Suatu sore menjelang maghrib, di depan Masjid Agung Ujungberung, Bandung, Ahmad bertemu seorang bapak yang membawa seekor burung gagak hitam. Burung itu dibawa-bawa kesana kemari. Melihatnya seperti tak menentu, Ahmad bertanya:
“Pak, mau dibawa kemana itu burung?”
“Iya mau dijual nih, beli sajalah sama Bapak!”
“Mau dijual berapa?”
“Bayar sajalah Rp. 50.000, saya butuh buat ongkos pulang Pak!”
Melihat hari sudah hampir maghrib dan si bapak sedang butuh uang untuk ongkos pulang, Ahmad tergerak menolongnya. Ia tidak banyak bertanya langsung membelinya. Bahkan entah mengapa, hatinya tergerak memberikan uang yang ada disakunya semuanya.
“Pak, bawa saja uang ini semuanya, buat ongkos dan lumayan buat anak istri di rumah ya!”
Si penjual burung tentu saja kaget: “Lho Pak, saya nawarkannya lima puluh ribu, kok dibayar segini?” Ahmad memberikan Rp. 150.000 dari sakunya tanpa sisa. Burung itu selintas agak istimewa, bulu-bulu dan kakinya semuanya berwarna hitam legam.
Baru beberapa hari, burung itu dipelihara di rumahnya, datanglah hal aneh diluar dugaan. Ada orang mengetahui, entah darimana datangnya, bahwa Ahmad punya seekor burung gagak hitam. Orang itu menawarnya Rp. 2,5 juta. Ahmad kaget tapi tidak tertarik dengan tawaran itu. Ia hanya berfikir: “Masa membelinya hanya Rp. 150.000, mau dibeli 2,5 juta?
Apa tidak aneh? Yang bener aja… itu kan tidak wajar.” Beberapa hari orang itu datang lagi dan menaikkan harganya menjadi 5 juta rupiah. Ahmad makin heran dan tidak juga menjualnya. Beberapa hari kemudian, orang itu datang dan datang lagi. Kedatangannya mulai dirasakan cukup memusingkan karena datang berulang-ulang sedang Ahmad tidak mau melayaninya.
Ia mencari-cari Ahmad, bertanya kesana-kemari, menemui dan menemuinya lagi. Ahmad mulai merasa terganggu oleh urusan aneh ini. Sangat mengherankan, orang itu terus menaikkan harganya menjadi 10 juta, 50 juta hingga 250.000 juta hanya untuk seekor burung gagak. Seekor burung gagak akan dibeli dengan harga Rp. 250 juta?? Wooooww …..
kalau terjadi pada saya atau Anda pasti sudah menerkamnya, jangankan 250 juta, 5 juta sajalah, pasti sudah gembira bukan kepalang, iya kan?? Ahmad semakin heran dan tetap mempertahankan tidak menjualnya. Hatinya berbicara, semakin tinggi tawarannya semakin tidak mau ia menjualnya. Pasti ada sesuatu dengan burung itu, sesuatu yang tidak normal dan tidak wajar.
Akhirnya, karena memaksa terus, dalam suatu dialog dengan pembeli yang terus memaksanya itu, Ahmad bertanya:
“Pak sebenarnya untuk apa burung itu? Bapak menawarnya dengan harga tidak wajar. Terus terang, saya tidak akan menjualnya karena harganya aneh. Saya tidak tertarik dengan uang besar yang didapatkan dengan tidak wajar. Masa bapak membeli seekor burung dengan harga ratusan juta. Apa tidak aneh? Apa bapak tidak berfikir? Bapak ini siapa dan darimana?”
Orang itu pun akhirnya bercerita. Ia diutus oleh bosnya, seorang pengusaha Cina yang sedang membangun sebuah gedung bisnis pertokoan besar berkelas internasional. Ternyata itu adalah gedung yang saat itu sedang dibangun dan belum selesai di perempatan Jl. Soekarno-Hatta dan Kiara Condong. Pada tahun 2008, semua orang Bandung yang melewati perempatan strategis itu bisa menyaksikan pembangunan sebuah gedung pertokoan yang besar milik jaringan bisnis Perancis yang sekarang sudah berjalan. Ahmad menjadi tahu dan semakin kuat untuk tidak menjualnya. Rupanya burung itu akan disembelih sebagai tumbal keselamatan dan kelancaran bisnis perusahaan internasional itu.
