|      
 
          Benarkah al-Ghâzali pemalsu hadis? Atau memang beliau tidak     membidangi studi ini? Dan apakah kitab Ihyâ’ banyak memuat Hadis palsu     sehingga tidak layak untuk dipelajari? Berikut sebagai bahan pertimbangan     ilmiah sebelum pembaca ikut mengiyakan tuduhan tersebut.          Pertama, apabila dikatakan bahwa kitab Ihyâ’ banyak memuat     Hadis-hadis palsu dan tidak terdapat landasan ilmiah dalam pembelaannya,     maka tuduhan ini terlalu tergesa-gesa.          Terhitung, hanya tiga redaksi Hadis yang diklaim maudhû` oleh     al-Hâfizh al-`Irâqi ketika mentakhrîj lebih dari empat ribu limaratus hadis     yang ditampilkan Imâm Ghâzali dalam kitab Ihyâ’-nya. “Bilangan tersebut     sangatlah kecil” tutur al-`Irâqi. Lebih-lebih, apabila kita memandang     jumlah Hadis yang ditampilkan oleh Imâm Ghâzali secara keseluruhan.     Setidaknya, kuantitas hadis Imam Ghazali dalam kitab Ihyâ’-nya telah     setingkat dengan beberapa kitab sunan, semisal Sunan Abî Dâwud, Sunan     Nasâ’i, dan bahkan dapat dikatakan melebihi bilangan hadis yang terdapat     dalam Sunan Ibnu Mâjah.      Lebih     lanjut, al-`Irâqi juga memberikan sebuah pembelaan bahwa sebagaian dari     Hadis maudhû` tadi disampaikan tanpa memakai shîghat riwayat. Sehingga,     dalam studi methodologi Hadis, Imâm Ghâzali tidak dapat diposisikan sebagai     perawi yang mendapat ancaman dari baginda nabi Muhammad SAW.      Kedua,     perlu dipahami bahwa ketiga Hadis tadi bukanlah refensi utama Imâm Ghâzali,     malainkan sekedar tambahan dari dalîl shahîh yang mendasari ijtihadnya.     Imâm Ghâzali selalu mendahulukan landasan ijtihadnya dengan dasar yang     shahîh sebelum kemudian menampilkan dalil lain yang selevel atau di bawahnya.      Dan     sekali lagi, bilangan tersebut sangatlah kecil. Tentu sangat na’if bila     bagian kecil dari kekeliruan (untuk tidak mengatakan kesalahan karena     keduanya memiliki perbedaan makna yang signifikan) tersebut dapat menghapus     pada seluruh kebenaran yang terkandung dalam kitab Ihyâ’. Generalisasi     seperti ini merupakan salah satu bentuk paralogis yang biasa dipakai oleh     bandit intelektual ketika menghantam lawan pemikirannya. Atau dalam istilah     kita disebut dengan gebyah uyah tanpa memandang esensi kebenaran lain yang     lebih berharga.      Ketiga,     apabila dikatakan bahwa Imâm Ghâzali tidak kapabel dalam studi Hadis maka     sangat keliru sekali. Al-Mustashfâ karya al-Ghâzali di bidang Usul Fikih     cukup kiranya untuk membuktikan kapabelitas beliau dalam bidang kajian     Hadis. Dalam kitab tersebut, tepatnya pada entri pembahasan sunnah, Imâm     Ghâzali telah panjang lebar menuturkan konsep dan perdebatan ulama mengenai     dinamika kajian Hadis, utamanya yang berkenaan dalam proses     istinbâtul-ahkâm. Bahkan, al-Ghâzali juga sempat memberikan tarjîh ketika     terjadi perselisihan alot antara ulama, baik itu yang muncul dari kalangan     ushûliyyin atau muhadditsîn.          Keempat, ancaman Rasulullah r kepada para pemalsu Hadis hanya     tertuju kepada pemalsu yang sengaja berspekulatif. Hal tersebut terbukti     dari tambahan redaksi `amdan atau muta`ammidan dalam beberapa riwâyat     shahîh dari kutubis-sittah.          Husnuzh-zhan kita, kesengajaan dalam pemalsuan Hadis tidak akan     terjadi pada ulama sekaliber al-Ghâzali. Terlalu rendah intelektualisme     al-Ghâzali bila harus memalsukan Hadis untuk menopang pemikirannya. Imâm     Ghâzali sendiri telah meletakkan sebuah prinsip bahwa pemalsuan Hadis     dengan alasan apapun tidak diperkenankan. Pernyataan tersebut sebagai     penangkis terhadap dugaan bolehnya memalsukan Hadis untuk fadhâ’ilul-a`mâl     atau pencegah tindakan tercela. Menurut al-Ghâzali keberadaan ayat dan     Hadis sahih telah cukup untuk memenuhi tujuan tersebut.      Dari     sini, kita dapat menyimpulkan bahwa penulisan Hadis palsu dalam literatur     Imâm Ghâzali muncul dari unsur ketidak sengajaan atau keliru. Dalam     pembendaharaan kata arab istilah yang dipakai untuk menyatakan makna ini     adalah kata khatha’ bukan ghalath. Abû Hilâl al-Hasan Abdullâh bin Sahal     al-`Askari membedakan antara keduanya dengan menitiktekankan terhadap ada     dan tidaknya unsur kesengajan. Jika memang sengaja maka disebut ghalath dan     khata’ apabila sebaliknya.          Kemudian, kesimpulan ini dihadapkan pada sabda Nabi r “rufi`a `an     ummati al-khata’“, yakni diantara perbuatan umat Islam yang dimaklumi     (dimaafkan) adalah tindakan yang muncul tanpa adanya unsur kesengajaan     (khatha’); bukan yang memang bertujuan salah (ghalath). Karenanya, tiada     dosa bagi tindakan yang muncul tanpa disengaja. Al-Hâfizh Ibnu Hajar     al-`Asqalâni telah mengutip adanya konsesus ulama akan hal ini, termasuk     keliru dalam meriwayatkan Hadis. Lalu, akankah kita menghukumi al-Ghâzali     sebagai pendosa dan pendusta      Kelima,     apabila kita bercermin pada takhrîj al-Hafizh al-Irâqi, maka tidak akan     ditemukan lebih dari tiga Hadis yang disepakati kepalsuannya. Namun,     berbeda apabila kita mengacu pada komentar al-Hâfizh Ibnu al-Jauzi.     Terdapat sekitar dua puluh lima Hadis yang diklaim maudhû` olehnya. Ibnul     Jauzi memang dikenal sebagai ulama yang sembrono dalam memfonis palsu     sebuah Hadis. Sikap kontroversi Ibnul Jauzi ini banyak mendapat sorotan     kritis dari para muhadditsîn. Sehingga, banyak klaim yang dilontarkan Ibnul     Jauzi justru mendapat bantahan balik.          Al-Hâfizh al-`Irâqi dan al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni memberikan     sanggahan khusus terhadap tuduhan palsu Ibnul Jauzi akan kesahihan beberapa     riwayat Imâm Ahmad. Sedangkan al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthi menulis     Al-Qaul al-Hasan fîdz-Dzabbi `anis-Sunnan yang secara umum membantah     segenap tuduhan palsu Ibnul Jauzi terhadap riwayat Imâm Bukhâri, Muslim,     Ahmad, Dâwud, Turmuzi, Nasâ’i, Ibnu Mâjah, Mustadrak al-Hâkim, dan beberapa     Hadis lagi di berbagai literatur yang lain.          Ringkasnya, sebagaimana yang telah disimpulakan oleh as-Syaikh     Muhammad Mahfûzh bin Abdullâh at-Turmûsi, mayoritas Hadis yang diklaim     palsu oleh Ibnul Jauzi dalam beberapa karya kritisnya, semisal Al-Maudhû`at     dan Al-`Ilal al-Mutanâhiyah, adalah hadis shahîh, hasan atau juga dha`îf.     Kesimpulan ini diperkuat dengan adanya pernyataan Ibnu Shalâh bahwa Ibnul     Jauzi memang banyak memfonis palsu terhadap Hadis dha`îf tanpa ada dasar     kepalsuan.      Fakta     lain berbicara mengejutkan ketika kita menyimak berbagai karya Ibnul Jauzi;     tidak hanya kedua kitab di atas, utamanya di bidang mawâ`izh dan tasawuf,     semisal Bahrud-Dumû` dan Al-Wafâ fî Ahwâlil-Mushtafâ. Kedua kitab ini     banyak memuat Hadis palsu lebih dari isi kitab yang ia kritisi.     Sampai-sampai, Dr. Ibrâhîm Bâjis bin Abdul Majid dan Dr. Mushtafâ Abdul     Qadîr `Athâ terkejut akan kenyataan ini. Sosok Ibnul Jauzi yang terbilang     berlebihan dalam kritik Hadis dan keras menentang cerita-cerita aneh,     justru karya-karyanya dipenuhi oleh kedua hal tersebut. Ibnul Atsir     sejarawan abad VII juga menyatakan keterkejutan serupa dalam Al-Kâmil fî     at-Târîkh-nya.      Untuk     itu tidak salah apabila al-Imâm al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni     memberikan sebuah kritik pedas bahwa “mayoritas riwayat yang termuat dalam     karya-karya Ibnul Jauzi (selain kitab kritik hadisnya) adalah maudhû’.     Riwayat yang perlu dikritisi lebih banyak daripada yang tidak”. Bahkan     Ibnul Jauzi tidak segan untuk mengutip sebuah riwayat dari karya yang     pernah dikritisinya, atau sekedar menukil Hadis-hadis yang telah difonis     palsu dalam kitab Al-Maudhû`ât-nya.      Namun,     bukan berarti menyerang balik terhadap sebuah kenyataan yang sama pahitnya.     Menyimak fakta ini, kita juga perlu bersikap bijak tanpa mengkesampingkan     etika intelektualitas melalui sisi pandang kebenaran yang lain.      Keenam,     mengenai perselisihan dalam status hukum maudhû` yang muncul dari penilaian     Imam Hadis selain Ibnul Jauzi, cukup kiranya diketahui bahwa hal tersebut     masih dalam ranah ijtihâdi yang tidak perlu dielukan. Penilaian muhaddits     dalam studi kritiknya memang cenderung beragam, karena fonis palsu dalam     kritik Hadis hanyalah aplikasi dari sebuah praduga yang tidak menutup     adanya kemungkinan keliru. Lebih-lebih, apabila kritik diarahkan pada mata     rantai periwayatan.     Dan     lagi, jumlah yang diperselisihkan itu terbilang sangat sedikit; tidak lebih     dari tiga redaksi Hadis. Diantaranya adalah Hadis yang menyebutkan     keutamaan membaca Fâtihatul-Kitâb dan dua ayat dari surat Ali `Imrân yang     diklaim palsu oleh Imâm Ibnu Hibbân. Di dalam rangkaian sanad Hadis     tersebut terdapat Al-Haris bin `Amîr yang menurut Ibnu Hibbân sebagai sosok     periwayat Hadis palsu. Namun, tuduhan ini dibantah oleh al-Hâfizh     al-`Irâqi. Al-Hâfizh melandasi bantahannya pada label tsiqqah yang telah     diberikan oleh Hammâd bin Zaid, Ibnu Mu`in, Abû Zar`ah, Abû Hâtim, dan Imam     Nasâ’i kepada Al-Haris bin `Amîr Penutup Wal hasil, sebesar apapun kritikan terhadap Ihyâ’     Ulûmiddîn secara khusus dan literatur-literatur salaf yang lain secara umum     tidak akan mengurangi nilai kebesaran yang telah diraihnya. Pembuktian     secara ilmiyah dan obyektif telah memberikan bantahan nyata terhadap kritik     dan tuduhan yang tidak berdasar itu. Sejarah juga turut menjadi bukti akan     kebesaran mereka. Wallâhu a`lam.  |    
Posting Komentar
Posting Komentar