di Syam yang bernama az-Zarqâ'. Pada malam itu, ada     banyak singa yang berkeliaran disitu. Melihat hal itu, 'Utaibah serta merta     berseloroh: "wahai saudaraku, sungguh celaka! Inilah, demi Allah,     pemangsaku sebagaimana yang didoakan oleh Muhammad atasku. Dia membunuhku     padahal sedang berada di Mekkah sedangkan aku di Syam". Lalu singa itu     menerkamnya di tengah kerumunan kaum tersebut, mencengkram kepalanya dan     membunuhnya.  
 
 Kisah lainnya; disebutkan bahwa 'Uqbah bin Abi     Mu'ith menginjak pundak beliau yang mulia saat beliau sedang sujud sehingga     hampir-hampir kedua biji matanya keluar. 
 
 Diantara bukti lain yang menunjukkan bahwa para     Thughat tersebut ingin membunuh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah     kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Abdullah bin 'Amru bin     al-'Âsh, dia berkata:  
 
 "Aku datang saat mereka berkumpul-kumpul di     hijr (yakni, Hijr Isma'il di Ka'bah-red), mereka menyebut-nyebut perihal     Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Mereka berkata: 'Kita tidak pernah     sampai menahan kesabaran seperti halnya kita sabar terhadap orang ini     (Rasulullah-red), padahal, kita telah menahan sabar terhadapnya dalam     masalah yang serius'. Manakala mereka dalam kondisi demikian, muncullah     Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam menuju ke sana dengan berjalan,     lalu beliau menyalami ar-Rukn (al-Yamaniy, salah satu sudut Ka'bah-red),     kemudian beliau melewati mereka dan mengelilingi Baitullah. Mereka menghina     beliau dengan beberapa ucapan, maka aku mengetahui hal itu dari raut wajah     Rasulullah. Ketika beliau melewati mereka untuk kedua kalinya, mereka tetap     melakukan hal yang sama terhadapnya dan aku mengetahuinya juga dari raut     wajah beliau, kemudian beliau melewati mereka untuk ketiga kalinya dan     mereka masih melakukan hal yang sama terhadapnya, lalu beliau berhenti dan     berkata kepada mereka:'maukah kalian mendengarkan (ini) wahai kaum Quraisy!     Demi Yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku datang membawakan sembelihan     untuk kalian". Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi     mereka sehingga tidak seorangpun dari mereka melainkan seakan-akan ada     burung yang bertengger diatas kepalanya. Bahkan orang yang paling kasar     diantara mereka, memberikan ucapan selamat kepada beliau dengan sebaik-baik     ucapan yang pernah beliau dapatkan. Orang itu berkata: 'pergilah wahai Abu     al-Qâsim ! Demi Allah! engkau bukanlah orang yang bodoh'. 
 
 Pada keesokan harinya, mereka berkumpul kembali     dan memperbincangkan perihal beliau, ketika beliau muncul, mereka secara     serentak merubung dan mengitari beliau. Aku melihat salah seorang diantara     mereka memegang jubah beliau, lantas Abu Bakar dengan segera membela,     sembari menangis, dia berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang     lantaran dia berucap:'Rabb-ku adalah Allah?'. Kemudian mereka berlalu. Ibnu     'Amru berkata: 'sungguh pemandangan itu merupakan perlakuan paling kasar     yang pernah kulihat dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap beliau' ".     Demikian ringkasan kisahnya.  
 
 Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari     dari 'Urwah bin az-Zubair, dia berkata:"aku bertanya kepada Ibnu 'Amru     bin al-'Âsh: 'beritahukanlah kepadaku tentang perlakuan yang paling keras     yang dilakukan oleh kaum Musyrikun terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi     wasallam !'. Dia menjawab: ' saat Nabi sedang shalat di hijr Ka'bah,     datanglah 'Uqbah bin Abi Mu'ith, lalu dia melilitkan pakaiannya ke leher     beliau dan menariknya dengan kencang. Kemudian, Abu Bakar datang dan     mencangkram pundaknya lalu mengenyahkannya dari sisi Nabi Shallallâhu     'alaihi wasallam sembari berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang     lantaran dia mengatakan: 'Rabb-ku adalah Allah?' ".  
 
 Dalam hadits yang diriwayatkan dari Asma'     disebutkan: "lantas ada orang yang berteriak datang kepada Abu Bakar     seraya berkata: 'temuilah shahabatmu! (yakni, Rasulullah-red)'. Lalu dia     keluar dari sisi kami dengan membawa empat buah jalinan rambut wanita. Saat     keluar, dia berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia     mengatakan: 'Rabb-ku adalah Allah?, lalu mereka membiarkannya dan     mendatangi Abu Bakar. Lalu dia pulang, dan saat itu kami tidak berani     menyentuh jalinan rambut tersebut hingga dia mengembalikannya kepada     kami". 
 
 
 
 Masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muththalib     radhiallaahu 'anhu  
 
 Di tengah suhu yang diliputi awan kezhaliman dan     penindasan, tiba-tiba muncul seberkas cahaya yang menyinari jalan, yaitu     masuk islamnya Hamzah bin Abdul Muththalib radhiallaahu 'anhu . Dia masuk     Islam pada penghujung tahun ke-6 dari kenabian, lebih tepatnya pada bulan     Dzulhijjah. 
 
 Mengenai sebab keislamannya adalah bahwa suatu     hari, Abu Jahal melewati Rasulullah di bukit Shafa, lalu dia menyakiti dan     menganiaya beliau. Rasulullah diam saja, tidak berbicara sedikitpun     kepadanya. Kemudian dia memukuli tubuh beliau dengan batu dibagian kepala     sehingga memar dan darah mengalir. Selepas itu, dia pulang menuju tempat     pertemuan kaum Quraisy di sisi Ka'bah dan berbincang dengan mereka. Kala     itu, budak wanita Abdullah bin Jud'an berada di kediamannya diatas bukit     Shafa dan menyaksikan pemandangan yang belum lama terjadi. Kebetulan,     Hamzah datang dari berburu dengan menenteng busur panah. Maka serta merta     dia memberitahukan kepadanya perihal perlakuan Abu Jahal tersebut.     Menyikapi hal itu, sebagai seorang pemuda yang gagah lagi punya harga diri     yang tinggi di kalangan suku Quraisy, Hamzah marah berat dan langsung     bergegas pergi dan tidak peduli dengan orang yang menegurnya. Dia     berkonsentrasi mempersiapkan segalanya bila berjumpa dengan Abu Jahal dan     akan memberikan pelajaran yang paling pahit kepadanya. Maka, manakala dia     masuk Masjid (al-Haram-red), dia langsung tegak persis di arah kepala Abu     Jahal sembari berkata: "hai si hina dina! Engkau berani mencaci maki     keponakanku padahal aku sudah memeluk agamanya?". Kemudian dia     memukulinya dengan gagang busur panah dan membuatnya terluka dan babak     belur. Melihat hal itu, sebagian orang-orang dari Bani Makhzum –yakni, dari     suku Abu Jahal- terpancing emosinya, demikian pula dengan orang-orang dari     Bani Hasyim –dari suku Hamzah-. Abu Jahal melerai dan berkata:     "Biarkan Abu 'Imarah (kun-yah/julukan Hamzah-red)! Sebab aku memang     telah mencaci maki keponakannya dengan cacian yang amat jelek".  
 
 Keislaman Hamzah pada mulanya adalah sebagai     pelampiasan rasa percaya diri seseorang yang tidak sudi dihina oleh tuannya,     namun kemudian Allah melapangkan dadanya. Dia kemudian menjadi orang yang     berpegang teguh dengan al-'Urwatul Wutsqa dan menjadi kebanggaan kaum     muslimin. 
 
 
 
 Masuk Islamnya 'Umar bin al-Khaththab     radhiallaahu 'anhu 
 
 Di tengah suhu yang sama pula, seberkas cahaya     yang lebih benderang dari yang pertama kembali menyinari jalan. Itulah,     keislaman 'Umar bin al-Khaththab. Dia masuk Islam pada bulan Dzulhijjah,     tahun ke-6 dari kenabian, yaitu tiga hari setelah keislaman Hamzah     radhiallaahu 'anhu. Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam memang telah berdoa     untuk keislamannya sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmuziy     (dan dia menshahihkannya) dari Ibnu 'Umar dan hadits yang dikeluarkan oleh     ath-Thabraniy dari Ibnu Mas'ud dan Anas bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi     wasallam bersabda: "Ya Allah! muliakanlah/kokohkanlah Islam ini dengan     salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai: 'Umar bin     al-Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam". Ternyata, yang paling     dicintai oleh Allah adalah 'Umar radhiallaahu 'anhu. 
 
 Setelah meneliti secara cermat seluruh     periwayatan yang mengisahkan keislamannya, nampak bahwa campaknya Islam ke     dalam hatinya berlangsung secara perlahan, akan tetapi sebelum kita     membicarakan ringkasannya, perlu kami singgung terlebih dahulu karakter dan     watak dari kepribadiannya. 
 
 Beliau radhiallaahu 'anhu dikenal sebagai     seorang yang temperamental dan memiliki harga diri yang tinggi. Sangat     banyak kaum muslimin merasakan beragam penganiayaan yang dilakukannya     terhadap mereka. Sebenarnya, secara lahiriyah apa yang menghinggapi     perasaannya amatlah kontras; antara keharusan menghormati tatanan adat yang     telah dibuat oleh nenek moyangnya, kekaguman terhadap mental baja kaum     muslimin dalam menghadapi berbagai cobaan demi menjaga 'aqidah mereka serta     timbulnya berbagai keraguan dalam dirinya sementara sebagai seorang     cendikiawan dia beranggapan bahwa apa yang diseru oleh Islam bisa saja     lebih agung dan suci dari selainnya; oleh karena itu begitu memberontak     langsung saja dia berteriak lantang. 
 
 Mengenai ringkasan kisah tersebut -yang sudah     disinkronkan- berkaitan dengan keislamannya; bermula dari tindakannya pada     suatu malam bermalam di luar rumahnya, lalu dia pergi menuju al-Haram dan     masuk ke dalam tirai Ka'bah. Saat itu, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam     tengah berdiri melakukan shalat dan membaca surat al- Hâqqah . Pemandangan     itu dimanfaatkan oleh 'Umar untuk mendengarkannya dengan khusyu' sehingga     membuatnya terkesan dengan susunannya. Dia berkata: "aku berkata pada     diriku: 'Demi Allah! ini (benar) adalah (ucapan) tukang sya'ir sebagaimana     yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy!'. Lalu beliau Shallallâhu 'alaihi     wasallam membaca : "Innahû laqaulu rasûlin karîm. Wa mâ huwa biqauli     syâ'ir. Qalîlan mâ tu'minûn (artinya: 'sesungguhnya al-Qur'an itu adalah     benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada kepada) Rasul yang mulia,     dan al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kalian     beriman kepadanya')" . (Q.S. al-Hâqqah: 40, 41). Lantas aku berkata     pada diriku: "ini adalah (ucapan) tukang tenung". Lalu beliau     meneruskan bacaannya: "wa lâ biqauli kâhin. Qalîlan mâ tadzakkarûn.     Tanzîlun min rabbil 'âlamîn (artinya: 'Dan, bukan pula perkataan tukang     tenung. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu     yang diturunkan dari Rabb semesta alam')" hingga akhir surat tersebut.     Maka, ketika itulah Islam memasuki relung hatiku' ". 
 
 Inilah awal benih-benih Islam merangsak ke dalam     relung hati 'Umar bin al-Khaththab. Tetapi kulit luar sentimentil     Jahiliyyah dan fanatisme terhadap tradisi serta kebanggaan akan agama nenek     moyang justru mengalahkan inti hakikat yang dibisikkan oleh hatinya.     Akhirnya, dia tetap bergiat dalam upayanya melawan Islam, tanpa     menghiraukan perasaan yang bersemayam dibalik kulit luar tersebut. 
 
 Diantara bukti nyata kekerasan wataknya dan rasa     permusuhan yang sudah di luar batas terhadap Rasulullah adalah saat suatu     hari dia keluar sambil menghunus pedang hendak membunuh beliau Shallallâhu     'alaihi wasallam. Ketika itu, dia bertemu dengan Nu'aim bin 'Abdullah     an-Nahham al-'Adawiy. (dalam riwayat yang lain disebutkan: "seseorang     dari suku Bani Zahrah" atau "seseorang dari suku Bani     Makhzum"). Orang tersebut berkata: "hendak kemana engkau, wahai     'Umar?".  
 
 Dia menjawab:"aku ingin membunuh     Muhammad".  
 
 Orang tersebut berkata lagi:"kalau Muhammad     engkau bunuh, bagaimana engkau akan merasa aman dari kejaran Bani Hasyim     dan Bani Zahrah?".  
 
