Pada masa awal Islam, rasulullah SAW memang melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga aqidah umat Islam. Rasulullah SAW hawatir kalau ziarah kubur diperbolehkan, umat Islam akan menjadi penyembah kuburan. Seteleh akidah umat Islam kuat dan tidak ada kekhawatian untuk berbuat syirik, Rasulullah SAW membolehkan pra sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur. Karena ziarah kubur dapat membantu umat Islam untuk mengingat saat kematiaanya.
Buraidah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang Muhammad tetah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu kepada akhirat.” (HR. At-Tirmidzi)
Dengan adanya hadits ini maka ziarah kubur itu hukumnya baoleh bagi laki-laki dan perempuan. Namun demikian bagaimana dengan hadits Nabi SAW yang secara tegas menyatakan larangan perempuan berziarah kubur?
Abu Hurairah meriwayatkan Rasulullah SAW melaknat wanita yang berziarah kubur. (HR Ahmad bin Hanbal)
Menyikapi hadits ini ulama menyatakan bahwa larangan itu telah dicabut menjadi sebuah kebolehan berziarah baik laki-laki maupun perempuan. Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi disebutkan:
Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu diucapkan sebelum Nabi SAW membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah SAW membolehkannya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu. (Sunan At-TIrmidzi, [976]
Ibnu Hajar Al-Haitami pernah ditanya tentang ziarah ke amakam para wali, beliau mengatakan:
Beliau ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula dengan perjalanan ke makam mereka. (Al-Fatawi al-Kubra al-Fiqhiyah, juz II, hal 24).
Ketika berziarah seseorang dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an atau lainya. Ma’qil bin Yasar meriwayatkan Rasul SAW bersabda: Bacalah surat Yasin pada orang-orang mati di antara kamu. (HR Abu Daud)
Maka, Ziarah kubur itu memang dianjurkan dalam agama Islam bagi laki-laki dan perempuan, sebab didalamnya terkandung manfaat yang sangat besar. Baik bagi orang yang telah meninggal dunia berupa hadia pahala bacaan Al-Qur’an, atau pun bagi orang yang berziarah itu sendiri, yakni mengingatkan manusia akan kematian yang pasti akan menjemputnya.
Catatan KH. Muhyiddin Abdusshomad, Ketua PCNU Jember, Jawa Timur
Memang, jika membaca sejarah, tradisi ziarah telah menjadi salah satu bentuk ungkapan agama rakyat (popular religion). Ini bukan monopoli agama tertentu (baca: Islam). Pemeluk Buddha, misalnya, kerap berziarah ke tempat kelahiran Siddharta di Kapilavastu, tempat Siddharta mencapai pencerahan rohani di Bodh Gaya, tempat Siddharta pertama kali menyampaikan ajaran di Benares, dan tempat Siddharta mencapai parinirwana di Kusinagara.
Demikian pula umat Katholik. Ziarah umumnya mereka lakukan dengan mengunjungi tempat-tempat suci, seperti kelahiran Yesus di Nazaret, Taman Getzemani, Bukit Golgota, Basilika Santo Petrus, Lourdes, Taize, Gua Maria (di Pohsarang, Kediri, dan Sendangsono). Ziarah juga dilakukan ke Ise bagi umat Shinto di Jepang, ke Haika bagi umat Bahai, dan ke Sungai Gangga bagi umat Hindu. Bahkan, para penganut komunis yang mengaku atheis, juga melakukan ziarah ke Musoleum Lenin di Moskow.
Dalam konteks ini, ziarah mengandung dua makna. Makna pertama dan yang fundamental adalah “berkunjung ke makam seseorang yang telah meninggal”. Sedangkan makna lain menunjuk pada “kunjungan ke masjid-masjid atau tempat-tempat suci”. Tempat-tempat suci itu biasanya dikaitkan dengan petilasan para wali atau orang-orang yang dianggap suci.
Pelaku ziarah menganggap ini adalah upaya mengambil manfaat dari kekuatan dan kemuliaan rohani orang-orang yang dianggap dekat dengan Allah. Meski praktik ini mendapat kritik keras dari sebagian Muslim, namun pelaku ziarah seolah tidak ambil pusing. Sebabnya barangkali karena pemikir Islam yang membela praktik ziarah tidak sedikit. Al-Ghazali, misalnya, berpendapat bahwa ziarah dapat mengantarkan seseorang untuk memiliki sikap penyerahan diri. Ibn Al-Arabi, yang berjuluk Syaikh al-Akbar dalam tradisi sufi, juga sangat gemar berkhalwat di makam-makam demi laku spiritual.
Karena itu, melenyapkan praktik ziarah tidak semudah membalik telapak tangan. Bagi sebagian Muslim Indonesia, ziarah bahkan menjadi bagian integral dari amaliah rohani yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap barakah dan karamah. Bahkan, dibanding umat Islam di negara lain, Muslim Indonesia memiliki tempat-tempat keramat paling banyak, dengan beragam tradisi yang acapkali tidak diketahui dari mana sumber rujukannya.
Meluasnya pengaruh globalisasi yang ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi, ternyata tidak menyurutkan tradisi ziarah. Jumlah pelaku ziarah di era serba digital ini tidak berkurang, tetapi justru meningkat. Terlebih, setelah muncul usaha-usaha komersil dalam bidang pelayanan transportasi dan akomodasi. Bermunculanlah makam-makam keramat baru yang dijadikan obyek ziarah.
Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan. Ziarah memang tidak dilarang, bahkan dianjurkan. Tetapi ketika tradisi ziarah sudah berubah menjadi praktik pemujaan terhadap makam-makam, tentu ini tidak boleh dibiarkan. Jika sampai umat Islam ini terjerumus dalam praktik keagamaan menyimpang yang berbau syirik, dosanya tidak akan diampuni oleh Allah. Kita tentu tidak ingin umat Islam mengalami nasib demikian.
Karenanya, dengan segenap daya, kita harus memurnikan tauhid, tanpa campuran sinkretisme. Pesan Islam jangan sampai ternoda oleh pengaruh-pengaruh heterogen dari luar. Masih banyak sarana bisa kita pakai untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bukankah sebagai manusia yang mengaku beriman, kita tidak meragukan sifat rahman dan rahim Allah yang dilimpahkan bagi setiap hamba-Nya yang berkenan meminta melalui doa-doa.
Mari menumpahkan keluh kesah hanya kepada Allah, tanpa melalui makam-makam keramat, punden-punden, dan pedanyangan di desa-desa yang itu justru akan menyebabkan akidah kita rusak.
M. Husnaini, Pendidik di PP Al-Basyir Takerharjo Solokuro Lamongan
Tradisi Ziarah Nabi Hud AS
Di masa Syekh Abdullah Ba ‘Abbad abad 7 H, ziarah Hud setiap tahunnya diadakan setelah selesai panen kurma. Rombongan beliau pimpin langsung. Kemudian pada masa Sayyid Syekh Abu Bakar bin Salim Al Alawi (w 992 H) musim ziarah Hud ditradisikan setiap tahunnya pada bulan Sya’ban.
Waktu Ziarah Hud ‘alaihis salam merupakan hari libur tahunan selama 8 hari bagi para pekerja dan petani. Biasanya, jauh-jauh hari, sebelum datangnya waktu ziarah, mulai Jumadil Tsani banyak hal yang dilakukan untuk persiapan berangkat ziarah. Di antaranya, mengutus para motivator ke masjid-masjid, menjelaskan pemberangkatan ziarah dan mengulas tentang sejarah Nabi Hud ‘alaihis salam. Hal ini dilakukan untuk memberi motivasi pada masyarakat umum tentang pentingnya ziarah.
Tahwidah adalah lantunan pada waktu membaca syair-syair yang memberi motivasi untuk berziarah Hud AS. Biasanya dilakukan setelah acara maulid pada hari Rabu akhir bulan Rajab.
Setelah selesai, jama’ah membentuk barisan. Setiap baris terdiri dari 20 hingga 50 orang, dipimpin oleh seorang nassyad (pemimpin pelantun suara). Mereka melantunkan syair-syair mengikuti bacaan nassyad, seperti kalimat ‘ya Hud ya Nabiullah.’ Beberapa hari sebelum ziarah, para pekerja, khususnya keluarga Ba ‘Abbad, berangkat terlebih dahulu ke tempat ziarah, untuk memperbaiki tempat yang rusak, seperti masjid, rumah dan jalanan.
Tanggal 27 Rajab, peziarah diklasifikasikan dalam beberapa rombongan. Setiap rombongan memiliki ketua. Tugas ketua antara lain menertibkan dan membagi tugas pada setiap anggota rombongan.
Setelah semuanya siap, mereka berangkat ke lokasi Makam Nabi Hud ‘alaihis salam. Masyarakat Seiyun, Shibam dan kawasan barat Shibam berangkat pada tanggal 4 atau 5 Sya’ban. Sedangkan penduduk Tarim dan kawasan timur Tarim berangkat pada tanggal 7 atau 9 Sya’ban.
Sebelum berangkat, masing-masing peziarah mengadakan kesepakatan dengan pemilik unta, tentang ongkos sewa pulang pergi. Namun sebelumnya, unta dibawa ke tempat lapangan penawaran ongkos tunggang yang letaknya di Tarim. Unta-unta, oleh pemiliknya dilatih untuk mampu lari kekencang-kencangnya. Masing-masing unta yang akan ditunggangi, pelananya dihias dengan seni dan hiasan yang berbeda satu sama lainnya. Kemudian peziarah berangkat secara berkelompok. Setiap kelompok memiliki penjaga yang dipilih dari sukunya masing-masing. Rombongan tidak boleh berjalan kecuali dengan penjaganya.
Di tengah perjalanan menuju makam Nabi Hud, banyak hal-hal yang dilakukan para peziarah. Di antaranya ziarah ke makam-makam yang ada di sepanjang perjalanan. Mereka mengumandangkan syair-syair yang mengandung makna tawasul kepada para arwah. Juga ketika rombongan melewati kota dan desa, peziarah menyuarakan julukannya. Mengingat setiap tempat kota dan desa di Hadhramaut ada julukannya masing-masing.
Di Syi’ib Hud (lembah kecil Hud), dibangun tempat-tempat sesuai kebutuhan peziarah selama di sana, berupa rumah, masjid dan pasar. Setiap kabilah memiliki tempat tinggal masing-masing yang dibangun seizin keluarga besar Ba ‘Abbad. Sebelum ziarah ke makam Nabi Hud ‘alaihis salam, semua peziarah mandi di sungai, dipimpin oleh ketua sukunya (Munshib, Habib atau Syekh). Setelah mandi, peziarah berebutan ke sisi ketuanya, untuk minum air sungai yang diambil dengan tangan ketua. Setelah mandi dan minum, mereka melaksanakan shalat sunnah wudlu’ dua rakaat di Hashah Umar, yaitu tempat di pinggir sungai yang biasa ditempati shalat oleh para peziarah sehabis mandi di sungai.
Setelah shalat sunnah wudlu’, mulailah mereka beriringan menuju makam Nabi Hud ‘alaihis salam. Di tempat antara makam Nabi Hud ‘alaihis salam dan sungai, mereka berhenti sejenak di sumur Taslimah. Dengan dipimpin munshib, peziarah mengumandangkan salam kepada arwah Rasul dan Nabi serta salam kepada para Malaikat. Setelah selesai, peziarah melanjutkan perjalanannya ke makam Hud ‘alaihis salam. Sesampai di sana, dalam posisi berdiri di depan makam Nabi Hud, mereka mengumandangkan salam kepada para arwah Rasul, arwah Nabi dan Malaikat. Kemudian peziarah duduk membaca surat Hud dan ditutup dengan membaca Surat al-Fatihah. Setelah selesai, semuanya turun ke tempat naqah, yaitu tempat yang terletak di bawah makam nabi Hud. Mereka membaca maulid (sejarah kelahiran dan kehidupan Nabi Muhammad SAW) dan mendengarkan mau’idzah hasanah. Setelah itu, ritual ziarah selesai dan ditutup dengan membaca Surat al-Fatihah.
Ziarah Hud dilakukan selama empat hari. Setiap harinya, dua kali pagi dan sore, dengan cara yang sama seperti di atas. Hari ke empat tanggal 11 Sya’ban adalah hari penutup (waqfah). Ziarah penutup khusus dipimpin oleh munsib (ketua Kabilah) dari keluarga Syekh Abu Bakar bin Salim.
Di sela-sela ziarah, malam harinya, peziarah menampilkan pertunjukannya. Merka juga saling bersilaturrahim satu sama lainnya. Setelah aktifitas ziarah selesai, para peziarah bergegas pulang ke daerahnya masing dengan tertib. Dimulai dari rombongan Keluarga Alawi, Keluarga Seiyun dan daerah barat Seiyun. Mereka berangkat pulang setelah shalat Ashar tanggal 11 Sya’ban. Sedangkan penduduk Tarim pulang esok harinya pada tanggal 12 Sya’ban. Keluarga bin Syihab dan Syeh Abu Bakar bin Salim pulang tanggal 15 Sya’ban, karena tanggal 14 Sya’ban (malam nisfu sya’ban) mereka membaca doa Sya’ban di makam Nabi Hud ‘alaihis salam.
Saat pulang, para peziarah biasanya membawa oleh-oleh untuk keluarga dan tetangganya. Ada yang membagikan sisa bekal, ada pula yang membeli oleh-oleh di tengah perjalanan. Juga tak lupa, oleh-oleh untuk anak kecil yang berupa mainan bangunan, unta, himar (keledai, red) dan baghal (peranakan himar dan keledai, red) yang terbuat dari tembikar.
Ziarah ke makam Walisongo menjelang datangnya bulan Ramadhan ini sudah menjadi tradisi kami sejak muda. Dengan jumlah jamaah yang kecil ziarah kami lebih khusyuk. Tidak terburu-buru, katanya.
Dari Sunan Ampel akan melanjutkan ke Kota Gresik yaitu ke makam Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri. Selajutnya bergerak ke utara ke Sunan Drajat di Lamongan dan Sunan Bonang di Tuban. Dari wilayah Jawa Timur akan diteruskan ke Sunan Muria, Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus, ketiganya di Jawa Tengah. Terakhir ke Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat.
Biasanya akan ditambah ke makam Gus Dur di Jombang, Syekh Jumadil Qubro di Mojokerto, KH Abdul Hamid di Pasuruan, Syekh Kholil di Bangkalan.
Bagi Kiai Rifai dari Desa Pagerwojo, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ziarah ke makam Walisongo merupakan tradisi yang baik untuk lebih memantapkan ibadah puasa Ramadhan sebagai perjuangan melawan hawa nafsu. Dengan berziarah dan berdoa di makam Walisongo, kita jadi ingat bahwa kita akan mati. Sebagai wujud terima kasih atas perjuangan mereka yang menyiarkan Islam di Jawa. Kalau tak ada perjuangan mereka, mungkin kita tidak menjadi muslim, katanya. Dia memimpin rombongan dua bus atau sekitar 80 orang.
Bagi Nur Latifah, asal Dukuh Kupang, Kota Surabaya, kelompok khatimil quran mereka sering berziarah ke makam Walisongo. Ziarah secara khusus di bulan Syaban ini disertai harapan agar nanti pada bulan suci Ramadhan bisa khusyu menjalani ibadah puasa dan lainnya. Intinya kami pada Ramadhan ingin fokus melaksanakan ibadah puasa, katanya.
Tarwiyah, peziarah asal Krian, Kabupaten Sidoarjo menuturkan, selain bulan Syaban biasanya dirinya bersama keolompok pengajiannya juga tiap Maulid Nabi pasti ikut berziarah ke makam Malik Ibrahim. Ini sudah tradisi berzi arah bertepatan dengan Maulid NabiMuhammad SAW. Ya saya ikut mengaji semaan Al Quran juga haul Syekh Maulana Malik Ibrahim, tutur Tarwiyah.
Harus antre Pengurus Kompleks Makam Wisata Ziarah Syekh Maulana Malik Ibrahim, Salim menjelaskan, rata-rata pengunjung berkelompok mencapai 100 bus per hari. Jika satu bis isi 50 orang rata-rata di bulan Syaban ada 5.000 pengunjung yang datang. Itu belum termasuk yang datang dengan kendaraan pribadi atau angkutan umum, tuturnya.
Pada tahun 2010 jumlah pengunjung mencapai 1.365.000 pengunjung lokal dan 400.000 pengunjung manca negara. Angka itu naik sekitar 15 persen dari tahun sebelumnya, katanya.
Dia menuturkan, pengunjung wisata ziarah makam akan ramai pada bulan Muharam, Rabiul Awal, dan Sa'ban kalender Hijriyah. Tetapi pada bulan puasa justru agak sepi. Kalau pun ada kebanyakan peziarah lokal, tuturnya.
Meningkatnya jumlah peziarah menjelang Ramadhan, membuat daerah sekitar makam Walisongo hidup selama 24 jam. Karena peziarah itu datAng dan perginya tidak m engenal batasan waktu. Keramaian pengunjung di Makam Maulana Malik Ibrahim terlihat dari terminal parkir di Jalan Pahlawan yang penuh dan pengunjung yang datang pergi bergantian di kompleks makam. Hal yang sama terlihat di kompleks wisata ziarah makam Sun an Giri di Sekarkurung.
Petugas di kompleks makam Sunan Giri, Chandra menuturkan pada Senin petang ada 65 bus rombongan dari Situbondo. Sebelumnya saat Nisfu Syaban hari Minggu lalu, sini penuh pengunjung. Pelawak dan pembawa acara televise Tukul Arwana pun harus antre masuk ke makam Sunan Giri, tuturnya.
Momentum tersebut merupakan berkah bagi tukang ojek dan kusir dokar di terminal wisata ziarah makam Sunan Giri. Hanya tukang ojek yang mengenakan rompi paguyuban ojek Sunan Giri dan dokar yang ada tuli san dokar wisata Sunan Giri yang bisa menarik penumpang. Tarif ojek Rp 2.000 per orang sekali jalan, satu sepeda motor diisi dua orang penumpang. Tarif dokar (kereta kuda) Rp 3.000 sekali jalan. Satu dokar diisi lima orang.
Ziarah kubur adalah sesuatu y ang juga dikerjakan Rasulullah. Tujuannya bukan untuk meminta sesuatu kepada ahli kubur melainkan untuk mendoakan mereka. Merefleksi diri perjuangan mereka. Merefleksi diri bahwa kita juga akan mati. Ini tradisi yang baik. Dan menurut Hadits riawayat Musl im, menciptakan tradisi yang baik itu mendapat pahala, kata Ny Hastuti, seorang guru agama di Surabaya
Tradisi Ziarah Kubur Pasca Idul Fithri Makam Loang Baloq Lombok
Hari raya ‘Idul Fithri adalah hari yang selalu dinanti-nanti kaum muslimin. Tak ada satu pun di antara kaum muslimin yang ingin kehilangan moment berharga tersebut. Apalagi di negeri kita, selain memeriahkan Idul Fithri atau lebaran, tidak sedikit pula yang berangkat mudik ke kampung halaman. Di antara alasan mudik adalah untuk mengunjungi kerabat dan saling bersilaturahmi. Dan yang sudah menjadi tradisi kita yang sudah menjadi budaya di masyarakat kita adalah tradisi Sungkeman alias salam-salaman dan bermaaf-maafan, yaitu mengunjungi dari rumah-kerumah tetangga dan sanak keluarga yang berada ditempat yang jauh dari kampung halaman.
Perlu kita ingat bahwa nenek moyang kita dahulu di indonesia pada awal datangnya Islam ke Bumi pertiwi ini masih memiliki akar budaya yang sangat kuat sehingga pada waktu penyebaran Islam yang dilakukan oleh Wali Songo memberikan dakwahnya dengan akulturasi budaya setempat dengan nilai-nilai syari`at Islam, sehingga Islam mudah menyebar diseluruh penjuru tanah air khususnya di tanah jawa, begitupula dengan tradisi sungkeman ke orang-orang yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia.
Sehingga sampai sekarang budaya tersebut sudah menjadi tradisi dan mengakar pada masyarakat Indonesia, dengan menjadikan moment Hari raya ‘Idul Fithri untuk berziarah ke makam-makam keluarga dan ke makam-makam para Tuan guru-tuan guru (Ulama/Kiyai) yang telah berjasa didalam menyebarkan Islam di tanah Nusantara, Namun disini perlu kita kritisi bagaimana Hukum mengkhususkan zaiarah makam pada hari-hari tertentu yang mana para Ulama Salaf atau yang mengkultuskan dirinya dengan nama Salafy atau Wahaby yang tidak membolehkan mengkhususkan Ziarah kubur/makam pada hari-hari tertentu karena dengan alasan : karena tidak ada dasar ataupun dalil dalam agama yang menuntun ziarah kubur pada hari-hari tertentu.
Itulah pendapat salah satu dari kelompok islamis, akan tetapi lain dengan pendapat pendapat mayoritas ulama` yang ada di Indonesia yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya. tentunya kedua-duanya tidak ada yang salah karena pada dasaranya ziarah kubur/makam itu diperboleh oleh Rasululloh SAW didalam salah satu haditsnya : "Sekarang Ziarah Kuburlah karena itu akan lebih mengingatkan kalaian pada kematian".
Sebagai muslim Indonesia yang masih mempertahankan tradisi-tradisi nenek moyang, tentunya ingin menjalankan Syari`at Islam dengan kaffah (Lengkap) dengan berdasarkan dalil-dalil agama tanpa harus merusak nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Maka untuk menjalankan syari`at islam tanpa harus meninggalkan tradisi sebenarnya bisa kita lakukan dengan mengambil nilai-nilai positifnya, Oleh karena itu disini penulis lebih setuju dengan tradisi kita yaitu ziarah kubur disaat momen idhul fitri dengan syarat : 1. Tidak Tawasshul di kuburan 2. Mentaati adab-adab ziarah kubur 3. Dan tidak melanggar syari`at islam
Sejarawan Mansjur Suryanegara mengungkapkan, tradisi berziarah di Indonesia kemudian meluas hingga menjadi ziarah ke kampung halaman saat Hari Raya Idul Fitri. Itulah cikal bakal dari tradisi mudik yang kita kenal saat ini.
Mansjur mengatakan, tradisi ziarah di Indonesia telah ada sejak sebelum jaman penjajahan. Seiring perkembangan jaman, tradisi ziarah atau mudik kemudian semakin mudah dilakukan masyarakat saat ini dengan dukungan sarana transportasi.
“Dari dulu tradisi itu sudah ada. Hanya, kuantitasnya tentu berbeda, karena jumlah penduduk pun tidak sebanyak sekarang. Alat transportasinya pun hanya delman. Kalau sekarang kan mobil. Jadi menjadi budaya, orang lalu semua ramai-ramai pergi ke kampungnya lagi, karena menghubungkan silaturahmi yang hidup dan silaturahmi yang sudah pergi (meninggal),” ujar Mansjur Suryanegara.
Mansjur menambahkan bahwa filosofi ziarah berasal dari keterikatan manusia secara batiniah kepada kedua orangtuanya sejak masih berada dalam kandungan. Keterikatan tersebut terus terjalin hingga salah satu di antara anggota keluarga tersebut meninggal dunia. Oleh karena itulah, ziarah akan terus ada hingga akhir jaman. Selain dianjurkan oleh agama, ziarah juga dapat mempererat tali silaturahmi atau kekeluargaan.
TRADISI ZIARAH MAKAM LELUHUR PADA MASYARAKAT JAWA
Bagi masyarakat Jawa makam merupakan tempat yang dianggap suci dan pantas dihormati. Makam sebagai tempat peristirahatan bagi arwah nenek moyang dan keluarga yang telah meninggal. Keberadaan makam dari tokoh tertentu menimbulkan daya tarik bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas ziarah dengan berbagai motivasi. Kunjungan ke makam pada dasarnya merupakan tradisi agama Hindu yang pada masa lampau berupa pemujaan terhadap roh leluhur. Candi pada awalnya adalah tempat abu jenazah raja raja masa lampau dan para generasi penerus mengadakan pemujaan di tempat itu. Makam, terutama makam tokoh sejarah, tokoh mitos, atau tokoh agama, juga merupakan tujuan wisata rohani yang banyak dikunjungi wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri.
Ziarah makam merupakan satu dari sekian tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa. Berbagai maksud dan tujuan maupun motivasi selalu menyertai aktivitas ziarah. Ziarah kubur yang dilakukan oleh orang Jawa ke makam yang dianggap keramat sebenarnya akibat pengaruh masa Jawa-Hindu. Pada masa itu, kedudukan raja masih dianggap sebagai titising dewa sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan seorang raja masih dianggap keramat termasuk makam, petilasan, maupun benda-benda peninggalan lainnya.
Kepercayaan masyarakat pada masa Jawa-Hindu masih terbawa hingga saat ini. Banyak orang beranggapan bahwa dengan berziarah ke makam leluhur atau tokoh – tokoh magis tertentu dapat menimbulkan pengaruh tertentu. Kisah keunggulan atau keistimewaan tokoh yang dimakamkan merupakan daya tarik bagi masyarakat untuk mewujudkan keinginannya. Misalnya dengan mengunjungi atau berziarah ke makam tokoh yang berpangkat tinggi, maka akan mendapatkan berkah berupa pangkat yang tinggi pula. Bagi masyarakat Jawa, ziarah secara umum dilakukan pada pertengahan sampai akhir bulan Ruwah menjelang Ramadhan. Pada saat itu masyarakat biasanya secara bersama-sama satu dusun atau satu desa maupun perorangan dengan keluarga terdekat melakukan tradisi ziarah ke makam leluhur. Kegiatan ziarah ini secara umum disebut nyadran. Kata nyadran berarti slametan (sesaji) ing papan kang kramat.
Selamatan (memberi sesaji) di tempat yang angker /keramat.
Kata nyadran juga memiliki pengertian lain yaitu slametan ing sasi Ruwah nylameti para leluwur (kang lumrah ana ing kuburan utawa papan sing kramat ngiras reresik tuwin ngirim kembang) selamatan di bulan Ruwah menghormati para leluhur (biasanya di makam atau tempat yang keramat sekaligus membersihkan dan mengirim bunga).
Di daerah-daerah yang mempunyai tempat bersejarah, agak berbau angker, pantai-pantai, goa-goa, yang punya kisah tersendiri biasanya mempunyai upacara adat yang disebut nyadran. Tak ubahnya dengan makna upacara-upacara adat yang lain, nyadran ini juga mengandung makna religius. Ada yang dengan jalan memasang sesaji di tempat itu selama tiga hari berturut turut, ada yang dengan cara melabuh makanan yang telah ‘diramu’ dengan berbagai macam kembang. Ada pula yang mengadakan kenduri dengan makanan makanan yang enak, lalu diadakan pertunjukan besar-besaran dan sebagainya.
Kebiasaan mengunjungi makam sebenarnya merupakan pengaruh dari kebiasaan mengunjungi candi atau tempat suci lainnya di masa dahulu dengan tujuan melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Kebiasaan ini semakin mendalam jika yang dikunjungi adalah tokoh yang mempunyai kharisma tertentu, mempunyai kedudukan tertentu seperti raja, ulama, pemuka agama, tokoh mistik, dan sebagainya.
Dengan berkembangnya jaman, berkembang pula pemahaman manusia tentang ziarah, bahkan muncul berbagai maksud, tujuan, motivasi maupun daya tarik dari aktivitas ziarah ini.
Ziarah Sebagai Ungkapan Doa Bagi Arwah Leluhur
Secara umum ziarah yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan bagi masyarakat Jawa mempunyai maksud untuk mendoakan arwah leluhur mereka. Masyarakat biasanya secara bersama-sama mengadakan kerja bakti membersihkan makam desa atau dusun dengan segala tradisi dan adat kebiasaan yang berlaku secara turun temurun. Ada juga yang dilengkapi dengan mengadakan kenduri bersama di makam, atau di rumah kepala dusun mereka. Pada umumnya mereka mengadakan sesaji dengan tidak lupa membuat kolak dan apem. Tradisi ini biasa disebut ruwahan, sesuai dengan bulan diadakannya yaitu bulan Ruwah.
Bagi keluarga-keluarga tertentu biasanya telah diadakan kesepakatan untuk nyadran pada hari ke berapa dalam bulan Ruwah tersebut. Mereka yang berada jauh dari makam selalu menyempatkan diri untuk dapat bersama-sama mengunjungi makam keluarga mereka. Pada waktu ziarah tidak lupa mereka juga membawa bunga tabor untuk ditaburkan ke pusara makam keluarga mereka. Setiap keluarga biasanya mengajak serta anggota keluarga supaya mereka mengetahui dan mengenal para leluhur yang telah dimakamkan di situ. Adanya tradisi nyadran ini menimbulkan berbagai aktivitas yang muncul hanya pada saat tertentu yaitu hari-hari menjelang masyarakat melakukan kegiatan nyadran.
Aktivitas yang dapat dikatakan insidental ini seperti misalnya penjualan bunga tabur yang meningkat tajam pada hari-hari sejak pertengahan bulan Ruwah. Hal ini dikarenakan masyarakat yang nyadran sudah dipastikan akan memerlukan bunga tabor untuk nyekar di makam leluhur mereka.
Karenanya tidak aneh apabila pada saat-saat itu penjual bunga mulai marak, baik penjual yang memang biasanya sehari-hari berjualan bunga ataupun penjual bunga tiban, mereka hanya berjualan bunga pada saat-saat hari ramai nyekar.
Terkait dengan tradisi nyekar atau nyadran ini muncul pula aktivitas lain berupa jasa tenaga membersihkan makam. Di berbagai makam muncul para penyedia jasa untuk membersihkan makam keluarga tertentu dengan sedikit imbalan. Mereka biasanya berada di sekitar makam dan membersihkan makam bagi keluarga yang datang untuk ziarah.
Dalam hal ini tradisi ziarah mempunyai fungsi untuk mengingatkan kita yang masih hidup bahwa suatu saat kematian akan kita alami. Selain itu juga seperti telah disebutkan dalam uraian di atas, bahwa ziarah makam akan menimbulkan ikatan batin antara yang masih hidup dengan leluhur yang telah meninggal.
Berbagai Motivasi Bagi Peziarah Tokoh Mitos
Secara umum tujuan ziarah selain sebagai ungkapan doa dan pengenalan akan sejarah nenek moyang, masih ada motivasi ziarah yang berkembang dalam masyarakat. Contoh yang dapat disebutkan di sini adalah adanya tradisi nyadran makam di kompleks Makam Sewu di Desa Wijirejo, Pandak, Bantul. Di kompleks makam ini dimakamkan juga tokoh terkenal yang biasa disebut Panembahan Bodo. Di Makam Sewu pada hari-hari tertentu ramai dikunjungi peziarah yaitu pada hari Selasa Kliwon dan Senin Pon.
Panembahan Bodo adalah tokoh penyebar agama Islam, teguh dalam belajar agama Islam, mempunyai sifat rendah hati, tidak mau mengunggulkan diri sendiri.
Walaupun ia telah berguru agama Islam hingga mengharuskan dirinya masuk pondok pesantren, namun ia tetap menganggap dirinya bodoh. Karenanya ia diberi julukan Panembahan Bodo.
Para peziarah datang dengan berbagai tujuan atau motivasi; ngalap berkah, untuk memperoleh kekuatan, popularitas, stabilitas pribadi, umur panjang, mencari rejeki, maupun mencari kebahagiaan bagi anak cucu atau keselamatan hidup. Hal-hal ini biasanya yang paling umum diharapkan orang apabila berziarah ke makam tokoh mitos terkenal.
Secara umum motivasi berziarah dapat digolongkan dalam empat hal meliputi taktyarasa: berziarah dengan tujuan memperoleh berkah dan keteguhan hidup (ngalap berkah); gorowasi: (berziarah ke makam legendaris untuk memperoleh kekuatan, popularitas, stabilitas pribadi, serta umur panjang, mencari ketenangan batin; widiginong: (berziarah dengan tujuan mencari kekayaan dunia maupun jabatan duniawi atau mencari rejeki; samaptadanu: upaya mencari kebahagiaan anak cucu agar selamat atau untuk mencari keselamatan.
Tempat ziarah yang lain dapat disebutkan di sini yaitu di makam KRA Sosronagoro yang terletak di daerah Manang, Grogol, Sukoharjo. KRA Sosronagoro adalah patih Kraton Surakarta Hadiningrat pada masa Paku Buwono X. Beliau semasa hidupnya adalah seorang patih yang terkenal, bijaksana, dan berpengetahuan luas serta dalam. Karenanya sampai sekarang beliau masih sangat dihormati oleh anak cucunya. Pada hari-hari tertentu biasanya malam Jumat dan Selasa Kliwon banyak peziarah datang dari berbagai daerah. Mereka berziarah dan tirakat ngalap berkah dengan berbagai tujuan atau permohonan. Pada umumnya mereka yang datang menginginkan pangkat yang tinggi, ingin naik pangkat, atau menginginkan kedudukan tertentu. Semua itu karena kharisma tokoh yang dimakamkan yaitu KRA Sosronagoro. Semasa hidup beliau sebagai seorang tokoh negara yang kuat bertapa, sifat soleh dan bijak membuatnya lebih dari manusia biasa. Hidupnya penuh dengan keprihatinan dan kesungguhan dalam mengabdi di kraton pada masa mudanya. Bahkan cita-citanya ditempuh dengan tapa kungkum di Sungai Pepe.
Ketokohannya, bahkan setelah beliau wafat pun masih sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat terbukti makamnya masih selalu ramai dikunjungi para peziarah. Para peziarah datang dengan berbagai harapan dan keinginan, rejeki, jodoh, pangkat, kedudukan, ketenteraman batin, dan sebagainya.
Bagi para peziarah yang bertirakat di sana kadangkala juga melihat atau mengalami hal-hal yang aneh, di luar akal sehat. Misalnya ada peziarah dari Jakarta yang pada waktu tirakat melihat lampu banyak sekali, ternyata itu merupakan pertanda keinginannya tercapai, yaitu ingin menjadi pedagang yang sukses. Ada pula yang melihat harimau putih, yang konon merupakan penjaga (mbaureksa) makam. Bagi mereka yang keinginannya terkabul juga sering mengadakan tahlilan, yasinan, atau selamatan di makam tersebut.
Tokoh mitos lain yang terkenal dan menjadi tujuan ziarah adalah Sunan Drajat, yang dimakamkan di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Mengapa dinamakan Sunan Drajat? Pada masa mudanya beliau bernama Raden Qosim, putra Sunan Ampel dengan Dewi Candrawati. Beliau ditugaskan untuk berdakwah di bagian barat dari Surabaya, lalu membuka pesantren di daerah Jelag (termasuk wilayah Desa Banjarwati), Kecamatan Paciran. Setahun kemudian Raden Qosim pindah ke arah selatan, sekitar satu kilometer, sesuai petunjuk yang diperolehnya, lalu mendirikan langgar yang digunakan untuk berdakwah. Langgar yang didirikan terletak di bukit yang agak tinggi sehingga dinamakan Desa Drajat.
Masyarakat sangat menghormati dan segan terhadap Raden Qosim yang sangat tinggi ilmunya. Sampai meninggalnya beliau dimakamkan di Desa Drajat tersebut.
Masyarakat lalu mengaitkan antara harta, derajat, dan pangkat, serta beranggapan bahwa setiap orang akan dihormati dan dihargai apabila ziarah ke makam Sunan Drajat. Karena itu banyak orang yang berziarah ke makam Sunan Drajat dengan maksud agar keinginannya tercapai. Dengan melakukan tata cara seperti umumnya orang berziarah, berdzikir serta mendoakan arwah yang dimakamkan di situ, sebagai imbalannya Yang Maha Kuasa akan mengabulkan keinginannya.
Tekanan hidup dan kemiskinan juga mendorong orang untuk melakukan tindakan ritual dengan berziarah ke makam tokoh mitos terkenal, seperti yang terjadi di makam Eyang Seloning di sebelah utara Parang Wedang, Parangtritis, Bantul. Ada peziarah yang mempunyai keinginan memiliki rumah karena ia dan keluarganya selama ini tidak mempunyai rumah yang layak. Dengan bertirakat dan berdoa disertai usaha gigih akhirnya peziarah itu berhasil memiliki rumah yang layak bagi keluarganya. Tirakat yang dilakukan sangat berat seperti pasa ngebleng (tidak makan minum sama sekali), pasa nyirik uyah (puasa tidak makan garam), dan lain-lain.
Masyarakat Jawa mempunyai anggapan bahwa keberadaan makam leluhur harus dihormati dengan alasan makam adalah tempat peristirahatan terakhir bagi manusia khususnya leluhur yang telah meninggal.
Leluhur itulah yang diyakini dapat memberikan kekuatan atau berkah tertentu. Oleh karena itu masyarakat mengaktualisasikan dengan perlakuan khusus terhadap makam leluhur. Hal ini akan semakin tampak nyata pada makam para tokoh yang dianggap mempunyai kekuatan lebih pada masa hidupnya. Kisah kehebatan dan luar biasanya para tokoh yang diziarahi memberikan motivasi para peziarah untuk bertirakat mengharapkan keberuntungan. Dengan demikian, mereka beranggapan makam dapat memberikan berkah bagi pengunjungnya atau peziarahnya yang melaksanakan tirakat dengan khusuk dan ikhlas.
Candi Sebagai Persemayaman Tokoh Mitos
Perilaku religius berkaitan dengan ziarah makam masih banyak lagi di berbagai makam keramat yang lain. Candi sebagai salah satu tempat keramat bagi pemeluk Hindu Budha merupakan tempat ziarah yang selalu dikunjungi pada hari-hari atau peristiwa tertentu. Candi tak ubahnya makam, merupakan tempat persemayaman raja-raja pada masa lampau.
Asal mula istilah candi berasal dari kata Candika, yaitu sebutan bagi Dewi Durga sesudah mati. Istilah candi juga terdapat di Pulau Sumatra, yaitu Candi Japara di Lampung dan Candi Bangsu di kompleks Muara Takus. Di Kalimantan Timur juga ada yaitu Candi Agung. Masyarakat Jawa Timur lebih senang menyebut dengan istilah cungkup, di Sumatra Utara biasa disebut biara.
Dalam paham Hindu, candi merupakan gambaran Gunung Mahameru, tempat para dewa-dewi, bidadara dan bidadari. Puncak gunung yang tinggi menggambarkan alam “kehutanan” yang penuh dengan aneka satwa dan tumbuhan. Di kahyangan atau alam kadewan roh manusia akan menjelma kembali ke dalam wujud berbagai binatang, seimbang dengan perbuatannya semasa hidup di dunia yang penuh dengan godaan dan hawa nafsu. Hal ini disebut reinkarnasi (kehidupan kedua). Puncak Gunung Mahameru menggambarkan puncak kesucian. Karenanya candi pada umumnya dibangun di atas bukit atau tanah yang letaknya lebih tinggi daripada sekitarnya.
Candi Prambanan lebih dikenal dengan nama Candi Rara Jonggrang. Dalam prasasti 856 M disebutkan susunan dan konstruksi bangunan candi Roro Jonggrang dan raja yang membangunnya, yaitu Raja Rakai Pikatan dari dinasti Sanjaya. Dinasti Sanjaya mempunyai aliran kepercayaan agama Siwa atau Hindu. Dalam kepercayaan Hindu orang yang meninggal jenazahnya tidak dikubur tetapi dibakar.
Pada masa itu Candi Jonggrang digunakan untuk menyimpan abu jenazah Raja Kayuwangi. Hal ini sesuai dengan bentuk konstruksi candi yang berupa lingga dan yoni. Abu jenazah disimpan dalam yoni dan ditutup dengan lingga. Lingga dan yoni juga sebagai simbol laki laki dan wanita.
Makam Tokoh Mitos dan Upacara Adat
Berkaitan dengan ziarah ke makam tidak lepas dari peran tokoh mitos yang sering pula menjadi cikal bakal suatu desa atau daerah tertentu. Banyak upacara adat desa tertentu yang mengaitkan dengan tokoh tertentu yang dimakamkan di sekitar daerah yang bersangkutan. Contoh yang dapat disebutkan di sini misalnya upacara adat Ki Ageng Tunggul Wulung yang setiap tahun diadakan di Dusun Dukuhan, Desa Sendang Agung, Minggir, Sleman. Upacara adat ini selalu diadakan pada hari Jumat Pon dan pada intinya untuk memuliakan dan menghormati jasa-jasa Eyang Tunggul Wulung.
Siapakah Eyang Tunggul Wulung itu? Beliau adalah seorang tokoh yang sakti mandraguna, masih kerabat Kraton Majapahit. Konon pada waktu Majapahit kalah para kerabat dan sentana Majapahit bubar melarikan diri ke berbagai daerah menyelamatkan diri. Satu di antaranya adalah Ki Ageng Tunggul Wulung yang melarikan diri ke arah barat sampai di Dusun Beji atau Diro sebelah timur Sungai Progo.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung disertai isterinya yang bernama Raden Ayu Gadung Mlati dengan tujuh orang punggawa dan beberapa abdi terpercaya. Juga membawa pusaka kerajaan yang menurut perintah Raja Brawijaya harus diserahkan kepada calon raja pengganti yang berhak. Pusaka yang dibawa antara lain tombak Tunggul Wasesa, Keris Pulang Geni, Bendera Tunggul Wulung. Sampai di Dusun Dukuhan bertempat tinggal di sana, sampai akhirnya mereka semua mukswa (meninggal dan hilang bersama raganya). Tempat hilangnya lalu diberi tanda dengan batu nisan seperti umumnya makam, dan dianggap sebagai tempat keramat. Oleh karena itu banyak orang yang berziarah ke tempat itu. Makam Ki Ageng Tunggul Wulung berada di Dusun Dukuhan di lahan dekat tepi Sungai Progo.
Setiap pelaksanaan upacara disertai dengan pergelaran wayang kulit semalam suntuk dan tarian tayub. Sebab diyakini pada masa hidupnya Ki Ageng Tunggul Wulung senang dengan kedua jenis kesenian tersebut.
Konon pernah suatu saat ada seorang ledhek tayub yang ingin hidupnya lebih baik melakukan tirakat di makam Tunggul Wulung. Tanpa ada sebab yang jelas ledhek itu menghilang. Karena peristiwa itu masyarakat menganggap bahwa Eyang Tunggul Wulung memang senang dengan kesenian itu dan mengajak ledhek tayub tersebut.
Sampai sekarang Ki Ageng Tunggul Wulung diyakini oleh masyarakat Dusun Dukuhan sebagai cikal bakal mereka dan yang memberikan perlindungan terhadap warga dusun mereka. Terbukti dengan adanya ubarampe upacara adat yang berupa sesaji dan jodhang berisi hasil bumi yang pada saatnya diperebutkan. Masyarakat meyakini hasil bumi yang diperebutkan itu akan membawa berkah bagi mereka.
Hal serupa juga terjadi di daerah Gunung Kidul, tepatnya di Dusun Ngenep, Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu, Gunung Kidul. Tokoh mitos yang mereka segani adalah Ki Mentokuwoso, seorang tokoh penyiar agama Islam di daerah itu.
Karena jasa-jasanya terhadap kraton pada waktu dulu beliau ditawari untuk minta hadiah yang diinginkan. Beliau hanya minta agar daerahnya dibebaskan dari kewajiban membayar upeti dan diperbolehkan mengadakan upacara Garebeg Maulud seperti di kraton, dan permintaan itu dikabulkan oleh raja. Sebagai tokoh yang sakti dan mempunyai ilmu yang tinggi, konon beliau juga menciptakan masjid tiban sebagai pelengkap Upacara Grebeg. Masjid itu sekaligus juga menjadi sarana dan tempat dakwah yang dilakukan oleh Ki Mentokuwoso.
Dalam kaitannya dengan asal mula Grebeg Ngenep, tokoh Ki Mentokuwoso menghubungkan dunia nyata dengan dunia gaib bagi masyarakat Ngenep. Bagi orang orang yang tinggal di Desa Dadapayu dan sekitarnya Upacara Grebeg Ngenep merupakan peristiwa yang selalu ditunggu tunggu untuk ikut berpartisipasi. Bahkan masyarakat secara antusias ikut berebut hasil pertanian (wulu wetu) yang dibentuk dalam wujud gunungan yang memang diperebutkan setelah acara doa bersama. Nama Ki Mentokuwoso dan saudara-saudaranya juga selalu dikenang bahkan makamnya sering diziarahi. Menurut Kadus Sembuku, makam Kyai Bayi, salah satu saudara Ki Mentokuwoso,sering dijadikan tempat nenepi orang-orang dari luar Ngenep. Biasanya orang yang nenepi atau ziarah mempunyai keinginan agar dapat naik pangkat.
Makam Sebagai Objek Wisata Spiritual
Sebagai tempat yang dianggap suci, makam juga merupakan tempat wisata yang pantas untuk dikunjungi. Makam raja-raja di Imogiri, misalnya, menjadi tujuan wisata yang selalu ramai dikunjungi. Selain sebagai tempat yang disucikan, makam raja-raja di Imogiri memang sebagai kompleks makam yang cukup besar, dengan letaknya di atas bukit yang tinggi, dilengkapi dengan berbagai fasilitas bagi para pengunjung.
