Kalau sampai saat ini saya masih menikmati hidup, itu tidak lain karena rahmat Allah semata. Saya, Tjwan Trien Nio, kelahiran Juana, Jawa Tengah, 17 Juli 1953, pernah dihempas badai kehidupan yang nyaris menghancurkan masa depan saya. Tapi lantaran badai itu pula saya mengenal Islam. Bahkan, Alhamdulillah kemudian menjadi penganutnya yang setia, amien.
Jika mengenang masa lalu yang pernah mengisi lembaran hidup saya, hati ini terasa pedih. Luka itu begitu menggores hati, seperti disayat sembilu. Betapa tidak, suami satu-satunya yang menjadi tambatan hidup saya, ternyata tidak memberi pimpinan dan pengayoman. Setiap saat timbul cekcok. Sulit mencari titik temu. Hanya karena persoalan sepele saja bisa dijadikan alasan menyulut pertengkaran. Akibatnya, bahtera rumah tangga kami hancur dihempas badai perceraian. Padahal, kami sudah dikaruniai tiga orang anak yang manis dan lucu.
Meskipun saya beragama Katolik, tetapi perceraian itu akhirnya tidak bisa dihindari. Sebab, Hadikusuma, suami saya yang juga keturunan Tionghoa itu menganut Konghucu. Perlu pembaca ketahui, pernikahan kami dulu tidak mendapat restu gereja, karena kami berbeda keyakinan. Akhirnya kami menikah di Kantor Catatan Sipil.
Perceraian itu tentu saja memukul perasaan saya, karena saya hares memulai hidup dari bawah lagi. Harta tak punya, Modal untuk berdagang pun tak ada. Syukurlah pengadilan memutuskan supaya bekas suami saya itu memberikan harta "gono-gini" untuk penyambung nafkah saya selanjutnya. Oleh suami, saya diberinya sebuah loos (toko kecil) berikut sedikit barang dagangan.
Tentu saja saya harus memulainya dari bawah lagi. Saya akui bahwa saya tak begitu pandai berdagang sebagaimana lazimnya wanita Tionghoa. Sebab, sebelum perceraian terjadi saya lebih banyak mencurahkan perhatian untuk merawat anak dan mengurus rumah tangga.
Bisa Anda bayangkan, dengan hanya bermodal sedikit barang, usaha saya tak bisa berkembang. Saya lebih sering menderita kerugian. Karena didorong oleh obsesi untuk memajukan usaha, membuat saya jauh dari gereja. Akibatnya saya menjadi gelisah sepanjang waktu.
Masuk Islam
Sementara batin saya kering dari nilai-nilai rohani, usaha saya pun tidak bertambah maju bahkan sebaliknya. Tetapi syukurlah, dalam keadaan yang kritis itu, di saat hati saya sedang gundah, datanglah seseorang yang berbaik hati menghibur dan memberi saya nasihat. Tak hanya sampai di situ, laki-laki yang tak perlu saya sebutkan namanya itu telah memperkenalkan saya dengan Islam.
Oleh laki-laki itu saya diberi harapan-harapan bahwa bahagia yang sesungguhnya hanya dapat diperoleh dengan jalan takwa kepada Allah SWT. Ia juga membimbing saya bagaimana menghadapi problema hidup yang penuh dengan perjuangan dan tantangan. Manusia boleh mengejar kehidupan dunia, tapi ia harus sadar bahwa ada kehidupan akhirat yang juga harus dipentingkan dan dipikirkan.
Singkatnya, atas bimbingannya itu, akhirnya saya resmi menjadi seorang muslimah pada tanggal 25 Mei 1984. Nama saya pun diganti menjadi Sri Hartini. Dengan iman baru dan nama yang baru pula, saya berusaha tegar dan bertekad untuk bangkit kembali.
Cobaan Kedua
Tetapi, badai yang lebih dahsyat datang mengguncang kehidupan saga setelah saya menjadi penganut Islam. Usaha dagang saya mengalami kemunduran total, hingga ludes. Tak cukup sampai di situ, kios satu-satunya pemberian bekas suami saya dulu, ikut pula terjual, Saya jadi terlunta-lunta tak punya tempat berteduh.
