-->

RENUNGAN



RENUNGAN
AKHLAQUL KARIMAH PARA SAHABAT DAN ULAMA






Mengajar Al Qur`an di Kedai

SYEIKH YASIN BIN YUSUF AZ ZARKASYI guru Imam An Nawawi mengisahkan, bahwa beliau sebelum mendidik ulama besar itu beliau menyaksikan bahwa Imam An Nawawi waktu kecil diajari membaca Al Qur`an oleh ayah beliau di kedai milik ayahnya.

Meski sambil berdagang sang ayah tidak terputus memperdengarkan ayat Al Qur`an kepada Imam An Nawawi sampai beliau selesai menghafal Al Qur`an di waktu baligh. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/396, 397)

Tutup Identitas Hindari Pujian

IMAM IBNU JARIR ATH THABARI mengisahkan peristiwa tahun 16 hijiriah tatkala umat Islam berhasil menguasai Al Madain, salah satu kota Iraq. Saat itu pasukan Islam memperoleh banyak ghanimah. Seorang laki-laki ternyata berhasil membawa cawan besar penuh dengan perhiasan dan ia menyerahkannya kepada pemegang ghanimah. Beberapa orang pun menyampaikan,”Kami belum pernah melihat hal yang demikian itu, apa yang kami peroleh tidak bisa menandingi banyaknya”.

Mereka pun akhirnya bertanya kepada lelaki itu,”Apakah engkau telah mengambil sebagian darinya?”. Laki-laki itu pun menjawab,”Demi Allah sekiranya tidak karena Allah maka aku tidak akan membawa barang ini kepada kalian”.

Mereka yang hadir melihat bahwa laki-laki ini adalah orang yang istimewa hingga mereka ingin mengetahui lebih banyak tentangnya,”Siapa engkau sebenarnya?”. Laki-laki itu pun menjawab,”Demi Allah aku tidak akan memberi tahu kepada kelian menganai siapa diriku sehingga kalian memujiku. Akan tetapi aku memuji Allah dan ridha terhadap pahalanya”. (Tarikh Al Umam wa Al Muluk, 4/176)

Yang Hidupnya Lebih Nikmat dari Khalifah

AL MUTAWAKKIL khalifah Abasiyah suatu saat terlihat sedang termenung hingga Al Fath bin Khaqan menteri beliau bertanya,”Wahai Amirul Mukminin kenapa Anda termenung sedangkan Anda demi Allah tidak ada manusia yang hidupanya paling nikmat di muka bumi ini melebihi Anda?”

Al Mutawakkil pun menjawab,”Benar, namun ada yang lebih bahagia dariku hidupnya, yakni seorang yang memiliki rumah lapang, istri shalihah, kehidupannya tercukupi dan tidak pernah mengenal kita hingga mereka tidak terdhalimi” (Al Bidayah wa An Nihayah, 10/351)

“Curhat” dan Zina

HINDUN BINTI AL KHUSSI adalah seorang wanita yang dikenal dengan kehormatan dan kecerdasannya di masa jahiliyah. Namun semua itu hancur setelah ia berzina dengan budak laki-lakinya. Hal itu karena bagi kaum Arab berzinanya seorang perempuan merdeka dengan budak adalah hal yang amat memalukan.

Akhirnya khalayak bertanya kepada Hindun kenapa ia sampai mau berzina dengan budak laki-lakinya yang hitam legam itu. Hindun pun menjawab,”Qurbu al wisad (kedekatan bantal) dan thulu assawad (banyak “curhat”)”.

Hal itu menunjukkan bahwa faktor pendorong terjadinya perzinaan adalah kedekatan tempat tidur dan banyaknya menumpahkan perasaan hati. (lihat, Ta’liq Syeikh Abu Ghuddah atas Risalah Al Mustarsyidin, hal. 173 dan 174)

Harga Tawanan Muslim

KHALIFAH AL MU'TASHIM ketika mengetahui bahwa ada seorang wanita keturunan Hasyimiyah ditawan oleh pihak Romawi, beliau langsung bangkit mengumandangkan,”Jihad! jihad!” dan menulis washiyat kematian lalu mempersiapkan pasukan.

Kemudian beliau bertanya,”Wilayah Romawi mana yang paling kuat?”. Mereka yang ditanya menjawab,”Ammuriyah, ia belum pernah terkalahkan sejak masa Islam. Dan ia lebih berharga daripada Konstatinopel bagi mereka”.

Akhirnya Khalifah Al Mu'tashim berangkat dan memimpin langsung pasukannya menuju Ammuriyah dan berhasil mengalahkannya setelah pengepungan selama 55 hari dan peperangan yang amat dahsyat. (Al Kamil fi At Tarikh, 5/247 H)

Menyalin Tafsir Selama 7 Tahun

IMAM ABU BAKR BIN BALUWAIH suatu saat ditanya oleh Imam Ibnu Huzaimah,”Aku mendengar engkau menyalin tafsir Ibnu Jarir?” Imam Abu Bakr pun menjawab,”Iya, dengan didikte.” Imam Ibnu Huzaimah pun bertanya kembali,”Seluruhnya?” Imam Abu Bakr pun menjawab kembali,”Ya”.

Ibnu Huzaimah terus bertanya,”Selama berapa tahun?” Imam Abu Bakr pun menjawab,”Dari tahun 283 hingga 290”. Akhirnya Ibnu Huzaimah meminjam catatan tafsir Imam Abu Bakr dan mengembalikannya setelah beberapa tahun setelah membaca seluruhnya. (Thabaqat As Syafi’yah Al Kubra, 3/124)


Tatkala Hakim Memvonis Dirinya Sendiri

QADHI KHAIR BIN NU'AIM seorang hakim Mesir pada tahun 120 H yang dikenal bijaksana. Suatu satu saat ada dua orang terlibat sebuah perselisihan datang kepada beliau bertepatan saat adzan Maghrib berkumandang. Akhirnya Khair bin Nu’aim mengajak mereka shalat Maghrib.

Di hari selanjutnya dua orang tersebut datang kembali kepada Khair bin Nu’aim dan salah satunya menyampaikan,”Saya telah membeli seekor onta dari orang ini seharga 12 dinar namun ternyata onta itu ada cacatnya. Dan saya menginginkan hukum seorang hakim sedangkan Anda belum menghukumi kemarin sedangkan onta itu kini telah mati, maka siapa yang menanggungnya untuk mengganti?”

Khair pun menjawab,”Akulah yang menanggungnya, karena aku tidak menghukumi perkara itu kemarin (yakni di saat onta itu hidup)”. (Raf’u Al Ishr’ fi Qadha Al Mishr, hal. 156)

Nasib Pencela Rasul dari Romawi

YA’QUB BIN JAKFAR BIN SULAIMAN suatu saat ikut berjihad bersama Khalifah Al Mu’tashim ke wilayah Al Ammuriyah, wilayah Romawi yang paling kuat saat itu. Saat pasukan Muslim berhadapan dengan benteng Al Ammuriyah, seorang lelaki Romawi berdiri di atas benteng sambil mencela Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam setiap hari. Ia mencela Rasulullah dengan terang-terangan menyebut nama dan nasab dengan bahasa bahasa Arab. Pasukan Muslim marah karena perbuatan laki-laki itu, namun mereka tidak mampu berbuat apa-apa karena panah tidak mampu menjangkaunya.

Ya’qub Bin Jakfar yang merupakan seorang pemanah ulung, akhirnya mencoba membidikkan panahnya ke arah pencela Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tersebut. Panahan Ya’qub ternyata berhasil mengenai tepat di leher lelaki Romawi itu. Pasukan Islam pun serentak bertakbir bergembira.

Khalifah Al Mu’tashim ikut bergembira dengan keberhasilan itu, lebih-lebih Ya’qub bin Jakfar merupakan keturunan Bani Abbas sama dengan khalifah. Khalifah akhirnya memberi uang kepada Ya’qub sebesar 100 ribu dirham, namun Ya’qub menolak. Pemberian pun dinaikkan menjadi 500 ribu dirham dan Ya’qub juga menolaknya. (Ta’liq Risalah Al Mustarsyidin oleh Syeikh Abdull Fattah Abu Ghuddah, hal. 238 yang menukil dari manuskrip Risalah fi Shaid wa Ar Rimayah wa Al Khail, karya Ibrahim bin Wali Al Hanafi)

Dari kisah di atas bisa diketahui betapa umat Islam dari rakyat hingga penguasa amat menghormati Rasulullah Shallallahi Alaihi Wasallam hingga memberi penghargaan bagi pemanah yang berhasil membidik pencela Rasulullah dengan penghargaan besar. Kisah juga menunjukkan betapa para prajurit Muslim tidak rakus terhadap materi.

Menjual dan Tidak Takut Menunjukkan Cacat

IMAM IBNU SIRIN suatu saat menjual seekor domba. Saat ada calon pembeli datang beliau menyampaikan,”Saya jual kambing ini kepada Anda dengan cacat yang ada padanya, dimana kambing ini suka menendang pakannya”.

Demikian pula yang dilakukan oleh Imam Al Hasan Al Bashri, dimana saat beliau menjual budak wanita beliau menyampaikan bahwa budak tersebut pernah menderita batuk darah.

Demikianlah para ulama terdahulu dalam bermuamalah, tidak ridha melepas barang dagangan kecuali ddengan menyebutkan aibnya meski ringan dan tidak menutup-nutupinya. (lihat, Ihya' Ulumuddin, 4/783)

Berceramahlah Saat Malas Berceramah

BISYR BIN HARITS menyampaikan,”Aku bernafsu ingin berceramah. Kalau sudah hilang nafsuku maka aku akan berceramah.” Dalam ungkapan lain beliau berpesan,”Jika engkau bernafsu untuk berbicara maka diamlah. Jika engkau tidak bernafsu maka bicaralah.”

Imam Al Ghazali menjelaskan pernyataan Bisyr tersebut. Beliau melarang berbicara saat timbul nafsu untuk berbicara karena hal ini merupakan bentuk kesenangan terhadap kedudukan, sedangkan kedudukan sebagai pembicara merupakan kenikmatan terbesar dari kenikmatan duniawi. Barang siapa menuruti nafsunya, maka ia pelayan dunia. (Ihya’ Ulumuddin, 1/102)


Doa Ibnu Hajar Tatkala Meminum Zamzam

IMAM IBNU HAJAR AL ASQALANI seorang hafidz madzhab As Syafi’i di awal menunut ilmu hadits beliau berdoa ketika hendak meminum air Zamzam, agar dianugerahi hafalan seperti Imam Ad Dzahabi.

Akhirnya hafalan Imam Ibnu Hajar bisa menyamai Imam Ad Dzahabi bahkan lebih banyak, dan itu terjadi setelah 20 tahun sejak beliau menyampaikan doa. (Al Jawahir wa Ad Durar, 1/166)

Apa yang dilakukan Ibnu Hajar berdasarkan hadits yang maknanya,”Air Zamzam untuk apa-apa yang menjadi tujuan ia diminum” (Al Baihaqi), dihasankan oleh Al Hafidz Ad Dimyathi.

Semangka Pelenyap Kesombongan

AL ALLAMAH MUHAMMAD BIN MUHAMMAD AL BAHNISI sebelumnya merasa memiliki sifat kibr, hingga beliau berguru kepada Syeikh Abu Fath As Sabsatari. Saat itu sang guru menyampaikan,”Aku ingin engkau ya syaikh, pergi ke pasar dengan beberapa dirham ini untuk membeli dua buah semangka dan engkau membawanya sendiri menuju tempatku berkhalwat”.

Akhirnya pergilah Syeikh Muhammad Al Bahnisi untuk membeli dua buah semangka yang berukuran cukup besar, namun akhirnya faqih dari Syam ini gengsi untuk membawanya dan menginginkan agar orang lain saja yang membawanya kepada sang guru. Namun setelah ingat pesan sang guru, akhirnya beliau membawa keduanya kepada Syeikh As Sabsatari dengan keringat bercucuran dan menjadi perhatian banyak manusia saat itu.

Setelah sampai kepada Syeikh As Sabsatari sang guru pun menyampaikan,”Mudah-mudahan dengan hal itu perasaan kibr-mu lenyap”. Syeikh Muhammad Al Bahnisi pun menyatakan,”Saat itu hilanglah perasaan kibr-ku”. (Al Kawakib As Sairah bi  A’yani Al Mi’ah Al ‘Asyirah, 3/13)

Putra Khalifah pun Menyimak Hadits

KHALIFAH HARUN AR RASYID saat melaksanakan haji dan memasuki Kufah menyampaikan kepada Qadhi Abu Yusuf,”Sampaikanlah kepada para muhaddits agar mendatangi kita untuk menyampaikan hadits”.

Saat itu tidak ada seorang muhadditspun yang memenuhi undangan itu, kecuali Abdullah bin Idris dan Isa bin Yunus, namun keduanya mensyaratkan agar datang ke rumah mereka. Akhirnya Al Amin dan Al Makmun mengendarai tunggangan untuk menyimak hadits kepada Abdullah bin Idris tersebut sebanyak 100 hadits.

Kemudian mereka berdua pegir menuju ke Isa bin Yunus untuk menyimak hadits dan Al Makmun memberikan 10 ribu dirham, namun Isa bin Yunus menolak seraya menyampaikan,”Aku tidak meminum air dari hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam”. (Tadzkirah Al Huffadz, 1/281)

Dari kisah di atas bisa diketahui bagaimana para penguasa Muslim terdahulu memperhatikan pendidikan keislaman putra-putranya, hingga berusaha mencarikan guru dalam periwayatan hadits untuk mereka. Dan kisah di atas juga menunjukkan betapa wara’ nya para ulama, hingga menolak pemberian uang oleh penguasa meski dalam jumlah yang amat besar.

Untuk Ilmu, Harta Tinggal Sandal

IMAM YAHYA BIN MAIN memperoleh warisan berupa uang sebanyak 1050.000 dirham dari ayah beliau yang telah wafat di waktu itu yang sebelumnya berprofesi sebagai sekretaris Khalifah Abu Jakfar Al Manshur.

Imam Yahya akhirnya menggunakan uang itu seluruhnya untuk mencari ilmu, khususnya hadits. Hingga tidak tersisa dari harta beliau kecuali sandal yang beliau pakai. (Tahdzib At Tahdzib, 11/282)

Sibuk Cari Ilmu Sampai Tak Sempat Makan

IMAM IBNU ABI HATIM saat tinggal di Mesir selama 7 bulan tidak bisa makan dengan santai. Di siang beliau harus keliling menuju para syaikh dan di malam harinya harus menyalin.

Sampai pada suatu saat Ibnu Abi Hatim melihat ada ikan besar dijual, hingga akhirnya beliau tertarik untuk membelinya. Namun setelah sampai di rumah beliau harus pergi lagi menuju ke majelis para ulama, hingga ikan tersebut tidak tersentuh dan itu berlaku sampai tiga hari dan hampir membusuk.

Akhirnya Imam Ibnu Abi Hatim memakan ikan itu dalam keadaan belum terlalu matang, karena tidak memiliki banyak waktu untuk membakarnya dan kemudian beliau pun mengatakan,”Ilmu tidak bisa diperoleh dengan santai-santai”. (Tadzkirah Al Huffadz, 3/830)

Keliling Mesir untuk Ralat Fatwa

IMAM IZZUDDIN BIN ABDISSALAM suatu saat menyampaikan fatwa mengenai suatu hal, namun akhirnya beliau melihat ada kesalahan dalam fatwanya. Hingga akhirnya beliau sendiri keliling di Kairo dan Mesir seraya menyampaikan,”Barang siapa menerima fatwa dari di fulan yang berisi demikian-demikian maka janganlah diamalkan karena ada kesalahan”. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/214)

Demikianlah kehati-hatian dan tanggung jawab ulama terdahulu terhadap ilmu yang disampaikan, hingga rela meralatnya meski dengan berkeliling di wilayah yang cukup luas.

