Tidak sedikit yang meyakini, bahwa kelak akan muncul seorang imam atau pemimpin, yang akan mengembalikan kejayaan Islam, di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Dari keyakinan tersebut melahirkan berbagai dugaan serta prediksi siapa-siapa yang akan menduduki posisi sebagai pemimpin tersebut.
Dari kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah beranggapan, imam yang dimaksud adalah Al Mahdi Al Muntazhar. Sosok yang telah mengalami ghaibah kubra (kegaiban besar) di tahun 329 H.
Sementara itu dari kalangan Ahmadiyah beranggapan imam tersebut tidak lain adalah pemimpin mereka Mirza Ghulam Ahmad. Selain itu, banyak sosok lain yang dianggap akan menduduki posisi tersebut.
Di Indonesia, kepercayaan tersebut memunculkan adanya Mahdi-isme yang dikenal dengan istilah ‘Ratu Adil’. Beberapa peristiwa yang berkaitan dengan hal ini adalah sebagai berikut.
Pada tahun 1924 M, saat muncul gerakan Ratu Adil yang dipimpin Ranajemika.
Pada tahun 1935 M muncul lagi di Wanagiri dipimpin oleh Kyai Wirasanjaya.
Pada awal abad ke-21 ini, gerakan ini muncul lagi melalui Jama’ah Salamullah, yang dipimpin oleh Lia Aminuddin.
Keberadaan Mahdi-isme ini, oleh mereka yang percaya dilandasi pada beberapa isyarat yang disampaikan Rasulullah SAW. Isyarat tersebut mengabarkan akan munculnya seorang pemimpin yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan dan kebenaran.
Namun sayangnya, sering kali dalil-dalil yang dikemukakan, ditafsirkan sedemikian rupa sehingga memunculkan sosok-sosok secara personal. Masing-masing kelompok berusaha memberikan penafsiran ‘Sang Pemimpin’ itu adalah seseorang dari kalangan kelompok mereka. Dengan banyaknya kelompok yang berkembang di lingkungan masyarakat, jadi makin simpang siurlah makna ‘Sang Pemimpin’ itu.
Demikian simpang siurnya berita dan penokohan sosok-sosok secara personal, sampai-sampai Ibnu Khaldun angkat bicara. Beliau berpendapat bahwa hadits-hadits berkenaan dengan Imam Mahdi, semuanya tidak dapat dijadikan pegangan.
Hendaknya dalam mencari seorang Ratu Adil, kita menteladani penyelenggaraan sholat berjama’ah di suatu masjid. Di saat orang-orang berdatangan menuju ke masjid, mereka tidak memikirkan siapa yang bakal menjadi imam atau pemimpin sholat. Begitu waktu sholat tiba, dengan sendirinya dari jama’ah yang hadir, pasti akan muncul seorang imam yang akan memimpin sholat.
Ini berlaku pula dalam hal kepemimpinan umat secara lebih luas. Yang terpenting bukan persoalan imamnya. Imam bisa muncul dengan analogi seperti di atas. Untuk itu, ‘mau atau tidak’ umat Islam untuk berjamaah dalam satu kepemimpinan, untuk secara bersama-sama menuju cita-cita yang didamba, mewujudkan kejayaan umat Islam di seluruh dunia.
Gambaran ini telah ada di dalam QS. At Taubah ayat 33,
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.”
Di saat umat Islam telah bersepakat untuk menyatukan potensi, dengan selalu berpedoman kepada Kitabullah Al Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW di dalam setiap langkahnya, ‘Sang Imam’ tanpa harus dicari dan ditunggu, akan muncul dengan sendirinya.
Posting Komentar
Posting Komentar