cara mencari TUHAN
Memuja Tuhan Dengan Memuja Langsung Alam Semesta dan Hasil Ciptaan-Nya Sebagai Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa
Perkembangan peradaban manusia yang pada awalnya meyakini alam semesta dan hasil ciptaan-Nya, seperti:
- Aditya (dewa matahari),
- Agni (dewa api),
- Apah (dewa air),
- Candra (dewa bulan),
- Yama (dewa maut),
- Varuna (dewa langit),
- Sukra (dewa planet venus),
- Indra (dewa penguasa),
- Vayu (dewa angin),
- Maruta (dewa angin),
- Soma (dewa bulan),
- Om (aksara suci), serta manifestasi lain adalah sebagai media penghubung dalam pencaharian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang diucapkan oleh orang-orang suci pada zaman dahulu.
Yang dipuja bukan benda atau alat itu, tapi misteri/spirit yang ada dibalik benda itu, yaitu: ada asal muasal, ada kehidupan, ada keindahan, ada kekuatan, ada keajaiban, ada manfaat, dan ada unsur-unsur lain yang mengikuti. Agama Hindu berusaha memuliakan hasil ciptaan-Nya, dimana kita ketahui, untuk mengetahui Tuhan ketahuilah hakikat alam dalam arti sebenarnya. Orang-orang bijak memberikan patokan hari-hari tertentu sebagai wujud syukur dan terimakasih umat kepada-Nya, misalnya: tumpek wariga, adalah hari memuliakan Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa sangkara, sebagai dewa tumbuh-tumbuhan yang sangat bermanfaat dalam kehidupan ini.
Kita tidak tahu dari mana asal muasal keberadaannya, kapan dan siapa yang menciptakan keanekaragaman, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia dan seluruh isi alam semesta ini. Umat Hindu di Bali, dalam upacara persembahyangan memakai sarana bunga, memuja Aditya/Raditya (matahari), manifestasi Tuhan sebagai dewa surya adalah aspek Tuhan sebagai saksi, pemberi penerangan dikegelapan, disamping memberikan spirit (roh) ke alam semesta ini. Ada istilah Siwa Raditya artinya Dewa Siwa pun memuja Matahari. Dan selanjutnya memuja Istadewata (dewata pujaan), serta memuja Manifestasi Tuhan yang berstana dilingkungan setempat sesuai dengan sifat dan fungsi-Nya. Dalam catatan sejarah Bali Kuno disebut:
- Hyang Danawa (dewa danau),
- Hyang Gunung (dewa gunung),
- Hyang Api (dewa api),
- Punta Hyang (dewa resi),
- Hyang da Tonta (dewa pancering jagat),
- Hyang Bukit Tunggal (dewa bukit tunggal),
- Hyang Karimana (dewa karimana),
- Hyang Pucak Tegeh (Pura Gunung Penulisan),
- Hyang Parama Kawi (dewa sastra),
- Hyang Widhi (sinar suci Tuhan), dan sebutan lainnya.
Memuja Tuhan Melalui Media: Arca, Gambar, Pratima, Upakara, Simbol Penghubung ke Alam Kosmis, Hyang Widhi
Seseorang disamping memuja langsung hasil ciptaan-Nya, dalam mengungkapkan perasaan isi hati, baik berupa harapan, permohonan dan tujuan kepada-Nya, juga menggunakan nyasa/simbol-simbol tertentu. Bagi umat awam simbolisme mendapat tempat yang sangat penting dalam penghayatan, dalam proses pendekatan diri kepada Tuhan/Hyang Widhi. Simbolisme religius akan menghasilkan kreatifitas seni dan budaya yang religius pula. Benda-benda alam sebagai manifestasi perwujudan-Nya, yang disucikan, diupacarai, dan dipuja-puji, diyakini bisa menghasilkan nilai magis/gaib yang tidak bisa dipecahkan oleh akal sehat dari pikiran manusia.
Para Maha Rsi Hindu zaman dahulu bersifat konsisten melakoni kehidupan wanaprasta, yaitu menjalani kehidupan dengan melepaskan keterikatan-keterikatan pemuasan jasmani dalam proses pencaharian jati diri terhadap Tuhan. Sehingga hasil perenungan para resi zaman dahulu, diwujud-nyatakan ke dalam bentuk seni dan diaplikasikan sifat dan fungsi Tuhan dalam bentuk; arca, gambar, pratima, upakara, bahasa, tari wali. Yang mempunyai nilai estetis, nilai simbolis, dan nilai spiritual. Seperti apa yang telah diwariskan oleh para leluhur kita terdahulu, misalnya; sifat dan fungsi Tuhan sebagai pembasmi kejahatan tampak tangan arca disimbolkan membawa kapak, fungsi Tuhan sebagai asal ilmu pengetahuan tampak tangan arca disimbolkan membawa lontar, sifat Tuhan sebagai penyejuk tampak tangan arca membawa sibuh (tempat tirta), serta diwujudkan dan digambarkan dengan banyak tangan sesuai fungsi dan kebesaran-Nya.
Demikian pula simbol-simbol yang terdapat dalam upakara bebantenan misalnya;
- Daksina lambang stana Ida Hyang Widhi/Tuhan.
- Banten guru piduka adalah mengandung nilai permohonan maaf umatnya.
- Banten porosan yang terdiri dari pinang yang berwarna merah simbol Dewa Brahma, daun sirih yang berwarna hijau simbol Dewa Wisnu, dan kapur yang berwarna putih simbol Dewa Siwa.
Dengan demikian alam semesta sebagai hasil ciptaan-Nya adalah sakti-Nya dari pada Tuhan. Melalui ajaran agama atau sekte dijabarkan tentang hakikat ketuhanan tersebut. Kata sekte/agama adalah kelompok orang yang mempunyai kepercayaan akan pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandangan agama yang lazim diterima oleh para penganut agama tersebut, misalnya: sekte siwa, sekte bhuda, sekte waisnawa, sekte sakta, sekte indra, sekte bhairawa, sekte surya dan lain-lain.Yang mempunyai jalan dan identitas diri masing-masing, yaitu; ada istadewata (dewa pujaan), ada kitab suci, tempat ibadah, orang-orang suci, hari-hari suci, sarana yang dipakai, dan ada pengikutnya.
Dengan demikian seseorang yang ingin mengetahui hakikat dan kebesaran Tuhan ialah dengan jalan menjadi pengikut dari salah satu sekte/agama yang dianggap resmi oleh pemerintahan disaat itu yang diyakini menjadi penuntun dalam kehidupan ini. Dimana para Brahmana dari sekte tersebut dipercaya sebagai penerima wahyu atau sebagai penghubung dari alam niskala ke sekala begitu pun sebaliknya. Disamping sebagai pengajar dan menyebarkan agama Hindu dalam rangka pembinaan mental spiritual, juga peranan tokoh agama dalam bidang pemerintahan khususnya sebagai guru spiritual yang memberikan nasehat kepada raja, baik tentang ilmu pemerintahan, ilmu dialektika, ilmu tentang atman dan lain-lain
Memuja Tuhan Melalui Animisme dan Dinamisme, Media Komunikasi Antara Alam, Manusia dan Dewa Tetinggi Sekitarnya
Setelah masuknya agama Hindu di Bali, para penyebar (misionaris) agama Hindu sebegitu jauh hanya berhasil meng-Hindu-kan agama orang-orang Bali Aga (aga = gunung, orang Bali yang tinggal di pegunungan) dan Bali Mula (orang Bali yang hidup sebelum masuknya agama Hindu), namun belum secara tuntas merubah keyakinan penduduknya. Hal itu disebabkan sampai saat kini keyakinan masyarakat setempat lebih berdasarkan kepada kepercayaan lokal (local genius) yang telah diwariskan oleh para tetua mereka terdahulu, yaitu percaya dengan adanya roh/atma (butir ke 2 dari Panca Sradha) dan kekuatan alam sekitarnya, yang menjadikan mereka tunduk dan taat padanya.
Dalam buku Panca Dhatu (Donder.2004:68), mengutip kitab Brhad Aranyaka Upanisad II.15 menjelaskan, “Sesungguhnya Roh itu menguasai semua benda, Roh adalah raja dari semua benda. Sebagaimana halnya semua jari-jari dari roda itu disatukan di dalam sumbu rodanya, demikian juga halnya semua Roh dari semua benda, semua dewa, seluruh alam, semua makhluk hidup, semuanya disatukan dalam satu kesatuan yang Maha Besar”.
