-->

Sinarto T.S.(Liem Tjong Sien) : Islam sesungguhnya

Pengantar : namanya Liem Tjong Sien. Lahir di Purwodadi, jawa Tengah, 13 Mei 1958. Setelah memeluk Islam, ia mengganti namanya menjadi Sinarto Tirto Sumarto. Dengan panjang lebar, Toto, begitu ia dipanggil, mengungkapkan pergulatan batinnya dalam mencari kebenaran. Berikut penuturannya.

Di Indonesia, kalau ada seorang keturunan Cina masuk Islam, atau seorang Cina duduk bersimpuh di masjid menunaikan shalat, akan dianggap aneh, ganjil, dan mengherankan. Mengapa? Barangkali karena golongan Cina dianggap sebagai kelompok masyarakat di luar Islam. Padahal, kalau mau membaca sejarah, kita akan menemui bahwa kaum muslim Tiongkok sebenarnya telah sejak lama menjalin kerjasama dengan muslim pribumi Indonesia.

Banyak peninggalan sejarah yang menunjukan hal itu. Misalnya, ketika berlangsung MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur'an) ke-12 di Banda Aceh tahun 1981, dipamerkan sebuah lonceng besar. Lonceng tersebut merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho, dari Dinasti Ming, saat berkunjung ke Sumatra. Cheng Ho berserta seluruh anak buahnya memeluk agama Islam. Dan, Laksamana ini pula yang berhasil mengantarkan Dinasti Ming ke puncak kejayaan.

Jadi, jauh sebelum orang-orang Barat menjelajah lautan, Cheng Ho dengan anak buahnya sudah lebih dahulu mengarungi samudra Tiongkok Selatan, Samudra Hindia, bahkan jauh menyeberang ke Benua Afrika. Saat berkunjung ke Sumatra, ia bersama pengikutnya sempat menemui raja sambil meninggalkan beberapa anak buahnya, agar turut serta dalam mengembangkan agama Islam. Mereka lantas berbaur dengan penduduk pribumi, antara lain dengan masyarakat Palembang dan lain sebagainya. Bahkan, menurut Prof. Slamet Mulyana, pendiri kerajaan Islam di-Pulau Jawa adalah orang Tionghoa, yakni Senopati Jin Bun yang kita kenal dengan nama Raden Patah.

Meskipun pendapat ini masih kontroversial, tapi sejarah membuktikan bahwa kaum muslimin Tiongkok, sudah sejak lama menyatu dengan bangsa Indonesia. jadi, jika masyarakat kita sekarang masih melihat dengan tatapan aneh terhadap orang Cina yang masuk Islam, hal itu disebabkan oleh gelombang kedatangan orang yang bukan beragama Islam (Kristen). Dengan begitu jumlah orang-orang Tionghoa yang beragama Islam terasa arnat sedikit bila dibanding dengan masyarakat muslim lainnya.

Dibesarkan di Lingkungan Islam

Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan masyarakat Jawa (Purwadadi) yang mayoritas memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, sejak kecil saya bergaul, bermain, dan sekolah bersama-sama mereka. Bahkan, mulai umur tujuh tahun, saya sudah ikut-ikutan belajar ngaji serta sembahyang di langgar (mushala), meskipun waktu itu saya masih menganut agama Budha.

Anehnya, papi dan mami tidak pernah melarang saya belajar ngaji. Saya sendiri hampir tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya saya seorang keturunan Cina. Saya lebih merasa sebagai orang Jawa. Karena itu di rumah pun, saya lebih suka menggunakan bahasa Jawa.

Namun, di saat usia saga mencapai 20 tahun, saya mulai memiliki daya nalar yang matang dalam menyimak dan mencerna segala sesuatu yang menyangkut soal hidup, termasuk keyakinan dalam beragama. Papi dan mami selalu memperingatkan dan sesekali mengajari saya tentang kepercayaan dalam Budha.

Tapi, jiwa saya sudah tertempa dengan ajaran-ajaran Islam selama 13 tahun. Dan, saya lebih meyakini bahwa inilah agama yang benar. Inilah agama yang indah dan sejuk. Maka saya memutuskan, Islamlah agama saya yang terakhir dan tidak akan berubah untuk selama-lamanya. Saya masuk Islam pada tahun 1978.

Mendengar keputusan ini papi dan mami malah menganjurkan saya untuk mempelajari, serta meningkatkan pengetahuan Islam sedalam-dalamnya. "Jangan jadi Islam munafik dan setengah-setangah," begitu pesan orang tua saya. Seandainya tidak ada anjuran dari mereka pun, saya tetap bertekad bulat untuk terus mendalami pengetahuan Islam, baik lewat buku-buku maupun dari mendengarkan ceramah di masjid-masjid seperti Masjid Sunda Kelapa dan sebagainya.

Ucapan Selamat

Setelah resmi sebagai penganut agama Nabi Muhammad saw., beberapa waktu lalu saya berkirim surat memberi tahu tentang keislaman saya kepada tante di Belanda. Dua minggu kemudian datang balasan sebagai ucapan selamat. Malah om dan tante mengundang saya untuk berkunjung ke Belanda.

Setelah tamat SMA, baru kemudian saya berangkat ke Belanda. Kepada om dan tante saya katakan kalau hendak memberi hadiah buat saya, sebaiknya berupa ongkos naik haji (ONH). Sebab, saya ingin sekali mengusap dinding Ka'bah dengan kedua telapak tangan saya.

Alhamdulillah, om dan tante dengan senang hati menyanggupinya. Alangkah bahagia ya hati saya. Insya Allah, saya akan berangkat ke Tanah Suci. Sekarang saya ingin lebih dalam lagi mengkaji Islam, lewat buku buku dan pengajian di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat.


Khumroni/Albaz dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ oleh Mualaf Online Center (MCOL)  http://www.mualaf.com/

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter