Buleleng Pada Masa Kekuasaan Kolonial Belanda (1846 – 1942 M)
I Gusti Made Rai, Raja X Buleleng
Setelah Buleleng dapat dikuasai, Belanda menunjuk I Gusti Made Rai sebagai Raja Buleleng berikutnya. Pengangkatan ini disetujui oleh para Manca. I Gusti Made Rai adalah putera dari I Gusti Made Kari, keturunan Panji Sakti Arya Den Bukit. I Gusti Made Kari pernah lari ke daerah Kapal Mengwi ketika diserang oleh Raja Ki Gusti Agung Pahang. I Gusti Made Rai beristana di Puri Sukasada.
Sementara itu pasukan ekspedisi Belanda tetap mengejar para pembesar kerajaan terdahulu ke desa Jagaraga. Dipilihnya desa Jagaraga sebagai benteng, karena salah seorang isteri Adipati Agung berasal dari desa Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849 perang Jagaraga. Pasukan ekspedisi Belanda dipimpin oleh Jendral Michiels, Letkol Van Swieten, dan Letkol De Brauw. Perang sehari penuh hingga larut malam. Esoknya 16 April 1949, benteng Jagaraga jatuh. Raja Buleleng, Karangasem, dan Adipati Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir mengungsi ke desa Batur. Mereka ini dikejar oleh laskar Bangli, hingga mengungsi ke Karangasem. Pada tanggal 20 Mei 1849 pasukan Seleparang pimpinan Ki Gusti Gede Rai dan Adipati Agung Ki Gusti Made Jungutan yang memihak Belanda berhasil membunuh raja Buleleng dan Karangasem. Sementara Adipati Agung Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir dapat dikejar dan dibunuh di desa Seraya.
Ki Gusti Ngurah Ketut Jelantik, Raja XI (Terakhir) Buleleng
Ki Gusti Made Rai berkuasa sekitar 3 tahun lamanya. Ia tidak mempunyai kepribadian dalam memimpin kerajaan. Ia sangat gemar berjudi sabung ayam. Karena kegemaran ini, ia mengundurkan diri melepaskan tahta kerajaan. Ia lalu pergi tinggal di desa Panji diiringi oleh para bebotoh. Belanda menunjuk Ki Gusti Ngurah Ketut Jelantik sebagai penggantinya, setelah disetujui para Menteri dan Punggawa. Ki Gusti Ketut Jelantik adalah putera dari I Gusti Putu Kari dari Kubutambahan, keturunan Sri Agung Panji Sakti. Sementara ayahnya Ki Gusti Putu Kari diberi kedudukan sebagai Punggawa di Kubutambahan.
Karena keserakahan Belanda untuk berkuasa penuh di daerah Buleleng, maka disebarkan fitnah terhadap Raja Ki Gusti Ngurah Ketut Jelantik. Fitnah ini membuat kedudukan raja sangat terpojok, sehingga Belanda memiliki alasan kuat membuang raja. Ki Gusti Ngurah Ketut Jelantik diberi hukuman selong dibuang ke Padang Sumatera. Setelah itu Belanda tidak lagi menunjukkan seorang raja, hanya Ki Gusti Bagus Jelantik dijadikan sebagai patih untuk memimpin orang-orang Bali di Buleleng.
Tulisan yang bagus cukup memberi pengetahuan. Apakah tulisan ini kopi dari buleleng.com, karena saya sudah baca di web site tersebut. mestinya sumbernya disebutkan.
BalasHapus