Berulang-ulang, ketika menceritakan peristiwa ini semua kepada penulis sebagai sahabat dekatnya, Ahmad berpendirian, ia tidak mau memiliki uang besar dari cara yang tidak wajar walaupun secara hukum agama halal. Menurutnya, dan ia sangat meyakininya, memiliki uang dari cara seperti itu tidak akan berkah buat kehidupannya, tidak akan membawa kebaikan pada dirinya. Ia sering melemparkan pertanyaan kepada saya: “Apakah wajar seekor burung harganya ratusan juta?” Yang saya kagumi, prinsip itu dipegangnya sambil ia sendiri sering tidak punya uang bahkan sedang ditagih terus oleh cicilan motornya yang harus dibayar Rp. 400 ribu/bulan yang lunasnya masih lama. Sebagai orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap, beban ekonominya untuk memenuhi kebutuhan lain pun sering kerepotan.
Ia meneruskan kemuliaannya:
“Selain uang itu tidak wajar, membayangkan uang banyak, saya bukannya senang tapi malah takut. Saya takut hidup saya terpengaruh oleh uang itu. Saya takut tidak bisa membawanya, takut tidak amanat. Saya takut hidup saya menjadi tidak wajar.
Ketika memiliki uang sebanyak itu, siapa pun dipikirannya pasti membeli ini membeli itu, belanja ini-itu, segala dibeli, yang tidak perlu pun dipikirkan, foya-foya.. wong uangnya banyak. Iya kan? Nah, itukan hidup yang gak bener. Saya tidak mau seperti itu.
Saya pun pasti akan sama, membeli ini itu yang tidak perlu dan hidup saya akan berubah jadi tidak normal. Saya sangat yakin dengan rizki Allah, tak pernah takut sedikit pun. Saya lebih senang hidup wajar saja seperti ini.
Ketika lapar saya berusaha mencari makan, ketika ada kebutuhan saya bekerja, disuruh orang mengerjakan apa dan imbalannya saya terima. Mendapat uang dari hasil keringat sendiri jauh lebih nikmat saya rasakan.
Allah menganugrahkan saya pikiran dan tenaga untuk digunakan secara maksimal, amanat yang akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak, bukannya menempuh cara-cara tidak normal dan tidak wajar.
Mendapat sesuatu dengan terlalu mudah, apalagi dengan cara tidak baik, menurut hati saya itu tidak benar. Apalagi, ini yang membuat saya semakin tidak mau menjualnya, burung itu akan disembelih sebagai tumbal. Berarti saya memfasilitasi kemusyrikan. Walaupun mereka bukan Muslim, tapi saya kan tidak mau menyediakan fasilitas untuk itu. Saya takut Allah murka pada saya.”
Saya hanya bergumam: “Subhanallah.., ada orang seperti ini di zaman sekarang! Tidak tertarik dengan uang besar hanya karena alasan tidak wajar, tidak berkah, takut tidak amanat, bukan karena haram. Allahu akbar…!” Saya bersyukur kepada Allah didekatkan dengan orang seperti ini. Kesadarannya lebih dari ulama. Saya harus banyak belajar darinya.
Karena namanya juga pengusaha non-Muslim yang mengimani pertumbalan dalam menjalanan bisnis sebagai syarat keberuntungan, utusan itu rupanya tidak menyerah, ia pun datang lagi. Karena sangat heran ada orang zaman sekarang tidak tertarik dengan uang sebanyak itu, halal lagi, orang itu datang dua mobil dengan rombongannya sebanyak delapan orang.
Ternyata, termasuk dukunnya yang memberikan nasehet pada pengusaha Cina untuk menyembelih gagak hitam yang dimiliki Ahmad untuk kelancaran usahanya itu. Setelah mereka datang menemui Ahmad, mereka mematok harga terakhir Rp. 500 juta rupiah untuk burung gagak hitam yang istimewa itu. Mereka berusaha meyakinkan bahwa mereka serius, tidak main-main. Untuk meyakinkan, Ahmad diajak melihat uang itu di dalam mobil.