Suka Duka Imam Al Bukhari Mencari Ilmu

IMAM AL BUKHARI suatu saat tidak nampak bersama para pencatat hadits saat di Bashrah, hingga akhirnya mereka mencari di mana Imam Bukhari berada.

Akhirnya para pencatat hadits menemui Imam Al Bukhari berada di rumah dalam keadaan tidak memakai pakaian karena tidak memiliki pakaian untuk dipakai serta tidak memiliki harta benda sedikitpun.

Para pencatat hadits akhirnya bersepakat untuk mengumpulkan uang dan membelikan baju untuk Imam Al Bukhari, sehingga beliau bisa keluar rumah untuk kembali mencatat hadits. (lihat, Tarikh Al Baghdad, 3/13)

Haji Sunnah Saat Banyak Kaum Miskin

BISYR BIN AL HARITS suatu saat didatangi oleh seorang laki-laki yang hendak melakukan ibadah haji lalu laki-laki itu pun menyampaikan ,”Saya bertekad untuk melaksanakan ibadah haji, apa pesan Anda?”

Bisyr bin Al Harits pun balik bertanya,”Berapa biaya yang engkau perlukan untuk hal itu?” Laki-laki itu pun menjawab,”Dua ribu dirham”.

Bisyr bin Al Harits kembali bertanya,”Engkau beribadah haji dalam rangka agar menjadi orang zuhud, rindu terhadap Baitullah atau untuk memperoleh ridha Allah?” Laki-laki itu pun menjawab,”Untuk mencari ridha Allah.”

Bisyr bin Al Harits masih terus bertanya,”Jika engkau memperoleh ridha Allah Ta’ala sedangkan engkau berada di rumah apakah engkau mau?” Laki-laki itupun menjawab,”Ya. Saya mau.”

Akhirnya Bisyr Al Harits menyampaikan,”Jika demikian, bagikan uang itu untuk sepuluh orang, hingga orang yang berhutang bisa melunasi, orang faqir bisa memenuhi kebutuhan, orang yang kesusahan bisa memenuhi hajat keluarganya serta agar para penanggung anak yatim teringankan. Namun jika hatimu kuat berikan kepada satu orang saja, sesungguhnya membantu orang-orang yang lemah lebih mulia daripada seribu haji setalah haji fardhu”. (Ihya’ Ulumuddin, 11/2058)

Kebodohan yang Berlapis

SAHL AT TUSTARI pernah ditanya mengenai perkara yang lebih buruk daripada kebodohan. Beliau pun menjawab, “Ada, yakni bodoh terhadap kebodohan”.

Imam Al Ghazali pun menjelaskan bahwa apa yang dinyatakan oleh At Tustari tersebut adalah benar, karena bodoh terhadap kebodohan akan menghalangi seorang untuk belajar. Bagaimana ia akan belajar, sedangkan ia sudah menilai bahwa ia adalah orang yang pandai? (Ihya’ Ulmuddin, 14/ 2696)

Bodoh terhadap kebodohan juga biasa disebut oleh para ulama dengan istilah jahl murakkab, kebodohan yang berlapis.

Enggan Menghukum karena Membela Diri

UMAR BIN AL KHATHTHAB radhiyallahu’anhu suatu saat mendapati seorang laki-laki sedang mabuk-mabukan. Namun tatkala hendak menahannya, laki-laki yang meminum khamr tersebut malah mengumpat Umar, hingga akhirnya beliau mengurungkan niat untuk menangkapnya di waktu itu.

Apa yang dilakukan Umar tersebut membuat orang yang berada di sekitar beliau bertanya,”Wahai Amirul Mukminin, kenapa Anda tidak menangkapnya sedangkan ia sudah mengumpat Anda?”

Umar pun menjawab,”Karena ia telah membuat aku marah, kalau aku menghukumnya maka hal itu timbul karena kemarahanku dan aku tidak akan mencambuk seorang Muslim dalam rangka membela diri sendiri”. (Ihya’ Ulumuddin, 9/1665)


Tidak Tinggalkan Amal karena Takut Tidak Ikhlas

ABU SAID Al KHARRAZ merupakan seorang ulama zuhud memiliki seorang pembantu dari kalangan orang miskin. Suatu saat Abu Sa’id menyampaikan kepada pembantunya masalah keikhlasan dalam perbuatan. Namun setelah itu Abu Sa’id mendapati si pembantu berhenti bekerja tidak tidak lagi membantu Abu Sa’id.

Akhirnya Abu Sa’id menemui pembantunya dan bertanya mengapa ia berhenti bekerja. Si pembantu menyampaikan bahwa ia tidak sanggup melaksanakan mayoritas pekerjaannya dengan didasari keikhlasan, hingga akhirnya ia memilih untuk berhenti bekerja.

Abu Sa’id pun menyampaikan,”Jangan engkau lakukan yang demikian, sesungguhnya keikhlasan tidak memutuskan muamalah, maka giatlah bekerja dan bersungguh-sungguhlah berusaha memperoleh keikhlasan. Aku tidak mengatakan kepadamu agar meninggalkan pekerjaan, namun aku mengatakan agar engkau bekerja dengan ikhlas”. (Ihya’ Ulumuddin, 14/2725)

Enggan Bicara Kemiskinan Tatkala Memiliki Uang

ABU ABDULLAH BIN JALA' (206 H) merupakan seorang ulama yang dikenal sifat wara'nya. Suatu saat ulama yang lama tinggal di Ramallah Palestina ini ditanya mengenai kefaqiran. Namun, beliau malah terdiam sesaat dan pergi. Tak lama lagi kemudian beliau datang dan duduk lalu berbicara mengenai kafaqiran.

Abu Abdullah bin Jala' tiba-tiba menghindar dari berbicara mengenai kefakiran karena beliau masih menyimpun uang sebesar 4 daniq. Beliau merasa malu kepada Allah berbicara mengenai hal itu sedangkan uang itu masih ada padanya. Baru setelah beliau menginfaqkan uang tersebut, beliau berani berbicara mengenai kefaqiran. (Thabaqat Al Auliya, hal. 86, karya Al Hafidz Ibnu Mulaqqin)

Shalat Ditunggu, Tidak Menunggu

QADHI ALI BIN HUSAIN BIN AL HARB saat tinggal di Mesir dalam rangkan menjalankan kewajiban sebagai qadhi, beliau tinggal di rumah Ismail bin Ishaq di lingkungan masjid Ibnu Amrus. Kemudian beliau pindah ke Dar Al Madaini, hingga tiap terdenganr adzan beliau perlu keluar rumah untuk melaksanakan shalat. Terkadang Qadhi Ali bin Husain sampai di masjid sedangkan imam sudah memulai shalat.

Akhirnya Qadhi mengirim surat kepada imam masjid tersebut agar menunggu dirinya datang sebelum shalat dimulai. Tatkala perisitwa itu berulang-ulang terjadi, akhirnya sang imam menyampaikan kepada Qadhi ali bin Husain,”Shalat ditunggu, tidak menunggu”.

Qadhi pun memuji sang Imam dan mendekatinya, serta memasukkannya di dalam jajaran saksi-saksi. (Al Wulat wa Al Qadhat li Mishr, hal. 526)

Akhlak yang Berbuah Keselamatan

Sekelompok ulama terlibat permasalahan dengan penguasa, hingga sang penguasa memutuskan untuk menghukum mati mereka. Di antara para ulama itu sendiri ada Abu Al Hasan An Nuri (290 H), yang merupakan sahabat dari Imam Junaid.

Di saat eksekusi hendak di jalankan Abu Hasan An Nuri maju ke algojo untuk meminta agar ia dibunuh terlebih dahulu dibanding kawan-kawab beliau. Maka algojo itu pun terheran dan bertanya kenapa ia melakukukan hal demikian. Abu Hasan pun menjawab,”Saya ingin mengutamakan kehidupan saudara-saudara saya, meski hanya sebentar”.

Kabar mengenai itsar Abu Hasan An Nuri akhirnya sampai ke telinga khalifah. Kemuliaan akhlak itulah yang membuat khalifah membebaskan mereka semua, hingga selamat dari hukuman mati. (Ithaf As Sadah Al Muttaqin, 6/205)

Bisyr Al Hafi Mencegah Kemungkaran

Suatu saat ada seorang laki-laki yang berbadan kekar memegangi seorang wanita untuk melakukan perbuatan tercela terhadap wanita itu. Laki-laki itu sendiri membawa sebilah pisau dan menebas siapa saja yang hendak menolong wanita tersebut.

Saat yang bersamaan seorang ulama zuhud di masa itu melintasi lokasi tersebut. Melihat peristiwa itu ulama itu hanya mendekati seraya mengesekkan pundak beliau ke pundak laki-laki itu. Tiba-tiba saja badan laki-laki itu lemas dan terjatuh, hingga perempuan itu lepas. Ulama itu sendiri berlalu pergi dari tempat itu.

Melihat keringat orang itu bercucuran mereka yang ada di sekitarnya bertanya mengenai apa yang terjadi. Laki-laki itu menyampaikan bahwa ulama itu berbisik kepadanya,”Sesungguhnya Allah menyaksikanmu dan apa yang engkau perbuat”, hingga ia terjatuh karena kewibawaan ulama tersebut. Kemudian ia pun bertanya mengenai ulama tersebut. Mereka yang hadir di tempat itu pun menjawab,”Ia adalah Bisyr Al Hafi”. (Ihya’ Ulumuddin, 7/1237)

Terkadang mencegah kemungkaran dengan cara yang halus justru bisa sukses dibanding dengan cara yang kasar.

Tolak Pemberian Penguasa

MUHAMMAD BIN SHALIH suatu saat mengunjungi Hammad bin Salamah di rumah beliau. Muhammad Bin Shalih melihat Hammad duduk di atas sebuah tikar dan membaca Al Qur`an. Di waktu bersamaan datanglah Muhammad bin Sulaiman, penguasa di waktu itu. Kemudian ia menyampaikan kepada Hammad bin Salamah,”Jika aku melihatmu, maka aku merasa takut”. Kemudian Hammad pun menjawab,”Karena Rasulullah Shalallahhu Alaihi Wasallam bersabda,’Sesungguhnya seorang alim jika dengan ilmunya ia menginginkan ridha Allah, maka Allah menjadikan ia berwibawa bagi segala sesuatu. Namun jika ia ingin mengumpulkan kekayaan maka Allah menjadikan segala sesuatu berwibawa baginya’”. (HR. Abu As Syaikh)

Kemudian Muhammad bin Sulaiman menyodorkan 40 ribu dirham untuk Hammad dan menyampaikan,”Ambillah ini untuk membantu kehidupanmu”. Hammad pun menjawab,”Kembalikan saja ia kepada orang-orang yang engkau dzalimi”. Muhammad bin Sulaiman pun membalas,”Demi Allah, aku tidak memberi untukmu kecuali dari harta warisan”. Hammad lalu menjawab,”Aku tidak membutuhkannya”. Muhammad bin Sulaiman belum menyerah,”Engkau bisa menerima dan engkau sedekahkan”. Hammad pun menjawab,”Meski aku bakal membagikannya dengan adil namun, jika ada yang tidak memperoleh rizki darinya dia akan menuduh aku tidak berbuat pilih kasih, hingga ia terjerumus dalam dosa, maka jauhkan dirham itu dariku”. (Ihya’ Ulmuddin, 5/902)

Cara Ulama Cari Halal

IBRAHIM BIN ADHAM memilih safar dan tinggal di Syam selama 24 tahun guna mencari rizki yang benar-benar halal. Di Syam beliau tinggal di pegunungan Libanon untuk memperoleh makanan dari buah-buahan dan tumbuhan yang ada di wilayah itu yang belum menjadi hak milik seorangpun. (lihat, Tanbih Al Mughtarrin, hal. 123)

Para ulama terdahulu melakukan safar tidak hanya untuk haji dan mencari ilmu, namun juga untuk mencari penghidupan yang halal.


Mengajarkan Ilmu Sampai Akhir Hayat

IBNU AS SYAHNAH adalah seorang hafidz hadist yang bermadzhab Hanafi yang memiliki umur lebih dari 100 tahun dan masih mampu melaksanakan puasa Ramadhan dan 6 hari setelah Syawal di usia 100 tahun.

Sehari sebelum wafatnya ulama Damaskus ini, murid beliau Muhibbuddin bin Muhib membaca Shahih Al Bukhari di hadapan beliau. Kemudian di keesokan harinya di waktu dhuha beliau kembali menyimak As Shahih dan wafat sesaat sebelum dhuhur tahun 730 H. (Dzail Tadzkirah Al Huffadz, hal. 134-135)

Mengajarkan Ilmu Sampai Akhir Hayat

IBNU AS SYAHNAH adalah seorang hafidz hadist yang bermadzhab Hanafi yang memiliki umur lebih dari 100 tahun dan masih mampu melaksanakan puasa Ramadhan dan 6 hari setelah Syawal di usia 100 tahun.

Sehari sebelum wafatnya ulama Damaskus ini, murid beliau Muhibbuddin bin Muhib membaca Shahih Al Bukhari di hadapan beliau. Kemudian di keesokan harinya di waktu dhuha beliau kembali menyimak As Shahih dan wafat sesaat sebelum dhuhur tahun 730 H. (Dzail Tadzkirah Al Huffadz, hal. 134-135)

40 Tahun Menyesali Perbuatan

HAMSY BIN AL HASAN Rahimahullah selama 40 tahun menangisi perbuatannya, dimana beliau pernah membersihkan tangan dengan tanah tetangga tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dan beliau mengatakan,”Jika salah satu dari kalian menyangka bahwa Allah telah mengampuni dosanya ketika ia diminta pertanggungjawaban. Maka hal itu bagian dari tipuan”. (Tanbih Al Mughtarrin, hal.19)


Tidak Rela Jika Ibu Dirawat Pembantu

HAMSY BIN AL HASAN rajin melayani ibunya dan membersihkan kotoran yang berada di kakinya. Kemudian Sulaiman bin Ali mengirim kepadanya sebuah kantung menyampaikan pesan,”Belilah dengannya pembantu (budak) untuk melayani ibumu”.

Hamsy bin Al Hasan pun menolaknya seraya menyampaikan,”Sesungguhnya ibukku tidak ridha jika orang lain merawatku di waktu aku masih kecil, maka demikian pula aku tidak ridha jika ada orang lain yang melayaninya sedangkan aku sudah besar”. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 30)

Hal yang terjadi di zaman ini malah sebaliknya, ibu menyerahkan anak kepada pembantu di waktu kecil hingga anak menyerahkan ibunya di masa tua ke panti jompo.

Tatkala Allah Menghendaki Kebaikan kepada Hamba

QADHI TAJUDDIN suatu saat mengalami kegelisahan, namun beliau sendiri tidak mengetahui sebabnya. Segala usaha dilakukan untuk menghilangkan perasaan gelisah itu, namun tidak ada hasilnya. Akhirnya beliau memutuskan mengendarai bighal dan melepas kendalinya, hingga hewan tersebut berjalan tanpa kendali tidak tentu arah.

Sampai akhirnya bighal yang dikendarai ulama Mesir penganut madzhab As Syafi’i itu sampai di suatu tempat yang sama sekali asing. Di tempat itu terdapat sebuah rumah tanpa candela. Bighal itu pun mendekati bengunan itu dan mencoba mendorong pintunya.

