Oleh : Lien Aulia Rahmah
Pagi itu, April 2005, seorang perempuan berusia lebih dari setengah abad duduk bersimpuh di mesjid sebuah rumah sakit swasta di kota Bandung. Matanya sembab. Mukena putihnya basah. Air mukanya keruh. Dunianya sedang hilang. Gadis bungsunya terbaring lemah di ranjang ruang hemodialisa rumah sakit itu. Menjalani cuci darah ketiganya.
“Allah kenapa cuci darah harus seumur hidup? Kenapa harus gadis bungsuku? Kenapa bukan aku saja?” Perempuan berkulit putih itu meraung semakin kencang, melepas sesak yang menekan dalam dadanya. Seharian ia habiskan waktunya bersama Pemilik Jiwanya. Tak cukup sanggup ia memasuki ruangan tempat gadis 25 tahunnya berjuang mempertahankan hidup. Ia rapuh. Tak lagi sanggup menanggung beban itu, sendiri.
Itulah kali pertama kudengar kisah kerapuhannya, setelah 25 tahun aku mengenalnya sebagai perempuan tangguh tanpa cela. Aku tak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri karena saat itu aku sedang terbaring tak berdaya. Di tubuhku sedang tertusuk dua jarum super besar berselang bening yang dialiri cairan merah dari tubuhku. Ya, akulah gadis bungsu 25 tahunnya. Dan perempuan itu adalah Mimih, ibuku.
Mimih, perempuan yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk nafas pertamaku di dunia. Perempuan yang doa-doanya senantiasa mengiringi hidupku. Perempuan yang telah membuatku merasa jadi orang paling layak untuk dicintai. Entah bagaimana harus kuungkapkan rasaku padanya.
Sejak kepergian bapak menghadap Robbnya di tahun 2000, Mimih berjuang mencukupi kebutuhan sehari-hari dari hasil usaha warung kecil yang dirintisnya sejak tahun 1960. Di desa kecil kami di Kabupaten Kuningan Jawa Barat Mimih berjuang. Ia bahkan tak mau melepas usahanya kendati keempat anaknya saat itu semuanya sudah mandiri. Ketiga kakakku sudah menikah, dan aku sudah bekerja dan membiayai diri sendiri. Saat kami memintanya untuk berhenti berjualan, Mimih menolak dengan alasan tak ingin membebani anak-anaknya. Dengan usaha warung ini pulalah Mimih mengumpulkan keping demi keping rupiah untuk mewujudkan mimpinya pergi haji. Hingga akhirnya di akhir tahun 2004 Mimih menjadi tamu Allah di Baitullah. Sebuah rizki yang tak terduga dan pencapaian yang begitu besar untuk Mimih yang memulai segalanya dari nol. Alhamdulillah.
Selama 13 tahun mimih mendirikan warungnya di atas tanah orang lain, hingga di tahun 1973 Allah memberi kami rizki tak terduga. Sepetak tanah di samping bale desa. Mimih memindahkan warungnya ke sana. Atas izin Allah pulalah, warung kecil kami kini berkembang menjadi warung paling besar di desa kami.
Tentu bukan dengan diam mimih mendapat semua itu. Ia mengelola warung dengan sepenuh jiwanya. Ia memastikan warungnya sudah buka sebelum matahari terbit dan baru tutup setelah matahari terbenam. Ia baru akan tidur setelah jam 10 malam untuk kemudian bangun jam 3 pagi dan pergi ke pasar selepas subuh. Ia memperlakukan warungnya seperti bayi mungil yang tak bisa ditinggal terlalu lama. Bahkan di masa-masa kecilku Mimih dan Bapak mebuat ruangan diatas warung untuk tempat tinggal. Ah mana mungkin kulupa saat aku tertidur diantara tumpukan karung beras atau barang-barang kelontongan yang Mimih jual. Atau saat Mimih harus beranjak dari makan siangnya karena ada yang membeli minyak tanah. Mimih menjalaninya tanpa keluh. Demi mewujudkan kebaikan untuk anak-anaknya, ia tak lagi peduli dengan kelelahan raganya. Ia ajari kami cinta yang sederhana. Sesederhana Mimih yang lulusan SR dan tak cukup lancar berbahasa Indonesia.
Dan vonis cuci darahku seolah menghancurkan itu semua. Mimih menemaniku keluar masuk dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Ia selalu ada di dekatku, kecuali saat jadwal cuci darahku. Aku mengerti, tak mudah baginya menatap jarum-jarum itu tertanam di tubuhku.
Perlahan uang tabungan mimih habis untuk membiayai cuci darahku yang mencapai 1,5 juta seminggu. Aku yang masih menjalani pengobatan di Bandung terpaksa harus melepas mimih pulang untuk sekedar mencari tambahan biaya cuci darahku. Cahaya terang bagi keluargaku mulai terlihat ketika kakakku mengabari bahwa aku sudah bisa menggunakan program bantuan pemerintah bernama Gakin sekitar bulan Mei 2005. Tapi dengan syarat aku harus cuci darah di rumah sakit terdekat dari kotaku, Kuningan Jawa Barat. Maka dengan segala kemudahan yang Allah berikan, akhirnya aku bisa cuci darah di Rumah Sakit Gunung Djati Cirebon dengan menggunakan program Gakin yang kemudian berubah nama menjadi Askeskin dan sekarang Jamkesmas. Dengan program itu aku bisa menjalani cuci darah dengan biaya ditanggung pemerintah. Kami hanya perlu menambah untuk membeli obat, biaya periksa lab dan keperluan lain selama cuci darah berlangsung. Tak ada kata yang layak terucap selain ucapan syukur atas semua nikmat dan kemudahan yang Allah berikan.
Namun di perjalanan hidupku kemudian, kondisi psikologisku mulai labil. Aku yang dulu terbiasa mandiri dan bekerja penuh tiba-tiba harus berada di rumah 24 jam tanpa melakukan apapun. Hanya menunggu kematian. Hampir setahun kutangisi hidupku tanpa henti. Aku menyalahkan diriku, menyalahkan nasibku dan menyalahkan Robbku. Ya, aku menyalahkan Robbku. Aku tak pernah mau berdoa setelah sholat. Kupikir saat itu, buat apa berdoa, Bukankah Allah tak pernah mendengar doaku?
Mimih mengingatkan kekeliruanku. Aku marah padanya. Hingga suatu malam dalam tidurku yang tak lelap kudengar tangisan mimih. Ia mengadu pada Robbnya memohon kesembuhanku. Aku menangis dalam tidurku menyadari betapa angkuhnya aku selama ini.
Setelah itu duniaku menjadi lebih indah bersama doa dan harapan. Mimih memotivasiku setiap saat. Ia bahkan mencoba semua terapi yang bisa kulakukan berapapun biayanya. “Jangan pikirkan uang, Allah memberi rizki lewat warung ini”. Diusianya yang sudah lebih dari 60 Mimih masih berjuang menjaga warungnya. Ia begitu mandiri, tak pernah mau bergantung pada anak-anaknya.
Menyadari kemandirian mimih tiba-tiba aku merasa malu. Sejak sakit, aku menjadi sangat bergantung kepada orang-orang di sekitarku dan mesin cuci darah itu. Maka perlahan, sedikit demi sedikit aku mulai mencari penghasilan sendiri. Dari mulai menjadi konsultan statistik sebagai bidang ilmu yang kukuasai sampai bekerja freelance di biro psikologi. Dan kemudian Allah membukakan jalanku untuk menulis. Buku pertama yang kutulis adalah buku memoarku tentang cuci darah. Tujuan awalku menulis hanyalah untuk berbagi dengan orang-orang yang senasib denganku. Tanpa diduga buku itu membuka jalan bagiku untuk terus menulis dan berkeliling ke beberapa kota, sendirian. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan saat vonis cuci darah menghampiriku di tahun 2005. Begitulah, skenario Allah memang selalu indah.
Dan hari ini, tanpa terasa sudah hampir 9 tahun Mimih menemaniku cuci darah. Ia menghapus air mataku. Menggosok punggungku saat nafasku sesak. Memijit kakiku meski aku tak memintanya. Berat badan Mimih berkurang seiring berkurangnya berat badanku. Dan mata mimih cekung seiring cekungnya mataku. Hanya satu yang tak pernah hilang darinya : semangat.
Ya, semangat Mimih untuk terus mengupayakan kesembuhanku tak pernah berhenti. Bahkan sampai hari ini, ia memotivasiku untuk terus bangkit. Ia mengajariku untuk sabar dan pantang menyerah. Bukan dengan ucapan Mimih mengajariku tapi dengan sikapnya. Mimih mengajariku untuk terus semangat mengejar cita-cita. Bahwa menjadi pribadi mandiri itu jauh lebih baik. Tidak dengan perkataan tapi dengan perbuatannya. Dan aku berusaha meneladaninya.
Aku bangkit perlahan-lahan dari titik nadhir kehidupanku. Merangkak sedikit demi sedikit, menyusun kembali puing-puing hidupku yang sudah berserakan. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa hidup bukanlah untuk menunggu kematian, tapi hidup adalah untuk melakukan yang terbaik untuk kehidupan sesudah mati. Dari Mimih aku belajar kesabaran, kemandirian dan. ketangguhan. Ah, perempuan 68 tahun itu selalu membuatku bangga.
Jika ada yang bertanya bagaimana caraku bertahan menjalani hampir 9 tahun cuci darahku, tanyalah pada Mimih. Karena dialah guruku. Ketangguhannya telah mengajariku untuk bertahan.
Allah, aku mencintai mimihku, sangat.
Posting Komentar
Posting Komentar