|      
 
 
 
 Jejak Pesantren dalam     Pemikiran Islam Global 
 
 Tradisi pemikiran pesantren mencapai puncaknya     dengan munculnya berbagai ulama tangguh secara internasional oleh dunia     Islam di masanya. 
 
 `'Islam Indonesia hanya konsumer. Bukan produser     pemikiran.'' Pernyataan ini ditegaskan seorang dosen Universitas Indonesia     lulusan Australia, beberapa tahun lalu, tepatnya sebelum pemilu 2004. Tak     jelas apa motif dan dasar argumentasinya dia mengatakan seperti itu. Namun,     yang pasti karena acara itu sifatnya forum internasional, apalagi pidato     itu diucapkan dalam bahasa Inggris, para hadirin yang sebagian pesertanya     adalah orang asing, hanya terlihat mengangguk mengiyakan saja. Tak jelas     apa mereka paham atau tidak akan substansinya. 
 
 Namun, beberapa waktu kemudian ketika soal ini     ditanyakan kepada Guru Besar dan Mantan Rektor Universitas Islam Negeri     Jakarta (UIN), Prof DR Azyumardi Azra, dia menjawabnya dengan pernyataan     pendek yang disertai senyuman ringan.''Ya mungkin dia terlalu bersemangat saja,''     kata Azyumardi. 
 
 Pernyataan ini semakin menggelitik ketika     membaca kembali tulisan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada     18 September 1982. Dalam tulisan itu Gus secara panjang lebar menulis     berbagai kazanah pemikiran Islam hasil karya anak negeri sendiri. Warisan     kekayaan intelektual ini merupakan karya para kai kondang yang tersebar di     berbagai pesantren, baik itu dari pesantren Jawa maupun luar Jawa. 
 
 Gus Dur mengatakan melihat berbagai karya itu,     maka dapat disimpulkan bahwa para kyai dan santri yang tersebar di berbagai     pondok pesantren itu ternyata tak hanya menggantungkan diri pada teks-teks     pemikiran Islam yang dianggap `berasal dari negeri Arab' (padahal pemikiran     Islam ini sebenarnya datang dari berbagai penjuru dunia, seperti Afrika     Barat, Asia Tengah, dan India. 
 
 Dari tradisi pemikiran pesantren itu kemudian     mencapai puncaknya dengan munculnya berbagai `ulama tangguh' yang diakui     secara internasional oleh dunia Islam di massanya. Sebut saja misalnya,     Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mahfudz Termas (Pacitan), Kiai Muhtaram     (Banyumas), dan Kiai Ahmad Khatib (Padang), serta Kiai Abdussamad asal     Palembang. 
 
 Kiprah dan integritas para kiai ini sungguh luar     biasa. Mereka itu menguasai dunia keilmuan agama Islam di Makkah selama     puluhan tahun, tepatnya disekitar peralihan abad keseimbilan belas hingga     ke abad dua puluh. 
 
 Gus Dur menulis, pengakuan kepada kedalaman     keilmuan para `kiai besar' itu masih terasa hingga kini. Syekh Yassin asal     Padang misalnya, mendapat kehormatan untuk menaturalisasi (tajannus) status     kewarganegaraannya sebagai warga negara Arab Saudi. Sampai sekarang karya     tulis Syekh Yasin ini tersebar dan dijadikan rujukan di seluruh penjuru     dunia Islam. 
 
 Senasib dengan berbagai karya Syekh Yasin, karya     Kiai atau Syekh Nawawi asal Banten juga mendunia. Kitab yang ditulisnya     yang membahas mengenai persoalan tauhid (teologi), Nur Al-Dhalam, digunakan     sebagai teks dasar pesantren hingga saat ini. Bahkan, sebagai bukti     pengakuan akan ketinggian ilmunya, Kiai Nawawi diberi gelar prestisius     sebagai `pemuka ulama Makkah dan Madinah (sayid ulama Al-Hijaz). Karya     tulis Nawawi yang terkenal lainnya adalah berupa kumpulan pilihan`hadits     empat puluh' (Hadits Al-Arba'in). Karya ini dipergunakan sebagai teks dasar     bagi siapa pun yang ingin belajar ilmu hadits. 
 