Dalam filsafat ketuhanan disebut Animisme dan Dinamisme, adalah suatu keyakinan segala sesuatu di alam semesta ini didiami dan dikuasai oleh roh (asal kata rauh) yang berbeda-beda. Dan mempunyai kekuatan alami dari masing-masing benda itu, baik roh para dewa, roh leluhur, roh hewan, dan roh seluruh benda yang bergerak dan tidak bergerak, bahkan dengan perkataan lain, semua benda berjiwa. Kita hidup karena mengorbankan jiwa mahluk lain sebagai penyambung hidup ini, begitupun sebaliknya, mahluk lain dengan kekuatan yang dimiliki akan ‘memangsa’ jiwa mahluk lain dan seterusnya, sesuai dengan sifat dan fungsi dari mahluk tersebut.
Karena manusia mempunyai; akal, pikiran, dan kelebihan lain yang tidak didapat pada hewan, sehingga manusia menjadi media komunikasi ke alam kosmis. Seperti diketahui, fenomena kerauhan (kedatangan roh), yang sering terjadi baik di sekolah, di pesantren, di tempat kerja, di pura, juga dalam pementasan tari Barong dan Rangda dalam upacara keagamaan yang ada di Bali Selatan khususnya, sebagai bukti bahwa telah terjadi hubungan yang harmonis antara, manusia, alam, dan dewa sekitar/Tuhan. Dengan adanya kekuatan lain (kedatangan roh) ke tubuh manusia, bisa kerauhan dewa, kerauhan resi, kerauhan pitra, kerauhan manusa, dan kerauhan bhuta. Yang sangat sulit dimengerti, bagaimana roh hewan bisa merasuki tubuh manusia, sedangkan roh manusia tidak bisa merasuki tubuh hewan dan bisa berbahasa manusia pula. Bukankah ini aneh, seseorang bisa kebal seketika disaat akhir acara puja wali, pepatih (orang kerasukan roh lain) akan menyebut diri lebih dahulu pararencang (kelompok bhuta) mana yang ngaturan ngayah, misalnya:
ngayah macan gading, ngayah pongpong mal, ngayah gregek tunggek, ngayah pancung segara, ngayah leak barak, ngayah leak poleng, ngayah buta siu, ngayah batu kitik, ngayah gagak ghora, ngayah bluncat, ngayah blego, ngayah putih jimbaran, dalem petak, ngayah kobar api, ngayah grobag besi, ngayah kupu-kupu harum, ngayah bojog putih, ngayah blatuk tanah, ngayah dalem kahyangan, ngayah cerucuk kuning, ngayah jangkrik gading, ngayah penyu, ngayah titiran, ngayah kelelawar, ngayah waduk brerong . . .
Dan mungkin ribuan roh yang belum terwakili, sebelum menusuk-nusuk dirinya dengan sebilah keris (taji bahasa alam sana) bahkan lebih dari satu. Sebagai wujud ikhlas dan bukti utusan dari wilayah lain atas kehadirannya, tentunya ada hubungan historis dengan keberadaan suatu tempat (pura) tersebut.
Disamping fungsi kerauhan untuk mengetahui bahwa upakara dan upacara telah diterima oleh Dewa/Bhatara yang berstana di suatu tempat. Juga dalam pengesahan perubahan status dan fungsi dari suatu kahyangan (pura), misalnya dalam perubahan status dan fungsi dari kahyangan desa menjadi kahyangan jagat, atau perubahan status dan fungsi dari pura Ibu menjadi pura Panti, dan dari pura Panti menjadi pura Dadya, dan sebagainya. Siapakah yang patut mengabsahkan perubahan status dan fungsi pura tersebut? Karena pura peruntukan bagi para dewa dan roh leluhur yang disucikan, yang tentunya tidak dilihat oleh kasat mata.
Seseorang yang dipinjam badan raganya oleh kekuatan dewa adalah orang-orang khusus sesuai kriteria yang ditentukan oleh kekuatan alam/gaib, misalnya; seseorang yang ‘ditunjuk’ sebagai pengadegan (mediator) dari Dewa/Bhatara yang berstana di pura setempat, orang itu harus kerauhan berkali-kali di pura mana akan mengabdi. Disamping itu calon sadeg akan dipertemukan antara Guru Niskala (peminjam raga) dengan Bhatara Hyang Guru (Kawitan pemilik jiwa, rohani) atas ijin Bhatara Kawitan bahwa sentana (keturunannya) akan dipakai sebagai kekudan, sadeg, pedasar, baik melalui kasat mata, impian, atau ditunjuk oleh orang suci. Pada saat pertemuan segitiga itu, kita akan mengenal wajah beliau, warna kulit beliau, busana yang dipakai dan karakter lainnya. Selanjutnya baru menerima petunjuk lewat pawisik dari guru pembimbing niskala. Serta pantangan-pantangan lain yang mesti dilakoni, melanggar dari aturan secara tiba-tiba akan kerauhan, kaku ditempat, kesakitan, dan keadaan yang tidak menyenangkan lainnya. Yang pada akhirnya mereka harus tunduk dan taat pada kekuatan gaib yang ada disekitarnya, itulah ajaran langsung yang mesti dilakoni oleh orang pencari pencerahan rohani. Disamping keriteria lain yaitu orang yang dipakai badan raganya tidak lepas dari garis keturunan (genetics) para leluhur yang ikut merintis sejak awal sejarah keberadaan suatu tempat atau pura tersebut.
Orang yang kerauhan dewa adalah sangat di istimewakan oleh tetua desa setempat karena dalam meminta petunjuk yang ada keterkaitan dengan parahyangan, pawongan, palemahan, pada suatu tempat, atau untuk mencari pengganti jero mangku, sadeg, kekudan, juru-juru, dan lainnya. Orang yang karauhan dewa ini dihaturkan geni/api, pesucian, harum-harum, kekidung, busana, serta upakara lain, karena sadeg itu sebagai media komunikasi ke alam kosmis dan sebaliknya.
Kerauhan adalah tahap awal menuju pintu gerbang ke-sulinggih (pendeta), pada akhirnya seorang sulinggih yang akan mengantarkan seluruh yadnya yang dihaturkan oleh umatnya, melalui bahasa akan kita ketahui kemana arah yadnya tersebut dihaturkan, apakah memakai bahasa dewa, bahasa resi, bahasa manusa, bahasa pitra, bahasa bhuta, sesuai dengan panca yadnya (lima korban suci) yang ada di Bali saat kini yaitu: korban suci yang dihaturkan untuk para: dewa, resi, pitra, manusa, bhuta.
Karena seluruh pertanggung-jawaban seorang sulinggih adalah ke alam niskala atau ke alam tak nyata. Siapakah sebenarnya yang mengabsahkannya?
Disini akan kelihatan pada puncak dari resi yadnya padiksan adalah dalam acara seda raga (mati raga). Apakah mati raga karena kekuatan alam, atau mati raga karena kekuatan guru napak, atau mati raga hanya seremonial belaka untuk meneruskan siwapakarana leluhur yang telah ada sebelumnya di griya (rumah pendeta)
Mati Raga karena kekuatan alam, roh calon pendeta itu akan dijemput oleh guru niskala (guru pembimbing tak nyata) di daerah Pura Dalem diajak berjalan kearah kelod kauh (baratdaya) atau arah kematian, disana beliau akan melihat atma (roh) yang sedang menjalani hukuman akibat dosa yang telah diperbuat di dunia nyata, misalnya: Buta Mracu akan menghukum roh para ibu yang dengan sengaja tidak mau menyusui bayinya tampak sang ibu disusui oleh ulat, roh yang suka mengganggu istri orang lain yang telah bersuami akan mendapatkan hukuman pembakaran kelamin oleh Buta Jengitan dan sebagainya.
Batas antara walaka (orang biasa) dengan sulinggih (pendeta) akan dibatasi oleh kawah mendidih dengan titi ugal-agilnya sesuai dengan gambar dilangit-langit Bale Kambang di Kertagosa, Klungkung (Warsika, 1986:17). Setelah roh calon pendeta itu kembali ke badan raga baru dinamakan dwi jati (lahir dua kali, tahu sekala niskala) Dengan perkataan lain roh calon pendeta mengalami pergi ke neraka dan melihat hasil perbuatan para atma (roh) setelah kematian. Hari wisuda alam niskala pada hari Siwa Ratri, tilem ka pitu dengan turunnya weda Bhatara Siwa (Pura Dalem) yang diucapkan oleh calon pendeta dan dibimbing guru niskala bliau. Pada saat itu puja-puji akan diucapkan secara otomatis, dimana sebelumnya beliau tidak pernah belajar pada seorang guru maupun menghafalkan mantram atau puja-puji.