Demikian pula makam keluarga Pakualaman di Girigondo, hampir sama dengan makam raja-raja Imogiri. Demikian pula di Makam Sewu (Makam Panembahan Bodo), Makam Sunan Ampel, makam para Walisanga, dan sebagainya. Masih banyak pula makam tokoh-tokoh terkenal yang sekaligus sebagai objek wisata.
Kedatangan pengunjung dari berbagai daerah, apalagi yang jauh atau bahkan dari mancanegara, menimbulkan dampak pula bagi masyarakat sekitar. Selain pada hari hari tertentu yang berkaitan dengan ziarah ritual seperti malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon, pada hari-hari libur nasional bahkan lebih ramai oleh kunjungan para wisatawan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pada waktu banyak pengunjung dipastikan akan banyak para pedagang tiban atau asongan yang menjajakan berbagai barang dagangan kepada pengunjung. Hal ini juga membawa perubahan ekonomi pada masyarakat sekitar makam yang menjadi objek wisata tersebut.
Penutup
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan masyarakat Jawa ada saat di mana manusia akan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan makam atau ziarah ke makam. Makam dan segala aktivitas yang berkaitan dengan ziarah akan mengingatkan manusia bahwa setelah kehidupan akan ada kematian, sehingga manusia akan sadar untuk biasa melakukan perbuatan baik sebagai bekal dalam menghadapi alam arwah. Aktivitas ziarah oleh banyak fihak juga dimanfaatkan untuk kepentingankepentingan tertentu, misalnya mencari ketenangan, mencari rejeki, keberuntungan, dan sebagainya, sesuai dengan kharisma dan kisah keistimewaan tokoh yang dimakamkan.
DO’A ANAK KEPADA ORANGTUANYA
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Ya Allah Indahkan kepada mereka ucapanku Haluskan kepada mereka tabiatku Lembutkan kepada mereka hatiku Jadikan aku orang yang sangat mencintai mereka
Ya Allah Balaslah kebaikan mereka karena telah mendidikku Berikan ganjaran kepada mereka karena telah memuliakanku Jagalah mereka sebagaimana mereka memeliharaku pada masa kecilku
Ya Allah untuk setiap derita yang menimpa mereka karenaku untuk setiap hal yang tidak enak yang mengenai mereka karenaku untuk setiap hak mereka yang aku abaikan jadikan semua itu penghapus terhadap dosa mereka ketinggian derajat mereka kelebihan dalam kebaikan mereka Wahai Yang Mengubah keburukan dengan kebaikan secara berlipat ganda
Ya Allah untuk setiap pembicaraan mereka yang melanggar batas terhadapku untuk setiap perbuatan yang berlebihan terhadapku untuk setiap hak-ku yang mereka lalaikan untuk setiap kewajiban terhadapku yang mereka abaikan semua sudah aku berikan kepada mereka dan aku ikhlaskan atas mereka dan aku tidak membenci mereka cara mereka memperlakukanku,
Ya Allah mereka mempunyai hak terlalu besar dari diriku kebaikan yang terlalu utana terhadapku perberian yang terlalu banyak bagiku sehingga aku tidak dapat membalasnya dengan adil atau memberikan kepada imbalan sepadan
Duhai Tuhanku bagaimana harus kubalas budi mereka lamanya kesibukan mereka untuk mengurusku beratnya kelelahan mereka menjagaku dan penanggungan mereka akan kesempitan untuk memberikan keleluasaan bagiku
Aduhai Aku tidak akan bisa memenuhi hak mereka terhadapku Aku tidak mampu melaksanakan kewajibanku kepada mereka Aku tidak sanggup menjalankan kewajibanku untuk berkhidmat kepada mereka Maka, sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya Bantulah aku Wahai Yang Paling baik untuk dimintai bantuan Bimbinglah aku Wahai Pembimbing yang dirindukan Jangan jadikan aku orang yang durhaka kepada ayah bunda pada hari ketika setiap diri dibalas karena hasil kerjanya dan mereka tidak dianiaya
Ya Allah Sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya Istimewakan kedua orang tuaku dengan yang paling utama dari apa yang Kau istimewakan kepada orang tua wahai Yang Paling Pengasih dari segala yang mengasihi
Ya Allah Jangan biarkan aku lupa untuk menyebut mereka sesudah shalatku pada saat-saat malamku, pada saat-saat siangku
Ya Allah Sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya Ampunilah aku dengan doaku kepada mereka dengan ampunan yang sempurna Ampunilah kedua orang tuaku dengan kebaikan mereka padaku Ridhailah mereka dengan syafaatku untuk mereka dengan keridhaan yang paripurna Sampaikan mereka dengan anugerah-Mu kepada tempat-tempat kesejahteraan
Ya Allah Jika ampunan-Mu lebih dahulu datang kepada mereka, izinkan mereka untuk memberi syafaat kepadaku Jika ampunan-Mu lebih dahulu sampai kepadaku, izinkan aku untuk memberi syafaat kepada mereka Sehingga dengan kasih sayang-Mu kami berkumpul di rumah-Mu yang mulia di tempat ampunan dan kasih-Mu Sungguh Engkau Pemilik karunia yang besar dan anugerah yang abadi Engkaulah Yang maha Pengasih dari semua yang pengasih. (Ash-Shahifah As-Sajjadiyah, doa ke 24)
Ziarah kubur dalam Islam memang dianjurkan, tujuanya adalah mendoakan mereka yang telah meninggal agar diampuni dosanya. Namun tidak sedikit yang memaknai ziarah kubur sebagai upaya untuk memohon berkah dari mereka yang telah meninggal dunia.
Tokoh intelektual Islam Azumardi Azra mengatakan kebiasaan ini tidak lepas dari singgungan budaya yang ada. "Ziarah kubur tidak lagi sekadar praktek keagamaan tapi sudah berpadu dengan budaya. Sehingga yang kemudian terjadi adalah orang berziarah tapi meratap bisa dapat jodoh atau jabatan. Ini memang agak sulit dihalangi karena sudah terjadi gejala budaya," kata Azumardi.
Kondisi ini seakan membenarkan apa yang dikatakan Claude Guillot dan Henri Chambert-Loir (2007), bahwa makam wali adalah tempat pengungkapan perasaan religius yang bebas serta juga tempat memelihara ritus-ritus kuno. Jika amal sembahyang di masjid mencerminkan kesatuan dan keseragaman dunia Islam, maka amal ziarah ke makam wali mencerminkan keanekaragaman budaya yang tercakup dalam dunia Islam. "Namun ulama bisa mengingatkan agar peziarah tidak melakukan hal tersebut."
|
Posting Komentar
Posting Komentar