Tri Wara
Triwara adalah siklus tiga harian dalam pawewaran. Unsurnya ada tiga yaitu Pasah, Beteng, dan Kajeng. Sifat ketiga unsur ini lebih nyata dalam kehidupan kita. Unsur keduniawian lebih dominan karena umumnya baik buruknya masih dapat kita kendalikan asalkan dengan kesungguhan.
- Pasah atau Dora artinya tersisih. Baik untuk dewa-yadnya. Baik untuk mengerjakan hal-hal yang kaitannya dengan masa depan. Tidak baik mengungkit masa lalu, juga mengadili orang berdasarkan masa lampau. Baik untuk merencanakan pekerjaan besar dan penting. Hindari penghamburan waktu yang berharga karena masa yang akan datang sangat tergantung kepada hari ini. Tingkatkan perhatian kepada keluarga dan saudara dekat, tetapi jangan terlalu memanjakan mereka secara langsung. Baik untuk mengadakan sangkep atau rapat. Tidak baik untuk mengupacarai kematian atau memperingati yang sudah meninggal di masa lalu. Baik untuk memupuk kepercayaan masa datang. Baik untuk berniaga yang tidak memerlukan pembayaran kontan, baik untuk mempertimbangkan rekanan baru. Yang lahir pada hari ini sifatnya riang, harapannya besar dan tidak mudah berputus asa, tetapi kurang dapat menjaga kepercayaan.
- Beteng atau Waya artinya makmur. Baik untuk manusa-yadnya. Baik untuk mengerjakan hal-hal yang kaitannya dengan masa lalu, misalnya memperbaiki hubungan yang kurang baik, meluruskan kesalahpahaman dan sebagainya. Baik untuk mencatat dan menganalisa hasil kerja dan situasi diluar. Juga merupakan hari yang baik untuk memperkuat kehandalan diri, belajar dan berdoa. Baik untuk berniaga, utamakan pembayaran kontan dan berhati-hatilah dengan hutang-piutang. Baik untuk mengadakan rapat evaluasi. Tingkatkan perhatian terhadap rekan sekerja serta tetangga. Yang lahir pada hari ini sifatnya tenang, percaya diri dan kasih terhadap orang tua, tetapi kurang dapat menguasai emosi.
- Kajeng atau Biantara artinya tekanan yang tajam. Baik untuk buta-yadnya. Baik untuk mengerjakan hal-hal yang kaitannya dengan masa sekarang, misalnya membenahi dan merapikan perabot dan peralatan. Hindari memulai sesuatu yang baru, apa lagi jika dampaknya akan besar dan menyangkut banyak orang dalam waktu yang lama. Tingkatkan kewaspadaan karena kekuasaan alam dan faktor luar mengancam yang kurang berhati-hati. Jaga kesehatan dan keselamatan. Hindari menghamburkan uang untuk hal yang tidak perlu karena hari ini pertimbangan kita dalam menentukan yang perlu dan tidak perlu, sangat lemah. Yang lahir pada hari ini sifatnya humoris, pemaaf dan tidak mudah marah, tetapi kurang pandai berhemat.
dalam wariga, Pecah lagi hitungan dwi ( dua ), muncul Uku Tambir yang mengadakan Tri Wara : Dora, Waya, dan Byantara. Tri wara dikatakan mempunyai dua karakter ; yang pertama :
- Dora, artinya Jaba sisi,
- Waya, artinya Jaba Tengah,
- Byantara, artinya Jeroan.
Karakter yang kedua :
- Dora, yang berarti Kala; maksudnya, jika kemarahan itu dipendam di dalam diri, maka ekspresi tubuhnya akan terlihat dari luar ( jaba sisi-nya ), seperti : wajah memerah, mau pun gerak tangan secara spontan mengepal dan segera mengayun.
- Waya, yang berarti Manusa; maksudnya, bahwa kesejatian manusia ada di tengah-tengah hati nuraninya ( sarira, di jaba tengah ). Dan Suara Hati Nurani adalah suara kejujuran manusia, di mana jujur itu sebagai Lingga daripada Dewa ( div, sinar ).
- Byantara, yang berarti Dewa; digunakan dalam konteks padewasan.
Di sisi lain, Tri wara terdiri dari Pasah, Beteng, Kajeng, di mana :
- Pasah berarti Dora ; dewanya Sanghyang Cika, urip 9.
- Beteng berarti Waya ; dewanya Sanghyang Wacika, urip 4.
- Kajeng berarti Byantara ; dewanya Sanghyang Manacika, urip 7.
Padewasan dari sudut pandang Tri wara dibilah menjadi tiga bagian, yakni :
- Pasah artinya pisah, juga berarti sah. Dan dina pasah ini digunakan untuk dewasa Dewa yajnya, sebab Pasah juga artinya Alam Langit, sebagai tempat bersemayamnya para Dewa ( Alam Swah ).
- Beteng berarti Apah ( Embang, Bhuwana ), disebut juga Alam Tengah ( Alam Bwah ). Terletak di bawah Langit dan di atas Bumi, dan dina beteng digunakan untuk dewasa Manusa yajnya.
- Kajeng berarti Alam Bhur ( Bhawana ), dikatakan juga sebagai alam berwujud ( alam nyata ). Dina kajeng digunakan sebagai dewasa Bhuta yajnya.