Sedangkan Mati Raga karena kekuatan guru napak (pendeta pembimbing nyata) adalah mati raga atas kekuatan atau kemauan dari guru napak disuruh menari pun misalnya calon pendeta itu akan menari, disuruh tidur calon pendeta itu akan tidur, sesuai keinginan dari guru napak. Semacam terhipnotis, adalah suatu tehnik yang digunakan untuk memasuki alam bawah sadar manusia secara cepat dengan kekuatan magis yang dapat membuat orang lain tunduk dan tertidur, dilakukan berbagai cara, misalnya; dengan pendulum, tatapan mata, tehnik nafas, verbal/mantram, atau sentuhan pada bagian tubuh tertentu.
Kerauhan haruslah melalui beberapa proses berjenjang sebelum sampai pada kerauhan dewa. Konsep ini dianalogikan dengan proses belajar mengajar pada sebuah akademik, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sampai perguruan tinggi, dan selanjutnya. Seseorang yang memulai dengan pencaharian jati diri dengan keyakinan kedatangan roh (kekuatan lain), baik roh: batu, tumbuh-tumbuhan, bebai, bebutan, para rencang, para kanggo, manusa, pitra, dewa pitara, dewa, Hyang Widhi. Dalam penerapan kehidupan sehari-hari menjadi pedasar, matetamban, jero mangku, jero gede/ida bhawati, wiku ngeraga, wiku ngalokapalasrya, wiku acharya, dan selanjutnya Yang membedakan hanya pertanggung-jawabannya saja, kalau mengikuti jenjang akademik pertanggung-jawabannya ke dosen (manusia), sedangkan sulinggih (pendeta) pertanggung-jawabannya ke alam tak nyata/Tuhan. Hari kelulusan (wisuda) calon diksita di alam niskala adalah hari siwaratri, yaitu tilem ke tujuh dengan turunnya weda dewa Siwa (Bhatara Dalem).
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bagi seseorang yang tidak mendapat ‘perintah’ dari leluhur-Nya untuk menjadi seorang pendeta atau dengan perkataan lain atas kemauannya sendiri ingin menjadi sulinggih (pendeta). Calon pendeta (diksita) itu semestinya wajib di-wanaprasta-kan atau diungsikan ke enam tempat yang menunjang kehidupan dunia ini antara lain; laut, gunung, hutan, danau, sungai, dan tempat guru napak dalam proses menempa mental spiritual seseorang untuk melepaskan sedikit demi sedikit keterikatan nafsu duniawi (Perjalanan spiritual alm.Ida Pandita Dukuh Dhaksa Dharma Yoga, Padukuhan Karang Buncing, Carangsari).
Memuja Tuhan Melalui Tari Wali Barong dan Rangda, Proses Pengembalian Panca Maha Bhuta dan Panca Tan Matra
Disamping melalui fenomena kerauhan (animisme) tersebut diatas dalam penyampaian pesan dan kesan dari niskala (alam tak nyata), dan seseorang meyakini hal tersebut sebagai pembenar dalam pencaharian terhadap keberadaan-Nya. Juga, Tuhan mempunyai maksud dan tujuan tertentu untuk umatnya dalam memaknai kehidupan ini. Hasil cipta, karsa, dan rasa seseorang merefleksikan aspek dari kekuatan alam sekitarnya dan dikemas begitu rupa, menjadikannya sebuah pertunjukan yang sangat menarik, magis, dan mengesankan yang mengandung nilai filosofis yang sangat luas dan bermakna bagi kehidupan ini dan seseorang mengapresiasikan berbeda-beda. Yang pada akhirnya mereka harus tunduk juga pada kekuatan alam sekitarnya, misalnya; dalam pementasan tari wali Barong dan Rangda, terjadi atraksi kejar-kejaran antara rangda dengan puluhan pepatih (orang yang kerasukan kelompok bhuta) yang menghunus sebilah keris dengan otot-otot menyembul, seolah-olah keris dicengkram sangat kuat, rasanya sulit dilepaskan, dengan wajah yang mengekpresikan kemarahan yang luar biasa, sulit dikendalikan, mengejar rangda yang seorang diri tanpa senjata tajam, hanya dengan secarik kain putih tanpa gambar rerajahan (gambar mistis) menghadang puluhan pepatih, diakhiri jatuhnya penari keris satu persatu. Secara filosofis artinya terjadi pergolakan didunia ini, antara dunia nyata dengan dunia maya atau antara aspek air dengan aspek api.
Aspek air adalah sumber kehidupan dan akan ada kehidupan, memunculkan sifat-sifat kebatilan, yang penuh keangkara-murkaan, kebuasan, kerakusan, keberutalan dan sifat keterikatan dunia nyata lainnya, yang dipakai simbol pemersatu adalah Barong. Kata barong berasal dari bahasa sanskerta yaitu dari kata Bhairawa (Zoetmulder, PJ. 1994:123), artinya menakutkan, mengerikan, penganut aliran bhairawa, bentuk Siwa yang mengerikan. Akibat pengaruh evolusi bahasa dari satu tempat ke tempat lain, kata bhairawa diucapkan berulang-ulang sesuai dengan bahasa setempat menjadi berawo // lafal huruf “O” diucapkan, ditegaskan tersirat mendapat konsonan “ng” diakhir ucapan menjadi brerong (raja hutan) // dari kata brerong diucapkan berulang-ulang sesuai dengan bahasa setempat menjadi Barong, dalam arti, isi dunia yang penuh mengerikan dan menakutkan yang dipenuhi sifat-sifat kebinatangan, seperti keangkaramurkaan, kebuasan, ketamakan, kedahsyatan, dan sifat kebatilan lainnya. Di daerah Mengwi terdapat sebuah pura yang namanya pura Dalem Brerong dan di daerah Jimbaran, Kuta Selatan, seseorang yang kerauhan menyebut diri ngayah Waduk Brerong, disamping kerauhan lain seperti tersebut diatas. Wujud Barong tidak lebih sebagai binatang mythology yang dikaitkan dengan wahana dari aspek manifestasi Tuhan.
Dalam catatan tertulis salah satunya dalam Purana Pura Luhur Pucak Padang Dawa, Baturiti, Tabanan, terjemahan Ketut Sudarsana dalam Bahasa Indonesia: Tersebutlah Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat merangsuk Bhuddha Bhairawa, dengan merubah wujudnya menjadi Barong, karena pulau Bali ini tertimpa oleh mara bahaya yang ditimbulkan oleh kekuatan magis dari Kala Dhurga Kalika Joti Srana dan pada perjalanannya beliau menuju ke barat dan akhirnya beliau tiba di Pucak Padang Dawa, dan akhirnya beliau bertemu dengan Sanghyang Wulaka dengan perawakan hitam kemerah-merahan, rambutnya ikal agak merah, dengan mata mendelik bagaikan singa yang lapar serta bersenjatakan Pedang Dangastra, beliau itu merupakan sumber dari segala kesaktian, dan karena Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat merubah wujud beliau menjadi Barong, maka mulai sejak itu rencang dari Bhatara yang berstana di Pura Luhur Pucak Padang Dawa berupa Barong Ket, Barong Landung, Barong Bangkal, serta merupakan Dewa Taksu kesenian, beliau juga merupakan dewanya para dukun seperti, Balian Engengan, Balian Ketakson, Balian Konteng, di Pulau Bali ini.