Dari dalam rumah terdengar suara,”Saya telanjang, kelaparan dan tidak mampu berdiri, tolonglah saya…” Akhirnya Qadhi Tajuddin membuka pintu dan menemui laki-laki dengan kondisi sebagaimana yang dikatakan. Beliau pun segera memberikan pertolongan.

Setelah kejadian itu, dada beliau menjadi terasa lapang dan kegelisahan itu pun hilang. Beliau sadar bahwa Allah Ta’ala menghendaki kebaikan padanya. (Thabaqat Al Wustha yang dinukil dalam ta’liq Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 323/8)

Demikianlah saat Allah mengarahkan kebaikan kepada seorang hamba sekaligus memberi pertolongan kepada hamba lainnya, dengan cara yang tidak pernah disangka-sangka.

Rela Tidak Bertemu Saudara, Tunggu Selesai Baca Hadits

AL HAFIDZ MUHAMMAD BIN THAHIR AL MAQDISI merupakan ulama hadits yang mengikuti madzhab Adz Dzahiri yang wafat pada tahun 507 H. Suatu saat beliau hendak membaca satu juz hadits kepada Abu Ishaq Al Habbal di Mesir namun di saat bersamaan datang kepadanya seorang laki-laki yang berbisik kepadanya bahwa saudaranya telah tiba dari Syam setelah pasukan Turki masuk Bait Al Maqdis dan membunuh banyak orang.

Setelah memperoleh kabar itu Al Maqdisi kesulitan berkonsentrasi hingga terjadi beberapa kekeliruan saat membaca hadits di hadapan Abu Ishaq. Hingga akhirnya Abu Ishaq bertanya,”Ada apa denganmu?” Al Maqdisi pun menyampaikan,”Baik-baik saja”. Abu Ishaq kembali bertanya,”Engkau harus memberi tahu apa yang dibisikkan oleh laki-laki itu”. Akhirnya Al Maqdisi pun menyampaikan kabar yang ia terima.

Setelah mengatahui apa yang terjadi kepada muridnya itu, Abu Ishaq bertanya,”Berapa lama engkau tidak bertemu dengan saudaramu?” Al Maqdisi pun menjawab,”Bertahun-tahun”. Abu Ishaq kembali bertanya,”Kenapa engkau tidak mengunjunginya?” Al Maqdisi pun menjawab,”Saya belum selesai membaca satu juz ini”.

Abu Ishaq pun menyampaikan,”Betapa besar semangat kalian wahai ashab al hadits! Telah selesai majelis ini dan shalawat kepada Nabi Muhammad!” (Lisan Al Mizan, 5/208)

Enggan Menjual Buku Meski Lapar

IBRAHIM AL HARBI merupakan seorang faqih dan hafidz hadits yang dikenal sifat zuhudnya. Suatu saat beliau kehabisan makanan, hingga istri beliau menyampaikan,”Taruhlah engkau dan aku bisa bersabar, namun begaimana dengan dua anak kita? Mereka tidak bisa sabar seperti kita. Maka, berikan sebagian kitabmu untuk aku jual atau aku gadaikan!”

Mendengar ucapan sang istri Ibrahim Al Harbi terkejut. Karena kecintaan beliau terhadap buku cukup besar, dan beliau menolaknya,”Hutanglah untuk dua anak itu dan berikan kesempatan kepadaku hingga nanti malam”.

Di malam harinya di saat Ibrahim Al Harbi sibuk mengkaji kitab yang beliau miliki seorang mengetuk pintu, hingga ulama yang selama 30 tahun hanya mengkonsumsi dua roti untuk setiap harinya ini bertanya,”Siapa?” Yang mengetuk pun menjawab,”Tetangga”. Setelah beliau mempersilahkan untuk masuk, si tamu menyampaikan,”Tolong matikan lampu terdahulu, dan saya baru akan masuk”.

Setelah Ibrahim mematikan lampu, tamu itu pun meletakkan sebuah bungkusan besar dan menyampaikan,”Kami telah membuat makanan untuk anak-anak kami, maka aku ingin Anda dan 2 anak Anda memperoleh bagian darinya”. Tamu itu juga meletakakkan bungkusan lain,”Gunakan ini juga untuk keperluanmu.”

Setelah itu, tamu itu pun pergi dari rumah Ibrahim Al Harbi sedangkan beliau sendiri tidak tahu siapa ia sebenarnya. Akhirnya Ibrahim Al Harbi memanggil istrinya untuk menyalakan lampu, dan mereka menyaksikan ada sebuah bungkusan besar yang berisi berbagai macam makanan serta kantung yang berisi 1000 dinar. Ibrahim Al Harbi pun segera membangunkan kedua anaknya untuk makan dan segera membayar hutangnya di keesikan harinya.

Di pagi harinya saat Ibrahim Al Harbi duduk di depan rumah beliau menyaksikan ada seekor onta yang menarik dua akor unta yang mengangkut kertas Khurasan. Saat si penunggang onta bertanya kepada beliau mengenai rumah Ibrahim Al Harbi, hingga beliau pun menjawab,”Saya Ibrahim Al Harbi”. Akhirnya penunggang itu melepas dua onta yang dibawanya seraya menyampaikan,”Dua onta dan yang diangkutnya ini diberikan kepada Anda oleh seorang penduduk Khurasan”. Saat Ibrahim bertanya mengenai identitas pemberi, laki-laki itu manyampaikan,”Ia meminta saya bersumpah untuk tidak menunjukkan identitasnya”. Akhirnya Ibrahim Al Harbi mengambil kedua onta itu dan mendoakan pengirim dan pembawanya. (Tarikh Al Baghad, 6/31)

Tidak Memupuskan Harapan Anjing

IMAM AHMAD suatu saat memperoleh kabar bahwa ada seseorang di wilayah Wara’ An Nahar (Asia Tengah) yang memiliki hadits tsulastiyat (yakni hadits yang antara orang yang mengeluarkan dan Rasulullah ada tiga perawi). Maka Imam Ahmad melakukan perjalanan untuk menemui orang tersebut.

Akhirnya Imam Ahmad bertemu dengan seorang syeikh yang sedang memberi makan seekor anjing. Imam Ahmad pun menyampaikan salam dan dibalas oleh syeikh tersebut, namun ia kembali sibuk memberikan makanan kepada anjing.

Setelah syeikh itu selesai memberi makanan anjing, Imam Ahmad pun menyampaikan,”Sepertinya Anda lebih memperhatikan anjing tersebut daripada saya?” Syeikh tersebut menjawab,”Iya, telah sampai kepadaku sebuah hadits dari Abu Az Zanad dari Al A’raj dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,’Barang siapa memutuskan harapan siapa yang menaruh harapan kepadanya, maka Allah akan memutuskan harapannya dari-Nya di hari kiamat dan dia tidak masuk surga.’ Dan negeri kami ini bukanlah negeri yang dihuni oleh anjing, sedangkan anjing ini datang kepadaku, maka aku takut memupuskan harapannya.

Imam Ahmad pun menyatakan,”Hadits tersebut cukup bagi saya”. Lalu Beliau pun kembali pulang. (Ghidza’ Al Albab, 2/60).

Para ulama berusaha tidak memutuskan harapan kepada siapa yang mengharap padanya, meski hanya kepada seekor anjing.

Rela Menginap untuk Peroleh Tempat di Majelis

JAKFAR BIN DURUSTUYAH merupakan salah satu murid dari Imam Ali Ibnu Al Madini. Beliau mengisahkan mengenai mujahadah para pencari ilmu terdahulu,”Kami sudah mengambil tempat di majelis Ali Ibnu Al Madini saat Ashar untuk majelis esok harinya. Kami menempati posisi kami sepanjang malam karena takut tidak memperoleh tempat untuk majelis besoknya. (Al Jami’ Akhlaq Ar Rawi wa Adab As Sami’, 2/138)

Kesabaran Imam As Syafi’i

IMAM AS SYAFI’I rahimahullah Ta’ala pernah diuji dengan sakit bawasir, yang terus-menerus mengucurkan darah siang dan malam, hingga ketika beliau duduk darah terus menetes, sampai suatu saat beliau menyatakan,”Ya Allah jika dengan ujian ini Engkau ridha, maka tambahkan sakit ini padaku”.

Pernyataan Imam As Syaf’i tersebut akhirnya sampai ke telinga guru beliau Muslim bin Khalid Az Zanji dan beliau pun menyampaikan,”Apa ini wahai Muhammad? Mintalah kepada Allah kesembuhan. Sesungguhnya engkau dan aku bukanlah rijalul bala”. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 18)

Dari kisah diatas, diketahui betapa besarnya kesabaran para ulama ketika mereka tertimpa cobaan. Bahkan mereka rela dengan rasa sakit jika dengan hal itu Allah meridhai. Kisah di atas juga mencerminkan betapa para ulama memiliki sifat tawadhu’ dan mereka merasa tidak layak masuk golongan rijalul bala’, yakni orang-orang yang terus-menerus memperoleh ujian Allah namun tetap bersabar dengan ujian itu sebagaimana yang terjadi pada para nabi dan rasul.

Menjaga Sandal Ulama

QADHI MUHAMMAD BIN YUSUF merupakan asisten Qadhi Ismail bin Ishaq ulama yang menyebarkan madzhab Maliki di Iraq. Suatu saat Ibrahim Al Harbi seorang ulama ahli ibadah Iraq mengunjungi Qadhi Ismail bin Ishaq di rumah beliau. Tatkala Ibrahim Al Harbi melepas kedua sandal beliau, Qadhi Muhammad bin Yusuf asisten Qadhi Ismail membungkus sandal itu dengan sapu tangan dan menyimpan di saku beliau.

Ibrahim Al Harbi dan Qadhi Ismail pun membahas ilmu hingga para hadirin merasa takjub dengan keduanya. Sampai akhirnya Ibrahim Al Harbi berdiri pamit, dan mencari-cari sandal beliau. Qadhi Muhammad bin Yusuf pun datang dan mengeluarkan kedua sandal Ibrahim Al Harbi dari saku beliau yang terbungkus dengan sapu tangan. Ibrahim Al Harbi pun menyampaikan,”Semoga Allah mengampuni engkau seperti engkau memuliakan ilmu”.

Setelah Qadhi Muhammad bin Yusuf wafat, ada yang bermimpi bertemu dengan beliau hingga bertanya,”Bagaimana keadaan Anda?” Qadhi Muhammad bin Yusuf menyampaikan,”Dikabulkan doa orang shalih Ibrahim Al Harbi hingga aku diampuni”. (Tarikh Al Baghdad,3/404)

Dari kisah di atas, bisa disimpulkan betapa ulama terdahulu amat memuliakan ulama. Bukan karena pribadi ulama itu namun karena ilmu yang dimilki, hingga memuliakan mereka sama dengan memuliakan ilmu.*

Ulama Manfaatkan Delay Penerbangan

AL MUHADDITS ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH setelah mengunjungi para guru beliau di Pakistan dan berencana terbang ke Syiria untuk pulang, beliau diberi hadiah oleh Mufti Pakistan Syeikh Muhammad Syafi’ sebuah buku yang berjudul Nuzul Al Masih karya muhaddits madzhab Hanafi Syeikh Anwar Syah Al Kasymiri.

Saat di bandara Karachi disampaikan pengumuman bahwa pesawat mengalamai delay selama dua jam. Meski demikian para ulama Pakistan yang mengantar Syeikh Abu Ghuddah enggan untuk kembali dan memilih menemani beliau hingga waktu penerbangan tiba.

Di kesempatan berharga itu, Syeikh Abu Ghuddan mengeluarkan kitab Nuzul Al Masih dan meminta kepada para ulama yang ikut serta dalam rombongan ini menyimaknya. Akhirnya para ulama besar yang terdiri dari Syeikh Muhammad Syafi’, Al Allamah Yusuf Al Banuri, Al Allamah Althifullah Al Kabir, Al Allamah Nur Ahmad Amin serta Syaikh Abu Ghuddah sendiri membuat halaqah di salah satu sudut ruangan di bandara.

Dalam halaqah tersebut, Syeikh Abu Ghuddah membaca maqadimah Nuzul Masih dan 3 hadits dari kitab itu, kemudian dilanjutkan Syeikh Yusuf Al Banuri melanjutkan dengan membaca 5 hadits dan para ulama lain yang hadir juga menyampaikan beberapa keterangan. Maka mendadak lahirlah sebuah majelis ilmu yang "hidup" di tempat itu. Para ulama yang hadir akhirnya memberikan ijazah periwayatan kitab karya ulama Kasymir itu kepada Syeikh Abu Ghuddah. Majelis itu berakhir sampai waktu berangkat pesawat tiba. (lihat, muaqadimah Syeikh Abu Ghuddah dalam Nuzul Al Masih, hal. 4 dan5)

Imam Ahmad Merasa Tidak Pantas Bicara tentang Wara'

IMAM AHMAD BIN HANBAL suatu saat ditanya mengenai masalah wara’ (sifat kehati-hatian), maka beliau pun menjawab,”Aku beristighfar kepada Allah. Tidak halal bagiku untuk berbicara masalah wara’ sedangkan aku makan dari pasar Baghdad. Bisyr bin Al Harits layak untuk memberikan jawaban kepadamu mengenai hal itu, karena ia tidak makan dari pasar Baghdad”. (Al Bidayah wa An Nihaya, 10/297)

Imam Ahmad seorang imam besar masih menganggap bahwa diri beliau tidak layak bicara masalah wara’ dan menyerahkan jawaban kepada Bisyr bin Al Harits seorang ahli ibadah Baghdad. Hal itu menunjukkan bagaimana para ulama terdahulu memiliki sifat tawadhu’ dan masing-masing bidang ilmu memiliki pakar.

Demi Ilmu Rela Menyamar Pengemis

IMAM IBNU MAKHLAD AL ANDULUSI jauh-jauh dari Andalusia (Spanyol) menuju Baghdad untuk menuntut ilmu kepada Imam Ahmad. Namun, menjelang masuk wilayah Baghdad beliau memperolah kabar bahwa penguasa Baghdad yang menganut Mu’tazilah di waktu itu melarang Imam Ahmad untuk menyampaikan ilmu kepada siapa pun.

Akhirnya diam-diam Ibnu Makhlad menemui Imam Ahmad di rumah beliau di Baghdad dan menyampaikan,”Saya Abdullah dan ini adalah kesempatan pertama masuk ke Baghdad. Saya minta izin untuk mendatangi Anda dengan memakai pakaian pengemis dan saya mengatakan di pintu sebagaimana apa yang mereka katakan. Jika Anda menyampaikan satu hadits saja dalam satu hari, maka hal itu cukup bagi saya”. Imam Ahmad menyetujui usulan itu, dengan syarat agar Ibnu Makhlad tidak menampakkan diri di majelis hadits dan berkumpul bersama para pencari hadits. Syarat itu pun disanggupi oleh Ibnu Makhlad.

Akhirnya Ibnu Makhlad berdandan seperti pengemis dengan mengenaikan kain khirqah di kepala yang merupakan simbol kefakiran serta berjalan dengan tongkat, sedangkan pena dan kertas disembunyikan di balik baju. Sampai di depan pintu rumah Imam Ahmad beliau berseru,”Upah, semoga Allah merahmati Anda”, sebagaimana yang dikatakan oleh para pengemis. Imam Ahmad pun keluar dan menutup pintu lalu menyampaikan satu-dua hadits dari dalam rumah.

Ibnu Makhlad pun menjalani belajar dengan menyamar menjadi pengemis hingga hukuman terhadap Imam Ahmad berakhir karena meninggalnya sang penguasa dan Ibnu Mahlad memperoleh 300 hadits dengan cara belajar yang demikian. (lihat, Al Minhaj Al Ahmad fi Tarajim Ashab Al Ahmad, 1/177).