 'Umar menjawab: "menurutku, sekarang ini     engkau sudah menjadi penganut ash-Shâbiah (maksudnya: Islam-red) dan keluar     dari agamamu".  
 
 Orang itu berkata kepadanya:"maukah aku     tunjukkan kepadamu yang lebih mengagetkanmu lagi, wahai 'Umar? Sesungguhnya     saudara (perempuan) dan iparmu juga telah menjadi penganut ash-Shâbiah dan     meninggalkan agama mereka berdua yang sekarang ini!".  
 
 Mendengar hal itu, 'Umar dengan segera berangkat     mencari keduanya dan saat dia sampai di tengah-tengah mereka, disana dia     menjumpai Khabbab bin al-Aratt yang membawa shahîfah (lembaran al-Qur'an)     bertuliskan: "Thâha" dan membacakannya untuk keduanya –sebab dia     secara rutin mendatangi keduanya dan membacakan al-Qur'an terhadap     keduanya-. Tatkala Khabbab mendengar gerak-gerik 'Umar, dia menyelinap ke     bagian belakang rumah sedangkan saudara perempuan 'Umar menutupi shahifah     tersebut. Ketika mendekati rumah, 'Umar telah mendengar bacaan Khabbab     terhadap mereka berdua, karenanya saat dia masuk langsung     bertanya:"Apa gerangan suara bisik-bisik yang aku dengar dari     kalian?".  
 
 Keduanya menjawab: "tidak, hanya sekedar     perbincangan diantara kami".  
 
 Dia berkata lagi: "nampaknya, kalian berdua     sudah menjadi penganut ash-Shâbiah".  
 
 Iparnya berkata: "wahai 'Umar! Bagaimana     pendapatmu jika kebenaran itu berada pada selain agamamu?".  
 
 Mendengar itu, 'Umar langsung melompak ke arah     iparnya tersebut lalu menginjak-injaknya dengan keras. Lantas saudara     perempuannya datang dan mengangkat suaminya menjauh darinya namun dia     justru ditampar oleh Umar sehingga darah mengalir dari wajahnya -dalam     riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa dia memukulnya sehingga memar terluka-.     Saudaranya berkata dalam keadaan marah:"wahai 'Umar! Jika kebenaran     ada pada selain agamamu, maka bersaksilah bahwa tiada Tuhan (Yang berhak     disembah) selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad adalah     Rasulullah". 
 
 Manakala 'Umar merasa putus asa dan menyaksikan     kondisi saudaranya yang berdarah, dia menyesal dan merasa malu, lalu     berkata:"berikan kitab yang ada ditangan kalian ini kepadaku dan     bacakan untukku!".  
 
 Saudaranya itu berkata:"sesungguhnya engkau     itu najis, dan tidak ada yang boleh menyentuhnya melainkan orang-orang yang     suci; oleh karena itu, berdiri dan mandilah!". Kemudian dia berdiri     dan mandi, lalu mengambil kitab tersebut dan membaca:     Bismillâhirrahmânirrahîm. Dia berseloroh: "sungguh nama-nama yang baik     dan suci". Kemudian dia melanjutkan dan membaca (artinya):     "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain     Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku".     (QS. 20/thâha: 14). Dia berseloroh lagi: "alangkah indah dan mulianya     kalam ini! Kalau begitu, tolong bawa aku ke hadapan Muhammad!". 
 
 Saat Khabbab mendengar ucapan 'Umar, dia segera     keluar dari persembunyiannya sembari berkata:"wahai 'umar,     bergembiralah karena sesungguhnya aku berharap engkaulah yang dimaksud     dalam doa Rasulullah pada malam Kamis "Ya Allah!     muliakanlah/kokohkanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang     paling Engkau cintai: 'Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal bin     Hisyam". Sementara Rasulullah (saat ini) ada di rumah yang terletak di     kaki bukit shafa. 
 
 'Umar mengambil pedangnya sembari menghunusnya,     lalu berangkat hingga tiba di rumah tempat beliau Shallallâhu 'alaihi     wasallam berada tersebut. Dia mengetuk pintu, lalu seorang penjaga pintu     mengintip dari celah-celah pintu tersebut dan melihatnya menghunus pedang.     Penjaga tersebut kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah. Para     shahabat yang berjaga bersiaga penuh mengantisipasinya. Gelagat mereka     tersebut mengundang tanda tanya Hamzah:  
 
 "ada apa gerangan dengan kalian?".  
 
 Mereka menjawab: " 'Umar!".  
 
 Dia berkata: "oh, 'Umar! Bukakan pintu     untuknya! Jika dia datang dengan niat baik, kita akan membantunya akan     tetapi jika dia datang dengan niat jahat, kita akan membunuhnya dengan     pedangnya sendiri". 
 
 Saat itu, Rasulullah masih di dalam rumah dan     diberitahu perihal 'Umar, maka beliau pun keluar menyongsongnya dan     menjumpainya di bilik. Beliau memegang baju dan gagang pedangnya, lalu     menariknya dengan keras, seraya bersabda:"tidakkah engkau akan     berhenti dari tindakanmu, wahai 'Umar hingga Allah menghinakanmu dan     menimpakan bencana sebagaimana yang terjadi terhadap al-Walid bin     al-Mughirah? Ya Allah! inilah 'Umar bin al-Khaththab! Ya Allah!     muliakanlah/kokohkanlah Islam dengan 'Umar bin al-Khaththab!". Umar     berkata:"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain     Allah dan engkau adalah Rasulullah". Dan dia pun masuk Islam yang     disambut dengan pekikan takbir oleh penghuni rumah sehingga terdengar oleh     orang yang berada didalam al-Masjid (al-Haram-red). 
 
 'Umar radhiallaahu 'anhu merupakan sosok yang     memiliki rasa harga diri yang tinggi dan keinginan yang tidak boleh     dihalang-halangi; oleh karena itulah, keislamannya menimbulkan goncangan     luar biasa di kalangan kaum Musyrikun dan membuat mereka semakin terhina     dan patah arang sementara bagi kaum Muslimin, hal itu menambah 'izzah,     kemuliaan dan kegembiraan. 
 
 Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya dari     'Umar, dia berkata:"tatkala aku sudah masuk Islam, aku     mengingat-ingat, sesiapa penduduk Mekkah yang paling keras terhadap Nabi     Shallallâhu 'alaihi wasallam. Aku berkata: ' pasti Abu Jahal lah     orangnya". Lalu aku datangi dia dan aku ketuk pintu rumahnya. Dia pun     keluar menyambutku sembari berkata: 
 
 "selamat datang! Ada apa denganmu?".  
 
 "aku datang untuk memberitahumu bahwa aku     telah beriman kepada Allah dan RasulNya, Muhammad, serta membenarkan apa     yang telah dibawanya". Lalu dia menggebrak pintu di hadapan wajahku     sembari berkata: 
 
 "Mudah-mudahan Allah menjelekkanmu dan apa     yang engkau bawa". 
 
 Dalam versi Ibnu al-Jauziy disebutkan bahwa     'Umar radhiallaahu 'anhu berkata:"Dulu, jika seseorang masuk Islam,     maka orang-orang menggelayutinya lantas memukulinya dan dia juga memukuli     mereka, namun tatkala aku telah masuk Islam, aku mendatangi pamanku,     al-'Âshiy bin Hâsyim, dan memberitahukan kepadanya hal itu, dia malah masuk     rumah. Lalu aku pergi ke salah seorang pembesar Quraisy -sepertinya Abu     Jahal- dan memberitahukannya perihal keislamanku, tetapi dia juga malah     masuk rumah". 
 
 Ibnu Hisyam juga menyebutkan -demikian pula Ibnu     al-Jauziy secara ringkas- bahwa ketika dia ('Umar) masuk Islam, dia     mendatangi Jamil bin Ma'mar al-Jumahiy – yang merupakan penyambung lidah     Quraisy yang paling getol - dan memberitahukan kepadanya tentang     keislamannya, orang ini langsung berteriak dengan sekeras-kerasnya bahwa     Ibnu al-Khaththab telah menjadi penganut ash-Shâbiah. Umar pun menimpali     –dibelakangnya- : "dia bohong, akan tetapi aku telah masuk     Islam". Merekapun menyergapnya sehingga akhirnya terjadilah     pertarungan antara 'Umar seorang diri melawan mereka. Pertarungan itu baru     selesai saat matahari sudah berada tepat diatas kepala mereka, tetapi 'Umar     sudah nampak kepayahan. Dia hanya bisa duduk sementara mereka berdiri dekat     kepalanya. Dia berkata kepada mereka:"lakukanlah apa yang kalian suka.     Sungguh aku bersumpah atas nama Allah, bahwa andai kami berjumlah tiga     ratus orang, niscaya telah kami biarkan mereka untuk kalian atau kalian     biarkan mereka untuk kami". 
 
 Setelah kejadian itu, kaum Musyrikun berangkat     dalam jumlah besar menuju rumahnya dengan tujuan akan membunuhnya. Imam     al-Bukhariy meriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar, dia berkata:"Saat     'Umar berada di rumahnya dalam kondisi cemas, datanglah al-'Âsh bin Wâil     as-Sahmiy, Abu 'Amru, sembari membawa mantel dan baju yang dilipat dan     terbuat dari sutera. Dia berasal dari suku Bani Sahm yang merupakan sekutu     kami di masa Jahiliyyah. 'Umar berkata kepadanya: "ada apa     denganmu?".  
 
 "kaummu mengaku akan membunuhku bila aku     masuk Islam", katanya. 
 
 'Umar berkata – setelah mengatakan kepadanya:     'kamu aman'-: "kalau begitu, tidak akan ada yang bisa melakukan hal     itu terhadapmu". 
 
 Asl-Âsh kemudian keluar dan mendapatkan banyak     orang yang sudah memadati lembah tersebut, lantas dia berkata kepada     mereka:" hendak kemana kalian?" 
 
 Mereka menjawab:"menemui si Ibnu     al-Khaththab yang sudah menjadi penganut ash-Shâbiah ini!". 
 
 Dia menjawab: "kalian tidak akan bisa     melakukan hal itu terhadapnya". Orang-orang itupun pergi secara     bergerilya.  
 
 Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan :"demi     Allah! seolah-olah mereka itu bagaikan pakaian yang tersingkap". 
 
 Demikianlah dampak keislamannya terhadap kaum     Musyrikun, sedangkan terhadap kaum muslimin adalah sebagaimana yang     diriwayatkan oleh Imam Mujâhid dari Ibnu 'Abbas, dia berkata:"aku     bertanya kepada 'Umar: 'kenapa kamu dijuluki al-Fârûq? '.  
 
 Dia berkata: 'Hamzah masuk Islam tiga hari lebih     dahulu dariku -selanjutnya dia menceritakan kisah keislamannya, dan     diakhirnya dia berkata- lalu aku berkata (saat aku sudah masuk Islam): 
 
 "Wahai Rasulullah! Bukankah kita berada     diatas kebenaran; mati ataupun hidup?".  
 
 Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menjawab:     "tentu saja! Demi Yang jiwaku berada ditanganNya, sesungguhnya kalian     berada diatas kebenaran; mati ataupun hidup".  
 
 Lalu aku berkata: "lantas untuk apa     bersembunyi-sembunyi? Demi Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sungguh     kita harus keluar (menampakkan diri). Lalu beliau Shallallâhu 'alaihi     wasallam membagi kami dalam dua barisan; salah satunya dipimpin oleh Hamzah     dan yang lainnya, dipimpin olehku. deru debu dan pasir tersebut yang     ditinggalkannya ibarat ceceran gandum yang dihaluskan. Akhirnya kami     memasuki al-Masjid al-Haram. Kemudian aku menoleh ke arah Quraisy dan     Hamzah; mereka tampak diliputi oleh kesedihan yang tidak pernah mereka     rasakan seperti itu sebelumnya. Sejak saat itulah, Rasulullah menamaiku     "al-Fârûq ". 
 
 Ibnu Mas'ud sering berkata:"sebelumnya,     kami tak berani melakukan shalat di sisi Ka'bah hingga 'Umar masuk     Islam". 
 
 Dari Shuhaib bin Sinan ar-Rûmiy radhiallaahu     'anhu, dia berkata:"ketika 'Umar masuk Islam, barulah Islam     menampakkan diri dan dakwah kepadanya dilakukan secara terang-terangan.     Kami juga berani duduk-duduk secara melingkar di sekitar Baitullah,     melakukan thawaf, mengimbangi perlakuan orang yang kasar kepada kami serta     membalas sebagian yang diperbuatnya".  
 