Ada juga yang menganalogikan kalau Barong berasal dari kata Ba-ru-ang dalam Bahasa Indonesia huruf u dan a berasimilasi menjadi o, sehingga ru dan a (ng) menjadi ro (ng) yang berarti dua. “Rong” mengandung makna ruang, jadi dua rong yang dimaksud adalah dua ruang sebagai tempat penarinya. Dalam susastra Hindu tidak ditemukan beruang sebagai hewan suci yang dikeramatkan maupun sebagai “wahana” para dewa zaman dahulu. Maupun dari Tiongkok (Cina) dalam perbendaharaan bahasa tidak ada menyebutkan kata Barong Sae, yang ada adalah Liong Sae artinya tarian naga dan singa. Yang pada kenyataanya bahwa semua jenis pertunjukkan yang menggunakan Barong sama sekali tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya dimaksud dengan perkataan Barong. Makanya wujud Barong dalam berbagai macam bentuk, seperti: barong macan (berupa macan), barong bangkal (berupa babi), barong memedi (berupa manusia berambut merah), barong singa (berupa singa), barong brutuk (berupa manusia raksasa badan daun pelepah pisang tua), barong landung (berupa nenek tua berkulit putih dan satu lagi orang hitam wajah seram), barong sae (tarian naga dan singa), barong kedingkling (berupa wayang orang), barong asu (berupa anjing), barong rentet/ket (berupa gabungan barong macan, singa, sapi), dengan perkataan lain seluruh roh binatang akan digambarkan menjadi Barong dengan berbagai macam wujud tersebut.
Sedangkan aspek api adalah tidak ada kehidupan atau tak ada bentuk di dalam api, dalam arti, hidup penuh pantangan-pantangan, eksesnya, akan menimbulkan ketenangan, kesabaran, kebenaran dan tidak keterikatan dunia materi, Rangda simbol sifat ini. Kata Randa berasal dari bahasa sanskerta. Dalam pengucapan kata Randa, huruf ‘N’ tersirat diikuti konsonan ‘Ng’ diakhir pengucapan menjadi Rangda Secara etimologi kata Randa, berasal dari urat kata Ra dan anda. Ra singkatan dari Raditya artinya Matahari, api, panas. Anda adalah bola dunia, telur. Jadi arti Rangda adalah dunia api/bola api/panas Makanya suara tari Rangda bagaikan air ‘ngerodok’ (air panas yang lagi mendidih). Karena tubuh manusia sebagai mediator ke alam kosmis yang sebagian besar tergantung dengan air (kelompok bhuta), lalu dipinjam badan raganya oleh api (kelompok dewa), pertemuan antara air dan api menjadi mendidih (Bahasa Bali: ngerodok) dan menguap menyatu dengan udara, terus ke Akasa/Tuhan. Orang yang kerauhan Rangda pasti minta api lalu dikulum sebagai penyeimbang tubuhnya. Juga ornament atau simbol api banyak terdapat pada Rangda. Kata Rangda dalam kamus Jawa Kuna oleh Zoetmulder (1994:918) berarti: laki-laki yang wafat tanpa keturunan laki-laki, duda, janda tua dalam rumah tangga istana, penghianat, kata cacian untuk menyapa wanita, pohon randu. Dalam penggambaran seseorang roh manusia itu akan menjadi bermacam-macam wujud rangda, leak barak, leak poleng, gregek tunggek, lelendi dan lain-lain yang menyerupai manusia, bukan binatang dalam wujud Barong.
Pengalaman seseorang habis kerauhan bhuta (penari keris) mengatakan, dengan kemarahan yang sulit dikendalikan, mengejar Rangda dan begitu berbalik menghadang penari keris, seolah-olah api menyambar dihadapannya, bagaikan disambar petir. Dalam kehidupan sehari-hari memaknainya dengan jalan pitra yadnya, resi yadnya padiksan, tapa brata yoga semadi, japa mantra nama-nama Tuhan, dan menjalani ajaran agama dengan taat, ikhlas, dan tepat.
Sedangkan pepatih (penari keris) disimbolkan keterikatan nafsu indriawi, mengejar Rangda disimbolkan sebagai pembakar atau pelebur keterikatan duniawi sebelum menuju ke alam Siwa/Tuhan. Atau dengan perkataan lain binatang itu harus berinkarnasi menjadi manusia terlebih dahulu baru bisa menuju ke Tuhan. Makanya ada idiom di masyarakat yang mengatakan manusia itu dewa ya, bhuta ya. Adalah suatu konsep peleburan atau pengembalian unsur-unsur panca tan matra (lima zat halus yang belum berukuran) yang menyatu dengan panca maha bhuta (lima materi pokok dunia) yang saling keterikatan dan lebur menyatu, mulai dari pertiwi (benda padat) kembali ke apah (benda cair), dari apah kembali ke teja (benda panas), dari teja kembali ke vayu (udara, angin), dan dari vayu kembali ke akasa (suara, bunyi, sabda Tuhan) dan kebalikkan dari akasa, vayu, teja, apah, pertiwi, adalah proses penciptaan Tuhan (Donder, 2007:137)
Makna penari keris (kerauhan bhuta) menusuk dirinya sebagai simbol “bunuhlah”sifat keterikatan yang ada dalam diri kita, dalam proses pencaharian jati diri terhadap Tuhan/Hyang Widhi. Dengan pemuasan jasmani akan terjadi ketergantungan antara jiwa yang satu dengan jiwa yang lain, dan saling tarik menarik, mengakibatkan karma/dosa, akhirnya terjadi reinkarnasi/kelahiran berulang-ulang, ibarat air akan selalu mengalir kebawah karena ditarik oleh beratnya dosa-dosa yang dilakukan dimasa kehidupan yang lalu. Sedangkan dengan pengekangan indria hawa nafsu, lepas dari keterikatan duniawi, tubuh akan semakin ringan, ibarat api akan selalu naik ke atas menyatu dengan Tuhan/Hyang Widhi Bawa, I Made (dalam Skripsi 2009:31).
Memuja Tuhan Melalui Organ Gerak Yang Ada Dalam Tubuh Proses Pencaharian Jati Diri Terhadap Tuhan/Hyang Widhi
Disamping uraian tersebut diatas, dalam pencaharian terhadap Tuhan, juga bisa dilakukan ke dalam diri, ibarat Tuhan ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu dengan menarik suatu kesimpulan dari penggabungan Panca Tan Matra (lima zat halus) dengan Panca Maha Bhuta (lima materi pokok) yang berhubungan dengan lima organ gerak yang ada dalam tubuh manusia yaitu:
- Ganda Tan Matra yang menghasilkan Pertiwi (Dewa Bumi) atau benda padat pada Panca Maha Bhuta yang berhubungan dengan bau yaitu “hidung” pada organ tubuh manusia. Kadang-kadang di suatu tempat jauh dari rumah penduduk kita menghirup aroma wangi dupa, aroma lawar, kopi susu, dan aroma khas lainnya, dan lalu kita bertanya dalam diri, dari mana sumber bau tersebut.
- Rasa Tan Matra yang menghasilkan Apah (Dewa Air) atau benda cair pada Panca Maha Bhuta berhubungan dengan cicip yaitu “mulut” pada organ tubuh manusia, disini air akan menghasilkan berbagai rasa yang ditimbulkan oleh tanah, berupa hasil bumi menjadi makanan yang mengandung rasa asin, pedas, pahit, manis dan lain sebagainya. Pengalaman orang-orang spiritual, air pancoran Beji (tempat suci di sumber air), yang jumlahnya puluhan, rasa air pancoran itu berbeda-beda, ada yang mendapatkan rasa asin, pedas, harum, asem, dan lain-lain sesuai karma wasana seseorang, juga kita bertanya dalam hati, dari mana sumber berbagai rasa itu.
- Rupa Tan Matra yang menghasilkan Teja (Dewa Agni/Api) atau cahaya, benda panas pada Panca Maha Bhuta yang berhubungan dengan “mata” pada organ tubuh manusia. Pengalaman seseorang, suatu saat kita melihat siluet ada kehidupan di suatu tempat, melihat ada pasar, ada puri, atau penampakan dan tanda-tanda alam lainnya yang tidak dapat dipecahkan oleh akal sehat, juga kita bertanya-tanya dalam hati.
- Sparsa Tan Matra yang menghasilkan Vayu (Dewa Angin) atau udara pada Panca Maha Bhuta yang berhubungan dengan “kulit” pada organ tubuh manusia. Para pencari pencerahan rohani akan merasakan bulu kuduk berdiri, tubuh terasa dingin, bisa sampai menangis, bergetar, kalau tak kuasa diri, disini detik-detik kerauhan, yaitu puncak pelampiasan pikiran menyatu dengan vibrasi alam sekitarnya, dan bisa kekuatan lain, dalam penyampaian pesan dan kesan dari alam kosmis, maupun sebaliknya, sangat menyenangkan, seakan-akan melepaskan seluruh beban yang ada di benak pikiran kita.
