|      
 
 Musim dingin di Amsterdam. Pagi-pagi 27 Desember 1949, pakai     mantel tebal, saya naik trem dari Valarius Street menuju Paleis op de Dam,     menyaksikan upacara penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada     Republik Indonesia Serikat, sesuai dengan hasil Ronde Tafel Conferentie     (RTC) atau Konferensi Meja Bundar di Den Haag (27 Agustus – 2 November     1949), 
 
 Sebagai pimpinan Redaksi Harian Pedoman, saya satu-satunya     wartawan Indonesia yang hadir. Peliput Konferensi Meja Bundar (KMB)     lainnya, seperti BM Diah, Adinegoro, Wonohito, Soekriano, Soetarto, Pohan,     Kwee Kek Beng, Mohammad Said, EU Pupella ketika itu sudah kembali ke tanah     Air. Saya menunggu di Belanda karena akan menuju Amerika Serikat mengikuti     pelajaran di Yale Drama Workshop sehingga diundang untuk menyaksikan     peristiwa bersejarah itu. 
 
 Di depan Istana Dam, saya melihat sekumpulan orang Indonesia     menanti kedatangan Wapres Mohammad Hatta. Saat itu Bung Hatta bermantel     hitam dan blootshoofd (tanpa     tutup kepala), memeriksa barisan kehormatan militer. Dengan langkah cepat     dia masuk Istana, lalu mengambil tempat di Burgerzaal. Hadir Ratu Juliana,     sebelah kiri duduk PM Belanda Williem Dress sebelah kanan Wapres Hatta,     Sultan Pontianak Alkadrie Prof. Dr. Supomo. Lalu anggota Corps Diplomatique     (CD), Menteri Van Maarseveen, Stkker, Mantan PM. Louis Beel, Dubes Van     Royen, serta Kemerheren (pegawai tinggi Istana) dalam pakaian kebesaran     warna-warni. Dreess yang sosialis-demokrat yang dalam gerakan sosialis     bertahun-tahun mendukung dan prokemerdekaan Indonesia sengaja mengundang     tiga pengarang perempuan Henriette Roland Holst dan spesialis Hindia dan     Fraksi Partai SDAP di Tweede Kamar Cramar dan Stokvis. 
 
 Upacara Penyerahan 
 
 Hawa dalam ruangan terasa panas. Maklum, banyak orang tumplek     di sana. Lantaran gerah saya kurang konsentrasi menyimak pidato Ratu     Juliana setelah ditandatanganinya teks bahasa Belanda dari dokumen     penyerahan kedaulatan. Pidato Bung Hatta yang diucapkan dalam bahasa     Indonesia juga tidak cermat saya ikuti. Teks pidato Bung Hatta yang ditulis     tangan itu diserahkan kepada Drees keesok malamnya dalam jamuan di     Treveszaal yang diselenggarakan pemerintah Belanda Drees amat menghargakan     pemberian Hatta itu sehingga copy pidato Hatta dimuat dalam bukunya Zestig     Jaar Levenservaring (60 taun pengalaman hidup). 
 
 Bagi Hatta peristiwa 27 Desember 1949 itu amat besar     maknanya. Beberapa tahun kemudian saya bertanya, apakah peristiwa paling     penting dalam hidupnya. Bung Hatta menjawab, menandatangani teks Proklamasi     Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan menandatangani akta penyerahan kedaulatan     Belanda atas Indonesia tanggal 27 Desember 1949. 
 
 Saya catat, ada kejadian saat upacara berlangsung. Tiba-tiba     terdengar bunyi “gedebug”, orang jatuh. Seorang Kemerheer pingsan. Apakah lelaki     pengawal Istana Ratu itu lemas karena terlalu berdiri, sakit atau belum     sarapan ? saya tidak tahu. Tetapi saya menganggapnya sebagai perlambang,     jatuhnya kekuasaan sebuah imperium, tamatnya era kolonialisme Belanda. 
 
 Upacara di Paleis Dam disiarkan langsung melalui radio yang     pada saat yang sama bisa didengarkan di Istana Rijswijk (Istana Negara) di     Jakarta oleh hadirin yang menyaksikan upacara penyerahan kedaulatan dari     wakil Mahkota Agung Lovink kepada Sultan Hamengkubuwono IX. Presiden Soekarno     sungkan menghadiri menghadiri upacara di Jakarta itu dan tinggal di Yogya,     menunggu triomfala intocht alias ketiban berjaya di ibu kota. 
 
 Bertahun-tahun kemudian SoebadioSastrosatmono dari PSI     (Partai Sosialis Indonesia) mengatakan “dari perspektif mistik, yang     terjadi di Jakarta adalah penyerahan kekuasaan atas Indonesia dari Belanda,     bukan kepada Presiden Republik Indonesia, tetapi kepada Raja Jawa (HB IX)” 
 
 Juga di Jakarta ada kejadian lain. Diplomat Belanda Van Beus     dalam buku Morgen bij het aanbreken van de dag menulis saat bendera Belanda     Merah-Putih-Biru diturunkan, massa rakyat yang menyaksikan bersuit-suit     disertai teriakan mencemooh, menimbulkan perasaan pilu pada orang-orang Belanda     yang hadir disebaliknya. Waktu bendera Indonesia Merah-Putih dikerek ke     puncak tiang, rakyat bertepuk tangan diiringi sorak sorai. Ini simbol     berakhirnya kolonialisme. 
 
 Lagu Kebangsaan 
 
 Saat keluar dari Paleis op de Dam sya dengar dari carillon     sebuah gereja di dekatnya, pertama kali diperdengarkan lagu kebangsaan     Indonesia Raya. Saya pikir itu juga simbol tamatnya kolonialisme Belanda. 
 
 Pada 31 Desember 1949 malam, saya mengantar Bung Hatta, juga     istri saya Siti Zuraida, yang hari itu akan pulang ke Tanah Air ke Bandara     Schipol. Setelah Bung Hatta bertolak, saya balik ke penginapan. Berjalan kaki     sepanjang kali atau grcahtan lewat tengah malam jelas berbeda berjalan kaki     di Gunung Kendeng, Tangga 8 Juli 1949 malam, saat saya bersama Pak Harto     menjemput Panlima Besar Jenderal Soedirman dari daerah gaerilya, agar     kembali ke Yogya di mana Soekarno-Hatta telah tiba dari Bangka. Sudah tahun     baru pikir saya. Tanah Air saya sudah merdeka dan berdaulat diakui dunia     Internasional. 
 
  |    
Posting Komentar
Posting Komentar