 Pemikir Islam `made in' Indonesia yang tak kalah     penting lainnya adalah Kiai Ihsan dari Pesantren Jampes (Kediri). Dia     menulis kitab Siraj Al Talibin, yang merupakan komentar atas karya klasik     Al Ghazali yang ditulis pada periode awal tahun 1000 M: Minhaj Al-`Abidin.     Mutu karya yang terdiri dari dua jilid ini bernilai tinggi, sehingga     dijadikan buku wajib untuk kajian mahasiswa post-graduate di Universitas Al     Azhar, Kairo, Mesir. Buku ini menjadi buku penting dengan materi berisi pembahasan     mengenai tasawuf dan akhlak. 
 
 Namun, di antara figur tersebut ada sebuah nama     pemikir penting Islam Indonesia yang tidak boleh dilewatkan begitu saja,     yakni KH Bisri Mustofa dari Rembang (Bisyri Musthafa Al-Rambani). Kiai ini     menulis lebih dari dua puluh karya, termasuk sebuah tafsir Alquran yang     berjumlah tiga jilid. Sosok pemikir pesantren berikutnya adalah Kiai     Misbah  Zain AL-Musfata dari     Bangilan, Ahmad Subki Masyhadi dari Pekalongan, dan Asrofi dari Wonosari     yang menerjemahkan beberapa teks Islam klasik dan menulis berjilid-jilid     tafsir Alquran berbahasa Jawa. 
 
 Sedangkan penulis kondang beretnis Sunda yang     terkenal sebagai penulis Kiai Ahmad Sanusi dari Sukabumi yang juga menjadi     pendiri organisasi Al-Ittihadiyyatul Islamiyah. Dia menulis tafir Alquran.     Sedangkan pemikir Islam asal Sumatera diantaranya adalah Akhmad Khatib.     Pemikiran dia bahkan sempat menjadi polemik yang menarik pada awal abad ke     20 di mana Indonesai mulai menyemai semangat kemerdekaan secara lebih     sistematis. 
 
 Selain itu, pemikir Islam asal etnis Minangkabau     lainnya adalah Mahmud Yunus dan Abdul Hakim. Keduanya telah menulis     sejumlah buku teks dalam bahasa Melayu dan Arab. Beberapa karyanya     dijadikan bahan pelajaran di madrasah dan pesantren dan dipelajari secara     luas oleh masyarakat. 
 
 Geneologi Sejarah Pesantren 
 
 Asal usul dan kapan persisnya munculnya     pesantren di Indonesia sendiri belum bisa diketahui dengan pasti. Bahkan,     peneliti tarekat dan tradisi Islam asal Belanda, Martin Van Bruinessen,     menyatakan tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama     kalinya. Namun, memang banyak pihak yang menyebut dengan berpijak pada     pendapat sejarawan yang banyak mengamati kondisi masyarakata Jawa, Pigeud     dan de Graaf pesantren sudah ada semenjak abad ke 16. 
 
 ''Namun tidak jelas, apakah semua itu merupakan     lembaga pendidikan tempat pengajaran langsung. Karena sebutan `pesantren'     (sebuah istilah yang menurut saya baru muncul belakangan), patut     dipertanyakan,''tulis Martin dengan mengutip pendapat pakar sejarah,     Hoesien Djajadingrat, yang menulis buku mengenai sejarah Banten. 
 
 Disamping itu, menurut Martin, banyak penulis     yang cenderung mengatakan bahwa keberadaan pesantren sebagai sarana     kesenimbanguan dengan lembaga pendidikan pra-Islam, yang muncul dalam desa     Perdikan. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya tetap, karena dengan status     sebagai wilayah `bebas pajak kerja rodi' keterkaitan pesantren dengan desa     Perdikan itu tampaknya tidak ada sangkut pautnya. 
 
 Apalagi, melalui survei pemerintahan kolonial     Belanda yang dilakukan pada akhir abad ke-19, ternyata dari 211 desa     Perdikan yang ada, ternyata hanya empat desa saja yang penghasilannya     diberikan untuk membiayai pesantren. Inilah yang kemudian menguatakan     argumenatsi bahwa pesantren berdiri tersendiri dan tidak ada sangkut pautnya     dengan adanya desa Perdikan itu. 
 
 Dari catatan sejarah, lembaga pendidikan     pesantren tertua dadalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo, yang didirikan     pada tahun 1724. Namun sekitar seabad kemudian, yakni melalui survei     Belanda tahun 1819, tampak sekali bahwa pesantren tumbuh dan berkembang     secara sangat pesat, terutama di seluruh pelosok Pulau Jawa. Survei itu     melaporkan lembaga pendidikan ini sudah terdapat di Priangan, Pekalongan,     Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo. 
 