- Sabda Tan Matra yang menghasilkan Akasa (Dewa Langit) atau suara, ether, gas pada Panca Maha Bhuta yang berhubungan dengan “telinga” pada organ tubuh manusia adalah “metode tertinggi” yang dicari oleh para Maha Rsi Hindu zaman dahulu yaitu Sabda Tuhan (Bahasa Bali: pawisik), sumber dari kitab suci Veda.
Memuja Tuhan Melalui Pendekatan Pertapaan Para Raja Bali Yang Dicandikan, Diyakini Sebagai Titisan Dewa
Disamping ‘dewa’ alam sekitar yang dipuja dalam proses pendekatan terhadap Tuhan, juga bekas tempat pertapaan raja-raja Bali setelah akhir masa pemerintahanya melakukan kehidupan wanaprasta dan dicandikan disuatu tempat, yang sangat disucikan oleh umat Hindu sekitarnya. Pada zaman dahulu seorang raja diyakini sebagai titisan dewa, atau dengan perkataan lain memuja Tuhan melalui awataranya seorang raja. Rakyat meyakini seorang raja akan meniru sebagian kebajikan sifat dewa-dewa. Disamping vibrasi/spirit dari para raja yang masih terasa disaat upacara keagamaan melalui kerauhan tetua warga, dalam penyampaian pesan dan kesan dari roh raja yang merintis jejak awal keberadaan suatu tempat suci tersebut.
Dalam kitab Manawa Dharmasastra, simbolisasi sifat yang harus dimiliki oleh seorang raja dikenal dengan astabrata ialah suatu konsep dewaraja yang menghendaki agar seorang raja atau kepala pemerintahan dituntut untuk memiliki sifat-sifat partikel yang kekal dari pada: Indra (dewa perang), Vayu (dewa angin), Yama (dewa maut), Surya (dewa matahari), Agni (dewa api), Waruna (dewa Air), Candra (dewa bulan), dan Kubera (dewa harta).
- Indra atau dewa perang, seorang raja hendaknya menjadi tauladan dan pedoman bagi anggota masyarakat, ia harus pemberani dan selalu dapat mengatasi persoalan secara tegas berdasarkan sinar ajaran dharma.
- Vayu atau dewa angin, seorang raja mempunyai sifat yang tidak disangka-sangka, artinya tahu kehendak rakyat tanpa diberi tahu dan juga dapat menenangkan suasana, mendinginkan hati bila terjadi ketegangan.
- Yama, raja sebagai pemimpin Negara dan pemerintahan hendaknya berlapang dada, bersikap toleran terhadap pendirian orang lain dan disegani oleh lawan.
- Surya, yang menghidupi alam, melenyapkan segala kegelapan dan kebodohan serta memberi kekuatan dan perhatian secara terus menerus.
- Agni/Teja, laksana api membakar lawan dan dosa, seorang raja jangan pandang bulu untuk melenyapkan penyelewengan adharma.
- Varuna/Wisnu, seorang raja hendaknya bersifat bagaikan air, karena wujudnya dapat menguasai Triloka. Sebagai air, ia berada di udara, darat dan laut, raja sebagai pemimpin hendaknya bersifat Tut Wuri Handayani.
- Candra (dewa bulan), bulan sebagai sumber pujaan menghendaki agar seorang pemimpin bersikap simpatik, pandai menggunakan senyum, selalu berkata yang benar dalam rangka pembinaan mental spiritual.
- Kubera, yaitu bersifat dermawan, selalu bermurah hati kepada siapa saja yang rajin serta tekun melakukan tugas swadharmanya (Tim, 1986 : 45).
Sistem pemerintahan pada masa Bali Kuno, maupun pada masa Bali Pertengahan, seorang raja memiliki kekuasaan mutlak dan tidak terbatas, yang semula bersifat demokratis paternalistis, menjadi otokratis, menjamin tegaknya otoritas seseorang untuk menjadi penguasa turun temurun. Pada masa itu hanya kaum Brahmana dan kaum Ksatria yang berhak mempelajari isi dari kitab suci Weda, sedangkan rakyat jelata yang tidak termasuk dalam “keluarga berkasta” atau “berkasta tinggi” diperlakukan kurang adil, segala miliknya, yaitu pribadi, anak-anaknya, jiwa dan tenaganya, adalah milik raja. Begitu lahir, mereka sudah langsung menyandang nasibnya sebagai “sudra” orang yang berkasta rendah. Dalam kitab suci Bhagavadgita IV.13 secara tegas menyebutkan sebagai berikut:
Catur varnyam maya sristamguna karma vibhagasahtasya kartaram api mammViddhy akartaram avyayam
Artinya:
Catur warna Aku ciptakan, menurut pembagian guna dan karma (sifat dan pekerjaan), Tetapi ketahuilah, meskipun Aku penciptanya, Aku mengatasi gerak dan perobahan.
Dengan demikian pembagian warna sesungguhnya ditentukan oleh sifat (bakat) dan pekerjaan seseorang, bukan oleh kelahirannya seperti dalam sistem Kasta. Mengambil analogi dengan mitos kelahiran warna tersebut, dapat pula dikatakan setiap orang adalah Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra. Hanya gradasi pekerjaannya kemudian yang membedakan dia lebih disebut sebagai Brahmana (kaum ulama), Ksatria (pertahanan dan pemerintahan), Waisya (petani dan pedagang), atau Sudra (pelayan dan buruh). Catur warna dalam kitab-kitab sejarah sering dicampur-adukkan dengan pengertian kasta. Ketaatan warna sudra dengan warna Brahmana, misalnya, seolah-olah terjadi karena perbedaan kelas, bukan dilihat dari fungsi sosialnya di masyarakat Hindu (Ketut Wiana, dkk. 1993).
Setelah Kerajaan Badhahulu dengan rajanya yang bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten, dikalahkan pada tahun 1343 M oleh kerajaan Majapahit, dan tapuk pemerintahan di Bali setelah itu dipimpin raja Sri Kresna Kepakisan bersama para Arya Majapahit, semenjak itulah sistem warna perlahan-lahan berubah menjadi sistem wangsa-wangsa yang secara umum dapat disebut sebagai sistem kasta khas Bali, kemudian dikelompokkan sebagai Ksatria dan Wesya dalam sistem kasta, sedangkan Danghyang Nirartha, kemudian bergelar Pedanda Sakti Wawu Rauh yang datang ke Bali tahun 1550 di zaman pemerintahan Raja Dalem Batur Enggong dan Danghyang Astapaka, menurunkan wangsa Brahmana, yang kemudian juga dikelompokkan ke dalam kasta Brahmana. Sementara keturunan raja-raja Bali Kuno dan kesatria Bali Aga atau Bali Mula yang dikalahkan, nyaris tidak berhak menyandang ke tiga kasta tersebut, kecuali mereka yang diperlukan wibawanya dalam menjaga stabilitas pemerintahan yang baru, disebut arya, sedangkan yang lain dikelompokkan sebagai sudra yang kemudian menyebut diri sebagai “jaba” (luar), yang berarti diluar kasta Brahmana, Ksatria, dan Wesya. Apalagi pengelompokkan wangsa-wangsa di Bali dikukuhkan lagi dengan hukum adat, yang memberikan hak-hak istimewa kepada wangsa yang lebih tinggi. Dengan adanya hak-hak istimewa itu, yang melekat secara turun temurun, semakin kuatlah anggapan masyarakat bahwa wangsa itu sesungguhnya sama dengan kasta.
Sebelumnya sebutan seorang raja memakai gelar nama-nama dewa dan setelah Bali ditaklukkan, nama-nama dewa diganti menjadi nama-nama wangsa/keturunan. Begitu pula dengan keyakinan umat, yang pada awalnya bekas peninggalan para resi dan para raja yang dicandikan serta prasasti-prasasti yang dihasilkan diyakini sebagai tempat penghayatan terhadap Tuhan.
Candi-candi dibangun untuk menghormati arwah para raja, istri dan anak-anaknya yang sudah meninggal, yang diyakini sudah menyatu dengan dewata yang menitis pada beliau, misalnya untuk menghormati arwah raja Sri Ugrasena Warmmadewa dicandikan di Ermadatu, Raja Sri Dharmodayana Warmadewa dicandikan Banyu Wka. Raja Sri Marakata dicandikan di Camara. Sri Aji Hungsu dicandikan di Jalu (Gunung Kawi), Tampaksiring. Istri raja Sri Aji Hungsu yang disebut Bhatari Mandul dicandikan di Gunung Penulisan. Sri Mahendradatta Gunapriyadharmapatni, permaisuri Sri Dharmodayana dicandikan di Pura Durga Kutri, Buruan, Blahbatuh. Raja Sri Jaya Pangus dicandikan di pertapaan Dharma Anyar, sekarang disebut Pura Pengukur-ukuran, di Desa Sawah Gunung, Pejeng, Gianyar.