Masya Allah.., tercengang juga Ahmad menyaksikan sebuah koper berisi uang cash gepokan seratus ribuan yang masih baru dengan jumlah nominal 500 juta rupiah. Sang dukun duduk di mobil dan mengawasinya. Badannya besar dengan cincin-cincin di jari tangannya persis seperti tukang obat dipinggir jalan. Sang dukun, menurut Ahmad, melihat Ahmad bukan sebagai orang biasa, bukan orang sembarangan, orang yang mempunyai “ilmu” (Saya juga tahu Ahmad memang bukan orang sembarangan …)
Karena itulah justru harga burung itu semakin tinggi karena dibeli bukan dari orang biasa-biasa, berarti memang jimat yang istimewa. Mereka mengatakan, kalau Ahmad tidak percaya dengan keaslian uang itu, mereka siap mentransfernya lewat rekening bank.
Reaksi Ahmad bukannya senang. Yang membuat Ahmad semakin tidak suka, sambil memperlihatkan uang itu, diantara mereka ada yang nyeletuk agak menyinggung, agak merendahkan, menganggap bodoh karena menolak uang sebanyak itu. Ahmad pun akhirnya berang dan marah. Merasa sudah dipaksa-paksa selama beberapa minggu dan mengganggu ketenangannya, ia kemudian membentak mereka semua sebagai orang bodoh dan hina, yang hidupnya sudah gelap.
Ketika mereka mau melawan, bentakkan Ahmad semakin keras dan menantang mereka semua berkelahi termasuk dukunnya. Dukun itu diteriaki, disuruh turun dan dibentak habis-habisan sambil ditantang untuk membuktikan kehebatannya kalau ia memang hebat. Melihat “bukan orang sembarangan” itu marah-marah dan berteriak-teriak, dan takut terjadi keributan yang lebih besar, mereka tidak berani memenuhi tantangan Ahmad. Mereka ketakutan dan buru-buru naik mobilnya, diusir dan kemudian kabur alias ngaciirr…… dan jenis burung cerdas yang pertama kali mengilhami manusia bagaimana menguburkan orang mati pada zaman Nabi Adam itu, selamat dari kematian buruknya, disembelih sebagai tumbal.
Beberapa hari kemudian, ketika kami bertandang silaturahmi ke sebuah pesantren di Garut, kami menceritakan pengalaman itu kepada kiayinya. Sang kiayi memintanya agar burung itu dipelihara saja di pesantrennya. Ahmad yang cukup pusing dan tidak sedikit pun menganggap burung itu istimewa, menyetujuinya. Sang The Black Crowitu pun dihijrahkan ke pesantren tersebut.
Mungkin, karena burung itu memang bukan burung sembarangan, esoknya, sungguh aneh, di tempat yang penuh ketenangan dan kedamaian itu, sang gagak wafat dengan terhormat. Ia berpulang ke rahmatullah disitu entah apa sebabnya. Sang Kiayi pun heran. Sang Gagak telah memilih kematiannya di tempat yang mulia!! Saya dan Ahmad yang mengantarkan burung itu, hanya tersenyum saja. Syukurlah burung itu khusnul khatimah!!
Cerita belum selesai. Beberapa hari setelah itu, ternyata datang lagi dua orang utusan yang mencari-cari Ahmad dan datang ke rumahnya. Utusan itu bukan dari pengusaha sebelumnya tapi dari pengusaha Cina yang lain, Ahmad harus membayar cicilan motor Honda Supra Fit-nya yang sudah nunggak dua bulan. Ahmad tersenyum karena tidak punya uang. Ia berjanji akan berusaha membayarnya tapi akan mencarinya dulu. Ahmad meminta keduanya untuk bersabar.
Hari itu disakunya hanya ada uang Rp. 15.000. Wajah Ahmad tampak jauh dari keruwetan menghadapi masalah. Ia selalu tenang, riang, optimis dan sumringah!! Wajahnya cerah membersitkan cahaya keimanan dan keterpeliharaan hidupnya.
Subhanallah. Wallahu ‘alam!!
Posting Komentar
Posting Komentar