 Dari 'Abdullah bin Mas'ud, dia     berkata:"kami senantiasa merasakan 'izzah sejak 'Umar masuk     Islam". 
 
  |         |      
 
 TAHAPAN KEDUA BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH     JAHRIYYAH)  
 
 Utusan Quraisy menemui Rasulullah 
 
 Setelah masuk islamnya dua orang pahlawan yang     agung, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu     'anhuma, awan kelabu mulai menyelimuti kaum Musyrikun dan barulah tersadar     dari mabuk mereka yang selama ini digunakan untuk menyiksa kaum Muslimin.     Kali ini, mereka berupaya untuk mencari jalan lain, yaitu mengajukan     negosiasi dimana mereka akan memenuhi semua tuntutan yang diinginkan oleh     beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam asalkan mau menghentikan dakwahnya.     Mereka yang perlu dikasihani itu, tidak mengetahui bahwa setiap apa saja     yang dapat disinari oleh matahari tidak memiliki nilai sama sekali walau     sebesar nyamuk sekalipun dibandingkan dakwah yang beliau emban. Akhirnya,     mereka mengalami kegagalan lagi. 
 
 Ibnu Ishâq berkata: “Yazîd bin Ziyâd berkata     kepadaku, dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhiy, dia berkata: ‘suatu hari     ‘Utbah bin Rabî’ah -yang merupakan seorang kepala suku- berbicara di     perkumpulan Quraisy saat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam     duduk-duduk seorang diri di masjid:  
 
 ‘wahai kaum Quraisy! Bagaimana pendapat kamu     bila aku menyongsong Muhammad dan berbicara dengannya lalu menawarkan     kepadanya beberapa hal yang aku berharap semoga saja sebagiannya dia terima     lalu setelah itu kita berikan kepadanya apa yang dia mau sehingga dia tidak     lagi mengganggu kita?.  
 
 Hal itu dikatakannya ketika Hamzah radhiallaahu     'anhu masuk Islam dan melihat bahwa para shahabat Rasulullah Shallallâhu     'alaihi wasallam semakin hari semakin banyak dan bertambah, lalu mereka     berkata kepadanya: 
 
 “Tentu saja bagus, wahai Abu al-Walid! Pergilah     menyongsongnya dan berbicaralah dengannya!”. 
 
 ‘Utbah segera menyongsong beliau Shallallâhu     'alaihi wasallam dan duduk disampingnya seraya berkata:  
 
 “wahai anak saudaraku! Sesungguhnya engkau telah     datang kepada orang-orang dengan sesuatu hal yang amat besar sehingga     membuat mereka bercerai berai, angan-angan mereka engkau kerdilkan,     tuhan-tuhan serta agama mereka engkau cela dan nenek-nenek moyang mereka     engkau kafirkan. Dengarlah! Aku ingin menawarkan beberapa hal kepadamu     lantas bagaimana pendapatmu tentangnya?. Semoga saja sebagiannya dapat     engkau terima”.  
 
 “wahai Abu al-Walîd! katakanlah, aku akan     mendengarkannya!”, jawab Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam . 
 
 “wahai anak saudaraku! Jika apa yang engkau bawa     itu semata hanya menginginkan harta, kami akan mengumpulkan harta-harta     kami untukmu sehingga engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya     diantara kami; jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan     kedudukan, maka kami akan mengangkatmu menjadi tuan kami hingga kami tidak     akan melakukan sesuatupun sebelum engkau perintahkan; jika apa yang engkau     bawa itu semata hanya menginginkan kerajaan, maka kami akan mengangkatmu     menjadi raja; dan jika apa yang datang kepadamu adalah jin yang engkau     lihat dan tidak dapat engkau mengusirnya dari dirimu, kami akan     memanggilkan tabib untukmu serta akan kami infakkan harta kami demi     kesembuhanmu, sebab orang terkadang terkena oleh jin sehingga perlu     diobati”, katanya - atau sebagaimana yang dia katakan- hingga akhirnya     ‘Utbah selesai dan Rasulullah mendengarkannya.  
 
 Lalu beliau berkata: “wahai ‘Utbah! Sudah     selesaikah engkau?”.  
 
 Dia menjawab: “ya”. 
 
 Beliau berkata: “ Nah, sekarang dengarkanlah     dariku!”. 
 
 Dia menjawab: “ya, akan aku dengar”. 
 
 Beliau membacakan firmanNya (surat Fushshilat     dari ayat 1-5) artinya :” Hâ mîm [1]. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha     Pemurah lagi Maha Penyayang [2]. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni     bacaan dalam Bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui [3]. Yang membawa     berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka     berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan [4]. Mereka     berkata: ‘hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru     kami kepadanya..[5]”.  
 
 Kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam     melanjutkan bacaannya.  
 
 Tatkala ‘Utbah mendengarnya, dia malah diam     serta khusyu’ mendengarkan sambil bertumpu diatas kedua tangannya yang     diletakkan dibelakang punggungnya hingga beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam     selesai dan ketika melewati ayat sajadah, beliau bersujud. Setelah itu,     beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “wahai Abu al-Walîd, engkau     telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar tadi. Sekarang terserah     padamu”.  
 
 ‘Utbah bangkit dan menemui para shahabatnya.     Melihat kedatangannya, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain:  
 
 “kami bersumpah atas nama Allah! sungguh Abu     al-Walid telah datang kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan     sewaktu dia pergi tadi”.  
 
 Dia pun datang dan duduk bersama mereka. Mereka     berkata kepadanya:  
 
 “apa yang engkau bawa wahai Abu al-Walîd?”.  
 
 “yang aku bawa, bahwa aku telah mendengar suatu     perkataan yang -demi Allah- belum pernah sama sekali aku dengar semisalnya.     Demi Allah! ia bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula tenung! wahai     kaum Quraisy! Patuhilah aku, serahkan urusan itu kepadaku serta biarkanlah     orang ini melakukan apa yang dia lakukan. Menjauhlah dari urusannya! Demi     Allah! sungguh ucapannya yang telah aku dengar itu akan menjadi berita     besar; jika orang-orang Arab dapat mengalahkannya maka kalian telah     terlebih dahulu membereskannya tanpa campur tangan orang lain; dan jika dia     mengalahkan mereka maka kerajaannya adalah kerajaan kalian juga,     keagungannya adalah keagungan kalian juga; maka dengan begitu kalian akan     menjadi orang yang paling bahagia”.  
 
 Mereka berkata: “demi Allah! dia telah     menyihirmu dengan lisannya, wahai Abu al-Walîd”. 
 
 “inilah pendapatku terhadapnya, terserah apa     yang ingin kalian lakukan”, jawabnya. 
 
 Dalam versi riwayat yang lain bahwa ‘Utbah     mendengar dengan khusyu’ hingga bacaan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi     wasallam sampai kepada firmanNya (surat Fushshilat, ayat 13): “jika mereka     berpaling maka katakanlah: ‘aku telah memperingatkan kamu dengan petir,     seperti petir yang menimpa kaum ‘Âd dan kaum Tsamûd”. ketika itu, dia     berdiri karena terperanjat dan cepat-cepat menutup mulut Rasulullah dengan     tangannya sembari berkata: 
 
 “aku minta kepadamu atas nama Allah agar     mengingat rahim (hubungan kekeluargaan) diantara kita”.  
 
 Hal ini dilakukannya karena takut peringatan     tersebut menimpanya. Setelah itu, dia bangkit menemui para shahabatnya dan     mengatakan apa yang dia telah katakan (seperti diatas-red).  
 
 Para Petinggi Quraisy ingin berunding dengan     Rasulullah sementara Abu Jahal ingin menghabisinya 
 
 Harapan Quraisy untuk berunding tidak terhenti     dengan jawaban dari beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam karena jawaban     tersebut tidak secara terus terang menolak atau menerima. Untuk itu, mereka     berurun rembug lalu berkumpul di depan ka’bah setelah terbenamnya matahari.     Mereka mengirim utusan untuk menemui Rasulullah dan mengajaknya bertemu     disana. Tatkala beliau datang ke sana, mereka kembali mengajukan tuntutan     yang sama seperti yang diajukan oleh ‘Utbah. Disini beliau Shallallâhu     'alaihi wasallam menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa melakukan hal itu     sebab beliau sebagai Rasul, hanyalah menyampaikan risalah Rabbnya; jika     mereka menerima maka mereka akan beruntung dunia dan akhirat dan jika     tidak, beliau akan bersabar hingga Allah Yang akan memutuskannya. 
 
 Mereka meminta beliau untuk membuktikan dengan     beberapa tanda, diantaranya; agar beliau memohon kepada Rabbnya membuat     gunung-gunung bergeser dari mereka, membentangkan negeri-negeri buat     mereka, mengalirkan sungai-sungai serta menghidupkan orang-orang yang telah     mati hingga mereka mau mempercayainya. Namun beliau Shallallâhu 'alaihi     wasallam menjawabnya seperti jawaban sebelumnya. 
 
 Mereka juga meminta beliau agar memohon kepada     Rabbnya untuk mengutus seorang raja yang mereka percayai dan menyediakan     taman-taman, harta terpendam serta istana yang terbuat dari emas dan perak     untuknya namun beliau tetap menjawab seperti jawaban sebelumnya. 
 
 Bahkan mereka meminta beliau agar Rabb     mendatangkan azab, yaitu menjatuhkan langit atas mereka menjadi     berkeping-keping. Beliau menjawab:  
 
 “hal itu semua merupakan kehendak Allah; jika     Dia berkehendak maka Dia akan menjatuhkannya”.  
 
 Menanggapi jawaban itu mereka malah menantang     dan mengancam beliau. Akhirnya beliau pulang dengan hati yang teriris     sedih. 
 
 Tatkala Rasulullah berlalu, Abu Jahal dengan     sombongnya berkata kepada kaum Quraisy: 
 
 “wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya Muhammad     sebagaimana yang telah kalian saksikan, hanya ingin mencela agama dan nenek     moyang kita, membuyarkan angan-angan serta mencaci tuhan-tuhan kita.     Sungguh aku berjanji atas nama Allah untuk duduk didekatnya dengan membawa     batu besar yang mampu aku angkat dan akan aku hempaskan ke kepalanya saat     dia sedang sujud dalam shalatnya. Maka saat itu, kalian hanya memiliki dua     pilihan; membiarkanku atau mencegahku. Dan setelah hal itu terjadi, maka     Banu ‘Abdi Muththalib bisa berbuat apa saja yang mereka mau”.  
 
 Mereka menjawab: “demi Allah! kami tidak akan     pernah membiarkanmu untuk melakukan sesuatupun. Pergilah kemana yang engkau     mau”. 
 
 Ketika paginya, Abu Jahal rupanya benar-benar     mengambil batu besar sebagaimana yang dia katakan, kemudian duduk sambil     menunggu kedatangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Rasulullah pun     datang dan melakukan seperti yang biasa beliau lakukan. Beliau berdiri lalu     melakukan shalat sedangkan kaum Quraisy juga sudah datang dan duduk di     perkumpulan mereka sembari menunggu apa yang akan dilakukan oleh Abu Jahal.     Manakala Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sedang sujud, Abu Jahal     pun mengangkat batu tersebut kemudian berjalan menuju ke arah beliau hingga     jaraknya sangat dekat sekali akan tetapi anehnya dia justru berbalik     mundur, merasa ciut, wajahnya pasi dan dirundung ketakutan. Kedua tangannya     sudah tidak mampu lagi menahan beratnya batu hingga dia melemparnya.     Menyaksikan kejadian itu, para pemuka Quraisy segera menyongsongnya sembari     bertanya: 
 
 “ada apa denganmu wahai Abu al-Hakam?”. 
 
 “aku sudah berdiri menuju ke arahnya untuk     melakukan apa yang telah kukatakan semalam, namun ketika aku mendekatinya     seakan ada onta jantan yang menghalangiku. Demi Allah! aku tidak pernah     sama sekali melihat sesuatu yang menakutkan seperti rupanya, juga seperti     punuk ataupun taringnya. Binatang itu ingin memangsaku”, Katanya. 
 
 Ibnu Ishaq berkata: “disebutkan kepadaku bahwa     Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘itu adalah Jibril     'alaihissalaam ; andai dia (Abu Jahal-red) mendekat pasti akan     disambarnya”. 
 
 Negosiasi dan Kompromi 
 
 Manakala kaum Quraisy gagal berunding dengan     cara merayu, mengiming-iming serta mengultimatum, demikian juga, Abu Jahal     gagal melampiaskan kedunguan dan niat jahatnya untuk menghabisi beliau;     mereka seakan tersadar untuk merealisasikan keinginan lainnya dengan cara     mencapai jalan tengah yang kiranya dapat menyelamatkan mereka. Mereka     sebenarnya, tidak menyatakan secara tegas bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi     wasallam berjalan diatas kebathilan akan tetapi kondisi mereka hanyalah     –sebagaimana disifatkan dalam firmanNya- “sesungguhnya mereka (orang-orang     kafir) dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap al-Qur’an” (Q.S.11/Hûd:     110). Karenanya mereka melihat perlunya mengupayakan negosiasi dengan     beliau dalam masalah agama. Di pertengahan jalan, mereka bertemu dengan     beliau dengan menyatakan bahwa mereka akan meninggalkan sebagian urusan     agama yang pernah mereka lakukan, lalu mereka juga menuntut Nabi     Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan hal yang sama. Mereka mengira bahwa     dengan cara kali ini mereka akan melakukan hal yang benar, jika memang apa     yang diajak oleh Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam itu adalah benar. 
 
 Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya, dia     berkata: “al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, al-Walîd     bin al-Mughîrah, Umayyah bin Khalaf serta al-‘Âsh bin Wâil as-Sahmiy     (mereka ini merupakan orang-orang berpengaruh di tengah kaum mereka)     menghadang Rasulullah yang tengah melakukan thawaf di Ka’bah sembari     berkata:  
 
 “wahai Muhammad! mari kami menyembah apa yang     engkau sembah dan engkau juga menyembah apa yang kami sembah sehingga kami     dan engkau dapat berkongsi dalam menjalankan urusan ini; jika yang engkau     sembah itu lebih baik dari apa yang kami sembah, maka berarti kami telah     mengambil bagian kami darinya, demikian pula jika apa yang kami sembah     lebih baik dari apa yang engkau sembah, maka berarti engkau telah     mendapatkan bagianmu darinya”. Lalu Allah menurunkan tentang mereka surat     al-Kâfirûn semuanya.  
 
 ‘Abd bin Humaid dan selainnya dari Ibnu ‘Abbâs     bahwasanya orang-orang Quraisy berkata:”andaikata engkau usap tuhan-tuhan     kami, niscaya kami akan menyembah tuhanmu”. Lalu turunlah surat al-Kâfirûn     semuanya. 
 
 Ibnu Jarîr dan selainnya mengeluarkan darinya     juga (Ibnu ‘Abbâs-red) bahwasanya orang-orang Quraisy berkata kepada     Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam : “engkau menyembah tuhan kami     selama setahun dan kami menyembah tuhanmu selama setahun juga”. Lalu Allah     Ta’ala menurunkan firmanNya: “Katakanlah: ‘maka apakah kamu menyuruh aku     menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?’ “.     (Q.S.39/az-Zumar: 64) 
 
 Manakala Allah Ta’ala telah memberikan putusan     final terhadap perundingan yang menggelikan tersebut dengan pembandingan     yang tegas, orang-orang Quraisy tidak berputus asa dan berhenti hingga     disitu bahkan semakin mengendurkan daya kompromi mereka asalkan Nabi     Shallallâhu 'alaihi wasallam mau mengadakan beberapa evaluasi terhadap     petunjuk-petunjuk yang dibawanya dari Allah, mereka berkata (dalam     firmanNya) : “datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”.     (Q.S.10/Yunus: 15). Lantas Allah Ta’ala juga memotong cara seperti ini     dengan menurunkan ayat berikutnya sebagai bantahan Nabi terhadap mereka,     beliau berkata (dalam firmanNya):”katakanlah: ‘tidaklah tidak patut bagiku     menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali yang     diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada     siksa hari yang besar (kiamat)”. (Q.S.10/Yunus: 15).  
 
 Allah Ta’ala juga mengingatkan akan besarnya     bahaya melakukan hal tersebut, dengan firmanNya: “Dan sesungguhnya mereka     hampir mamalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar     kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu     tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.[73]. Dan kalau Kami     tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit     kepada mereka.[74]. kalau terjadi demikian, benar-benarlah, Kami akan     rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula     siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang     penolongpun terhadap Kami[75]”. (Q.S. 17/al-Isra’: 73-75). 
 
 Kaum Quraisy bingung dan berpikir keras serta     upaya mereka menghubungi orang-orang Yahudi 
 
 Setelah semua perundingan, negosiasi dan     kompromi yang diajukan oleh kaum Musyrikun mengalami kegagalan, jalan-jalan     yang ada dihadapan mereka seakan gelap gulita. Mereka bingung apa yang     harus dilakukan hingga salah seorang dari syaithan mereka berdiri tegak,     yaitu an-Nadlar bin al-Hârits sembari menasehati mereka: “wahai kaum     Quraisy! Demi Allah! sungguh urusan yang kalian hadapi saat ini tidak ada     lagi jalan keluarnya. Ketika masih kecilnya, Muhammad adalah orang yang     paling kalian ridlai, paling kalian benarkan ucapannya, paling kalian     agungkan amanatnya hingga akhirnya sekarang kalian melihat uban tumbuh di     kedua alisnya dan membawa apa yang dibawanya kepada kalian. Kalian pernah     mengatakan bahwa dia adalah tukang sihir. Demi Allah! “Dia bukanlah seorang     Tukang sihir. Kita telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir     mereka sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan) ataupun     ‘uqad (buhul-buhul) mereka. Lalu kalian katakan dia adalah seorang dukun.     Demi Allah! dia bukanlah seorang dukun. Kita telah melihat bagaimana     kondisi para dukun sedangkan yang dikatakannya bukan seperti komat-kamit     ataupun sajak (mantera-mantera) para dukun. Lalu kalian katakan lagi bahwa     dia adalah seorang penyair. Demi Allah! “Dia bukan seorang Penya’ir. Kita     telah mengenal semua bentuk sya’ir; rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh dan     mabsuth-nya sedangkan yang dikatakannya bukanlah sya’ir. Lalu kalian     katakan bahwa dia adalah seorang yang gila. Demi Allah! dia bukan seorang     yang gila. Kita telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya     sedangkan yang dikatakannya bukan dalam kategori ketercekikan, kerasukan     ataupun was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut. wahai kaum Quraisy!     Perhatikanlah urusan kalian, demi Allah! sesungguhnya kalian telah     menghadapi masalah yang besar”. 
 
 Ketika itulah kaum Quraisy memutuskan untuk     menghubungi orang-orang Yahudi sambil memastikan kelanjutan dari perihal     Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam. Maka mereka tunjuklah an-Nadlar bin     al-Hârits untuk pergi menemui orang-orang Yahudi di Madinah bersama dua     orang lainnya. Ketika mereka tiba di tempat mereka, para pemuka agama     Yahudi (Ahbâr) berkata kepada mereka: 
 
 “Tanyakan kepadanya (Muhammad-red) tiga hal,     jika dia memberitahukannya maka dialah Nabi yang diutus itu, dan jika tidak     maka dia hanyalah orang yang ngelantur bicaranya. Yaitu, tanyakan kepadanya     tentang sekolompok pemuda yang sudah meninggal pada masa lampau pertama,     bagaimana kisah mereka? Karena sesungguhnya cerita tentang mereka amatlah     mengagumkan. Juga tanyakan kepadanya tentang seorang laki-laki pengelana     yang menjelajahi dunia hingga ke belahan timur bumi dan belahan baratnya,     bagaimana kisahnya?. Terakhir, tanyakan kepadanya tentang apa itu ruh?”. 
 
 Setibanya di Mekkah, an-Nadlar bin al-Hârits     berkata: “kami datang kepada kalian berkat apa yang terjadi antara kami dan     Muhammad”. Lalu dia memberitahukan mereka perihal apa yang dikatakan oleh     orang-orang Yahudi. Setelah itu, orang-orang Quraisy bertanya kepada     Rasulullah tentang tiga hal tersebut, maka setelah beberapa hari turunlah     surat al-Kahfi yang didalamnya terdapat kisah sekelompok pemuda tersebut,     yakni Ashhâbul Kahfi dan kisah seorang laki-laki pengelana, yakni Dzul     Qarnain. Demikian pula, turunlah jawaban tentang ruh dalam surat al-Isra’.     Ketika itu, jelaslah bagi kaum Quraisy bahwa beliau Shallallâhu 'alaihi     wasallam berada dalam kebenaran namun orang-orang yang zhalim tidak     berkenan selain terhadap kekufuran. 
 
 Sikap Abu Thalib dan Keluarganya 
 
 Demikianlah tindakan kaum Musyrikun secara umum,     sedangkan Abu Thalib secara khusus menghadapi tuntutan kaum Quraisy agar     menyerahkan Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam kepada mereka untuk dibunuh.     Abu Thalib mengamati gerak-gerik dan ` kasak-kusuk mereka dan mencium     keinginan kuat mereka untuk benar-benar menghabisi beliau Shallallâhu     'alaihi wasallam sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Uqbah bin Abi Mu’ith,     ‘Umar bin al-Khaththab (sebelum Islam-red) dan Abu Jahal. Akhirnya, dia     mengumpulkan seluruh keluarga Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib dan     menghimbau mereka agar menjaga Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam . Mereka     semua memenuhi imbauan itu, baik yang sudah masuk Islam maupun yang masih     kafir sebagai bentuk fanatisme Arab. Mereka berikrar dan mengikat janji di     Ka’bah selain saudaranya, Abu Lahab yang memilih untuk menentang mereka dan     berada di pihak kaum Quraisy. 
 
  |         |      
 
 PEMBOIKOTAN MENYELURUH 
 
 Perjanjian yang zhalim dan melampaui batas  
 
 Setelah segala cara sudah ditempuh dan tidak     membuahkan hasil juga, kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya,     ditambah lagi mereka mengetahui bahwa Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul     Muththalib berkeras akan menjaga Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dan     membelanya mati-matian apapun resikonya.  
 
 Karena itu, mereka berkumpul di kediaman Bani     Kinanah yang terletak di lembah al-Mahshib dan bersumpah untuk tidak     menikahi Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, tidak berjual beli dengan     mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan     mereka hingga mereka menyerahkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam     untuk dibunuh. Mereka mendokumentasikan hal tersebut, diatas sebuah     shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah “bahwa mereka     selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan     berbelas kasihan terhadap mereka kecuali bila mereka menyerahkan beliau     Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk dibunuh”.  
 
 Ibnu al-Qayyim berkata: “Ada yang mengatakan     bahwa pernyataan itu ditulis oleh Manshûr bin ‘Ikrimah bin ‘Âmir bin     Hâsyim. Ada lagi yang mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh Nadlr     bin al-Hârits. Yang benar, bahwa yang menulisnya adalah Baghîdl bin ‘Âmir     bin Hâsyim, lalu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam berdoa atasnya     (dengan doa yang buruk) dan dia pun mengalami kelumpuhan ditangannya     sebagaimana doa beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam . 
 
 Perjanjian itu pun dilaksanakan dan digantungkan     di rongga Ka’bah namun Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib semuanya, baik     yang masih kafir maupun yang sudah beriman selain Abu Lahab tetap berpihak     untuk membela Rasulullah. Mereka akhirnya tertahan di kediaman Abu Thalib     pada malam bulan Muharram tahun ke-7 dari bi’tsah (diutusnya beliau sebagai     Rasul) sedangkan riwayat yang lain menyebutkan selain tanggal tersebut. 
 
 Tiga Tahun di Kediaman Abu Thalib  
 
 Pemboikotan semakin diperketat sehingga makanan     dan stock pun habis, sementara kaum musyrikin tidak membiarkan makanan     apapun yang masuk ke Mekkah atau dijual kecuali mereka segera memborongnya.     Tindakan ini membuat kondisi Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib semakin     kepayahan dan memprihatinkan sehingga mereka terpaksa memakan dedaunan dan     kulit-kulit. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangis bayi-bayi yang     mengerang kelaparan pun terdengar di balik kediaman tersebut.  
 
 Tidak ada yang sampai ke tangan mereka kecuali     secara sembunyi-sembunyi, dan merekapun tidak keluar rumah untuk membeli     keperluan keseharian kecuali pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan yang     diharamkan berperang). Mereka membelinya dari rombongan yang datang dari     luar Mekkah akan tetapi penduduk Mekkah menaikkan harga barang-barang     kepada mereka beberapa kali lipat agar mereka tidak mampu membelinya. 
 
 Hakîm bin Hizâm pernah membawa gandum untuk     diberikan kepada bibinya, Khadîjah radhiallaahu 'anha namun suatu ketika     dia dihadang oleh Abu Jahal dan diinterogasi olehnya guna mencegah     upayanya. Untung saja, ada Abu al-Bukhturiy yang menengahi dan     membiarkannya lolos membawa gandum tersebut kepada bibinya. 
 
 Dilain pihak, Abu Thalib merasa khawatir atas     keselamatan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Untuk itu, dia     biasanya memerintahkan beliau untuk baring di tempat tidurnya bila     orang-orang beranjak ke tempat tidur mereka. Hal ini agar memudahkannya     untuk mengetahui siapa yang hendak membunuh beliau. Dan manakala     orang-orang sudah benar-benar tidur, dia memerintahkan salah satu dari     putera-putera, saudara-saudara atau keponakan-keponakannya untuk tidur di     tempat tidur Rasulullah sementara beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam     diperintahkan untuk tidur di tempat tidur mereka. 
 
 Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan kaum     muslimin keluar pada musim haji, menjumpai manusia dan mengajak mereka     kepada Islam sebagaimana yang telah kami singgung dalam pembahasan lalu     tentang perlakuan Abu Lahab terhadap mereka. 
 
 Pembatalan Terhadap Shahifah Perjanjian  
 
 Pemboikotan tersebut berlangsung selama dua atau     tiga tahun penuh. Barulah pada bulan Muharram tahun ke-10 dari kenabian     terjadi pembatalan terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal     ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian     tersebut, diantara mereka ada yang pro dan ada yang kontra, maka pihak yang     kontra ini akhirnya berusaha untuk membatalkan shahifah tersebut. 
 
 Diantara tokoh yang melakukan itu adalah Hisyâm     bin ‘Amru dari suku Bani ‘Âmir bin Lu-ay – yang secara tersembunyi pada     malam hari mengadakan kontak dengan Bani Hâsyim dan menyuplai bahan makanan     -. Tokoh ini pergi menghadap Zuhair bin Abi Umayyah al-Makhzûmiy (ibunya     bernama ‘Âtikah binti ‘Abdul Muththalib), dia berkata kepadanya:  
 
 “Wahai Zuhair! Apakah engkau tega dapat     menikmati makan dan minum sementara saudara-saudara dari pihak ibumu     kondisi mereka seperti yang engkau ketahui saat ini?” 
 
 “celakalah engkau! Apa yang dapat aku perbuat     bila hanya seorang diri?. Sungguh, demi Allah! andaikata bersamaku seorang     lagi niscaya aku robek shahifah perjanjian tersebut”, jawabnya 
 
 “engkau sudah mendapatkannya!”, kata     Hisyâm“siapa dia?”, tanyanya 
 
 “aku”, kata Hisyâm 
 
 “kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga”,     jawabnya. 
 
 Lalu Hisyâm pergi menuju kediaman al-Muth’im bin     ‘Adiy. Dia menyinggung tali rahim yang terjadi antara Bani Hâsyim dan Bani     al-Muththalib, dua orang putra ‘Abdi Manaf dan mencela persetujuannya atas     tindakan zhalim kaum Quraisy.  
 
 Al-Muth’im berkata: “celakalah engkau! Apa yang     bisa aku lakukan padahal aku hanya seorang diri?”. 
 
 Dia berkata: “engkau sudah mendapatkan orang     keduanya”. 
 
 Dia bertanya: “siapa dia?” 
 
 “aku”, jawabnya 
 
 “kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga”,     pintanya lagi 
 
 “sudah aku dapatkan orangnya”, jawabnya 
 
 “siapa dia?”, tanyanya 
 
 “Zuhair bin Abi Umayyah”, jawabnya 
 
 “kalau begitu, carikan bagi kita orang keempat”,     pintanya lagi 
 
 Lalu dia pergi lagi menuju kediaman Abu     al-Bukhturiy bin Hisyâm dan mengatakan kepadanya persis seperti apa yang     telah dikatakannya kepada al-Muth’im. Dia bertanya kepada Hisyâm: “apakah     ada orang yang membantu kita dalam hal ini?” 
 
 “Ya”, jawabnya 
 
 “siapa dia?”, tanyanya 
 
 “Zuhair bin Abi Umayyah, al-Muth’im bin ‘Adiy.     Aku juga akan bersamamu”, jawabnya 
 
 “kalau begitu, carikan lagi bagi kita orang     kelima”, pintanya. 
 
 Kemudian dia pergi lagi menuju kediaman Zam’ah     bin al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad. Dia berbincang dengannya lalu     menyinggung perihal kekerabatan yang ada diantara mereka dan hak-hak     mereka. Zam’ah bertanya kepadanya: “apakah ada orang yang ikut serta dalam     urusan yang engkau ajak diriku ini?” 
 
 “ya”, jawabnya. Kemudian dia menyebutkan     nama-nama orang yang ikut serta tersebut. Akhirnya mereka berkumpul di     pintu Hujûn dan berjanji akan melakukan pembatalan terhadap shahifah.     Zuhair berkata: “Akulah yang akan memulai dan orang pertama yang akan     berbicara”. 
 
 Ketika paginya, mereka pergi ke tempat     perkumpulan. Zuhair datang dengan mengenakan pakaian kebesaran lalu     mengelilingi ka’bah tujuh kali kemudian menghadap ke khalayak seraya     berkata:  
 
 “Wahai penduduk Mekkah! Apakah kita tega bisa     menikmati makanan dan memakai pakaian sementara Bani Hasyim binasa; tidak     ada yang sudi menjual kepada mereka dan tidak ada yang membeli dari mereka?     Demi Allah! aku tidak akan duduk hingga shahifah yang telah memutuskan     rahim dan zhalim ini dirobek!”. 
 
 Abu Jahal yang berada di pojok masjid menyahut:     “Demi Allah! engkau telah berbohong! Jangan lakukan itu!”. 
 
 Lalu Zam’ah bin al-Aswad memotongnya:”demi     Allah! justru engkaulah yang paling pembohong! Kami tidak pernah rela     menulisnya ketika ditulis waktu itu”. 
 
 Setelah itu, Abu al-Bukhturiy menimpali: “Benar     apa yang dikatakan Zam’ah ini, kami tidak pernah rela terhadap apa yang     telah ditulis dan tidak pernah menyetujuinya”. 
 
 Berikutnya, giliran al-Muth’im yang menambahkan:     “mereka berdua ini memang benar dan sungguh orang yang mengatakan selain     itulah yang berbohong. Kami berlepas diri kepada Allah dari shahifah     tersebut dan apa yang ditulis didalamnya”. 
 
 Hal ini juga diikuti oleh Hisyam bin ‘Amru yang     menimpali seperti itu pula. 
 
 Abu Jahal kemudian berkata dengan kesal:”urusan     ini telah diputuskan di tempat selain ini pada malam dimusyawarahkannya     saat itu!”. 
 
 Saat itu Abu Thalib tengah duduk di sudut     al-Masjid al-Haram. Dia datang atas pemberitahuan keponakannya, Rasulullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam yang telah diberitahu oleh Allah perihal     shahifah tersebut bahwa Dia Ta’ala telah mengirim rayap-rayap untuk memakan     semua tulisan yang berisi pemutusan rahim dan kezhaliman tersebut kecuali     tulisan yang ada nama Allah Ta’ala di dalamnya.  
 
 Abu Thâlib datang kepada kaum Quraisy dan     memberitahukan kepada mereka tentang apa yang telah diberitahukan oleh     keponakanya kepadanya. Dia menyatakan: “ini untuk membuktikan apakah dia     berbohong sehingga kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan     dengannya, demikian pula sebaliknya, jika dia benar maka kalian harus     membatalkan pemutusan rahim dan kezhaliman terhadap kami”.  
 
 Mereka berkata kepadanya: “kalau begitu, engkau     telah berlaku adil”. 
 
 Setelah terjadi pembicaraan panjang antara     mereka dan Abu Jahal, berdirilah al-Muth’im menuju shahifah untuk     merobeknya. Ternyata dia menemukan rayap-rayap telah memakannya kecuali     tulisan “bismikallâh” (dengan namaMu ya Allah) dan tulisan yang ada nama     Allah di dalamnya dimana rayap-rayap tersebut tidak memakannya.  
 
 Lalu dia membatalkan shahifah tersebut sehingga     Rasulullah bersama orang-orang yang ada di kediaman Abu Thalib dapat     leluasa keluar. Sungguh, kaum musyrikun telah melihat tanda yang agung     sebagai bagian dari tanda-tanda kenabian beliau Shallallâhu 'alaihi     wasallam, akan tetapi mereka tetaplah sebagai yang difirmankan oleh Allah:     “Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mu'jizat),     mereka berpaling dan berkata:"(Ini adalah) sihir yang terus     menerus". (Q.S. 54/al-Qamar:2). Mereka telah berpaling dari tanda ini     dan bertambahlah mereka dari kekufuran ke kekufuran yang lebih lagi. 
 
  |         |      
 
 DELEGASI TERAKHIR QURAISY YANG MENGUNJUNGI ABU     THALIB 
 
 Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam keluar     dari Syi’b (kediaman pamannya, Abu Thâlib) dan melakukan aktivitasnya     seperti biasa, sementara kaum Quraisy masih tetap melakukan intimidasi     terhadap kaum muslimin dan menghadang jalan Allah meskipun sudah tidak lagi     melakukan pemboikotan.  
 
 Di sisi yang lain, Abu Thâlib masih tetap     melindungi keponakannya, akan tetapi usianya sudah melebihi 80 tahun.     Penderitaan-penderitaan dan peristiwa-peristiwa yang begitu besar dan silih     berganti sejak beberapa tahun, khususnya pada saat terjadinya pengepungan     dan pemboikotan terhadap kediamannya, telah membuat persendiannya lemah dan     tulang rusuknyapun patah.  
 
 Baru beberapa bulan setelah keluar dari     syi’bnya, Abu Thâlib dirundung sakit yang agak payah dan kondisi ini     membuat kaum musyrikun cemas kalau-kalau nama besar mereka cacat di mata     bangsa Arab andai mereka hanya datang saat kematiannya karena tidak     menyukai keponakannya. Untuk itulah mereka sekali lagi mengadakan     perundingan dengan Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam di sisi Abu Thâlib dan     berani memberikan sebagian dari hal yang sebelumnya tidak sudi mereka     berikan. Mereka melakukan wifâdah (kunjungan) kepada Abu Thâlib, yang     merupakan untuk terakhir kalinya. 
 
 Menurut Ibnu Ishaq dan dan sejarawan lainnya,     “manakala Abu Thâlib sakit parah dan hal itu sampai kepada kaum Quraisy,     sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lainnya: ‘sesungguhnya Hamzah     dan ‘Umar telah masuk Islam sedangkan perihal Muhammad ini telah tersiar di     kalangan seluruh kabilah-kabilah ‘Arab, oleh karena itu lebih baik kalian     pergi menjenguk Abu Thâlib agar dia mencegah keponakannya dan menitipkan     pemberian kita kepadanya. Demi Allah! kita tidak akan merasa aman bila     kelak dia mengalahkan kita”.  
 
 Dalam lafazh riwayat yang lain disebutkan (kaum     Quraisy berkata): “sesungguhnya kita khawatir bilamana orang tua ini (Abu     Thâlib-red) meninggal nantinya, lalu ada sesuatu yang diserahkannya kepada     Muhammad sehingga lantaran hal itu, bangsa Arab mencerca kita dengan     mengatakan:’mereka telah menelantarkannya, tapi ketika pamannya meninggal     barulah mereka memperebutkannya’. 
 
 Mereka, yang terdiri dari para pemuka kaumnya,     akhirnya menemui Abu Thâlib dan berbicara dengannya. Diantara sosok-sosok     tersebut adalah: ‘Utbah bin Rabî’ah, Syaibah bin Rabî’ah, Abu Jahl bin     Hisyam, Umayyah bin Khalaf, Abu Sufyan bin Harb. Pertemuan ini dilakukan     dihadapan para tokoh selain mereka yang berjumlah sekitar 25 orang. Mereka     berkata:  
 
 “wahai Abu Thâlib! Sesungguhnya engkau, seperti     yang engkau ketahui, adalah bagian dari kami dan saat ini, sebagaimana yang     engkau saksikan sendiri, telah terjadi sesuatu pada dirimu. Kami cemas     terhadap dirimu padahal engkau juga sudah tahu apa yang terjadi antara kami     dan keponakanmu. Untuk itu, desaklah dia agar mau menerima (sesuatu) dari     kami dan kami juga akan menerima (sesuatu) darinya. Hal ini bertujuan agar     tidak terjadi saling mencampuri urusan masing-masing; dia tidak mencampuri     urusan kami, demikian juga dengan kami. Desaklah dia agar membiarkan kami     menjalankan agama kami sepertihalnya kami juga akan membiarkannya     menjalankan agamanya”. 
 
 Abu Thâlib mengirimkan utusan untuk meminta     beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam datang. Beliaupun datang, lalu pamannya     tersebut berkata: “wahai keponakanku! Mereka itu adalah pemuka-pemuka     kaummu. Mereka berkumpul karenamu untuk memberimu sesuatu dan mengambil     sesuatu pula darimu”.  
 
 Kemudian Abu Thâlib memberitahukan kepadanya apa     yang telah diucapkan dan disodorkan oleh mereka kepadanya, yakni bahwa     masing-masing pihak tidak boleh saling mencampuri urusan. 
 
 Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata     kepada mereka:  
 
 “bagaimana pendapat kalian bila aku katakan     kepada kalian satu kalimat yang bila kalian ucapkan niscaya kalian akan     dapat menguasai bangsa Arab dan orang-orang asing akan tunduk kepada     kalian?”. 
 
 Dalam lafazh riwayat yang lain disebutkan bahwa     beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam berbicara kepada Abu Thâlib: “aku     menginginkan mereka untuk mengucapkan satu kalimat yang dapat membuat     bangsa Arab tunduk dan orang-orang asing akan mempersembahkan upeti kepada     mereka”. 
 
 Dalam lafazh riwayat yang lainnya lagi     disebutkan bahwa beliau berkata:  “wahai pamanku! Kenapa tidak engkau ajak saja     mereka kepada hal yang lebih baik buat mereka?”.  
 
 Dia bertanya:”mengajak kepada apa?”. “ajak mereka agar mengucapkan satu kalimat yang     dapat membuat bangsa Arab tunduk kepada dan orang-orang asing takluk”. 
 
 Sedangkan dalam lafazh yang diriwayat Ibnu Ishaq     menyebutkan: “satu kalimat saja yang kalian berikan niscaya kalian akan     bisa menguasai bangsa Arab dan orang-orang asing akan tunduk kepada     kalian”. 
 
 Tatkala beliau mengucapkan kalimat tersebut, mereka     berdiri tertegun, linglung dan tidak tahu bagaimana dapat menolak satu     kalimat yang penuh manfa’at sampai sedemikian ini?. Kemudian Abu Jahal     menanggapi: ”apa itu? (Bila kamu sebutkan) sungguh aku akan memberikanmu     sepuluh kali lipatnya”. 
 
 Beliau berkata: “kalian katakan: ‘Lâ ilâha     illallâh’ dan kalian cabut sesembahan selainNya’ “. 
 
 Mendengar kalimat tersebut, mereka kebingungan     lantas berseru: ”wahai Muhammad! apakah kamu ingin menjadikan ilâh-ilâh     (tuhan-tuhan) yang banyak menjadi satu saja? Sungguh aneh polahmu ini “. 
 
 Kemudian, masing-masing berkata kepada yang     lainnya: “demi Allah! sesungguhnya orang ini tidak memberikan apa yang     kalian inginkan, pergilah dan teruslah dalam agama nenek moyang kalian     hingga Allah memutuskan antara kalian dan dirinya”. Setelah itu, merekapun     bubar. 
 
 Allah Ta’ala menurunkan ayat berkenaan dengan     itu, yaitu firmanNya: “Shaad, demi al-Qur'an yang mempunyai keagungan.[1].     Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan     yang sengit.[2]. Betapa banyaknya ummat sebelum mereka yang telah kami     binasakan, lau mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat     untuk lari melepaskan diri.[3]. Dan mereka heran karena mereka kedatangan     seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang     kafir berkata :"ini adalah seorang ahli sihir yang banyak     berdusta".[4]. Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu Ilah Yang Satu     sajaSesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.[5].     Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata):"Pergilah kamu     dan tetaplah (menyembah) ilah-ilahmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu     hal yang dikehendaki.[6]. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama     yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah(dusta) yang     diada-adakan”.[7] . (Q.S. Shâd: 1-7). 
 
  |         |      
 
 KEMATIAN ABU THALIB 
 
 Sakit Abu Thalib semakin bertambah parah,     tinggal menunggu saat-saat kematiannya, dan akhirnya dia meninggal pada     bulan Rajab tahun kesepuluh dari nubuwah, selang enam bulan setelah keluar     dari pemboikotan. Ada yang berpendapat dia meninggal dunia pada bulan     Ramadhan, tiga bulan sebelum wafatnya Khadijah Radhiallahu anha. 
 
 Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al-Musayyab,     bahwa tatkala ajal hampir menghampiri Abu Thalib, Nabi SAW menemuinya, yang     saat itu di sisinya ada Abu Jahal. 
 
 "Wahai paman, ucapkanlah la ilaha illallah,     satu kalimat yang dapat engkau jadikan hujjah di sisi Allah," Sabda     beliau. 
 
 Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah menyela,     "Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muththalib     ?" Keduanya tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata ini, hingga     pernyataan terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah, "Tetap berada     pada agama Abdul Muththalib." 
 
 Beliau bersabda, "Aku benar-benar akan     memohon ampunan bagimu wahai paman selagi aku tidak dilarang     melakukannya." 
 
 Lalu turun ayat, "Tiadalah sepatutnnya bagi     Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi     orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum     kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu     adalah penghuni neraka Jahannam." (At-Taubah : 113). 
 
 Allah juga menurunkan ayat, 
 
 "Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi     petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk     kepada orang yang dikehendaki-Nya." (Al-Qashash : 56) 
 
 Tidak bisa dibayangkan apa saja perlindungan     yang diberikan Abu Thalib terhadap Rasulullah Saw. Dia benar-benar menjadi     benteng yang ikut menjaga dakwah Islam dari serangan orang yang sombong dan     dungu. Namun sayang, dia tetap berada pada agama leluhurnya, sehingga sama     sekali tidak mendapat keberuntungan. 
 
 Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al Abbas bin     Abdul Muththalib, dia berkata kepada Nabi Saw, "Engkau sangat     mebutuhkan paman engkau, karena dia telah melindungi engkau, sekalipun dia     sangat membuat engkau marah." 
 
 Beliau bersabda, "Dia berada di neraka yang     dangkal. Kalau tidak karena aku, tentu dia berada di tingkatan neraka yang     paling bawah." 
 
 Dari Abu Sa'id Al-Khudry, bahwa dia pernah     mendengar Nabi Saw bersabda, "Semoga syafaatku bermanfaat baginya pada     hari kiamat nanti, sehingga dia diletakkan di neraka yang dangkal, hanya     sebatas tumitnya saja." 
 
 
 
 KHADIJAH MENYUSUL KE RAHMATULLAH 
 
 Kira-kira dua atau tiga bulan setelah Abu Thalib     meninggal dunia, Ummul Mukminin Khadijah Al Kubra meninggal dunia pula,     tepatnya pada bulan Ramadhan pada tahun kesepuluh dari nubuwah, pada usia     enam puluh lima tahun, sementara usia beliau saat itu lima puluh  tahun. 
 
 Khadijah termasuk salah satu nikmat yang     dianugerahkan Allah kepada Rasulullah Saw. Dia mendampingi beliau selama     seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau di     saat-saat kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi     beliau dalam menjalankan jihad yang berat, rela menyerahkan diri dan hartanya     kepada beliau. Rasulullah Saw bersabda tentang dirinya, "Dia beriman     kepadaku saat semua orasng mengingkariku, membenarkan aku sselagi semua     orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang tidak     mau memberikannya, Allah menganugerahiku anak darinya selagi wanita     selainnya tidak memberikannya kepadaku." (Riwayat Ahmad di dalam     Musnad-nya, 6/118). 
 
 Di dalam Shahihul- Bukhary, dari Abu Hurairah     ra, dia berkata, "Jibril mendatangi Nabi Saw, seraya berkata,     "Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana     yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang,     sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya     tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk     dan keletihan." 
 
 DUKA YANG BERTUMPUK-TUMPUK 
 
 Dua peristiwa ini terjadi dalam jangka waktu     yang tidak terpaut lama, sehingga menorehkan perasaan duka dan lara di hati     Rasulullah Saw, belum lagi cobaan yang dilancarkan kaumnya, karena dengan     kematian keduanya mereka semakin berani menyakiti dan mengganggu beliau.     Mendung menjadi bertumpuk-tumpuk, sehingga beliau hampir putus asa     menghadapi mereka. Untuk itu beliau pergi ke Tha'if, dengan setitik harapan     mereka berkenan menerima dakwah atau minimal mau melindungi dan mengulurkan     pertolongan dalam menghadapi kaum beliau. Sebab beliau tidak lagi melihat     seorang yang bisa memberi perlindungan dan pertolongan. Tetapi mereka     menyakiti beliau secara kejam, yang justru tidak pernah beliau alami     sebelum itu dari kaumnya. 
 
 Apa yang beliau alami di Makkah juga dialami     para shahabat. Hingga shahabat karib beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq berniat     hijrah dari Makkah. Maka dia pergi hingga tiba di Barkil-Ghamad. Tempat     yang ditujunya adalah Habasyah. Namun akhirnya dia kembali lagi setelah     mendapat jaminan perlindungan Ibnud-Dughumah. 
 
 Menurut Ibnu Ishaq, setelah Abu Thalib meninggal     dunia, orang-orang Quraisy semakin bersemangat untuk menyakiti Rasulullah     Saw daripada saat dia masih hidup. Sehingga ada diantara mereka yang tiba-tiba     mendekati beliau lalu menaburkan debu di atas kepada beliau. Beliau masuk     ke rumah dan debu-debu itu masih memenuhi kepala. Lalu salah seorang putri     beliau bangkit untuk membersihkan debu-debu itu sambil menangis. Beliau     bersabda kepadanya, "Tak perlu menanggis wahai putriku, karena Alllah     akan melindungi bapakmu."  
 
 Pada saat-saat seperti itu beliau juga bersabda,     "Aku tidak pernah menerima gangguan yang paling kubenci dari Quraisy,     hingga Abu Thalib meninggal dunia." 
 
 Karena penderitaan yang bertumpuk-tumnpuk pada     tahun itu, maka beliau menyebutnya sebagai "Annul-huzni" (tahun     duka cita), sehingga julukan ini pun terkenal dalam sejarah. 
 
 MENIKAH DENGAN SAUDAH 
 
 Pada bulan Syawal tahun kesepuluh dari nubuwah,     Rasulullah Saw menikahi Saudah binti Zam'ah. Dia termasuk orang-orang yang     lebih dahulu masuk Islam, ikut hijrah ke Habasyah yang kedua. Suaminya     adalah Ash-Sakran bin Amr, yang juga masuk Islam dan hijrah bersamanya     pula. Dia meninggal dunia di Habasyah atau menurut pendapat lain dia     meninggal dunia di Makkah sepulang dari Habasyah. Beliau melamar Saudah     lalu menikahinya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi beliau     sepeninggal Khadijah. Setelah beberapa tahun kemudian, dia memberikan     bagian gilirannya kepada Aisyah. 
 
  |         |      
 
 FAKTOR KESABARAN DAN KETEGARAN KAUM MUSLIMIN 
 
 Seorang yang berhati lembut akan berdiri     tercenung dan para cendikiawan akan saling bertanya diantara mereka: “apa     sebenarnya sebab-sebab dan faktor-faktor yang telah membawa kaum Muslimin     mencapai puncak dan batas tak tertandingi dalam ketegarannya?”, “bagaimana     mungkin mereka bisa bersabar menghadapi penindasan demi penindasan yang     membuat bulu roma merinding dan hati gemetar begitu mendengarnya?”.  
 
 Melihat fenomena yang menggoncangkan jiwa ini,     kami menganggap perlunya menyinggung sebagian dari faktor-faktor dan     sebab-sebab tersebut secara ringkas dan singkat: 
 
 1. Keimanan kepada Allah 
 
 Sebab dan faktor paling utama adalah keimanan     kepada Allah Ta’ala semata dan ma’rifah kepada-Nya dengan sebenar-benar     ma’rifah. Keimanan yang tegas bila telah menyelinap ke sanubari dapat     menimbang gunung dan tidak akan goyang. Orang yang memiliki keimanan dan     keyakinan seperti ini akan memandang kesulitan duniawi sebesar, sebanyak     dan serumit apapun seperti lumut-lumut yang diapungkan oleh air bah lantas     menghancurkan bendungan kuat dan benteng perkasa. Orang yang kondisinya     seperti ini, tidak mempedulikan rintangan apapun lagi karena telah     mengenyam manisnya iman, segarnya keta’atan serta cerianya keyakinan. Allah     berfirman:  
 
 “Adapun buih itu akan hilang sebagia sesuatu yang     tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap     di bumi”. (Q,.s.ar-Ra’d: 17) 
 
 Dari sebab utama ini, kemudian berkembang dan     beralih kepada sebab-sebab lain yang semuanya tidak lain menguatkan     ketegaran dan kesabaran tersebut seperti yang akan disebutkan selanjutnya. 
 
 2. Kepimpinan yang digandrungi oleh setiap hati 
 
 Sosok Rasulullah adalah sosok seorang pemimpin     umat Islam tertinggi. Tidak saja bagi Umat Islam tetapi bagi seluruh     manusia. Beliau memiliki postur badan yang ideal, jiwa yang sempurna,     akhlak luhur, sifat-sifat yang terhormat dan ciri fisik yang agung. Hal ini     dapat menyebabkan hati tertawan dan membuat jiwa rela berjuang untuknya     sampai tetas darah terakhir. Kesempurnaan yang dianugerahkan kepadanya     tersebut tidak pernah dianugerahkan kepada siapapun. Beliau menempati     posisi puncak dalam derajat sosial, keluhuran budi, kebaikan dan keutamaan.     Demikian pula dari sisi kesucian diri, amanah, kejujuran dan semua     jalan-jalan kebaikan tidak ada yang menandinginya. Jangankan oleh para     pencinta dan shahabat karib beliau, musuh-musuhnya pun tidak meragukan lagi     hal itu. Ungkapan yang pernah terlontarkan dari mulut beliau pastilah     membuat mereka langsung meyakini kejujurannya dan kebenarnya.  
 