Dan Pura Sarin Bwana adalah bekas pertapaan Sri Batu Putih (Dalem Putih) saudara kandung Sri Batu Ireng (Dalem Selem, Sri Astasura Ratna Bumi Banten, Sri Tapa Hulung) yang terletak di Desa Adat Jimbaran, Kuta Selatan, Badung. Disamping itu, sumber-sumber prasasti sering menyebut nama-nama tempat suci tetapi belum jelas siapa yang dimakamkan atau dicandikan disana, seperti sang lumah ri Bwah rangga, ri Banu Palasa, ri Candri Manik, I Air Talaga, sang lumah ing Guha.
Sedangkan Pura Lempuyang yang terletak di Desa Adat Gamongan, Tiyingtali, Karangasem, sekarang umumnya disebut Pura Lempuyang Madya adalah bekas tempat pertapaan raja Sri Jaya Sakti, menjadi raja Bali tahun Caka 1055/1133 Masehi, setelah akhir masa pemerintahan, melakukan wanaprasta atau mendirikan pedharman (tempat suci) di Gunung Lempuyang sesuai tertulis dalam Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, Badung, dan didukung oleh salinan Lontar Piagem Dukuh Gamongan, milik Ida Padanda Gede Jelantik Sugata dari Griya Tegeh Budakeling, Karangasem, alih aksara oleh I Wayan Gede Bargawa, dan beberapa lontar lain milik Desa Adat Gamongan, menjelaskan: Pada tahun Caka 1072/1150 Masehi, bulan Hindu ke sembilan, pada tanggal duabelas bulan paro terang, wuku julungpujut, pada hari itulah saatnya Sri Paduka Sri Maharaja Jayasakti, menyidangkan para senapati, terutama para rakyan Mahapatih dan para Tandra Mantri di balai istana raja untuk memperbincangkan hasrat baginda Sri Maharaja Jayasakti bersama permaisurinda, hendak beranjangsana ke desa-desa di Bali yang ada di Gunung Karang, adapun minat baginda datang kesana, oleh karena melaksanakan tugas perintah dari ayahanda yaitu Sanghyang Guru, yang hendaknya supaya mendirikan Tempat Suci (Pedharman) di Gunung Lempuyang.
Pertapaan dilanjutkan oleh anaknya yang pertama yaitu Sri Gnijaya, menjadi raja di Bali tahun 1150-1155 dan dilanjutkan oleh adiknya Sri Gnijaya yaitu Sri Maha Sidhimantra Dewa dan dilanjutkan oleh anaknya Sri Maha Sidhimantra Dewa yaitu Sri Indra Cakru, menjadi raja Bali tahun 1250 dan dilanjutkan oleh anaknya Sri Indra Cakru yaitu Sri Pasung Grigis, karena beliau tidak menikah (nyukla brahmacari) dan tidak mempunyai keturunan, lalu diangkatlah keponakan beliau yaitu Sri Rigis (anak Sri Jaya Katong) untuk ngamong (bertanggung jawab) di desa Gamongan, Gunung Lempuyang, selanjutnya diganti oleh anaknya Sri Rigis yaitu Sri Pasung Giri dilanjutkan oleh anaknya Sri pasung Giri yaitu Dukuh Sakti Gamongan dan keturunannya (bagan silsilah Sri Karang Buncing halaman belakang).
Candi-candi bekas peninggalan para raja Bali, pada perkembangan selanjutnya beralih fungsi menjadi sebuah pura yang menjadi sungsungan umat Hindu di Bali, karena kontelasi politik pemerintahan pada masa lalu, sehingga Pura Lempuyang yang dulunya di mong oleh warga Desa Adat Gamongan dan di mpon oleh desa adat yang ada di luar Desa Adat Gamongan. Sejak tanggal 11 April 2003 bahwa Pura Lempuyang Madya menjadi tanggung jawab warga Pasek, Kecamatan Abang. Padahal secara administratif Pura Lempuyang terletak di wilayah Desa Adat Gamongan, Desa Tiyingtali, Kecamatan Abang, Karangasem.
Dalam data sejarah terdapat beberapa interpretasi yang berbeda mengenai pendiri awal Pura Lempuyang Madya, antara Mpu Gnijaya dengan Sri Gnijaya. Mpu Gnijaya adalah seorang rohaniawan dari Jawa, tiba di Bali tahun 1049 Masehi, sedangkan Sri Gnijaya adalah seorang raja Bali tahun 1150 Masehi. Karena sama-sama menyandang nama Gnijaya, akhirnya ke duanya mengklaim sebagai pendiri Pura Lempuyang Madya. Disamping argumentasi lain yang bertentangan antara Mpu Kuturan dengan Senapati Kuturan. Menurut Babad, Mpu Kuturan adik kandung Mpu Gnijaya tiba di Bali zaman pemerintahan Sri Udayana tahun Isaka 923/1001 Masehi dan beliau datang lebih awal dengan kakaknya Mpu Gnijaya tahun Isaka 971/1049 Masehi. Jadi tenggang waktu 48 tahun Mpu Gnijaya baru tiba di Bali? Mpu Kuturan adalah seorang brahmana berasal dari Jawa, sedangkan Senapati Kuturan adalah jabatan mahapatih kerajaan Bali Kuno yang bertanggung jawab di wilayah Kuturan, bukan nama yang menjabat, misalnya, sang senapati kuturan mpu wahita artinya sang mahapatih di wilayah kuturan yang terhormat bernama wahita. Terdapat beberapa jabatan senapati (mahapatih, punggawa) yang dikenal pada masa pemerintahan Bali Kuno antara lain: Senapati Kuturan, Senapati Balembunut, Senapati Dinganga, Senapati Denda, Senapati Sarbwa, Senapati Waransi, Senapati Mahiringin, Senapati Wrasanten. Kuturan adalah nama wilayah/daerah sudah tentu nama pejabatnya pun berbeda-beda sesuai zamannya. Analog dari Senapati Kuturan identik dengan Bupati Badung yang berlainan nama pejabatnya dalam sistem pemerintahan Bali sekarang. Di zaman pemerintahan raja-raja Bali-Kuno terdapat 18 Senapati Kuturan dengan berlainan nama pejabat, mulai zaman pemerintahan raja Sri Udayana tahun Isaka 915/993 Masehi (Prasasti Serai) sampai zaman pemerintahan raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten tahun Isaka 1259/1337 Masehi (Prasasti Langgahan). Jadi selama 344 tahun istilah jabatan Senapati Kuturan masih dipergunakan dalam sistem pemerintahan raja-raja Bali Kuno dengan berbagai nama yang menjabat. Beberapa perbedaan versi ini akan disajikan pada halaman lain dalam tulisan ini.
Memuja Tuhan Melalui Pura Kawitan (Stana Leluhur Yang Disucikan), Media Terdekat Antara Manusia Dengan Tuhan/ Hyang Widhi
Pendiskreditan Kerajaan Badhahulu yang tertulis selama ini menjadi Beda Hulu (berselisih dengan pusat/Majapahit) dan Beda Muka (raja berkepala babi) oleh para penekun sastra dan para sejarawan, membawa dampak kebingungan bagi generasi muda Hindu yang ada di Bali, dalam meng-AJeg-kan agama dan budaya Hindu dari hampir kepunahan setelah jatuhnya kerajaan Majapahit oleh Sultan Demak yang beragama Islam di awal abad ke 16. Dengan menyatunya Hindu Majapahit dengan Hindu Bali yang dimediasi oleh Danghyang Nirartta kemudian diberi gelar Peranda Sakti Wawu Rauh adalah suatu keuntungan untuk memperkokoh kembali agama dan budaya Hindu yang pernah berjaya di bumi Nusantara ini pada awal tarikh masehi.