 Melihat data itu Martin Van Bruinessen yakin     bahwa sebelum abad ke 18 atau sebelum berdirinya Pesntren Karang, belum ada     lembaga yang layak disebut pesantren. Yang ada hanyalah tempat pengajaran     perorangan atau perorangan biasa atau tidak terstruktur. 
 
 Pada fakta lain, dalam Serat Centhini, memang     sempat disebutkan bahwa tokoh Jayengresmi yanh hidup sezaman dengan Sultan     Agung Mataram, yaitu pada paruh Abad ke-17, mempunyai lembaga pendidikan     pesantren. Tapi ini diragukan karena serat Centhini baru disusun pada awal     abad ke-19. Sedangkan, `klaim' lain bahwa pesantren sudah berdiri sejak     ke-16 atau seiring masuknya Islam di Banten sudah ada pesantren yang     disebut Perguruan Karang, juga diragukan. 
 
 Kisah Tiga Super Star 
 
 Dari sekian banyak kiai pemikir itu ternyata ada     tiga sosok yang masuk dalam kategori super star. Mereka adalah Syech Nawawi     Banten (wafat sekitar 1896-1897 M), Ahmad Khatib dari Minangkabau (wafat     1915), Kiai Mahfuzh dari Termas (wafat sekitar 1919-1920). Semasa hidupnya     mereka mampu menjadi intelektual terkemuka di Makkah yang saat itu menjadi     salah satu pusat pemikiran agama Islam. 
 
 Snouck Hugronye yang pernah cukup lama tinggal     di Makkah untuk menyelidiki pengaruh pemikiran Islam di Indonesia, pernah     menyebut Syechk Nawawi Banten (lengkapnya Muhammad bin' Umar Nawawi Al     Bantani) sebagai orang yang paling dalam pengetahuanya di Makkah namun     mempunyai sifat rendah hati. Nawawi juga penulis produktif. Muridnya datang     dari berbagai penjuru dunia. Dan karya Nawawi pun hingga kini masih dikaji     di seluruh pesantren. Bahkan semua kiai zaman sekarang menganggap dia     sebagai nenek moyang intelektual mereka. 
 
 Sosok `kiai super' kedua adalah Ahmad Khatib     yang berasal dari Sumatera Barat. Dia adalah salah seorang dari Indonesia     yang pertama kali mendapatkan izin mengajar di Masjidil Haram dan dijadikan     sebagai salah seorang imam di sana. Kehormatan menjadi imam sungguh besar     artinya karena jabatan ini biasanya hanya diperuntukan bagi ulama kelahiran     Makkah saja. 
 
 Sosok Ahmad Khatib juga dikenal sebagai bapak     reformasi keagamaan di Indonesia. Dia terkenal menjadi figure pemikir yang     berani berpolemik melawan adat suku asalnya (Minangkabau) dan `melawan'     pemikiran tarekat Naqsabandiyah (sebuah tarekat yang punya pengikut yang     paling banyak di Sumatera Barat). Beberapa kitab hasil pemikirannya masih     dipakai di beberapa pesantren hingga sekarang. 
 
 Tokoh besar ketiga adalah Kiai Mahfuzh asal     Termas. Posisi dia cukup strategis teruama bagi para kiai yang tinggal di     Pulau Jawa. Bahkan, sosok Mahfuzh bagi para kiai yang tinggal Jawa lebih     dihormati, misalnya bila dibandingkan dengan posisi penghormatan kepada     Syech Nawawi dari Banten itu. Figur istimewa dari Mahfuzh semakin dapat     dimengerti karena dia merupakan guru pendiri Jamiah Nahdlatul Ulama, yakni     KH Hasyim Asy'ari dari Jombang. Posisi inilah yang kemudian dipahami     sebagai penyebab tingginya reputasi Kiai Mahfuzh itu. 
 
 Mahfuzh sendiri menyelesaikan pendidikannya di     bawah bimbingan guru-guru Arab terkenal yang mengajar di Masjidil Haram.     Karya dia yang penting adalah berupa empat jilid kitab fiqih yang merupakan     komentar atas sebuah kitab saat itu banyak dipakai di Indonesia: kitab     Mauhibah Dzawai Al Fadhl yang dicetak di Mesir pada 1315 H/1897-9 M. 
 
 Selain itu, Mahfuzh, juga merupakan ulama     Indonesia pertama yang mengajarkan kita hadis Shahih Bukhari. Dan setelah     tiga ulama ini, hingga kini belum ada ada orang Indonesia yang setara     dengannya, misalnya mampu menjadi pengajar agama atau imam di Masjid Al     Haram, di Makkah. 
 
  |    
Posting Komentar
Posting Komentar