 Suatu ketika, tiga orang tokoh Quraisy     berkumpul. Masing-masing dari mereka ternyata telah mendengarkan al-Qur’an     secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh dua temannya yang lain, namun     kemudian rahasia itu tersingkap. Salah seorang dari mereka bertanya kepada     Abu Jahal –yang merupakan salah seorang dari ketiga orang tersebut- :  
 
 “bagaimana pendapatmu mengenai apa yang engkau     dengar dari Muhammad tersebut?” 
 
 “apa yang telah aku dengar? Memang kami telah     berselisih dengan Bani ‘Abdi Manaf dalam persoalan derajat sosial; manakala     mereka makan, kamipun makan; mereka menanggung sesuatu, kamipun ikut     menanggungnya; mereka memberi, kamipun memberi hingga akhirnya kami sejajar     diatas tunggangan yang sama (setara derajatnya-red). Kami ibarat dua kuda     perang yang sedang bertaruh. Lalu tiba-tiba mereka berkata: ‘kami memiliki     nabi yang membawa wahyu dari langit!’. Kapan kami mengetahui hal ini? Demi     Allah! kami tidak akan beriman sama sekali kepadanya dan tidak akan     membenarkannya”. 
 
 Abu Jahal pernah berkata: “wahai Muhammad!     sesungguhnya kami tidak pernah memdustakanmu akan tetapi kami mendustakan     apa yang engkau bawa”. Lalu turunlah ayat: “Sebenarnya mereka bukan     mendustakanmu, tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat     Allah”. (Q,.s.al-An’âm: 33). 
 
 Suatu ketika kaum Kafir mempermainkan beliau     dengan saling mengerling diantara mereka. Mereka melakukan itu hingga tiga     kali. Pada kali ketiga ini, barulah beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam     menjawab: “wahai kaum Quraisy! sungguh aku datang membawakan sembelihan     untuk kalian”. Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka     Bahkan orang yang paling kasar diantara mereka, memberikan ucapan selamat     kepada beliau dengan sebaik-baik ucapan yang pernah beliau dapatkan.  
 
 Ketika mereka melemparkan kotoran onta ke arah     kepala beliau saat sedang sujud, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka.     Tawa yang tadinya menyeringai di bibir mereka berubah menjadi kegundahan     dan kecemasan karena mereka yakin akan binasa. 
 
 Beliau mendoakan kebinasaan atas ‘Utbah bin Abi     Lahab. Orang ini masih yakin akan terjadinya apa yang didoakan oleh beliau     Shallallâhu 'alaihi wasallam terhadapnya. Maka, ketika dia melihat     segerombolan singa, serta merta dia bergumam: “Demi Allah! dia (Muhammad)     telah membunuhku padahal dia berada di Mekkah”. 
 
 Ubay bin Khalaf pernah mengancam akan membunuh     beliau, namun beliau menantangnya: “akulah yang akan membunuhmu, insya     Allah”. Maka, pada perang Uhud, tatkala beliau berhasil mencederai Ubay di     bagian lehernya, yakni goresan yang tidak terlalu melebar, Ubay berkomentar:     “Sesungguhnya apa yang diucapkannya di Mekkah di hadapanku dulu : ‘akulah     yang akan membunuhmu’ telah terjadi. Demi Allah! andai dia meludah saja ke     arahku niscaya itu akan dapat membunuhku”. Pembahasan tentang ini akan     disajikan pada bahasan mendatang. 
 
 Sa’d bin Mu’adz –saat berada di Mekkah- pernah     berkata kepada Umayyah bin Khalaf: “Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘ sesungguhnya mereka –kaum     Muslimin- telah memerangimu’ “. Mendengar ini, dia tampak sangat takut     sekali dan berjanji untuk tidak akan keluar dari Mekkah.  
 
 Ketika dipaksa oleh Abu Jahal untuk berperang di     Badar, dia membeli keledai yang paling bagus di Mekkah untuk digunakannya     bila suatu ketika dapat kabur. Saat itu, isterinya berkata kepadanya: “Wahai     Abu Shafwan! Apakah engkau lupa apa yang dikatakan saudaramu dari Yatsrib     tersebut?”. 
 
 Dia menjawab: “Demi Allah! bukan demikian tetapi     aku tidak akan mau berhadapan langsung dengan mereka kecuali memang sudah     dekat benar jaraknya”. 
 
 Demikianlah kondisi musuh-musuh Rasulullah     Shallallâhu 'alaihi wasallam . 
 
 Adapun kondisi para shahabat dan rekan-rekan     beliau lain lagi; kedudukan beliau di sisi mereka ibarat ruh dan jiwa dan     semua urusan beliau menempati hati dan mata mereka. Cinta yang tulus     terhadap diri beliau mengalir terhadap beliau bak aliran air ke dataran     rendah. Keterpikatan hati mereka terhadap beliau laksana tarikan magnet     terhadap besi.  
 
 Oleh karena itu, sebagai implikasi dari rasa     cinta dan siap mati ini membuat mereka tidak gentar bila leher harus     terpenggal, kuku terkupas atau ditusuk oleh duri. 
 
 Suatu hari ketika di Mekkah, Abu Bakar bin Abi     Quhâfah pernah diinjak dan dipukul dengan keras. Di tengah kondisi seperti     itu, ‘Utbah bin Rabi’ah mendekatinya sembari memukulinya lagi dengan kedua     terompahnya yang tebal dan melayangkannya ke arah wajahnya. Tidak cukup     disitu, dia kemudian melompat diatas badannya dan jatuh tepat di atas perut     Abu Bakar hingga wajahnya bonyok, tidak bisa diketahui lagi mana letak     hidung dari wajahnya.  
 
 Setelah itu, dia diangkut dengan menggunakan     bajunya oleh suku Bani Tamim kemudian dicampakkan ke rumahnya. Mereka sama     sekali tidak menyangsikan bahwa dia pasti sudah tidak bernyawa. Saat hari     beranjak sore, dia tersadar dan berbicara: “apa yang terjadi terhadap diri     Rasulullah?”.  
 
 Mereka mencibirnya dengan lisan mereka dan     mengumpatinya, lalu berdiri dan berkata kepada ibunya, Ummul Khair :     “Terserah, apa yang akan engkau lakukan; memberinya makan atau minum”. 
 
 Ketika sang ibu hanya tinggal berdua saja dengan     anaknya, dia membujuknya agar mau makan atau minum. Tetapi, justeru sang     anak malah berkata: “apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?”.  
 
 Ibunya menjawab: “demi Allah! aku tidak tahu     sama sekali tentang shahabatmu itu”. 
 
 Dia berkata: “kalau begitu, pergilah menjumpai     Ummu Jamil binti al-Khaththab lalu tanyakanlah kepadanya”. 
 
 Sang ibu pergi keluar hingga sampai ke rumah     Ummu Jamil, lantas berkata: “sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu     tentang Muhammad bin ‘Abdullah”. 
 
 Dia menjawab: “aku tidak kenal siapa Abu Bakar     dan juga Muhammad bin ‘Abdullah. Jika engkau ingin aku menyertaimu menemui     anakmu, akan aku lakukan”. 
 
 Dia menjawab: “ya”. 
 
 Akhirnya keduanya berlalu hingga akhirnya     mendapati Abu Bakar dalam keadaan terkapar tak berdaya. Ummu Jamil     mendekatinya seraya berteriak mengumumkan kepada orang banyak: “demi Allah!     sesungguhnya kaum yang melakukan tindakan ini terhadapmu adalah orang yang     fasiq dan kafir. Sungguh, aku berharap semoga Allah membalaskan untukmu     terhadap mereka”. 
 
 Abu Bakar malah berkata lagi: “apa yang terjadi     terhadap diri Rasulullah?”. Ummu Jamil berkata: “Ini ibumu ikut     mendengarkan”. Dia berkata: “Tidak usah khawatir terhadapnya” Dia menjawab: “beliau Shallallâhu 'alaihi     wasallam dalam kondisi sehat dan bugar”. Dia berkata lagi:”dimana beliau sekarang?” “ada di Dar Ibnu al-Arqam”, jawabnya. Dia berkata lagi:”aku bersumpah kepada Allah     untuk tidak mencicipi makanan dan meminum minuman hingga aku mendatangi     Rasulullah”. 
 
 Keduanya mengulur-ulur waktu sejenak, hingga     bilamana kondisi Abu Bakar sudah tenang dan orang-orang mulai sepi,     keduanya berangkat keluar membawanya dengan dipapah. Lalu dipertemukanlah     dirinya dengan Rasulullah”.  
 
 Bentuk kecintaan yang demikian langka serta     pengorbanan hidup seperti ini akan kami bahas pada beberapa bagian dari     buku ini, terutama yang terjadi pada waktu perang Uhud dan yang terjadi     terhadap Khubaib dan semisalnya. 
 
 3. Rasa tanggung jawab 
 
 Para shahabat menyadari secara penuh akan     besarnya tanggung jawab yang dipikulkan ke pundak manusia. Tanggung jawab ini     tidak dapat dielakkan dan diselewengkan betapapun kondisinya sebab     keteledoran dan lari dari rasa tanggung jawab ini memiliki implikasi yang     sangat besar dan berbahaya daripada penindasan yang dirasakan oleh mereka.     Kerugian yang diderita oleh umat manusia secara keseluruhan bila lari     darinya, tidak dapat diukur dengan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi     akibat dari beban yang ditanggung tersebut. 
 
 4. Iman kepada Akhirat 
 
 Ini merupakan salah satu faktor yang menguatkan     tumbuhnya rasa tanggung jawab tersebut. Mereka memiliki keyakinan yang kuat     bahwa mereka akan dibangkitkan kelak menghadap Rabb semesta alam, amal     mereka dihisab dengan sedetail-detailnya; besar dan kecilnya. Jadi, hanya     ada dua pilihan; ke surga yang penuh dengan kesenangan atau ke neraka Jahim     yang penuh dengan azab yang abadi. 
 
 Mereka menjalani kehidupan mereka antara rasa     takut dan pengharapan; mengharapkan rahmat Rabb mereka dan takut akan     siksa-Nya. 
 
 Mereka adalah sebagaimana yang difirmankan oleh     Allah Ta’ala: ”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah     mereka berikan, dengan hati yang takut”. (Q,.s. al-Mukminûn: 60). 
 
 Mereka mengetahui bahwa dunia dengan     kesengsaraan dan kesenangan yang ada di dalamnya tidak akan bisa menyamai     sepasang sayap nyamuk (tidak ada apa-apanya-red) bila dibandingkan dengan     kehidupan di Akhirat.  
 
 Pengetahuan mereka yang kuat tentang hal inilah     yang meringankan mereka di dalam menghadapi kepayahan, kesulitan dan     kepahitan yang ada di dunia sehingga mereka tidak menyibukkan diri untuk     mengoleksinya sebanyak mungkin bahkan terbetik di hati merekapun tidak. 
 
  |         |      
 
 FAKTOR KESABARAN DAN KETEGARAN KAUM MUSLIMIN 
 
 Pada bagian yang lalu (13-a) telah disebutkan     empat faktor dan sebab dari ketabahan dan ketegaran kaum Muslimin. Pada     bagian kali ini kita akan melanjutkan faktor dan sebab selanjutnya: 
 
 5. al-Qur’an 
 
 Pada rentang waktu yang amat kritis dan sulit     ini, turunlah surat-surat dan ayat-ayat Allah guna memberikan hujjah dan     bukti atas kebenaran risalah Islam dan prinsip-prinsipnya dimana dakwah     berada pada porosnya. Al-Qur’an tampil dengan gaya bahasa yang valid dan     indah, mengarahkan kaum Muslimin kepada pondasi-pondasi yang kelak atas     qadar Allah terbentuk komunitas manusia yang paling agung dan mempesona di     muka bumi ini, yaitu masyarakat Islam. Surat-surat dan ayat-ayat tersebut     juga amat membangkitkan sensitifitas dan ego kaum Muslimin untuk bersabar     dan pantang menyerah, menguraikan sikap tersebut dengan bahasa permisalan     dan menjelaskan kepada mereka apa hikmah di balik itu. Allah berfirman     (artinya) : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)     mengatakan:’Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?,[2]. Dan     sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka     sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia     mengetahui orang-orang yang dusta”. [3]. (Q,.s.al-‘Ankabût/29: 2-3). 
 