Dalam kitab Nagara Kretagama oleh Slamet Mulyana, pupuh nomor 14 dan 79, Negara Kertagama oleh Megandaru W. Kawuryan (2006:184), serta salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, milik Ida Pedanda Gede Jelantik Sugata, Griya Tegeh Budakeling, dialih aksara oleh I Wayan Gede Bargawa, halaman 12, secara jelas tertulis Badhahulu. Tapi para alih aksara dan penterjemah lain, sengaja mengganti huruf ”a” awal diganti dengan huruf ”e”, sehingga menimbulkan beda arti dari para pembaca (Riana, 2009:100,377). Kalau boleh diuraikan kata per kata dalam kalimat. Kata Badhahulu berasal dari bahasa Jawa-Kuno, dari urat kata badha dan hulu. Badha artinya tempat, rumah, istana. Hulu artinya kepala, raja, pusat pemerintahan. Jadi Badhahulu adalah istana raja, pusat pemerintahan, namanya kerajaan Badhahulu dengan rajanya bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Asta=delapan, Sura=dewa, Ratna=permata, Bumi Banten=Tanah Bali) artinya raja yang membawahi delapan wilayah kekuasaan pemeritahan di jagat Bali pada era itu, yaitu; Jimbaran, Badung, Tabanan, Buleleng, Bangli, Karangasem, Kelungkung, Mengwi (Narendra Dev Pandit Shastri, Sejarah Bali Dwipa, 1963). Dalam Salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, menyebutkan secara tersirat, Badhahulu artinya, maka hulu hulu banda desa sajagat Bangsul arti bebas, sebagai kepala/pusat pemerintahan dari masing-masing kepala desa yang ada di bumi Bali pada zaman itu.
Dalam salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, Purana Bali Dwipa, Mandala Wisata Samuan Tiga, Blahbatuh, Gianyar, serta Usana Bali, secara tegas menyebutkan bahwa pusat kraton raja patih Sri Jaya Katong, Raja Masula-Masuli sampai Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten terletak di daerah Batahanar (istana baru) yang diduga kemudian menjadi nama Kabupaten Gianyar. Di Batahanar sekarang tempat ini berdiri sebuah pura dengan nama Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu, Gianyar. Orang-orang dari Jawa menyebut Badhahulu kemungkinan beliau tidak tahu nama desa tempat kerajaan Astasura Ratna Bumi Banten, Raja akhir Bali Kuno pada saat itu.
Dalam prasasti-prasasti Bali Kuno tidak ditemukan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dengan maha patih kerajaan bergelar Kebo Iwa berselisih paham (Bedahulu) dengan kerajaan Majapahit dengan maha patih kerajaan bergelar Gajah Mada. Secara akal sehat, seandainya memang kerajaan Badhahulu berselisih paham dengan kerajaan Majapahit, mungkinkah Kebo Iwa mau datang ke Jawa? Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, secara administratif Senapati (mahapatih) kerajaan Batahanar pada era itu adalah Senapati Kuturan Makakasir Mabasa Sinom (prasasti Langgahan Caka 1259/1337 Masehi). Skema silsilah Sri Karang Buncing, Sri Kbo Iwa misan mindon dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten berasal dari turunan Sri Maha Sidhimantradewa. Sri Kbo Iwa tapeng dada kerajaan Batahanar yang mewilayahi Blahbatuh, desa paling dekat dengan pusat pemerintahan, disamping di bantu oleh para senapati Bali lainnya.
Dalam pamancangah dari Bali, setelah wafatnya Mahapatih Kebo Iwa yang kena pangindra jala (perangkap) oleh Mahapatih Gajah Mada, akhirnya pada tahun 1343 para Arya Majapahit menyerang pulau Bali, yang pada saat itu dijaga oleh para patih kerajaan Bhadahulu antara lain, Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Si Gudug Basur di Batur, Si Kala Gemet di Tangkas, Si Girimana di Ularan, Si Tunjung Tutur di Tenganan, Si Tunjung Biru di Tianyar, Ki Tambyak di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Agung Pemacekan sebagai Demung
Penyerangan terbagi menjadi tiga arah yang dibawah pimpinan Mahapatih Gajahmada menuju wilayah Bali Timur dibantu oleh para Patih dan para Arya lainnya mendarat di Tianyar. Arya Damar dan Arya Sentong, Arya Kutawaringin mendarat di Bali Utara. Dan Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan, mendarat di pantai Bali Selatan dan menuju ke Kuta. Tidak diungkapkan dahsyatnya pertempuran pada ketiga wilayah tesebut.
Masa transisi pemerintahan dari kerajaan Bhadahulu ke kerajaan Majapahit, dari tahun 1343 sampai tahun 1352 masih terjadi pemberontakan atau dengan kata lain orang-orang Bali Kuno masih melakukan perlawanan. Selama sembilan tahun masa transisi pemerintahan terjadi 30 kali pembrontakan yang menyebar di Pulau Bali. Untuk menengahi atau mengisi kekosongan pemerintahan selama belum ditunjuk raja baru yaitu Sri Kresna Kepakisan, maka diangkatlah seseorang dan diberi anugrah jabatan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Yang menjadi pertanyaan, siapakah Kyayi Agung Pasek Gelgel? Mungkinkah beliau berasal dari Jawa untuk menengahi perselisihan antara Bali dan Majapahit? Dalam Kamus Jawa-Kuno oleh Zoetmulder (1995:786), kata Pasek berarti, pemberian, anugrah, hadiah. Seandainya Kyayi Agung Pasek Gelgel itu berasal dari Jawa semestinya beliau disebut Arya. Karena beliau berperan penting menjadi pemimpin di dalam menengahi konflik transisi pemerintahan akhir Bali Kuno. Setelah datangnya Danghyang Nirartta, sebutan Arya dikenal menjadi Gusti dan berubah sebutan setelah datangnya penjajahan Belanda. Dengan adanya konsep pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga banyak orang-orang Bali-Mula masuk dalam satu garis keturunan Warga Pasek, misalnya: kubahyan, tangkas, bendesa, karang buncing dan warga Bali Mula lainnya. Warga Bali Mula yang diperlukan wibawanya dalam menjaga stabilitas pemerintahan yang baru disebut arya misalnya, Sri Giri Ularan putra dari Sri Rigis menjadi mahapatih (senapati) di kerajaan Dalem Baturenggong menjadi Arya Ularan (Gusti Ularan), Keturunan Sri Karang Buncing menjadi Arya Karang Buncing, Gusti Karang Buncing. Sri Rigis menjadi Arya Rigis, Sri Pasung Giri menjadi Arya Pasung Giri, Si Tunjung Tutur menjadi Arya Tunjung Tutur, Si Tunjung Biru menjadi Arya Tunjung Biru.
Pertanyaan lainnya, apa interelasi spiritual antara Gotra Pasek (Kyayi Agung Pasek Gelgel) dengan Catur Lawa yaitu 4 (empat) kelompok tugas yang bertanggung jawab terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih yaitu Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan, mungkinkah beliau-beliau ini keturunan Bali Kuno. Pada era itu sistem pemerintahan ditentukan oleh fungsi (bakat) dan pekerjaan seseorang bukan ditentukan oleh kelahirannya seperti dalam sistem soroh (klen, kasta). Dimana persiapan upacara dan upakara akan dilakukan ditempat di pura mana akan diadakan pujawali, ada bagian yang mengurus tentang surat menyurat, bagian perlengkapan upakara, bagian yang berwenang tentang simbol suci Tuhan atau pendeta yang memimpin upacara dan bagian lainnya. Pasek dalam hal ini bukanlah sebuah treh, soroh, gotra, wangsa, klen (kelompok warga). Pasek adalah sebuah istilah, jabatan atau bagian yang bertugas membantu mensukseskan jalannya upakara dan upacara yang ada di Pura Penataran Besakih. Pura Pande menata segala peralatannya yang terbuat dari benda logam dan rangka peralatan lain. Pura Penyarikan bertugas menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur (Gobyah, I Ketut. Bali Post 30 April 2008).
Dalam satu kelompok seksi/tugas tentu anggotanya terdiri dari beberapa orang yang bisa saja berasal dari kelompok warga lain. Istilah Dukuh berasal dari turunan Dukuh Gamongan dari Desa Gamongan, Tiyingtali, Karangasem, yang melahirkan para Dukuh yang ada di jagat Bali. Kemudian ditegaskan kembali oleh Danghyang Nirarta adalah suatu anugrah gelar Dukuh (pendeta) yang diberikan untuk warga Bali-Mula dan Bali Kuno, walaupun dari keturunan wangsa apa pun mereka. Dukuh adalah sebuah jabatan yang bertugas sebagai pemimpin upacara keagamaan di Pura Besakih. Munculnya Brahmana Dukuh akan disampaikan di halaman lain dalam tulisan ini.