Dosa Halangi Qiyam Lail

IMAM ATS TSAURI menyampaikan bahwa beliau selama 5 bulan tidak mampu mengerjakan qiyam lail. Menurut At Tsauri hal itu disebabkan karena dosa yang beliau kerjakan.

Ketika Imam At Tsauri ditanya mengenai dosa itu beliau menjawab,”Aku melihat seorang laki-laki menangis sedangkan aku berkata dalam hati bahwa laki-laki ini menangis dalam rangka riya’”. (Ihya Ulumuddin, 4/239).

Dari kisah di atas bisa diambil pelajaran bahwa perbuat dosa membuat seorang berat melakukan qiyam. Kisah itu juga menunjukkan betapa pekanya Imam At Tsauri terhadap amalan hati. Karena amat pekanya sampai beliau memandang dosa su'udzan sabagai sebuah perkara yang amat besar, hingga beliau memandang bahwa hal itulah yang menyebabkan beliau tidak mempu melaksanakan qiyam.

Manusia Hanya Melihat Dhahir

IMAM ABU UTSAMAN menyampaikan nasihat kepada Abu Hafsh,”Jika engkau satu majelis dengan manusia maka jadilah engkau sebagai juru peringat terhadap dirimu dan hatimu sendiri. Janganlah engkau terkecoh dengan berkumpulnya manusia untukmu, sesungguhnya mereka hanya melihat yang nampak darimu, sedangkan Allah mengawasi batinmu”. (Ihya’ Ulumuddin, 15/2744)

Para ulama terdahulu selalu malakukan muraqabah, hingga terus-menerus merasa bahwa Allah selalu mengawasi apa yang dilakukan, hingga tidak terkecoh dengan pandangan manusia terhadapnya.

Hormat Guru, dari Ashar hingga Maghrib Berdiri

IMAM YAHYA BIN AL QATHTHAN setelah melaksanakan shalat ashar bersandar di bawah menara masjid beliau, sedangkan di sekitar beliau ada Ali bin Al Madini, As Syadzakuni, Amru bin Ali, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main serta ulama lainnya yang ingin memperoleh hadits. Mereka berdiri hingga menjelang shalat maghrib.

Imam Yahya bin Al Qaththan tidak meminta mereka untuk duduk, dan mereka pun enggan untuk duduk dalam rangka menghormati guru. (Al Jami’ Al Ahlaq Ar Rawi wa Adab As Sami’, hal. 78).

Demikianlah cara ulama terdahulu menghormati guru mereka, mereka tetap memilih berdiri meski dalam waktu yang cukup lama, sebelum sang guru mempersilahkan mereka duduk.

Ulama, Orang-orang Pilihan

IMAM ABU DAWUD ATH THAYALISI suatu saat mendatangi masjid dimana Imam Syu’bah menyampaikan hadits. Masjid itu sendiri dipenuhi oleh para pencari ilmu yang ingin menyimak hadits dari Syu’bah.

Syu’bah pun keluar untuk menemui Imam Abu Dawud dan menyampaikan,”Apakah Anda melihat dari para pencari ilmu itu semuanya bakal menjadi muhaddits?” Imam Abu Dawud pun menjawab,”Tidak”. Imam Syu’bah pun menanggapi,”Anda benar. Namun apakah tidak bisa lima dari mereka menjadi muhaddits?” Imam Abu Dawud pun menjawab,”Tidak, meski hanya lima”.

Imam Abu Dawud pun menyampaikan,”Mereka di waktu kecil mencatat hadits namun ketika dewasa mereka meninggalkannya. Dan dari mereka di waktu kecil juga mencatat hadits, namun di waktu dewasa tersibukkan dengan perkara-perkara yang merusak".

Dan apa yang disampaikan Imam Abu Dawud pun benar, bahwa para pencari ilmu di majelis Syu’bah tidak ada dari mereka lima orang yang menjadi muhaddits. (Jami’ Ahlak Ar Rawi wa Adab As Sami’, hal. 31)

Betapa banyak pencari ilmu di dunia ini, namun amat sedkiti dari mereka yang mampu beristiqamah dalam menuntut ilmu, hingga amat sedikut pula yang menjadi ulama. Jika hal itu terjadi pada murid-murid para ulama besar terdahulu, bagaimana dengan para pencari ilmu di akhir zaman ini?

Keajaiban Sabar

FATH AL MAUSHILI memiliki seorang istri yang dikenal dengan kesebarannya. Suatu saat istri beliau terjatuh dan kuku jarinya pecah hingga menyebabkan luka, namun ia malah tertawa dengan keadaan seperti itu.

Hal itu yang menyebabkan orang yang disekitarnya bertanya terheran-heran,”Apakah engkau tidak merasa sakit?!”

Istri Fath Al Maushili pun menjawab,”Sesungguhnya nikmatnya pahala karena luka ini menghilangkan rasa sakitnya dari hatiku.” (Ihya’ Ulumuddin, 12/2189)

Demikianlah keajaiaban amalan sabar di saat tertimpa musibah, ia akan meringankan musibah tersebut. Berbeda keadaanya jika suatu musibah dihadapi dengan tanpa kesabaran, hal justru akan membuat musibah terasa lebih berat.

Berpakaian karena Allah

IMAM AT TSAURI suatu saat didatangi seorang laki-laki yang mengetahui bahwa baju yang dikenakan Imam At Tsauri taerbalik. Laki-laki tersebut memberitahukan keadaan itu kepada Imam At Tsauri dan mencoba untuk membenarkan pakaian Imam At Tsauri.

Menyaksikan hal itu, Imam At Tsauri menahan tangan si lelaki, hingga lelaki itu bertanya kenapa beliau melakukan hal itu. Imam At Tsauri pun menjawab,”Sesungguhnya aku mengenakannya karena Allah, maka aku tidak akan memperbaikinya kecuali juga karena Allah.” (Ihya’ Ulumuddin, 14/2702).

Para ulama terdahulu meski mengerjakan hal-hal yang mubah namun mereka selalu meniatkan hal itu untuk beribadah karena Allah Ta’ala dan selalu menjaga niat tersebut.

Lebih Mencintai Shalat daripada Kuda

IMAM RABI’ BIN KHUTSAIM suatu saat sedang melaksanaakan shalat, sedangkan di saat yang sama ada seorang yang mencuri kuda beliau yang seharga 20 ribu dan beliau menyaksikannya, namun beliu tetap tidak memutuskan shalatnya.

Setelah persitiwa itu, sekelompok kaum mendatangi Imam Rabi’ dan bertanya kenapa beliau tidak melarang pencuri itu melakukan pencurian dan membairkannya melepas tali kudanya yang ditambatkan. Imam Rabi’ pun menjawab,”Shalat lebih aku cintai daripada melakukan hal itu”.

Akhirnya mereka yang hadir mendoakan keburukan kepada si pencuri, namun Imam Rabi’ melarangnya,”Janganlah kalian lakukan itu dan berkatalah kalian dengan perkataan yang baik. Sesungguhnya aku telah menjadikan kudaku sebagai sedekah untuk pencuri tersebut.” (Ihya’ Ulumuddin, 14/2550).

Siapakah orang di zaman ini yang mampu meneladani sifat para ulama shalih terdahulu seperti Imam Rabi’ bin Khutsaim ini?

Tips Deteksi Kesombongan

ABDULLAH BIN SALAM suatu saat mengangkat sendiri ikatan kayu bakar di atas punggung beliau, padahal beliau adalah seorang ulama besar. Hal itu mengundang orang yang menyaksikannya bertanya,”Bukankah pembantu dan anak Anda bisa melakukannya?”

Abdullah bin Salam pun menjawab,”Benar, namun aku ingin menguji diriku, apakah hatiku merasa berat dengan pekerjaan ini atau tidak.”

Abdullah bin Salam tidak mencukupkan hanya dengan berazam untuk meninggalkan rasa gengsi dan sombong, sebelum beliau membuktikan sendiri apakah benar hatinya tidak berubah keadaan tatkalah melakukan pekerjaan yang dianggap oleh banyak manusia sebagai pekerjaan “rendahan”.

Itas dasar itu, Imam Al Ghazali memberi tips untuk mengetahui apakah diri kita sombong atau tidak, yakni dengan menyengaja membawa barang belanjaan dari pasar menuju rumah. Jika seseorang tidak merasa berat karena ada manusia yang menyaksikannya maka ia terjangkit riya’. Namun jika ia merasa berat  meski manusia tidak menyaksikannya maka ia sombong. (lihat, Ihya Ulumuddin, 11/1986)

Rasa Takut Imam Hasan Bashri

IMAM HASAN AL BASHRI ditanya oleh seseorang,”Bagaimana kabar Anda?” Imam Hasan Al Bashri pun tersenyum dan menjawab,”Engkau bertanya kepadaku mengenai keadaanku? Bagaimana menurutmu jika sekelompok manusia menaiki sebuah bahtera hingga di tengah-tengah samudera yang luas bahtera itu pecah dan masing-masing memegang kayu yang tersisa. Bagaimana menurutmu kondisi mereka?”

Laki-laki itu pun menjawab,”Mereka tentu amat ketakutan sekali.”  Imam Hasan Al Bashri pun menanggapi,”Keadaan saya lebih dari itu.” (Ihya’ Ulumuddin, 13/2386)

Shalih Tapi Merasa Sebagai Ahli Maksiat

MUSA BIN QASIM mengisahkan,”Saat itu di wilayah kami terjadi gempa dan angin yang merusak. Maka aku pergi menuju Imam Muhammad bin Muqatil dan meminta agar beliau mendoakan keselamatan kami.”

Mendengar permintan Musa bin Qasim, Imam Muqatil pun tiba-tiba menangis dan mengatakan,”Seandainya saja aku tidak menjadi sebab kecelakaan kalian…”

Setelah bencana reda Musa bin Qasim bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan beliau menyampaikan,”Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengangkat bencana dari kalian karena doa Muhammad bin Muqatil.” (Ihya Ulumuddin, 11/1944)

Para shalihin terdahulu selalu menilai bahwa dirinya bukan orang yang shalih dan sebagai ahli maksiyat. Berbeda dengan zaman ini banyak orang yang sudah merasa shalih dengan amalan yang ia kerjakan.*

Imam Hasan Al Bashri Menggibah Diri Sendiri

IMAM HASAN AL BASHRI sering mengghibah diri sendiri dengan mengatakan,”Engkau berkata-kata dengan perkataan orang-orang shalih yang selalu berqunut dan beribadah, sedangkan engkau melakukan perbuatan orang-orang fasiq, munafiq dan mereka yang suka pamer!” (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 9)

Demikianlah sifat orang yang benar-benar shalih, tidak menganggap dirinya sebagai orang yang shalih.

Saat Imam Thawus Tinggalkan Majelis Hadits

IMAM HASAN AL BASHRI suatu saat melalui halaqah hadits Imam At Thawus di Masjid Al Haram yang dihadiri oleh banyak pencari ilmu. Akhirnya Imam Hasan Bashri mendekat dan berbisik di telinga Imam Thawus,”Jika hatimu merasa ta’ajub terhadap dirimu sendiri maka tinggalkan majelis ini.” Akhirnya Imam Thawus pun segera berdiri meninggalkan majelis. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 9)

Banyaknya murid dan pengikut bisa menyebabkan seorang amat mudah tergelincir hatinya, hingga merasa takjub dengan diri sendiri. Dan para ulama terdahulu amat menjaga hati dan selalu waspada dengan kelengahannya, sehingga ketika mereka sadar bahwa ada amalan hati yang menyimpang maka mereka segera bertindak untuk membersihkannya.

18 Tahun Belajar Adab

IMAM IBNU QASIM salah satu murid senior Imam Malik menyatakan,”Aku telah mengabdi kepada Imam Malik bin Anas selama 20 tahun. Dari masa itu, 18 tahun aku mempelajari adab sedangkan sisanya 2 tahun untuk belajar ilmu". (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 12)

Demikianlah para ulama terdahulu, amat mementingkan belajar ahlak, bahkan menempuhnya dalam waktu yang cukup lama.

Umar bin Abdul Aziz dan Putra-Putranya

MASLAMAH BIN ABDIL MULK suatu saat menjeguk Umar bin Abdil Aziz saat beliau hendak wafat. Maslaha menyampaikan,”Wahai Amir Mukminin, Anda melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan seorangpun sebelumnya. Anda tidak meninggalkan kepada keturunan Anda dinar dan dirham.” Dan saat itu putra Umar bin Abdul aziz berjumlah 13 orang.

Maka Umar bin Abdul Aziz meminta agar Maslamah mendatangkan putra-putra beliau untuk duduk di sekitarnya, maka Maslamah pun melakukannya.

Kemudian Umar bin Abdul Aziz menjawab pernyataan Maslamah,”Adapun pernyataanmu bahwa aku tidak meninggalkan kepada mereka dinar dan dirham, maka sesungguhnya aku tidak menghalangi hak mereka namun juga tidak memberikan kepada mereka hak orang lain. Sesungguhnya putraku ada dua kemungkinan, bisa ia taat kepada Allah maka Allah cukup baginya, karena Allah menjadi penolong orang-orang shalih. Bisa juga ia bermaksiat kepada Allah, maka aku tidak menghiraukan apa yang bakal menimpanya.” (Ihya Ulumuddin, 10/1759).


Siapa Orang yang Ikhlas?

YAHYA BIN MUADZ suatu saat ditanya kapan seseorang menjadi orang yang ikhlas? Beliau pun menjelaskan bahwa seorang disebut mukhlis kalau perilakunya seperti perilaku bayi yang tidak menghiraukan siapa yang memujinya dan siapa yang mencelanya dari kalangan manusia. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 8)

Para ulama lainnya juga menyebutkan hal yang serupa, bahwa seseorang disebut telah memperoleh derajat mukhlis jika pujian dan celaan manusia memiliki derajat yang sama dalam pandangnya.

Jangan Meremehkan Hadits Walau Ia Mursal

IMAM ALI IBNU AL MADINI merupakan hafidz hadits besar yang juga guru Imam Al Bukhari. Beliau suatu saat menyampaikan,”Tidak semestinya seseorang mendustakan hadits jika ia datang dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam meski ia mursal. Sesungguhnya segolongan manusia telah menolak hadits Az Zuhri yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,’Barang siapa berbekam pada hari Sabtu atau Rabu maka ia terkena kusta…’

Sekelompok manusia telah melakukannya (hijamah di hari Sabtu dan Rabu) maka mereka terkena bala’. Diantara mereka adalah Utsman Al Batti ia terkena kusta, Ibnu Said At Tanuri ia terkena kusta, Abu Dawud ia terkena kusta serta Abdurrahaman, ia terkena bala’ yang keras.” (Ma’rifah Ar Rijal li Ibni Muharraz, 2/628)

Hadits mursal adalah hadits yang perawi sahabatnya jatuh, seperti seorang tabi’in menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, tanpa menyebut perawi dari kalangan sahabat.

Keajaiban Sabar

FATH AL MAUSHILI memiliki seorang istri yang dikenal dengan kesebarannya. Suatu saat istri beliau terjatuh dan kuku jarinya pecah hingga menyebabkan luka, namun ia malah tertawa dengan keadaan seperti itu.

Hal itu yang menyebabkan orang yang disekitarnya bertanya terheran-heran,”Apakah engkau tidak merasa sakit?!”

