-->

Brandy Korman: Serangan 11 September Jadi Inspirasi untuk Masuk Islam

Seorang wanita muda bermata biru dan mengenakan jilbab warna merah terang nampak tekun mengikuti pembicaraan tentang Al-Quran di sebuah perkumpulan warga Muslim, Islamic Society di Michiana. Wanita itu, terkadang terlihat tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya mendengarkan tiga orang wanita lain yang bersamanya sedang berdiskusi tentang Al-Qur'an. Di sela-sela kalimat bahasa Inggris yang mereka gunakan, terkadang terdengar kata 'Insha Allah', yang artinya 'Jika Allah Mengizinkan.'

Wanita muda berkerudung merah itu bernama Brandy Korman. Namun tak lama lagi, orang akan mengenalnya dengan nama Zahra Abaza. Korman yang baru berusia 21 tahun itu, menggunakan nama Islam, karena memang ia baru saja masuk Islam, pada musim semi yang lalu. Kini Korman tidak lagi mengenakan setelan jeans dan sweaternya. Ia mengganti pakaiannya itu dengan baju Muslimah berupa baju panjang dan tentu saja jilbab yang kini dikenakannya.

Korman bahkan berani memutuskan untuk menjadi istri laki-laki asal Mesir, yang selama ini belum pernah dikenalnya. Kehidupan yang dijalani Brandy Korman atau Zahra Abaza sekarang benar-benar sebuah kehidupan baru dengan keimanannya yang baru.

Peristiwa serangan 11 September yang menggegerkan rakyat Amerika bahkan dunia, menjadi titik awal kehidupan baru Korman. Saat itu, ia masih berusia 18 tahun dan seorang pemeluk agama Katolik yang taat. Peristiwa 11 September itu mendorongnya pergi ke Penn State University, di sana ia mulai mencari tahu tentang agama Islam dan kitab suci Al-quran Lewat mesin pencari google di internet, Korman mengetik kata 'Islam' dan 'Quran' dan mulai mencari informasi tentang dua kata itu.

"Saat itu, saya bukan hanya sekedar ingin tahu. Apa yang ada di kepala saya, 'agama macam apa yang memerintahkan pemeluknya untuk membunuh orang," kata Korman saat ditanya asal-muasal ia ingin mengenal Islam.

Dari situs internet, Korman beralih ke perpustakaan dan membaca buku-buku yang memberikan informasi tentang Islam. Korman pun mulai membaca isi Al-Quran, 'Ribuan halaman saya baca,' katanya. Setelah membaca isinya, anggapan Korman bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan orang untuk membunuh, justru pudar. Korman mulai memahami Islam ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk berserah diri pada Allah, yang melarang membunuh orang yang tidak berdosa meski atas nama agama, ujar Korman.

"Ketika saya membaca isi Al-Quran, saya tidak menemukan hal-hal yang tidak saya saya setujui seperti ketika saya membaca Injil," tambah Korman. Misalnya soal prinsip Trinitas yang selama ini selalu menjadi pertanyaan Korman.

Kegiatan Korman mencari informasi sebanyak-banyaknya soal Islam sempat terhambat, karena kesibukan sekolahnya. Dalam seminggu, paling hanya beberapa jam saja, Korman kembali menggali informasi tentang Islam lewat internet. Apalagi setelah itu, Korman pindah bersama ibunya dari Pennsylvania ke South Bend.

Di South Bend inilah, Korman kembali giat mempelajari Islam, tepatnya sejak akhir Januari kemarin. Korman pun sering bertanya pada sejumlah teman kuliahnya yang Muslim di Jurusan Bisnis, Universita Indiana, South Bend (IUSB). Saat musim semi, Korman mengirimkan email pada teman kuliahnya Osama Abaza, 24 tahun, asal Alexandria, Mesir dan menyatakan keinginannya untuk ke masjid.

Korman pun mendatangi sebuah masjid milik komunitas Muslim, Islamic Society of Michiana di South Bend yang terletak di 3310 Hepler St. Di belakang mesjid, Korman berdiri mengamati warga Muslim, laki-laki dan perempuan sholat, berdiri, ruku dan sujud. Karena sudah mengetahui tentang Islam, Korman merasa nyaman berada di masjid, ia tidak melihat atau mendengar ucapan-ucapan yang tidak enak atas keberadaannya di sana dari para pengunjung masjid. Setelah itu, Korman pun rutin datang ke masjid setiap seminggu sekali bersama Abaza dan ia menanyakan banyak hal tentang Islam pada teman kuliahnya itu.

Abaza sendiri, sedang mempelajari kembali agamanya itu. Sebelum ia meninggalkan Mesir menuju AS sekitar 4,5 tahun lalu, Abaza boleh dibilang bukan seorang Muslim yang taat. Baru, pada saat tinggal di AS, Abaza kembali sering ke masjid. "Saya merasa membutuhkan sesuatu di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis ini. Tidak perasaan lain yang lebih baik, selain perasaan memiliki Tuhan," kata Abaza.

Sementara itu, Korman, setelah banyak mencari tahu soal Islam dan berdiskusi dengan Abaza, sekitar 3 bulan setelah melakukan kunjungan ke masjid, ia menyatakan masuk Islam di hadapan 2 saksi.