Jadi pendeta Dukuh yang memimpin upacara dan upakara di Bali pada era itu, sebelum datangnya para Brahmana Majapahit dari Jawa. Pada zaman Gelgel datang ke Bali dua pendeta Siwa dan Buddha dari Majapahit ialah Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka memperkuat hubungan Majapahit dan Bali. Pada waktu itu didirikan pedharman Raja/Dalem Samprangan dan Dalem Gelgel berupa meru-meru terletak di belakang Pura Catur Lawa. Tentunya pendirian pedharman-pedharman itu juga melalui nyadnya craddha. Dr. Martha A. Muuses mengidentifikasikan yadnya craddha dengan upacara mamukur di Bali yaitu upacara mengembalikan atma ke unsur asalnya yakni Paratma. Dengan demikian Pura Catur Lawa merupakan kumpulan orang-orang Bali Mula yang mendapat tugas sebagai cikal bakal untuk ngamong (bertanggung jawab) terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih, simbol stana suci ida bhatara gunung Agung/Tolangkir. Pura Besakih merupakan lambang satu kesatuan antara Hindu Bali dan Hindu Majapahit.
Setelah kalahnya kerajaan Badhahulu oleh kerajaan Majapahit, terjadi dua terapan relegi yang dianut oleh masyarakat Bali saat kini, yaitu adanya sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Bali Kuno, dan ada sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Majapahit, bahkan masyarakat bisa menjalani kedua konsep tersebut, mengikuti aturan para pimpinan yang berkuasa pada saat itu. Berikut komparasi antara, yaitu adanya Sugiyan Jawa dan Sugiyan Bali. Dalam Usana Jawa menyebutkan, sisa tentara Majapahit yang masih hidup dan menetap di Bali, sudah mempunyai anak cucu, saling kawin mengawinkan berbaur, silih pinang meminang antara wanita Bali, namun ada tanda-tandanya, jika setiap hari raya: Kamis Wage Sungsang yang disebut Sugiyan Jawa, rakyat Majapahit yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Jika setiap hari Jumat Kliwon Sungsang yang disebut Sugiyan Bali, rakyat Bali asli yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Juga adanya tonggak piodalan yang satu mengikuti sasih (bulan) dan yang satu lagi mengikuti wuku (minggu). Acara pamelastian yang satu mengikuti sasih ka sanga (bulan ke 9) dan satu lagi mengikuti sasih ka dasa (bulan ke 10). Disamping hari penyepian di sawah, di segara, di tegalan, di pura, terdapat perbedaan sesuai dengan dresta desa, kala, patra setempat. Juga dalam acara resi yadnya padiksan dalam pengesahan seorang pendeta, yang satu mengikuti melalui napak wakul bhatara kawitan, dan satu lagi mengikuti napak kaki guru nabe.
Semenjak itu juga perlahan-lahan terjadi penataan pemerintahan yang baru, baik dalam bidang agama, sosial, politik, ekonomi, maupun kesusastraan, dan lainnya dalam menyatukan paham Bali Kuno dengan paham Majapahit. Yang dulunya seorang pendeta mewakili sekte/agama yang dianut, walaupun dari kelompok keturunan mana pun beliau, misalnya; dang acharya sebutan pendeta sekte Siwa, dang upadhyaya gelar pendeta untuk sekte Budha, Rsi Bhujangga gelar pendeta sekte Waisnawa, Pitamaha gelar pendeta sekte Brahma, Bhagawan gelar pendeta sekte Bhairawa, dan sebagainya. Sekarang masing-masing kelompok warga diberikan gelar pendeta dan identitas sosial lain dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya: Dukuh gelar pendeta bagi warga Bali Kuno, Ida Pedanda gelar pendeta bagi warga Ida Bagus, Sri Mpu gelar pendeta bagi warga Pasek, Rsi Bhagawan gelar pendeta untuk warga para Gusti, Rsi Bujangga gelar pendeta bagi warga Sengguhu, Sira Mpu gelar pendeta bagi warga Pande, dan seterusnya, lengkap dengan aturan atiwa-tiwa/pitra yadnya dan atribut lainnya. Pertanyaannya adalah mengikuti paham manakah pendeta para gotra (kelompok warga) itu, apakah mengikuti paham Siwa, Boddha, Waisnawa, Bhairawa, Sora, Sakta, Sambu, Rsi atau yang lain?
Para Arya Majapahit yang telah berjasa didalam menaklukkan rakyat Bali, lalu dicandikan di suatu tempat untuk memuja roh leluhur yang telah suci yang ada di Jawa sebagai penghayatan atau media terdekat dengan leluhur disebut Pura Kawitan (stana suci para leluhur). Dalam Kamus Bali-Indonesia (Tim : 801) menyebutkan kata Kawitan artinya leluhur, asal mula (warga, wangsa, treh, gotra).
Dengan munculnya konsep penataan pemujaan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga membawa dampak kebingungan bagi masyarakat Bali Mula untuk menelusuri jejak-jejak para leluhur mereka yang sudah ada sebelum datangnya sang konseptor Danghyang Nirartta dari Jawa. Para Raja dan Ksatria Bali kuno, dan jabatan pemerintah bawahan seperti; para senapati, para pendeta, samgat, caksu, kubayan, Si Tunjung Biru, Si Kalung Singkal, Ki Tambyak, Ki Tunjung Tutur, Ki Kopang, Ki Bwahan, Si Pangeran Tangkas, Ki Pasung Grigis, dan leluhur masyarakat Bali Aga dan Bali Mula yang lain, pada saat kini dimanakah Pura Kawitan beliau-beliau itu? Dan dimanakah Padharman beliau-beliau itu?
Dengan adanya reformasi pemerintahan oleh Raja Dalem Baturenggong dengan dibantu pendeta kerajaan Danghyang Nirartta mempunyai konsep yang sangat cemerlang sekali menyatukan warga agar tidak tercerai berai beralih ke agama/sekte/paham lain. Yaitu dengan konsep memuja Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Sesuai dengan sloka Taittiriya Upanisad menyebutkan: “Seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah dewa, dan para tamu pun adalah dewa”. Dengan demikian secara empiris, keturunanya akan memuja Tuhan ‘lewat’ roh suci bapak dan ibu, kakek nenek, leluhur dan seterusnya, yang pada akhirnya akan sampai juga pada Beliau/Tuhan. Para leluhur hanya sebatas menyaksikan dan ‘mengantarkan’ doa, maksud, dan tujuan kepada Tuhan atau kepada dewa yang mesti disampaikan oleh para leluhur kita.
Para leluhur adalah asal muasal kita sebagai manusia. Semenjak masih janin dalam kandungan Ibu, kita sudah terhubung dengan-Nya (ibu) yaitu melalui tali pusar (ari-ari). Tali pusar media penghubung kehidupan dalam kandungan antara sang janin dengan sang ibu. Dalam penerapan keagamaan sehari-hari ‘mungkin’ ari-ari (tali pusar) ini disimbolkan menjadi selempot (senteng), karena selalu melekat menutupi tali pusar umat Hindu di Bali dalam setiap menghadap-Nya Selain sebagai pengikat panca budhiindria dan panca karmenindria, simbol mengekang sepuluh lobang yang ada dalam tubuh pada saat seseorang berkehendak melakukan puja dan puji terhadap Tuhan/Hyang Widhi. Walaupun seseorang memakai celana panjang jika sudah memakai senteng/selempot akan diijinkan masuk ke pura. Senteng/selempot hanyalah sebuah simbol dan atau sebuah peraturan. Bukankah sebuah simbol mengandung makna tertentu dibalik simbol-simbol itu. Sama dengan seseorang harus memiliki KTP, Passport, dan identitas lain sebagai simbol pengganti dari seseorang jika ingin mengetahui identitas lebih lengkap tentang dirinya. Demikian juga dengan senteng (selempot) yang mengandung makna sebagai penghubung ke para leluhur warga, dan para leluhur akan mem-bahasa-kan doa, maksud, dan upacara umat kepada Tuhan/Hyang Widhi. Sesungguhnya kita tidak tahu bahasa apa yang dipakai oleh para dewa dalam berkomunikasi antara dewa dan dewa itu sendiri.
Posting Komentar
Posting Komentar