Sumber lain mengatakan, bahwa Tambir caraking tahun ( umur ) yang mengadakan Tri Wara, dalam konteks Tiga Taya. Makna Tambir juga diungkap dengan istilah lain, yakni Tambur ( Bhs. Bali Kuna ) yang berarti pantulan. Maksudnya, oleh karena manusia mengkonsumsi isi alam, maka mendapat pantulan dari alam melalui Tri Taya daripada Alam. Terjadi perpaduan Tri Wara, yakni perpaduan antara kekuatan Alam Langit ( swah ), Alam Tengah ( bwah ) dan Alam Bumi ( bhur ) ini masuk dan berstana di tengah-tengah hati. Makanya Tri wara disebut juga Uriping Ageni.
Berdasarkan bacaan hakekat Alam tersebut hendaknya manusia dapat menyesuaikan dirinya dengan pergeseran pengaruh sifat Alam, terutama terhadap psikisnya ( mental ).
Mengapa ?
karena perkembangan hidup manusia selalu berada di bawah pengaruh Alam semesta.
Demikianlah penjabaran Wariga sebagai metoda warisan dari masa dulu, yang telah dijadikan pegangan di Bali dalam segala bentuk kegiatan. Dewasa dibilah menjadi tiga bagian dari sudut pandang metoda Tri Wara yakni ;
- Dora, ada pada penampilan di luar ( ekspresi tubuh ).
- Waya, ada pada sarira, fisik ( sehat atau lemah )
- Byantara, ada pada isi hati.
Tri Wara mempengaruhi kedudukan dari panca gati, yang sering dikatakan sebagai Parhyanganing Rat kabeh : dora, waya, byantara. Selain itu, Tri Wara ini selalu terkait ( sebagai dasar ) dalam pemilihan padewasan. Contoh, pada hari Pasah Tungleh dan Pasah Paniron, serta hari Kajeng Mahulu dan Kajeng Urukung, merupakan hari ( dewasa ) di mana pengaruh Matahari dan Bulan tersebut dikatakan naik atau turun. Bila naik, berarti matahari atau bulan berpengaruh terhadap Alam Apah. Sedangkan jika turun akan berpengaruh kepada Bumi. Seperti itulah metode yang dipakai untuk menentukan dewasa untuk bercocok tanam. Jika Amretha-nya dominan berpengaruh ke Bumi, seperti dina Kajeng Mahulu, maka cocok untuk tanaman yang menghasilkan umbi-umbian. Sebaliknya, Kajeng Urukung adalah dewasa untuk tanaman yang berbuah.
Pengaruh Tri Wara terhadap Watak Kelahiran
( Prewatekan manut Tri Wara )
Kelahiran pada waktu Pasah ( dora ) di bawah naungan Sanghyang Cika.
Dora dalam arti kala, diatasi oleh Cika, konotasinya cipta dan cita, sebagai pencetus perbuatan yang menjadi kayika. Maksudnya, terlahir pada waktu Dora dikuasai oleh cika, yang menandakan bahwa di masa lalunya dia adalah orang pemalas.
Saran. Sebaiknya dalam kehidupan ini lebih banyak berbuat ( mlaku ) daripada hanya berkutat pada pembuatan rencana kerja saja ( hanya berkelana dengan mengandalkan pikiran, tanpa pernah berbuat ).
Kelahiran pada waktu Beteng ( Waya ) diayomi oleh Sanghyang Wacika.
Kelahirannya dikendalikan oleh watak Waya-nya, artinya pada kehidupan terdahulu seseorang tidak waspada dalam berbicara ; atau dengan kata-kata dia sering menyakiti orang lain – berkata kasar mau pun dengan fitnah. Jadi, dengan kata-kata, seseorang dapat menjadi tertawa, atau marah. Dengan memfitnah atau berkata kasar membuat lawan bicara marah. Ini berarti, secara tidak sadar kita sesungguhnya memasukkan amarah orang lain ke dalam alam bawah sadar. Hal ini dapat menjadi bumerang ( beban psikis ), di mana setiap kali bertemu akan ada ganjalan di dalam diri, atau merasa risih, merasa dihakimi, dan lain sebagainya.
Saran. Waspadalah dalam mengungkapkan isi hati, sehingga tidak menyakiti perasaan orang lain. Ingatlah bahwa wicara itu sejatinya adalah api, karena dapat membakar amarah ; tajam, setajam silet hingga dapat menyayat perasaan kedua belah pihak, baik diri kita mau pun lawan bicara.
Kelahiran pada waktu Kajeng ( Byantara ) dinaungi oleh Sanghyang Manacika.
Byantara diatasi oleh Manacika, artinya pada kehidupan terdahulu seseorang banyak berbuat salah dalam mencapai tujuannya. Hal ini karena ego personalnya yang mendominasi. Watak Kajeng umumnya kurang senang berbasa-basi, dan biasanya langsung menukik kepada persoalan pokok, serta bersikap realita, nyata.
Saran. Latihlah intuisi, karena intuisi ( bahasa hati nurani ) itu adalah kejujuran yang sejati. Setelah melatih intuisi, yakini dan berpeganglah pada kebenaran bahasa kalbu tersebut. Kebiasan memakai ungkapan “ saya pikir “ dirubah menjadi “ saya rasa “, karena sang pikir itu berasal dari Jnyana yang setiap saat mudah berubah. Sedangkan saya rasa itu adalah ungkapan hati ( ajnya ) yang jujur, yang angkat bicara.
Posting Komentar
Posting Komentar