Mau kembali ke rumah orang tua, saya tak berani, karena mereka sudah tak mau lagi mengakui saya sebagai anggota keluarga. Saya dinilai telah menyimpang. Meskipun begitu saya merasa bangga, sebab batin saya telah dipenuhi iman Islam.
Suatu hari saya menyusuri tepi sungai. Saya melihat banyak tunawisma yang tinggal di kolong jembatan. Hidup mereka jauh untuk disebut layak. Sudah miskin harta, mereka miskin pula dari nilai-nilai agama. Melihat itu saya merasa masih lebih beruntung dibanding mereka. Sebab, saya masih mempunyai iman yang membuat saya masih sanggup bertahan dari hempasan hidup yang maha dahsyat.
Dengan pelajaran berharga itu saya mencoba tegar dan bangkit menata hidup. Saya renungkan dalam-dalam hakikat dan tujuan hidup seorang muslim. Saya pelajari Islam lebih dalam lagi melalui buku-buku. Oh, betapa luas dan dalamnya ajaran Islam itu, Serba komplit. Belum lagi tentang ajaran akhlak dan zikir yang menenteramkan hati.
Shalat pun demikian. Begitu indah gerakan yang harus dilakukan, membuat persendian menjadi sehat. Jiwa tenteram
karena selalu berhubungan dengan Sang Pencipta. Apalagi kalau shalat itu dilakukan secara berjamaah bersama orang banyak, rasanya kesepian itu menjadi pupus. Ternyata saya hidup tidak sendirian.
Allah memang akan menolong hamba-Nya yang beriman. Begitu janji-Nya dalamAl-Qur'an. Bagi yang beriman pantang berputus asa dari rahmat Allah. Temyata, setelah diuji dengan berbagai kesulitan, alhamdulillah, saya masih memegang erat keyakinan Islam.
Badai yang saya hadapi sudah berlalu dengan mengantarkan saya ke pantai bahagia. Sebab tiga tahun kemudian, tahun 1987, saya bertemu dengan seorang laki-laki yang bersedia memperistri saya. Sutrisno, demikian nama jejaka itu, memboyong saya ke kota Lasem, sekitar 20 km dari Juana.
Kini, kami tinggal di Lasem dengan mengontrak rumah kedl yang sederhana. Sementara suami saya bekerja membuka bengkel las, saya berdagang kecil-kecilan dengan menjual kerupuk ke warung-warung kecil di seputar Lasem. Sesekali saya berdakwah ke pedesaan dan kota-kota kecil di sekitar Lasem. Di antaranya saya pernah mengunjungi Kendal, Jepara, Rembang, Tiogowungu, dan sebagainya.
Kakak saya yang tinggal di Jakarta dan Surabaya pemah mengajak saya tinggal di tempat mereka. Mereka menjanjikan akan mencarikan pekerjaan lain yang sesuai dan dapat menghasilkan pendapatan yang cukup memadai. Tetapi ajakan itu saya tolak secara halus, mengingat saya sudah bersuami dan ingin memelihara akidah dengan balk. Saya merasa cukup tenang dan bahagia tinggal di Lasem.
Keinginan saya saat ini hanya satu, yaitu berharap agar suatu saat kelak ketiga anak saya akan mengikuti jejak saya, memeluk agama Islam. Sebab, sampai hari ini ketiga anak saya itu tinggal bersama neneknya (ibu mertua dari bekas suami pertama).
Saya tak berdaya, Sang nenek itulah yang mencukupi semua kebutuhan hidup mereka sehari-hari, termasuk biaya sekolah mereka. Saya tak mampu menekan mereka, sebab khawatir ketiga anak saya akan diusir neneknya. Saya memang tak mampu mencukupi keperluan dan biaya sekolah mereka. Ah, seandainya saya mampu, tentu ceritanya menjadi lain dan semoga Allah memberi hidayah kepada anak-anakku, amien.
Moh. Icbsan/Albaz dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ oleh Mualaf Online Center (MCOL) http://www.mualaf.com/
Posting Komentar
Posting Komentar