Awal Kehidupan Baru

Tak lama setelah Korman masuk Islam, Abaza mengundangnya makan siang di restaurant Olive Garden. Saat itu Korman sama sekali tidak berfikir bahwa ia sedang kencan, karena Abaza sudah menikah, meski dalam proses perceraian. Namun sepanjang makan siang itu, pembicaraan Abaza sudah mengarah untuk mengajaknya menikah. Dan itu terbukti keesokan harinya, Abaza melamarnya. Korman hanya bisa tercengang dan terlihat sedikit takut, biar bagaimanapun ia belum begitu mengenal Abaza.

Abaza mengatakan, lamarannya adalah hal yang sangat rasional. Dengan menikah, ia bisa membantu Korman menjadi seorang Muslimah yang diinginkannya sekaligus bisa menjadi pendamping hidupnya, jelas Abaza. Korman dan Abaza pun akhirnya menyiapkan pernikahan hanya dalam waktu dua minggu. "Kami menginginkan hal yang sama dan kami menuju ke arah yang sama," ujar Korman. Korman merasa Abaza bisa membimbingnya menjadi Muslimah yang baik. Dia, Abaza, kata Norman, juga punya tujuan hidup yang sama, punya anak, membesarkan dan mendidiknya sebagai Muslim dan tinggal di luar AS.

Korman dan Abaza pun menikah dengan cara Islam, tepat satu minggu setelah Korman masuk Islam. Mereka menyebut pernikahan mereka sebagai 'awal' dari hubungan mereka. Mereka memang belum mendaftarkan perkawinan mereka secara resmi berdasarkan undang-undang negara bagian AS. Rencananya mereka akan mendaftarkannya segera ke Las Vegas, namun belum menentukan tanggalnya. Korman dan Abaza kini tinggal di sebuah apartemen di Mishawaka.

Meski sudah menjadi muslimah, awalnya Korman masih takut mengenakan jilbab ke sekolah atau ke tempat kuliahnya. Korman hanya mengenakannya kalau pergi ke masjid. Tapi sekarang, Korman mengenakan jilbab ke manapun ia pergi. Ia mengaku kadang merasa tidak nyaman melihat orang-orang memandang ke arahnya. Ditanya apakah ia senang mengenakan jilbab, Korman hanya menjawab,"Saya tidak tahu, tapi Al-Qur'an mengatakan sebagai Muslimah saya seharusnya mengenakan jilbab."

"Jilbab memotivasi anda untuk menjauhi hal-hal yang seharusnya dijauhi," tambah Korman. Karena sudah mengenakan jilbab, Korman sekarang tidak bisa sembarangan ngobrol dengan laki-laki atau pergi ke bar. "Aneh rasanya, pakai jilbab tapi pergi ke bar," ujar Korman sambil tertawa.

Keputusan Korman masuk Islam, bukan tanpa hambatan. Korman harus memberikan banyak penjelasan terutama pada keluarganya. "Ibu saya menanyakan, bagaimana bisa saya masuk Islam karena saya bukan berasal dari Timur Tengah," kisahnya sambil tersenyum.

Ceritanya lainnya, saat ia pergi ke toko kelontong, kasir di toko itu melirik foto di kartu kredit lalu melihat penampilannya yang berjilbab. Kasir itu bertanya, "Bagaimana nama anda bisa jadi Brandy?" Korman kini sedang memproses pergantian nama depannya dari Brandy menjadi Zahra yang dalam bahasa Arab artinya 'Bunga.'

Mengomentari soal agama Islam yang kini menjadi keyakinannya, Korman mengatakan,"Buat saya Islam bukan hanya sekedar agama, tapi sudah menjadi cara hidup saya. Saya harus mengubah gaya hidup saya, cara berpakaian saya."

Korman kini tidak lagi merayakan hari Thanksgiving, "Berat memang, ketika keluarga saya menghubungi saya tapi saya tidak bisa berkumpul bersama mereka. Bukan pesta Thanksgivingnya yang saya rindukan, tapi suasana berkumpul bersama keluarga," ujar Korman.

Problem Klasik para Mualaf

Bagi para mualaf di manapun, perubahan gaya hidup setelah masuk Islam masih menjadi persoalan klasik. Biar bagaimanapun, seorang mualaf butuh waktu untuk beradaptasi mengikuti ajaran agama barunya dan meninggalkan kebiasaan lamanya. Korman juga mengalaminya. Ia mengatakan, tetap akan mengunjungi keluarganya yang kini sudah pindah ke Florida, hari Natal ini.

"Saya datang bukan untuk merayakan Natal, tapi untuk menjaga tali ikatan kekeluargaan," kata Korman. Buat Korman, persoalannya bukan hanya harus meninggalkan kebiasaan lamanya. Ia juga merasa perjalanan masih sangat panjang untuk menjadi seorang Muslim. Untuk itu, setiap hari Kamis ia belajar studi Al-Qur'an dan minta suaminya Abaza menggunakan bahasa Arab sehari-hari sesering mungkin.

Korman tetap meyakini bahwa Islam tidak mengajarkan umatnya untuk membunuh orang yang tidak berdosa. Di sisi lain, Korman juga menyatakan ketidaksetujuannya dengan kebijakan pemerintah AS yang memborbardir orang di seluruh dunia atas nama kebebasan dan demokrasi, tulis Korman dalam emailnya. (ln/southbend tribune/eramuslim)

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter