Seiring dengan itu, gerakan kemerdekaan di Tiongkok mencapai puncaknya pada tahun 1911 dengan berdirinya Republik Tiongkok yang dalam bahasa Mandarin disebut Zhonghua Minguo. Kata Zhonghua dalam dialek Hokkian menjadi Tionghoa. Semangat gerakan ini menyebar ke orang-orang Tionghoa di Indonesia sehingga mereka mulai menyebut dirinya dengan kata Tionghoa, menggantikan kata Cina.
Semangat kemerdekaan ini kemudian ditularkan kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia. Karena sama-sama merasa senasib, sama-sama berjuang melawan kekuasaan asing (Eropa), maka terciptalah kerja sama dan saling pengertian antara orang Tionghoa dan Indonesia.
Beberapa bentuk kerja sama tersebut di antaranya:
1. Lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, pertama kali dipublikasikan seara umum oleh harian Sin Po, harian milik golongan Tionghoa yang berorientasi ke negeri Tiongkok (Saat itu ada 3 golongan Tionghoa: pro-Tiongkok, pro-Indonesia dan pro-Belanda).
2. Orang Belanda suka menggunakan kata 'Inlander' untuk menghina orang Indonesia. Kata ini sama dengan kata 'Cina', awalnya netral tapi kemudian berkonotasi negatif. Koran Sin Po-lah yang pertama kali mengambil inisiatif untuk mengganti kata 'Inlander' dengan kata 'Boemipoetra' yang lebih positif.
Sebagai wujud rasa terima kasih atas kedua hal ini dan terutama atas semangat kebangkitan nasional yang ditularkan orang Tionghoa kepada orang Indonesia, tokoh-tokoh pergerakan Indonesia juga mulai meninggalkan kata 'Cina' dan mulai menggunakan kata Tionghoa.
Dengan demikian penghilangan kata Cina dan menggantinya dengan kata Tionghoa memiliki makna yang sangat penting, khususnya bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia. Inilah salah satu bukti bahwa orang Tionghoa ikut berjuang untuk Indonesia. Inilah juga yang membuktikan adanya kerja sama dan saling pengertian yang harmonis antara orang Tionghoa dan Indonesia di jaman pra-kemerdekaan.
Pada jaman Orde Lama, kata yang selalu digunakan adalah Tionghoa, bahkan Koran dan tokoh yang anti Tionghoapun juga menggunakan kata Tionghoa.
Lalu bagaimana kata Tionghoa berubah kembali menjadi kata Cina?
Tanggal 25-31 Agustus 1966 (di awal rejim orde baru) berlangsung seminar Angkatan Darat di Bandung yang bertujuan untuk membahas peran Angkatan Darat. Entah dari mana, tiba-tiba mereka membahas dan memutuskan untuk mengganti kata Tionghoa/Tiongkok dengan kata Cina. Pada tanggal 25 Juni 1967 keluarlah keputusan presidium kabinet untuk membuang kata Tionghoa/Tiongkok dan menggantinya dengan kata Cina. Dan keputusan ini didukung oleh segelintir Tionghoa (yang, maaf, tidak tahu malu) yang tergabung di dalam LPKB (K. Shindunata dkk).
Sebenarnya ini suatu keganjilan besar. Bagaimana mungkin suatu seminar yang tidak ada hubungannya dengan soal Tionghoa mengambil suatu keputusan menghilangkan kata Tionghoa?! Bagaimana mungkin penghilangan suatu kata saja harus ditetapkan melalui keputusan presidium kabinet?! Jelas sekali bahwa keputusan ini rasis dan bermotif politik yang bertujuan mendiskriminasi golongan Tionghoa. Dengan demikian jelas bahwa kata Cina sengaja dihidupkan kembali dengan tujuan yang tidak baik.
Sejak saat itu, semua media massa mulai menggunakan kembali kata 'Cina' dan meninggalkan kata Tionghoa. Hanya ada satu koran yang tetap bertahan menggunakan kata Tionghoa, yaitu Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar Lubis.
Akibatnya bisa kita rasakan sampai sekarang terutama di kalangan generasi muda Tionghoa. Mereka (atau kita) tidak terlalu peduli lagi, bahkan sama sekali tidak mengetahui kenyataan sejarah dan makna yang sangat penting di balik penggantian kata Cina menjadi Tionghoa. Bahkan banyak yang tidak tahu menahu mengenai kata Tionghoa, yang mereka tahu hanya 'Cina' dan menggunakannya tanpa merasa berdosa sama sekali.
Jadi mengapa kata Cina tidak pantas digunakan?
Sebagian orang mengatakan karena kata itu mengandung unsur penghinaan. Memang betul bahwa kata itu mengandung penghinaan. Namun itu tidak berarti bahwa kita harus terhina. dan tidak perlu membuat kita terhina/tersinggung. Orang yang menyebut kata 'cina' pun biasanya tidak bermaksud menghina.
Namun ada 1 alasan yang sangat kuat, yaitu fakta sejarah seperti diuraikan di atas tadi. Penghilangan kata Cina dan penggunaan kata Tionghoa adalah bukti bahwa orang Tionghoa ikut berjuang untuk Indonesia dan adanya kerja sama yang baik dan harmonis antara tokoh pejuang Tionghoa dan Indonesia.
Juga jelas penggunaan kembali kata 'Cina' di jaman orde baru memiliki motif diskriminasi dan penghinaan. Dengan demikian apabila kita masih saja menggunakan kata 'Cina', sama saja artinya kita mengubur fakta sejarah. Sama saja artinya kita tidak menghargai kesepakatan yang diraih oleh para pahlawan kita. Sama saja artinya kita menodai perjuangan para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia baik itu orang Tionghoa maupun Indonesia. Sama saja artinya kita mewarisi kebijakan rejim orde baru yang rasis dan diskriminatif.
Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang merhargai para pahlawannya. Saya yakin ini termasuk artinya kita meneruskan perjuangan mereka dan menghargai segala jerih payah mereka. Penghilangan kata Cina adalah hasil jerih payah pejuang Tionghoa dan kesepakatan dengan tokoh pejuang Indonesia. Kalau kita tidak bisa menghargainya (atau dengan kata lain kalau saja masih memakai kata Cina), berarti kita bukanlah bangsa yang besar. Dengan demikian, orang Tionghoa yang sudah mengerti fakta sejarah ini tetapi masih saja menggunakan kata 'cina' bukanlah orang yang "besar"!
Penutup
Setelah mengetahui fakta sejarah ini, diharapkan agar kita semua mulai meninggalkan kata 'cina'. Perlu diperhatikan juga, masih banyak orang Tionghoa yang menggunakan kata-kata yang tidak pantas untuk menyebut orang Indonesia. Kebiasaan jelek ini juga harus kita tinggalkan.
Pramudya Ananta Tur dalam sebuah wawancara mengungkapkan: "Masalah "Cina-Tionghoa" bukan sekedar istilah yang mana yang lebih enak diucap atau ditulis, tapi bottom line-nya adalah mengembalikan kebenaran sejarah atas perjuangan Tionghoa dalam pembentukan Republik Indonesia yang hampir terhapus selama hampir 40 tahun."
Saya sangat setuju sekali, masalah utamanya bukanlah soal mengandung penghinaan, konotasi, atau enak tidaknya didengar, tetapi makna sejarahnya!
Penulis Dedi Lim
Primbon-arti.blogspot.com | sumber : web.budaya-tionghoa.net/
Posting Komentar
Posting Komentar