Istri Fath Al Maushili pun menjawab,”Sesungguhnya nikmatnya pahala karena luka ini menghilangkan rasa sakitnya dari hatiku.” (Ihya’ Ulumuddin, 12/2189)

Demikianlah keajaiaban amalan sabar di saat tertimpa musibah, ia akan meringankan musibah tersebut. Berbeda keadaanya jika suatu musibah dihadapi dengan tanpa kesabaran, hal justru akan membuat musibah terasa lebih berat.

Berpakaian karena Allah

IMAM AT TSAURI suatu saat didatangi seorang laki-laki yang mengetahui bahwa baju yang dikenakan Imam At Tsauri taerbalik. Laki-laki tersebut memberitahukan keadaan itu kepada Imam At Tsauri dan mencoba untuk membenarkan pakaian Imam At Tsauri.

Menyaksikan hal itu, Imam At Tsauri menahan tangan si lelaki, hingga lelaki itu bertanya kenapa beliau melakukan hal itu. Imam At Tsauri pun menjawab,”Sesungguhnya aku mengenakannya karena Allah, maka aku tidak akan memperbaikinya kecuali juga karena Allah.” (Ihya’ Ulumuddin, 14/2702).

Para ulama terdahulu meski mengerjakan hal-hal yang mubah namun mereka selalu meniatkan hal itu untuk beribadah karena Allah Ta’ala dan selalu menjaga niat tersebut.

Tips Deteksi Kesombongan

ABDULLAH BIN SALAM suatu saat mengangkat sendiri ikatan kayu bakar di atas punggung beliau, padahal beliau adalah seorang ulama besar. Hal itu mengundang orang yang menyaksikannya bertanya,”Bukankah pembantu dan anak Anda bisa melakukannya?”

Abdullah bin Salam pun menjawab,”Benar, namun aku ingin menguji diriku, apakah hatiku merasa berat dengan pekerjaan ini atau tidak.”

Abdullah bin Salam tidak mencukupkan hanya dengan berazam untuk meninggalkan rasa gengsi dan sombong, sebelum beliau membuktikan sendiri apakah benar hatinya tidak berubah keadaan tatkalah melakukan pekerjaan yang dianggap oleh banyak manusia sebagai pekerjaan “rendahan”.

Itas dasar itu, Imam Al Ghazali memberi tips untuk mengetahui apakah diri kita sombong atau tidak, yakni dengan menyengaja membawa barang belanjaan dari pasar menuju rumah. Jika seseorang tidak merasa berat karena ada manusia yang menyaksikannya maka ia terjangkit riya’. Namun jika ia merasa berat  meski manusia tidak menyaksikannya maka ia sombong. (lihat, Ihya Ulumuddin, 11/1986)

Shalih Tapi Merasa Sebagai Ahli Maksiat

MUSA BIN QASIM mengisahkan,”Saat itu di wilayah kami terjadi gempa dan angin yang merusak. Maka aku pergi menuju Imam Muhammad bin Muqatil dan meminta agar beliau mendoakan keselamatan kami.”

Mendengar permintan Musa bin Qasim, Imam Muqatil pun tiba-tiba menangis dan mengatakan,”Seandainya saja aku tidak menjadi sebab kecelakaan kalian…”

Setelah bencana reda Musa bin Qasim bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan beliau menyampaikan,”Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengangkat bencana dari kalian karena doa Muhammad bin Muqatil.” (Ihya Ulumuddin, 11/1944)

Para shalihin terdahulu selalu menilai bahwa dirinya bukan orang yang shalih dan sebagai ahli maksiyat. Berbeda dengan zaman ini banyak orang yang sudah merasa shalih dengan amalan yang ia kerjakan.*

Imam Hasan Al Bashri Menggibah Diri Sendiri

IMAM HASAN AL BASHRI sering mengghibah diri sendiri dengan mengatakan,”Engkau berkata-kata dengan perkataan orang-orang shalih yang selalu berqunut dan beribadah, sedangkan engkau melakukan perbuatan orang-orang fasiq, munafiq dan mereka yang suka pamer!” (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 9)

Demikianlah sifat orang yang benar-benar shalih, tidak menganggap dirinya sebagai orang yang shalih.

Imam Hasan Al Bashri Menggibah Diri Sendiri

IMAM HASAN AL BASHRI sering mengghibah diri sendiri dengan mengatakan,”Engkau berkata-kata dengan perkataan orang-orang shalih yang selalu berqunut dan beribadah, sedangkan engkau melakukan perbuatan orang-orang fasiq, munafiq dan mereka yang suka pamer!” (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 9)

Demikianlah sifat orang yang benar-benar shalih, tidak menganggap dirinya sebagai orang yang shalih.

Siapa Orang yang Ikhlas?

YAHYA BIN MUADZ suatu saat ditanya kapan seseorang menjadi orang yang ikhlas? Beliau pun menjelaskan bahwa seorang disebut mukhlis kalau perilakunya seperti perilaku bayi yang tidak menghiraukan siapa yang memujinya dan siapa yang mencelanya dari kalangan manusia. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 8)

Para ulama lainnya juga menyebutkan hal yang serupa, bahwa seseorang disebut telah memperoleh derajat mukhlis jika pujian dan celaan manusia memiliki derajat yang sama dalam pandangnya.

Jangan Meremehkan Hadits Walau Ia Mursal

IMAM ALI IBNU AL MADINI merupakan hafidz hadits besar yang juga guru Imam Al Bukhari. Beliau suatu saat menyampaikan,”Tidak semestinya seseorang mendustakan hadits jika ia datang dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam meski ia mursal. Sesungguhnya segolongan manusia telah menolak hadits Az Zuhri yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,’Barang siapa berbekam pada hari Sabtu atau Rabu maka ia terkena kusta…’

Sekelompok manusia telah melakukannya (hijamah di hari Sabtu dan Rabu) maka mereka terkena bala’. Diantara mereka adalah Utsman Al Batti ia terkena kusta, Ibnu Said At Tanuri ia terkena kusta, Abu Dawud ia terkena kusta serta Abdurrahaman, ia terkena bala’ yang keras.” (Ma’rifah Ar Rijal li Ibni Muharraz, 2/628)

Hadits mursal adalah hadits yang perawi sahabatnya jatuh, seperti seorang tabi’in menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, tanpa menyebut perawi dari kalangan sahabat.

Bohong Tapi Wajib

MAIMUN BIN MIHRAN menyatakan,”Bohong dalam kondisi tertentu lebih baik daripada jujur. Bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang mengejar orang lain dengan membawa pedang untuk membunuhnya dan menanyakan kepadamu tentang keberadaanya. Apa yang hendak engkau katakan? Bukankah engkau akan mengatakan ‘aku tidak melihatnya?’ dan tidak menyampaikannya dengan jujur? Inilah bohong yang hukumnya wajib”. (Ihya’ Ulumuddin, 9/1588)

Ketika Ada yang Menyebut Anda Bodoh

SHALIH AL MARRI rahimahullah adalah seorang ahli ibadah Bashrah yang wafat 172 H. Suatu saat beliau menyampaikan mengenai indikasi riya pada hati manusia,”Barang siapa mengklaim bahwa dirinya ikhlas dalam ilmu maka hendaklah ia melihat dirinya jika manusia menyebut dia jahil dan riya’. Kalau dadanya lapang terhadap penilaian itu maka ia benar. Kalau ia sempit dada karena penilaian itu maka ia memang beramal dengan riya`”. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 15).

Malik bin Dinar dan Pencuri

MALIK BIN DINAR rahimahullah suatu saat melihat bahwa ada seorang wanita yang memasuki rumah beliau dan mencuri mushaf serta pakaian. Mengetahui hal itu, beliau memutuskan untuk mengikuti si wanita.

Setelah menemui wanita tersebut Malik bin Dinar menyampaikan,”Ambilah baju itu, namun mushafnya kembalikan dan engkau tidak perlu takut.” (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 27)


Enggan Dilihat Saat Pimpin Majelis yang Ramai

IMAM SUFYAN ATS TSAURI rahimahullah Ta'ala jika memperoleh kabar bahwa sultan hendak mengnjunginya di halaqah ilmu baik itu di madrasah Al Asyrafiyah atau di masjid Umawi maka beliau memilih tidak mendatangi majelis karena takut sultan akan melihatnya sedang beliau berada di sebuah majelis ilmu yang dihadiri banyak manusia.

Dan berkenaan dengan hal itu, Sufyan At Tsauri menyampaikan bahwa tanda keikhlasan adalah menyembunyikan kebaikan agar tidak terlihat oleh manusia sebagaimana ia takut kaburukannya diketahui oleh manusia. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 16)

Jangan Tanya Saudaramu Puasa Atau Tidak

IBRAHIM BIN ADHAM Rahimahullah Ta’ala menyampaikan,”Janganlah bertanya kepada saudaramu mengenai puasanya. Sesungguhnya jika ia mengatakan ‘saya puasa’ hatinya senang dengan hal itu dan jika ia mengatakan ‘saya tidak puasa’ mambuat ia sedih. Dan keduanya merupakan tanda-tanda riya’. Dan hal itu juga aib bagi yang ditanya dan membuka auratnya oleh penanya.”  (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 9)

Demikianlah ulama terdahulu amat peka terhadap indikasi riya’, sedangkan kita manusia di zaman ini kadang tidak mampu mendeteksinya dan menganggapnya sebagai hal yang biasa.

Hormati Diri Tinggalkan Permusuhan

SALMU BIN QUTAIBAH di saat duduk menunggu proses pengadilan antara dia dengan sudara sepupunya datanglah Basyir bin Ubaidillah bin Abi Bakrah,”Apa yang menyebabkan engkau duduk di sini?”

Ibnu Qutaibah pun menjawab,”Saudara sepupuku mengklaim bahwa di rumahku ada barang miliknya.” Basyir bin Ubaidillah pun memberi nasihat,”Demi Allah aku tidak melihat hal yang paling menghilangkan dien, kehormatan dan menyibukkan pikiran kecuali bermusuhan.”

Akhirnya Ibnu Qutaibah berdiri meninggalkan tempat itu untuk meninggalkan persidangan. Melihat hal itu, saudara sepupu Ibnu Qutaibah malah menyatakan,”Ada apa denganmu? Apakah kamu telah sadar kalau aku yang benar?”

Ibnu Qutaibah pun menjawab,”Bukan, namun saya memuliakan diri dari perkara ini ada saya meninggalkan permusuhan.” (Ihya Ulumuddin, 8/9)

Tidak balas dendam atas kedzaliman orang lain lebih mulia daripada membalas keburukan dengan keburukan serupa.

Yang Berlindung Mati yang Tidak Justru Selamat

SYEIKH ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH seorang ulama hadits bermadzhab Hanafi mendengar kisah dari beberapa perwira yang ikut berperang bersama pasukan Utsmani pada perang dunia pertama. Saat itu pasukan Utsmani bersiap untuk menghadapi serangan dari musuh dan setiap anggota pasukan mengambil posisinya masing-masing dengan menggali tempat perlindungan.

Saat salah satu perwira melalui tempat perlindungan yang cukup baik, ia mengusir pemiliknya untuk pindah dari tempat itu dan menempatkan anggota pasukan yang dekat dengannya untuk mengganti posisinya. Akhirnya prajurit pembuat tempat perlindungan itu pergi dengan kemarahan.

Di saat perang berkecamuk sebuah mortar besar menimpa tempat perlindungan tersebut yang menyebabkan prajurit yang menampatinya tewas, sedangkan prajurit yang diusir justru selamat. (lihat, Ta`liq Risalah Al Mustarsyidin, hal. 101)

Memang, taqdir Allah tidak bisa dikalahkan. Meski demikian manusia tatap diwajibkan untuk berikhtiar.

Pedagang Kapas dan Wanita Nashrani

AMIR SYUJAK AD DIEN AS SYARZI penguasa Kairo di masa Kamiliyah tahun 630 H mengisahkan bahwa ia bertemu dengan seorang tua yang berkulit coklat sedangkan anak-anaknya semuanya berkulit terang. Merasa heran As Syarzi pun menanyakan hal itu dan laki-laki itu pun menjawab bahwa ibu anak-anaknya adalah seorang wanita bangsa Frank (Eropa) dimana mereka menikah di masa Malik Nashr Shalahuddin. As Syarazi pun semakin penasaran ingin tahu lebih banyak mengenai kisah pernikahan itu. Akhirnya laki-laki itupun bersedia untuk bercerita.

Dulu di masa muda laki-laki itu berdagang kapas di Syam dan saat itu seorang budak wanita Frank membeli kapas di tokonya. Karena terpesona oleh kecantikannya ia memilih untuk memberikan kapas dengan cuma-cuma kepada budak tersebut. Demikian juga ketika budak itu membeli kapas setelahnya, pedagang kapas selalu memberikannya dengan cuma-cuma. Hingga akhirnya ia sadar bahwa ia telah jatuh cinta berat kepada budak Nashrani tersebut.

Akhirnya laki-laki itu menyampaikan perasaanya kepada wanita tua yang mendampingi budak tersebut, hingga akhirnya tercapa kesepakatan agar pemuda itu membayar 50 dinar dan menyediakan tempat sedangkan pihak wanita bersedia diperlakukan apa saja olehnya selama semalam.

Akhirnya pemuda berkulit gelap itu mempersiapkan rumah yang ia sewa di tepi pantai dan tempat tidur di atas atap yang beratap langit dan terlihat bintang-bintang. Pemuda itu juga menyuapkan berbagai macam makanan.  Pemuda dengan budak Frank itu akhirnya makan bersama kemudian berbaring hingga larut malam sambil menyaksikan bintang-bintang.

Dalam hati pemuda tersebut diam-diam berfikir,”Apakah engkau tidak malu bermaksiat kepada Allah di bawah kolong langit dengan wanita Nashrani, hingga akhirnya layak memperolah adzab baik di dunia maupun akhirat?”

Akhirnya pemuda tersebut berkata dalam hati,”Ya Allah sesungguhnya aku telah persaksikan kepada Engkau bahwa aku meninggalkan zina karena malu dan takut kepada Engkau.” Si pemuda tertidur hingga waktu subuh sedangkan wanita yang mendampinginya bangun saat sahur dalam keadaan marah.

Namun setelah kembali ke toko kapas pemuda itu menyesali keputusannya untuk meninggalkan budak Nashrani itu hingga ia berfikir,”Siapa engkau ini hingga meninggalkan wanita Nashrani itu, apakah engkau Junaid ata As Sarri As Saqathi?” Akhirnya pemuda tersebut memutuskan untuk menemui wanita tua yang selalu bersama budak itu dan meminta kesempatan untuk kedua kalinya. Karena marah disebabkan pengamalan sebelumnya, wanita itu tidak memberikan kesempatan kecuali dengan membayar 100 dinar. Meski demikian si pemuda akhirnya menyetujuinya dan kesempatan pun datang kembali. Namun pikiran di pertemuan pertama dengan wanita Nashrani datang kembali hingga ia kembali memilih untuk meninggalkan wanita Nashrani itu. Wanita itu akhirnya marah besar hingga mengatakan,”Kamu tidak akan melihat saya lagi kecuali dengan 500 dinar!”

Di saat bersamaan diumumkan bahwa perjanjian antara pihak Frank (pasukan Salib) dengan pihak umat Islam telah berakhir dan umat Islam diberi kesempatan untuk meninggalkan kota-kota yang dukuasai pasukan Salib, akhirnya pemuda itu keluar dari Akka (Palestina) menuju Damaskus, dengan masih membawa perasaan cintanya kepada wanita Nashrani itu.