 Ayat-ayat tersebut juga mementahkan     argumentasi-argumentasi kaum Kafir dan para pembangkang dengan bantahan     yang membuat mereka mati kutu sehingga tidak memiliki trik lain untuk     mengelak. Ayat-ayat tersebut sekali waktu juga memperingatkan mereka akan     akibat yang fatal dari kengototan mereka di dalam pembangkangan dan     kesesatan dengan pemaparan yang jelas dan transparan, berpedoman kepada     Hari-Hari Allah dan peristiwa historis yang menunjukkan adanya sunnatullah     terhadap para wali dan musuh-Nya. Sekali waktu pula, menyapa mereka secara     ramah, memfungsikan gaya bahasa dengan pertanyaan, petunjuk dan pengarahan     sehingga dengan itu mereka mau berpaling dari kesesatan nyata yang tengah     mereka lakukan.  
 
 Al-Qur’an juga membimbing kaum Muslimin menuju     alam lain, memperlihatkan mereka hal yang membuat hati mereka bergetar;     pemandangan alam semesta, keindahan rububiyah, kesempurnaan uluhiyyah,     jejak-jejak rahmat dan kasih sayang serta keridlaan-Nya. 
 
 Di balik lipatan ayat-ayat tersebut terdapat     pesan-pesan untuk kaum Muslimin. Disana, Rabb memberitakan kabar gembira     buat mereka berupa rahmat dan keridlaan-Nya serta surga yang telah     disiapkan buat mereka, di dalamnya mereka mendapatkan kenikmatan abadi.     Ayat-ayat tersebut juga memberikan gambaran kepada mereka tentang bagaimana     musuh-musuh mereka; kaum kafir dan para Thaghut yang zhalim dihukumi dan     diinterogasi lalu wajah mereka dijerembabkan ke api neraka sehingga mereka     merasakan betapa pedihnya neraka Saqar. 
 
 6. Berita-Berita Gembira tentang Kemenangan 
 
 Meskipun kaum Muslimin mengetahui akan     berita-berita gembira ini, namun mereka juga mengetahui sejak pertama kali     mengalami perlakukan kasar dan penindasan –bahkan sebelum itu- bahwa masuk     Islam bukan berarti tersingkirnya semua musibah dan kematian tersebut     tetapi sejak awal lahirnya, dakwah Islamiyah bertujuan untuk mengakhiri     dunia Jahiliyyah dan sistemnya yang zhalim. Mereka juga mengetahui bahwa     buah dari hal itu di dunia ini adalah terbentangnya kekuasaan diatas muka     bumi dan penguasaan terhadap kondisi politis di seluruh alam yang dapat     menggiring umat manusia dan komunitas manusia secara keseluruhan ke dalam     keridlaan Allah dan mengeluarkan mereka dari penyembahan terhadap hamba     kepada penyembahan terhadap Allah semata. 
 
 Sesekali al-Qur’an turun dengan berita-berita     gembira ini secara lantang dan terkadang berupa kinayah (sindiran). Maka,     di dalam rentang waktu yang amat kritis seperti ini dimana bumi dirasakan     sempit oleh kaum Muslimin, mencekik mereka bahkan seakan ingin mengakhiri     kehidupan mereka; turunlah ayat-ayat tersebut sebagaimana yang dulu terjadi     diantara para Nabi dan kaum mereka berupa pendustaan dan pengingkaran.     Ayat-ayat tersebut berisi hal yang menyinggung kondisi-kondisi yang persis     sama dengan kondisi-kondisi kaum Muslimin di Mekkah dan orang-orang kafir     disana. Ayat-ayat tersebut kemudian menyinggung peralihan kondisi berupa     kebinasaan kaum kafir dan orang-orang yang zhalim dan kesuksesan     hamba-hamba Allah di dalam mewarisi kekuasaan di muka bumi dan seluruh     negeri. Di dalam kisah-kisah ini terdapat isyarat yang jelas akan kegagalan     penduduk Mekkah nantinya dan kesuksesan kaum Muslimin dan dakwah islamiyah     yang mereka bawa. 
 
 Di dalam tenggang waktu tersebut, turunlah     beberapa ayat yang secara terang-terangan memberitakan kabar gembira,     berupa kemenangan kaum Mukminin sebagaimana di dalam beberapa firman-Nya     berikut:  
 
 1. Firman-Nya (artinya):  
 
 “Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada     hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, [171]. (yaitu) sesungguhnya mereka     itulah yang pasti mendapat pertolongan,[172]. Dan sesungguhnya tentara Kami     itulah yang pasti menang,[173]. Maka berpalinglah kamu (Muhammad) dari     mereka sampai suatu ketika,[174]. Dan lihatlah mereka, maka kelak mereka     akan melihat (azab itu),[175]. Maka apakah mereka meminta supaya siksa Kami     disegerakan,[176]. Maka apabila siksaan itu turun di halaman mereka, maka     amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan     itu”.[177] (Q,.s.ash-Shaffât/37: 171-177) 
 
 2. Firman-Nya (artinya): 
 
 Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka     akan mundur ke belakang. (Q,.s.al-Qamar/54:45) 
 
 3. Firman-Nya: (artinya): 
 
 Suatu tentara yang besar yang berada di sana     dari golongan-golongan yang berserikat, pasti akan dikalahkan.     (Q,.s.Shâd/38:11) 
 
 4. Firman-Nya yang turun terhadap orang-orang     yang berhijrah ke Habasyah (artinya): 
 
 Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah     sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada     mereka di dunia.Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar,     kalau mereka mengetahui, (Q,.s.an-Nahl/16:41) 
 
 5. Firman-Nya tatkala mereka bertanya kepada     beliau tentang kisah Nabi Yusuf 'alaihissalâm (artinya): 
 
 Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan     Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang     bertanya. (Q,.s.Yûsûf/12:7) 
 
 Yakni penduduk Mekkah yang bertanya tersebut     akan mengalami kegagalan sebagaimana yang pernah dialami oleh     saudara-saudara Yusuf dan mereka akan menyerah sebagaimana mereka menyerah. 
 
 6. Firman-Nya tatkala mengingatkan para Rasul     (artinya): 
 
 Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul     mereka: "Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau     kamu kembali kepada agama kami".Maka Rabb mewahyukan kepada     mereka:"Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu,[13].     dan Kami pasti akan menempatkan kamu dinegeri-negeri itu sesudah     mereka.Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan     menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku, [14]".     (Q,.s.Ibrâhim/14:14) 
 
 Ketika perang berkecamuk antara bangsa Persia     dan Romawi; kaum Kafir lebih senang bila bangsa Persia yang menang karena     mereka memiliki kesamaan sifat, yaitu perbuatan syirik, sedangkan kaum     Muslimin lebih cenderung bila kemenangan berada di pihak bangsa Romawi     karena memiliki kesamaan sifat, yaitu beriman kepada Allah, para Rasul,     wahyu, kitab-kitab dan Hari Akhir.  
 
 Kemenangan memang berada di pihak bangsa Persia,     lalu Allah menurunkan ayat yang memberitakan kabar gembira bahwa bangsa     Romawi akan mengalami kemenangan dalam beberapa tahun kemudian (dan hal ini     memang terjadi-red). Tidak sebatas itu saja, ayat tersebut menyebutkan     kabar gembira yang lain secara terang-terangan, yaitu Allah akan menolong     kaum Mukminin di dalam firman-Nya (artinya): “dan pada hari itu, kaum     Mukminin bergembira dengan pertolongan Allah”. (Q,.s.ar-Rûm/30: 4-5) 
 
 Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sendiri     sering menyampaikan kabar gembira seperti ini di sela waktu-waktu tertentu     ; di saat datang musim haji dan berada di tengah orang-orang di pasar     ‘Ukâzh, Majinnah dan Dzi al-Majâz untuk menyampaikan risalah dakwah, beliau     tidak hanya memberitakan kabar gembira tentang surga saja, tetapi secara     lantang berkata kepada mereka: “wahai manusia! Ucapkanlah ‘Lâ ilâha     illallâh’ niscaya kalian akan beruntung, menguasai bangsa Arab dan     menundukkan orang-orang asing;jika kalian mati, maka kalian akan menjadi     raja di surga”. (Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Sa’d: I/216)  
 
 Kami telah memaparkan sebelumnya jawaban Nabi     Shallallâhu 'alaihi wasallam kepada ‘Utbah bin Rabî’ah berupa keinginannya     untuk menegosiasi beliau dengan gemerlap duniawi, serta apa yang dipahami     dan diharapankan olehnya terkait dengan kemenangan yang akan dicapai oleh     Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. 
 
 Demikian pula, tentang jawaban Nabi Shallallâhu     'alaihi wasallam terhadap delegasi terakhir yang mendatangi Abu Thalib.     Ketika itu beliau secara terus terang meminta kepada mereka satu rangkaian     kata saja yang apabila mereka memberikannya, maka semua bangsa Arab akan     tunduk kepada mereka dan mereka dapat menguasai orang-orang asing. 
 
 Khabbab bin al-Aratt berkata: “Aku mendatangi     Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam saat beliau tidur dengan berbaring di     atas burdahnya dan berteduh di bawah naungan Ka’bah. Kami juga saat itu     telah mengalami penyiksaan berat dari kaum Musyrikun. Lantas aku berkata:     ‘tidakkah engkau berdoa kepada Allah!’ (agar menolong para shahabat-red).     mendengar ucapan ini, beliau langsung duduk sedangkan raut wajahnya tampak     memerah sembari berkata: ‘sungguh, orang-orang sebelum kalian pernah     diseset dengan sesetan besi panas yang menusuk daging hingga mengenai     tulang belulang dan urat. Akan tetapi hal itu semua tidak membuat mereka     bergeming sedikitpun dari dien mereka. Sungguh Allah akan menyempurnakan     urusan agama ini hingga seorang pejalan kaki berjalan dari Shan’â ke     Hadlramaut tidak ada yang ditakutkannya selain Allah Ta’ala. Dalam     penjelasan periwayat hadits disebutkan : “…dan tidak juga dia mengkhawatirkan     kambingnya diterkam srigala”. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan     tambahan: “…akan tetapi kalian terburu-buru (ingin cepat memetik     hasil-red)”. 
 
 Kabar-kabar gembira tersebut tidak     ditutup-tutupi dan terselubung akan tetapi dipublikasikan secara terbuka     dan diketahui baik oleh orang-orang kafir maupun kaum Muslimin.     Indikasinya, al-Aswad bin al-Muththalib dan rekan-rekan mengobrolnya saling     mengedip-ngedipkan mata diantara sesama mereka bila melihat para shahabat     Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam melintasi mereka, sembari berkata:     “Raja-raja bumi yang akan mewarisi kekisraan Persia dan kekaisaran Romawi     sudah datang kepada kalian”, kemudian mereka bersiul-siul dan bertepuk     tangan. 
 
 Dengan adanya kabar-kabar gembira tentang masa     depan yang akan cemerlang di dunia diselai oleh pengharapan yang tulus dan     sungguh-sungguh akan kemenangan menggapai surga sebagai hasil akhirnya     kelak, para shahabat memandang bahwa penindasan yang beraneka ragam dan     silih berganti dari semua lini tersebut serta musibah-musibah yang     mengepung mereka dari segala penjuru hanyalah sebagai ‘gumpalan awan musim     panas yang dalam sekejap akan sirna’. 
 
 Demikianlah, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi     wasallam senantiasa menyuguhkan santapan rohani kepada mereka dengan     rangsangan keimanan; menyucikan jiwa mereka dengan mengajarkan al-Hikmah     (hadits) dan al-Qur’an; mendidik mereka dengan pendidikan yang detail dan     mendalam; mendorong jiwa mereka agar menduduki keluhuran ruh, kemurnian     hati, kebersihan budi pekerti, keterbebasan dari pengaruh materilistik,     pembendungan terhadap hawa nafsu serta kembali kepada Rabb bumi dan langit;     mengasah bara di hati mereka; mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju     nur; mengajak mereka bersabar terhadap semua gangguan, memiliki sifat     pema’af serta menundukkan jiwa. Dengan gamblengan semacam itu, mereka     menjadi bertambah kokoh di dalam agama, menjauhkan diri dari hawa nafsu,     siap mengorbankan jiwa di jalan yang diridlai oleh-Nya, merindukan surga,     berkemauan kuat untuk menuntut ilmu dan memahami agama, mengintrospeksi     jiwa dan menundukkan sentimen-sentimen yang tumbuh, mengalahkan     perasaan-perasaan dan gejolak-gejolak jiwa serta selalu mengikat diri     dengan kesabaran, kedamaian dan ketenangan. 
 
  |       
 
 
 
  |  
Posting Komentar
Posting Komentar