Di Damaskus si pemuda beralih profesi menjadi pedagang budak. Tiga tahun telah berlalu, saat itu Sulthan Malik Nashr berhasil mengalahkan pasukan Frank di wilayah pesisir dan merebut seluruh wilayah yang dikuasai oleh mereka. Dan pihak kesultanan meminta kepada si pemuda untuk menyediakan budak, si pemuda juga memiliki budak yang cukup baik dengan harga 100 dinar dan mereka menyutujui, namun mereka hanya mampu membayar 90 dinar karena banyaknya dana yang perlu mereka belanjakan saat itu. Akhirnya pihak kesultanan menawarkan tawanan dari bangsa Frank sebagai gantinya yang dihargai dengan 10 dinar.

Pemuda itu akhirnya memilih tawanan Frank yang berada di bawah penguasaan kesultanan, dan tanpa ia duga diduga ia menjumpai wanita Nashrani yang sebelumnya ia kenal di kota Akka termasuk tawanan. Pada awalnya si wanita tidak mengenalnya, namun si pemuda menjelaskan bahwa dirinya adalah pedagang kapas di Akka yang dulu pernah berteman dengannya. Akhirnya si pemuda mengambil wanita itu seraya mengatakan,”Engkau dulu mengatakan bahwa saya tidak bisa menemuimu kecuali dengan 500 dinar, sekarang saya bisa memilikimu dengan 10 dinar.”

Tanpa diduga wanita tersebut menjawab dengan mengatakan,”Ulurkan tanganmu, saya bersaksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad Adalah utusan Allah.”

Si pemuda membalas, “Tidak bisa saya melakukan itu. Kita pergi ke qadhi!” Akhirnya si pemuda membawa wanita itu untuk menemui qadhi, sekaligus untuk melangsungkan akad nikah. (Mathali’ Al Budur fi Manazil As Surur, 1/207)

Walhasil, barang siapa meninggalkan perkara haram karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang halal.

Berbagai Cara Lawan Ghibah

IMAM IBNU WAHB salah satu murid Imam Malik adalah ulama yang mencoba berbagai cara untuk menghindari ghibah. Untuk hal yang satu ini ulama yang wafat tahun 197 H ini pernah menyampaikan,”Aku telah membebani diriki setiap aku melakukan ghibah dengan berpuasa satu hari, namun sangsi itu ternyata terlalu ringan bagiku.”

Akhirnya Imam Ibnu Wahba perlu mencari cara lain agar terhindar dari pervuatan ghibah dan akhirnya beliau menemukannya,”Maka aku membebani diri dengan berdekah setiap aku melakukan ghibah dengan harta sebesar satu dirham dan hal itu terasa sangat berat bagiku hingga dengan hal itu aku terhindar dari perbuatan ghibah”. (Tartib Al Madarik, 3/240)

Ulama Besar Baru Belajar Saat 30 Tahun

IMAM AL QAFFAL AS SAGHIR adalah seorang ulama As Syafi'yah yang baru memulai belajar saat berumur 30 tahun. Suatu saat beliau pernah mengatakan,"Saya mulai belajar sedangkan saya belum bisa membedakan 'ikhtshartu' dengan 'ikhtsharta'".

Namun walau demikian karena keberkahan dari Allah Ta'la, beliau menjadi seorang yang paling faqih di zamannya. (lihat, Thabaqat As Syafi'yah Al Kubra, 5/45)

Walhasil, tidak ada kata terlambat dalam belajar memahami dien ini.

Mendoakan Kebaikan untuk Pencuri

IBNU MAS’UD Radhiyallahu Anhu suatu saat berdagang di sebuah pasar dan menyimpan uang dirham di sorban beliau. Namun saat hendak mengambil uang dirham tersebut beliau tidak mendapatinya, padahal beliau tidak pergi ke mana-mana.

Orang-orang yang berada di sekitar Ibnu Mas’ud pun berdoa,”Ya Allah potonglah tangan pencuri yang telah mengambilnya.” Ibnu Mas’ud pun berdoa,”Ya Allah jika pencuri itu melakukan pencurian karena kebutuhan maka berkahilah ia. Namun jika ia melakukannya karena dorongan maksiat maka jadikanlah perbuatannya ini adalah perbuatan yang terakhir.” (Ihya’ Ulumuddin, 9/1671)

Meski orang yang terdzalimi doanya mustajab, Ibnu Mas’ud tidak menggunakannya untuk mendoakan keburukan kepada si pencuri yang telah mendzalimi beliau, bahkan justru berdoa untuk kebaikan si pencuri.

Syeikh Ahmad dan Seekor Nyamuk

SYEIKH YA’QUB BIN KURAZ merupakan sahabat dekat Syeikh Ahmad Rif’ah seorang ulama zuhud yang bermadzhab Syafi’i. Suatu saat di kala musim dingin Syeikh Ya’qub ingin menemui Syeikh Ahmad, dan saat itu beliau mendapati Syeikh Ahmad sedang berwudhu seraya memanjangkan tangan dan membiarkannya tidak bergerak dalam waktu yang lama.

Syeikh Ya’qub akhirnya mendekat kepada Syeikh Ahmad, saat itu Syeikh Ahmad pun menyampaikan,”Wahai Ya’qub engkau telah mengganggu makhluk yang lemah ini.” Syeikh Ya’qub pun bertanya-tanya,”Siapa dia?” Syeikh Ahmad pun menjawab,”Nyamuk kecil, ia memakan rizkinya dari tanganku, lalu terbang karena kedatanganmu.” (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 6/24,25)

Syeikh Ahmad dan Seekor Kucing

SYEIKH AHMAD BIN ALI RIFA’AH adalah seorang ulama besar penganut madzhab As Syafi’i yang dikenal dengan zuhud dan akhlaknya. Suatu saat, seekor kucing tidur di kantung baju ulama yang lahir dalam keadaan yatim ini sedangkan waktu shalat telah tiba.

Akhirnya Syeikh Ahmad menggunting kantung baju agar kucing yang sedang tidur itu tidak terusik. Setelah melaksanakan shalat Syeikh Ahmad mendapati si kucing telah terjaga. Akhirnya beliau menyambung kembali kantung itu ke baju dengan dijahit, lalu beliau pun mengomentari keadaan bajunya,”Tidak ada yang berubah.” (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 6/24)

Seorang yang Zuhud dan Raja

IMAM AL GHAZALI mengisahkan, bahwa suatu saat seorang raja mengatakan kepada seorang yang zuhud,”Apakah engkau butuh sesuatu?” Orang zuhud itu pun menjawab,”Bagaimana aku memerlukan sesuatu darimu sedangkan kekuasaanku lebih besar dari kekuasaanmu.”

Si raja pun terheran dan bertanya,”Bagaimana bisa demikian?” Orang zuhud pun menjawab,”Karena tuanmu adalah hambaku.” Si raja bertanya-tanya,”Kenapa demikian?” Orang zuhud itu pun menjawab,”Tuanmu adalah syahwatmu, marahmu, kegembiraanmu dan perutmu. Dan itu semua telah tunduk kepadaku, mereka adalah budakku.” (Ihya Ulumuddin, 12/2199)

Antara Imam Izuddin dan Hafidz Al Mundziri

SYEIKH IZUDDIN BIN ABDISSALAM sebelumnya hanya menyimak sedikit hadits di Damasqus. Namun setelah beliau masuk ke Mesir hal itu terhapus, karena beliau menghadiri majelis hadits Al Hafidz Al Mundziri untuk menyimak hadits yang belum beliau simak. Sedangkan Al Hafidz Al Mundziri sendiri memilih meninggalkan fatwa. Beliau menyampaikan,”Di saat datang Syeikh Izuddin maka manusia tidak perlu lagi terhadapku.” (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/261)

Demikianlah para ulama terdahulu, tidak rakus terhadap fatwa dan tidak gengsi belajar kepada ulama lainnya.

Wafat Saat Bersujud

ABU MUHAMMAD AL BA’LABAKI adalah serorang faqih muhaddits yang menganut madzhab As Syafi’i. Disamping menjadi Qadhi di Ba’labak, murid dari Al Hafidz Ibnu Shalah ini juga mengajar di madrasah kota itu.

Mengenai wafatnya ulama zuhud ini, Imam Tajuddin As Subki mengisahkan,”Beliau wafat di sujud ke dua di rakaat ke tiga shalat dzuhur. Saat itu beliau menjadi imam dan dalam posisi sujud, sedangkan makmum yang berada di belakang beliau menunggu beliau bangkit dari sujud, namun lama tidak bangkit hingga para makmum pun bangkit dari sujud dan menggerakkan badan Abu Muhammad, mereka menemui beliau dalam keadaan wafat. Peristiwa itu terjadi tahun 656 H.” (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/ 195)

Umur100 Tahun Atau Mati Saat Ini?

ABDULLAH BIN ABI ZAKARIYA suatu saat menyampaikan,”Jika aku diminta memilih antara memiliki umur 100 tahun dengan ketaatan kepada Allah dengan mati di waktu ini atau di saat ini maka aku memilih mati saat ini. Itu disebabkan karena aku rindu kepada Allah, kepada Rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang shalih.” (Syarh As Shudur, hal. 21)

Sembuh dari Kebutaan karena Doa Ibu

AL HAFIDZ IBNU HAJAR AL ASQALANI menyebutkan sebuah periwayatan bahwa di masa kanak-anak Imam Al Bukhari kehilangan penglihatannya. Di suatu malam ibu Imam Al Bukhari bermimpi bertemu dengan nabi Ibrahim Alaihissalam dan dalam mimpi itu Nabi Ibrahim menyampaikan kepada beliau,”Allah telah mengembalikan penglihatan putramu karena seringnya doa yang engkau panjatkan.”

Pada pagi harinya, ibu Imam bukhari menyaksikan bahwa pandangan Imam Bukhari telah pulih kembali (lihat, Al Hadyu As Sari, hal. 640).

Betapa mujarabnya doa seorang ibu, hingga kebutaan yang didarita Imam Al Bukhari sembuh disebabkan karena doanya.

Ulama Dulu Berjasa terhadap Ulama Kini

AL ALLAMAH ALI AL QARI AL HANAFI mengisahkan bahwa ada seorang ulama menulis sebuah kitab selama 30 tahun, kemudian muridnya memperbaiki susunannya selama 3 tahun. Di suatu majelis ilmu si murid membandingkan antara kitab gurunya dan kitab hasil susunannya, dengan mengunggulkan kitabnya yang ditulis dalam waktu yang singkat.

Salah seorang yang hadir di majelis itu pun menyampaikan,”Sesungguhnya engkau menyusun kitab itu bukan 3 tahun, tapi 33 tahun. Kalau bukan karena jerih payah gurumu, engkau tidak akan mampu melakukannya!” (lihat,  Syarh Syarh An Nukhbah, hal. 150).

Walhasil, apa yang dihasilkan ulama di zaman ini tidak lepas dari karya dan jerih payah ulama terdahulu. Sehingga amat tidak pantas jika ada orang di zaman ini yang merasa lebih baik karyanya dibanding karya para ulama terdahulu.

Penguasa Pun Membutuhkan Allah

ABDURRAHMAN BIN IBRAHIM AL FIHRI mengisahkan,”Seorang laki-laki mendatangi seorang penguasa untuk memenuhi hajatnya. Namun ia mendapati penguasa itu sujud berdoa kepada Rabbnya. Akhirnya laki-laki tersebut mengatakan,’Orang ini masih membutuhkan kepada lainnya bagaimana aku merasa butuh kepadanya? Kenapa aku tidak meminta hajatku kepada pihak yang tidak membutuhkan?’"

Penguasa tersebut menyimak apa yang disampaikan oleh laki-laki tersebut hingga ia memerintahkan pembantunya untuk memberi 10 ribu lalu menyampaikan kepadanya,”Sesungguhnya apa yang aku berikan ini berasal dari siapa yang aku berdoa kepadanya di dalam sujud dan siapa yang engkau menaruh harapan kepada-Nya.” (Al Luqath fi Hikayah As Shalihin, hikayah ke 507)

Walhasil, semuanya kenikmatan hakikatnya berasal dari Allah meskipun jalan dan wasilahnya melalui makhluk-makhluk-Nya.

Memegang Air Ingat Ahli Neraka

IMAM HASAN AL BASHRI suatu saat diberi sebuah hidangan air dingin dalam cawan. Namun ketika menyentu cawan itu, tiba-tiba beliau jatuh pengsan dan cawan itu pun juga jatuh dari tangannya.

Ketika Imam Hasan Al Bashri tersadar, ada yang bertanya mengenai kejadian itu,”Ada apa wahai Abu Said?” Imam Hasan Al Bashri pun menjawab,”Aku teringat angan-angan para penduduk neraka, ketika mereka menyampaikan kepada ahli surga,’Berikanlah air itu untuk kami’”. (Ayuhal Walad, hal. 14)


Asal Julukan “Si Tuli” Hatim bin Ulwan

HATIM AL ASHAM memiliki nama asli Abu Abdurrahman Hatim bin Ulwan seorang ulama besar Khurasan. Mengenai asal mula beliau dikenal dengan Al Asham (si tuli), Al Allamah An Nawawi Al Bantani menyampaikan sebuah periwayatan bahwa suatu saat ada seorang wanita bertanya mengenai sebuah masalah. Namun di saat yang bertepatan si wanita membuang angin dengan mengelurakan suara, hingga si wanita malu bukan main.

Melihat hal demikian, Hatim menyampaikan,”Tinggikan suaramu!” seakan-akan beliau tuli. Sehingga wanita tersebut berkesimpulan bahwa Hatim adalah seorang yang tuli dan tidak mendengar suara buang anginnya. Setelah peristiwa itu Hatim lebih populer dengan sebutan Hatim Al Asham (si tuli). (lihat, Nashaih Al Ibad hal. 13)

Demikianlah ulama terdahulu, rela dijuluki sebagai "si tuli" hingga akhir hidupnya untuk menyelematkan seorang wanita dari rasa malu.

Ulama Wajib Menjelaskan Kebenaran kepada Penguasa

SALAMAH BIN DINAR AL MAKHZUMI adalah ulama besar di masa tabi’in yang tinggal di Makkah. Suatu saat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan mengunjungi Makkah dan meminta nasihat kepada beliau.

Al Makhzumi menyampaikan,”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya para orang tua Anda memaksa manusia dengan senjata dan mengambil kekuasaan dengan paksaan tanpa musyawarah dengan umat Islam dan tidak pula dengan keridhaan mereka hingga mereka membunuh banyak umat Islam.”

Salah satu pendamping khalifah menanggapi,”Betapa buruk yang telah engkau katakan, bagaimana Amirul Mukminin diterima dengan cara seperti ini?!”

Al Makhzumi pun menyampaikan,”Diamlah wahai pembohong! Sesungguhnya Fir’aun mencelakakan Hamman (pembantu Fir’aun) dan Hamman mencelakakan Fir’aun. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada para ulama untuk menjelaskan kepada manusia dan tidak menutupinya dan menyembunyikannya di belakang punggung”.

Kisah ini termaktub dalam Sunan Ad Darimi yang dinukil oleh Syeikh Zahid Al Kautsari (Al Maqalat Al Kaustari, hal. 401)

Kaji Ilmu 100 Tahun Belum Peroleh Rahmat

AL IMAM HUJJATUL ISLAM AL GHAZALI menyampaikan,”Meski engkau telah mengkaji ilmu saratus tahun dan telah memiliki seribu buku engkau belumlah siap untuk memperoleh rahmat Allah Ta’ala, kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana Allah Ta’a berfirman (yang artinya),”Sesungguhnya tidaklah bermanfaat bagi manusia kecuali apa yang telah ia usahakan (An Najm: 49)”. (Ayuhal Walad, hal. 21)

Kaum yang Ingin Mati Mendahului Temannya

Thulaihah bin Khuwailid Al Asadi adalah seorang ahli tempur yang membawahai seribu penunggang kuda. Suatu saat pasukannya porak-poranda oleh pasukan kaum Muslim. Maka, ketika melihat kekalahan itu ia mengatakan kepada pasukannya,”Calakalah kalian, kenapa kalian bisa kalah?!”

Anggota pasukan Thulaihah pun menjawab,”Saya akan menyampaikan kenapa kita kalah. Sesungguhnya tidak ada seorang pun anggota pasukan kita kecuali menginginkan temannya mati terlebih dahulu dibanding dirinya. Sedangkan kita menghadapi kaum yang semuanya menginginkan dirinya mati sebelum temannya.” (Hayat As Shahabah, 4/642 karya Syeikh Al Kandahlawi)

Tidak Berqunut Hormati Imam Abu Hanifah

IMAM AS SYAFI’I rahimahullah seorang imam mujtahid dan mujadid di saat melaksanakan shalat shubuh dekat makam Imam Abu Hanifah memilih tidak melaksanakan qunut subuh, dalam rangka menjaga adab terhadap imam mujtahid tersebut yang berpendapat bahwa qunut shubuh tidak disyariatkan. (lihat, Al Inshaf fi Bayani Asbab Al Ikhtilaf hal. 110, karya Ad Dihlawi)

Betapa para ulama besar di zaman terdahulu amat bertoleransi terhadap madzhab lainnya dalam masalah furu’ fiqih. Bahkan terhadap ulama yang sudah wafatpun adab itu tetap dijaga.

Bertelungkup untuk Payungi Kitab dari Hujan

IMAM AL HAFIDZ ABU SULAIMAN BIN DAWUD AS SYADZAKUNI adalah seorang ulama hadits yang wafat di Asbahan tahun 234 H. Ada seorang yang bermimpi bertemu dengan ulama besar itu setelah beliau meninggal, hingga ia menanyakan keadaan beliau,”Bagaimana Allah memperlakukan Anda?" As Syadzakuni pun menyampaikan,”Allah telah mengampuniku”.

Dalam memimpi itu As Syadzakuni menyampaikan,”Saat itu aku sedang melakukan perjananan di Asbahan namun tiba-tiba turunlah hujan sedangkan aku membawa beberapa kitab dan tidak ada tempat berteduh. Akhirnya aku peluk kitab-kitab itu hingga badanku menjadi pelindungnya dari air hujan. Sehingga Allah memberikan ampunan karena hal itu.” (Fathu Al Mughits bi Syarh Alfiyah Al Hadits, hal. 157,  karya Al Hafidz As Sakhawi)

Demikian para ulama besar terdahulu menjaga agar kitab-kitab yang berisi ilmu terhindar dari kerusakan, meskipun dengan cara menjadikan badan sebagai “tameng” hingga kitab-kitab tersebut terhindar dari air hujan selama hujan turun.

“Tinggalkan Cambuk dan Pergilah!”

SYAIKH MAHFUDZ AT TARMASI menyampaikan bahwa ada sebagian ulama ditanya mengenai ilmu namun tidak menjawab, hingga si penanya menyampaikan sebuah hadits,”Barang siapa mengetahui ilmu dan ia menyembunyikannya maka ia dicambuk pada hari kiamat dengan cambuk api”.

Maka ulama itu menyampaikan,”Tinggalkan cambuk dan pergilah! Jika ada orang yang layak datang dan aku menyembunyikannya maka silahkan aku dicambuk dengan api”. (Manhaj Dzawi An Nadhar, hal. 529)

Tidaklah dikatakan menyembunyikan ilmu, ketika seorang ulama menolak menyampaikan ilmu ketika ia melihat orang yang bertanya bukanlah ahlinya.

Ilmu di Zaman Ini Lebih Sedikit atau Banyak?

IMAM AYUB KAISAN AS SAKHTIYANI AL BASHRI adalah ulama besar dikalangan tabi’in dan muhadditsnya yang wafat pada tahun 131 H. Murid beliau Hammad bin Zaid mengkisahkan, bahwa suatu saat ada yang bertanya kepada Imam Ayub,”Ilmu hari ini lebih banyak atau lebih sedikit?”

Imam Ayub pun menjawab,”Pembicaraan di hari ini lebih banyak! Dan ilmu sebelum hari ini lebih banyak”. (Al Ma’rifah wa At Tarikh karya Al Hafidz Al Fasawi, 2/232)

Jika di masa tabi’in saja Imam Ayub menilai bahwa pembicaraan lebih banyak daripada ilmu, bagaimana dengan zaman ini?

Pingsan Seharian Setelah Saksikan Api Pandai Besi

AR RABI' BIN KHUTSAIM, suatu saat, beliau berjalan bersama Ibnu Ma’sud, yang saat itu menjadi guru beliau, menuju tepi sungai Eufrat lalu melewati tempat penampaan besi. Saat Ar Rabi’ menyaksikan api yang menyala-nyala dan gemuruh suara hembusannya, beliau membaca ayat, yang artinya,”Jika neraka itu menyaksikan mereka dari kejauhan, maka mereka mendengarkan gemuruhnya dan suara nyalanya” (Al Furqan [25]:12).

Setelah itu ulama kalangan tabi'in itu pingsan. Cukup lama beliau tidak sadarkan diri, hingga akhirnya datang waktu dhuhur, Ibnu Mas’ud memanggilnya, tapi beliau belum sadar, hingga akhirnya Ibnu Mas’ud berangkat melakukan shalat Dhuhur. Demikian hingga waktu Ashar tiba Ar Rabi’ belum juga sadar. Bahkan saat adzan magrib berkumandang Ar Rabi’ pun masih belum siuman. Baru pada waktu sahur, beliau tersadar, karena dinginnya udara di malam itu. Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah menukil kisah itu dari Tahdzib At Tahdzib Imam Adz Dzahabi (Ta'liq Risalah Al Mustarsyidin, hal. 124).

Kisah di atas menunjukkan betapa pekanya hati para ulama terdahulu, hingga apa yang mereka lihat dan baca dari firman Allah benar-benar merupakan menjadi peringatan yang benar-benar merasuk ke dalam hati.

Demi Ukhuwah Imam Ahmad Jahr-kan Basmalah

IMAM AHMAD BIN HANBAL meskipun berpendapat mengenai sirr-nya (dibaca pelan dan hanya diri sendiri yang dengar) bacaan basmalah dalam shalat. Namun di wilayah tertentu beliau berpendapat,”Dibaca jahr (dengan suara yang bisa didengar jelas oleh orang lain) basmalah jika berada di Madinah”

Ada beberapa penafsiran mengenai pernyataan Imam Ahmad di atas, namun Qadhi Abu Ya’la salah satu ulama madzhab Hanbali berpendapat,”Karena penduduk Madinah saat itu membaca basmalah dengan jahr, maka beliau membacanya jahr untuk persatuan agar mereka mengetahui bahwa beliau membaca basmalah.”

Ibnu Taimiyah juga menyimpulkan bahwa Imam terkadang meninggalkan beberapa perkara sunnah demi terciptanya persatuan dan menghindari perpecahan. Karena menyatukan hati umat lebih agung dalam agama dibanding beberapa perkara sunnah. (Risalah Al Ulfah baina Al Muslimin, hal.47,48)

Ikhtilaf yang Melapangkan

IMAM ABU YUSUF ulama mujtahid madzhab Hanafi suatu saat mengimami shalat Jumat dengan didahului mandi Jumat. Setelah shalat selesai dan para jama'ah bubar ada seorang yang memberi kabar bahwa di sumur yang airnya digunakan beliau mandi ada bangkai tikus. Akhirnya, Imam Abu Yusuf menyampaikan, ”Jika demikian, kita mengambil pendapat saudara-saudara kita ahlul Madinah yang manyebut,’jika air sampai dua qullah maka ia tidak najis”. (Al Inshaf fi Bayani Asbabi Al Khilaf, hal. 110)

Air yang ada di sumur itu najis menurut madzhab Hanafi namun bagi madzhab lainnya tidak, karena jumlahnya lebih dari dua qullah (satu qullah air sama dengan 230,877 liter). Jika tetap berpegang kepada madzhab Hanafi dalam kondisi demikian akan memberatkan, karena perlu mengulang kembali shalat jumat. Dalam kondisi demikian akhirnya Imam Abu Yusuf mengambil pendapat yang lain yang memudahkan. Itulah hikmah adanya perbedaan hasil ijitihad para ulama mujtahid dalam masalah air.

Hal ini juga tidak masuk tattabu’ rukhas (mencari-cari kemudahan) yang dilarang sebagian ulama, karena Imam Abu Yusuf menggunakannya hanya dalam kondisi kesulitan saja sedangkan tattabu’ rukhas sendiri adalah memilih pendapat-pendapat yang meringankan saja tanpa melihat kondisi.*

Melarikan Diri dari Jabatan Hakim

IMAM ABDURRAHMAN BIN HUSAIN AD DIMASYQI merupakan ulama besar Syam pengikut madzhab As Syafi’i. Suatu saat guru dari Al Hafidz Ibnu Asakir ini diminta oleh penguasa untuk menjadi hakim namun beliau menolaknya. Akan tetapi penguasa terus meminta hingga beliau menyampaikan agar diberi kesempatan untuk melaksanakan shalat istikharah terlebih dahulu.

Pada malamnya beliau menghabiskan waktu di masjid untuk melakukan qiyam dan terus-menerus menangis hingga fajar datang. Ketika selesai shalat shubuh  kemudian terbit matahari para utusan penguasa datang untuk meminta kejelasan. Namun Imam Abdurrahman tetap menolak untuk diangkat menjadi hakim dan beliau bersama keluarganya memilih meninggalkan kampung menuju kota Halab.

Mengetahui hal itu, sultan meminta beliau untuk kembali dan tidak mendesak beliau lagi untuk menjadi hakim. Namun sultan meminta kepada Imam Abdurrahman untuk menunjuk orang lain sebagai hakim. Imam Abdurrahman pun memilih Ibnu Al Harastani. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/178)

Nasihat Pencuri kepada Imam Ahmad Sebelum Disiksa

IMAM AHMAD BIN HANBAL saat dikurung oleh penguasa yang hendak menyiksa beliau, beliau sempat menyampaikan bahwa yang beliau takuti bukan hukuman bunuh atau penjara, namun hukuman cambukan. Beliau takut tidak sabar menghadapi hukuman jenis ini.

Namun sebelum menghadap para tukang cambuk, ada tahanan lain yang bernama Abu Haitsam Al Haddad yang menasihatinya. Tahanan ini menyampaikan kepada Imam Ahmad, ”Saya adalah Abu Al Haitsam yang merupakan seorang pencuri, saya telah divonis hukuman cambuk 18 ribu cambukan dan saya sabar dengan cambukan itu meskipun karena perbutan maksiat dan untuk tujuan dunia. Maka Anda bersabarlah dalam ketaatan karena dien.”

Karena nasihat berharga itulah, Imam Ahmad sering mendoakan dan menyebut-nyebut  Abu Haitsam, hingga putra beliau Abdullah menanyakan hal itu. Imam Ahmad pun menceritakan kisah di atas. (lihat, Al Bidayah wa An Nihayah, 10/234)

Ingatan Imam Al Bukhari dan Obat Baladzur

IMAM AL BUKHARI merupakan seorang hafidz Al Hadits yang terkenal memiliki ingatan yang sangat kuat. Suatu saat sekretaris beliau mendengar bahwa Imam Al Bukhari mengkonsumsi baladzur, yakni obat yang saat itu yang dinilai berkhasiat untuk menguatkan hafalan namun efeknya amat membahayakan manusia.

Akhirnya si sekretaris menanyakan kepada Imam Al Bukhari apakah ada obat yang menguatkan hafalan. Imam Al Bukhari menegaskan bahwa beliau tidak tahu ada obat yang menguatkan hafalan dan beliau menyatakan,”Namun, bagiku yang paling bermanfaat untuk menguatkan hafalan adalah terus-menerus mengulangi”. (lihat, Al Hadyu As Sari, hal. 456)

Tangan Cidera Setelah Dicium Sultan

IMAM AR RAFI’I suatu saat mengunjungi sultan Khawarzmi Syah setelah tiba dari medan pertempuran. Ulama tarjih madzhab As Syafi’i tersebut menyampaikan,”Saya telah mendengar bahwa Anda memerangi orang-orang kafir dengan tangan Anda sendiri, saya ke sini untuk mencium tangan Anda itu.”

Namun Khawarizmi Syah menjawab,”Tapi saya yang ingin mencium tangan Anda”, dan akhirnya Khawarzmi  mencium tangan Imam Ar Rafi’i dan mereka berdua bercakap-cakap lantas kemudian berpisah.

Namun tidak lama setelah Imam Ar Rafi’i pergi beliau terjatuh dari kendaraan dan tangan beliau yang telah dicium oleh Khawarzmi Syah cidera. Imam Ar Rafi’i pun berkata,”Subhanallah, sultan telah mencium tanganku hingga aku merasa ada kebesarkan dalam diriku, maka aku dihukum dengan hukuman ini.” (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/284)

Demikianlah kepekaan ulama terhadap amalan hati, hingga musibah yang menimpa dikaitkan dengan amalan hatinya.

Tempuh Jalan Haram Tak Menambah Jatah Rizki

IMAM IBNU SIRIN seorang ulama besar dari kalangan tabi’in jika melepas kepergian seseorang beliau selalu memberikan pesan,”Takutlah kepada Allah dan carilah apa yang ditetapkan Allah kepadamu dari yang halal. Sesungguhnya jika engkau mengambil dari yang diharamkan maka itu tidak menambah apa yang ditetapkan Allah untukmu”. (Thabaqat Ibnu Sa’d, 8/296)

Nasihat di atas juga merupakan nasihat bagi kita ketika hendak bekerja agar tetap beristiqamah dalam menempuh jalan halal.

Menangisi Popularitas

IMAM AL BUHLUL BIN RASYID AL QAIRAWANI merupakan salah satu ulama besar yang menjadi rujukan madzhab Malikiyah yang juga terkenal dengan sifat zuhud dan wara’nya.

Dahyun bin Rasyid salah satu sahabat beliau mengkisahkan, bahwa waktu beliau berada di Madinah ada seorang laki-laki yang mencari orang dari Afrika penduduk Qairawan. Akhirnya beliau menemui laki-laki itu. Ternyata laki-laki tersebut menitipkan sebuah buku untuk diserahkan kepada Imam Al Buhlul yang juga merupakan penduduk Qairawan.

Sesampainya di Qairawan Dahyun bin Rasyid menyerakan buku itu kepada Imam Al Buhlul, kemudian beliau pun membukannya. Dalam buku ada pesan yang ditulis oleh seorang wanita dari Samarkand (Asia Tengah),”Saya adalah perempuan yang ahli maksiyat, kemudian saya bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla. Dan saya bertanya mengenai ahli ibadah di muka bumi ini, saya memperoleh 4 nama, salah satunya adalah Buhlul di Afrika. Demi Allah, saya meminta kepada Anda wahai Buhlul untuk berdoa agar Allah melanggengkan apa yang telah dianugerahkan kepada saya.”

Buku itupun terjatuh dari tangan Al Buhlul, dan beliau menangis. Beliau masih terus menangis hingga buku itu basah dengan airmatanya.

Saat itu Dahyun menyampaikan,”Wahai  Buhlul, Anda dikenal sampai Samarkand”. Imam Buhlul menjawab,”Kecelakaan bagimu jika Allah tidak menutupi dosamu di hari kiamat!”. (lihat, Tartib Al Madarik, 3/89)

Imam Al Buhlul tidak bangga dengan popularitasnya sebaliknya beliau amat takut dengan hal itu, karena hal itu menyebabkan hati terkecoh, hingga bisa sampai  memberi penilaian terhadap diri sendiri bahwa dirinya adalah ahli ibadah yang memiliki kedudukan di hadapan Allah. Sebab itu beliau sampai menangis tatkala mengetahui bahwa orang lain menilai beliau sebagai ahli ibadah.

Nidzam Al Mulk dan Pejabat Rumah Tangganya

WAZIR NIDZAM AL MULK adalah menteri Dinasti Bani Saljuk yang amat disegani. Di masa beliau sebagian penguasa Romawi pun membayar jizyah. Namun, menteri yang mendirikan madrasah An Nidzamiyah ini dikenal sebagai pejabat yang lemah lembut terhadap rakyat dan bawahannya.

Ibnu Makula mengisahkan bahwa suatu saat pejabat kepala rumah tangga yang bertanggung jawab akan keadaan istana Nidzam Al Mulk bercerita. Kala itu, angin bertiup amat kencang hingga debu-debu menempel di permadani Nidzam Al Mulk. Si pejabat pun mencari pembantu untuk membersihkannya, namun ia tidak menemukan seorang pun dari mereka, padahal jumlah mereka mencapai 40 orang. Keadaan itu membuat dunia menjadi “gelap” di hadapannya. Pejabat kepala rumah tangga itu pun marah besar dan mengancam akan menghukum para pembantunya.

Melihat hal itu, Nidzam Al Mulk menyampaikan,”Mungkin mereka berhalangan hingga tidak bisa hadir bersama kita. Mereka adalah manusia seperti kita juga yang merasakan sakit seperti kita merasakannya dan membutuhkan apa yang kita butuhkan. Kita telah diberi kelebihan atas mereka, maka janganlah kita mensyukurinya dengan cara menghukum mereka hanya karena kesalahan kecil”. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 4/315)

Perampok pun Tidak Bisa Mencuri Ilmu Lagi

IMAM HUJJATUL ISLAM AL GHAZALI pernah dihadang oleh sekelompok perampok saat melakukan perjalanan dan mereka mengambil seluruh bawaan beliau. Namun ada hal yang penting dari barang yang dirampas oleh mereka yakni beberapa catatan ilmu, hingga Imam Al Ghazali mengejar kelompok itu. Ketika para perampok mengetahui bahwa mereka dikejar, pemimpin mereka mengatakan,”Kembalilah, jika tidak, engkau akan celaka!”

Imam Al Ghazali pun menjawab,”Aku hanya ingin kalian mengembalikan beberapa catatanku saja, hal itu tidak bermanfaat bagi kalian.”

Kepala perampok itu pun mengatakan,”Di mana catatanmu itu?” Imam Al Ghazali pun menjawab,” Beberapa buku di kantung itu, aku telah melakukan perjalanan untuk menyimak dan menulis ilmunya.”

Kepala perampok itu pun tertawa,”Bagaimana engkau mengaku mengetahui ilmunya? Sedangkan kami telah mengambilnya darimu dan kini engkau tidak memiliki ilmu lagi.” Kamudian ia memerintahkan anak buahnya untuk menyerahkan buku-buku itu.

Setelah terjadi peristiwa itu, Imam Al Ghazali mengatakan,”Peristiwa ini merupakan nasihat dari Allah untukku, maka ketika aku sampai di kota Thus aku meluangkan diri selama 3 tahun hingga hafal seluruh catatanku itu, sehingga jika aku dirampok lagi aku tidak kehilangan ilmu.” (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 3/103)

"Apakah di Dunia Ini Hanya Ada Dinarmu Saja?"

MUHAMMAD BIN SA'D, adalah seorang ulama zuhud yang memiliki julukan Uqdah. Saat itu beberapa dinar jatuh dari ulama ini persis di gerbang rumah Abu Dar Al Khazzar. Untuk mencarinya, beliau mengajak seorang pengayak tepung. Akhirnya, beliau menemukannya, akan tetapi saat itu hatinya berkata,”Apakah di dunia ini hanya ada dinarmu saja?”. Hingga akhirnya Uqdah memutuskan meninggalkannya dan berkata kepada si pengayak,”Itu adalah tanggunganmu.” (Tarikh Baghdad,5/15)

Sebab Putusnya Kaki Az Zamakhsyari

IMAM MUHAMMAD BIN UMAR AL KHAWARIZMI AZ ZAMAKHSYARI adalah seorang ulama besar bahasa Arab. Ulama ini dikenal sebagai ulama yang hanya memiliki satu kaki dan berjalan dengan bantuan kruk kayu. Mengenai kisah putusnya kaki beliau Ibnu Khalikan menceritakan, bahwa beliau mendengar dari sejumlah ulama bahwa kaki Az Zamakhsyari putus saat melakukan perjalanan mencari ilmu di beberapa kota Khawarzma karena salju dan hawa dingin yang menusuk di wilayah itu.

Ibnu Khalikan menyampaikan,”Dan salju serta cuaca dingin banyak yang menyebabkan anggota tubuh putus di negeri-negeri tersebut, khususnya Khawarizma. Aku telah menyaksikan sendiri siapa yang anggota tubuhnya putus karena hal ini, hingga orang yang tidak mengerti tidak perlu terheran-heran.” (Wafayat Al A’yan, 2/82)

Ulama Zuhud Kok Gemuk?

IMAM WAQI’ BIN AL JARAH adalah seorang ulama zuhud dari Iraq. Ulama mujtahid yang berfatwa dengan pendapat Imam Abu Hanifah ini rajin berpuasa dan qiyam lail. Suatu saat beliau mengunjungi Makkah dan kala itu tubuh beliau tambun, hingga Fudhail bin Iyadh bertanya,”Bagaimana anda gemuk, sedangkan anda adalah “rahib” Irak?”

Imam Waqi’ pun menjawab,”Ini karena saya bahagia dengan Islam.” Memperoleh jawaban demikian, Fudhail bin Iyadh pun diam. (lihat, Tadzkirah Al Huffadz, 1/306-309)

Jadi, bukan makanan yang membuat Imam Waqi' menjadi gemuk seperti yang dialami manusia pada umumnya, namun karena amat besarnya kebahagiaan beliau dengan nikmat Islam.

Cara Al Fath Belajar Saat Menjadi Menteri

AL FATH BIN AL KHAQAN walau sudah menjadi menteri di masa kekhalifahan Abbasiyah, khususnya di masa pemerintahan Al Mutawakkil, bukan berarti tidak ada waktu untuk belajar bagi beliau. Sastrawan ini memiliki tips khusus agar bisa tetap belajar meskipun ia disibukkan dengan tugasnya sebagai pembanti khalifah. Ia selalu menyimpan buku di balik lengan bajunya. Ketika ia izin untuk buang air atau shalat, maka ia keluarkan buku tersebut dan ia baca hingga sampai di tempat tujuan. Hal yang sama beliau lakukan saat kembali, terus membaca hingga menempati tempat duduknya (Mu’jam Al Udaba`, 16/78).

Tidaklah heran jika Abu Al ’Abbas Al Mubarrid mengatakan, bahwa ia belum pernah menjumpai orang yang amat rakus terhadap ilmu kecuali tiga orang. Salah satunya adalah Fath bin Al Khaqan, yang wafat pada tahun 247 H ini. (Taqyid Al Ilmi, hal. 139).

“Saya adalah Hamba Rabb Pengabul Doa Orang Terjepit”

AL HAFIDZ IBNU KATSIR menukil sebuah kisah berkenaan dengan surat An Naml ayat 62 yang artinya,”Bukankah Dia (Allah) yang menjawab doa orang yang berada dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya.”

Al Hafidz Ibnu Katsir menukil dari Al Hafidz Ibnu Asakir, bahwa beliau mengisahkan, ada seorang laki-laki yang menyewakan baghalnya dari Damaskus menuju Az Zabadani. Suatu saat seorang laki-laki menyewa baghalnya melalui jalan yang tidak biasa digunakan manusia. Menurut laki-laki itu melalaui jalan itu jarak yang ditempuh lebih dekat. Pemilik baghal pun menolak dan menyatakan bahwa ia tidak pernah melalui jalan itu. Namun si penyewa tetap bersikeras bahwa dengan melalui jalan itu jarak yang ditempuh lebih dekat dan akhirnya mereka berdua melalui jalan tersebut.

Akhirnya sampailah keduanya di depan jurang dalam yang di dalamnya banyak mayat. Si penyewa baghal pun menyuruh berhenti pemilik baghal dengan menghunus sebulah pisau. Pemilik baghal pun lari untuk menyelamatkan diri, namun si penyewa mengejarnya. “Ambil baghal itu untukmu!” Pemilik baghal berkata, namun orang yang mengejarnya mengatakan,”Ia memang milikku dan aku ingin membunuhmu!” Si pemilik baghal berusaha mengingatkan dosa kepada laki-laki yang mengejarnya namun tidak ada hasilnya. Akhirnya si pemilik baghal pun menyerah.

Namun sebelum dibunuh si pemilik baghal meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Laki-laki yang hendak membunuhnya pun mengizinkan, “Kamu boleh mengerjakannya cepat lakukan!”

Karena katakutannya, saat shalat si pemilik baghal tidak ingat surat-surat Al Qur`an yang telah ia hafal hingga ia hanya berdiri dengan kebingungan. Laki-laki yang hendak membunuhnya pun mengatakan,”Ayo cepat!”

Tiba-tiba Allah menggerakkan lisan si pemilik baghal hingga akhirnya ia mengucap ayat 62 dari surat An Naml yang artinya,”Bukankah Dia (Allah) yang menjawab doa orang yang berada dalam kesulitan apa bila dia berdoa kepada-Nya.”

Setelah itu si pemilik baghal melihat seorang penunggang kuda di balik jurang yang membawa busur panah. Kemudian laki-laki melontarkan panah ke arah orang yang menghunus pisau, hingga tepat mengenai jantungnya, hingga ia tewas seketika.

Si pemilik baghal pun bertanya kepada pelontar panah,”Demi Allah siapa Anda?” Ia pun menjawab,”Saya adalah hamba Dia yang menjawab doa orang yang berada dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya.” (Tafsir Al Qur`an Al Adzim, 3/371)

Kisah Pena 1 Dinar Al Bikandi

AL HAFIDZ  MUHAMMAD BIN ABDISSALAM AL BIKANDI adalah salah satu guru Imam Al Bukhari. Suatu saat beliau menghadiri majelis imla` hadits. Saat itu syaikh di majelis tersebut mendiktekan hadits namun tiba-tiba pena Al Bikandi patah. Khawatir tidak ada kesempatan lagi untuk mencatat, beliau akhirnya mencari cara agar segera memperoleh pena. Tak lama kemudian beliau berteriak, ”Saya mau beli pena dengan harga satu dinar!” Saat itu, banyak pena disodorkan kepada beliau. (Umdah Al Qari, 1/165).

Kini, satu dinar emas, kalau dikurskan ke rupiah kurang lebih senilai 2,1 juta. Al Bikandi rela kehilangan uang sebesar itu, sebenarnya bukan untuk membeli pena, tapi, agar beliau memperoleh kesempatan mencatat hadits. Mereka berdua memilih kehilangan sekeping dinar emas daripada kehilangan kesempatan menulis hadits./Hidayatullah.com

At Thahawi Perlu Izin Qadhi Maliki Sebelum Berfatwa

QADHI ABU UTSMAN AL BAGHDADI meskipun termasuk ulama besar dan hakim madzhab Al Maliki namun beliau sering mengunjungi Imam At Thahawi yang bermadzhab Hanafi untuk menyimak karya-karya beliau.

Suatu saat ketika kedua ulama besar itu bertemu ada seorang datang untuk meminta fatwa. Imam At Thahawi pun menyampaikan kepada orang itu,”Madzhab Qadhi demikian…” Si penanya pun mengatakan kepada Imam At Thahawi,”Saya bukan datang untuk Qadhi, sesungguhnya saya datang kepada Anda.”

Qadhi Abu Utsman pun turut berbicara kepada Imam At Thahawi,”Berilah fatwa dengan pendapatmu.”

Imam At Thahawi pun menjawab,”Sebagaimana telah dizinkan oleh Qadhi, maka silahkan Anda (Qadhi) memberi fatwa kemudian baru saya.”

Dari kisah ini Al Hafidz As Sakhawi  menyampaikan bahwa demikianlah adab Imam At Thahawi dan kelebihan beliau sebagaimana Qadhi Abu Utsman yang mengunjungi beliau juga memiliki adab dan keutamaan.

Kisah ini dinukil Syeikh Muhammad Az Zahid Al Kautsari ulama Kekhalifahan Al Utmani dari At Tibr Al Masbuq karya Al Hafidz As Sakhawi (Al Maqalat Al Kautsari, hal. 348)

Gagap Karena Sisa Susuan Waktu Bayi

IMAM AL HARAMAIN AL JUWAINI faqih mutakalim madzhab As Syafi'i suatu saat mengalami kegagapan saat berdebat, hingga ada yang bertanya kenapa hal itu terjadi, pasalnya peristiwa seperti itu jarang menimpa Imam Al Haramain. Guru Imam Al Ghazali ini pun menjawab,” Hal ini karena sisa dari susuan.” Si penanya mengejar,”Apa masalahnya dengan susuan?”

Imam Al Haramian pun mengisahkan,”Suatu saat ibuku sibuk memasak untuk keluarga, sedangkan aku masih bayi yang menyusu. Saat itu aku menangis dan di rumah kami ada budak wanita tetangga, maka ia langsung menyusuiku sekali atau dua hisapan. Melihat hal itu ayahku menolaknya,’Budak ini bukan milik kita, kita tidak boleh memanfaatkan susunya dan pemiliknya juga belum mengizinkannya.’”

Imam Al Haramian melanjutkan,”Maka ayahku membalikkan dan menguncangkan badanku hingga isi perutku seluruhnya keluar. Dan kegagapan ini sisa dari bekasnya.”

Mengomentari kisah ini Imam Tajuddin As Subki menyatakan,”Betapa hal ini adala perkara yang menakjubkan dimana beliau menghitung hal-hal sedikit yang terjadi di masa beliau bayi yang tidak ada talklif terhadapnya.” (Thabaqat As Syafi'iyah Al Kubra,5/168,169).

Konsekwensi Pertanyaan "Bagaimana Kabarmu?"

IMAM IBNU SIRIN suatu saat bertanya kepada seorang laki-laki,”Bagaimana kabarmu?” Laki-laki itupun balik bertanya,”Bagaimana keadaan orang yang memiliki hutang 500 dirham sedangkan ia juga menanggung nafkah keluarga?”

Ibnu Sirin pun segera masuk rumah dan keluar dengan membawa uang 1000 dirham hingga tidak ada sisa uang di rumah beliau, lalu menyampaikan,” Untuk melunasi hutangmu 500 dan untuk menafkahi keluargamu 500.” (Ihya’ Ulumuddin, 6/1052)

Pertanyaan Ibnu Sirin mengenai keadaan laki-laki itu bukanlah perkataan basa-basi belaka, sehingga ketika mengetahui bahwa ternyata laki-laki itu sedang kesusahan maka beliau langsung mengulurkan bantuan meski berupa harta yang jumlahnya tidak sedikit.



“Para muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya nanti pada hari kiamat.”(HR. Muslim). Tatkala manusia sudah berdesak-desakan dan ketika keringat-keringat manusia sudah membanjiri mereka, bahkan ada yang keringatnya setinggi mulutnya, maka muadzin selamat dari semua itu karena lehernya yang panjang. (Syarh Muslim: 4/333, karya An-Nawawi).




SUMBER



There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter