-->

NEGARA TANPA RETRIBUTIVISME



NEGARA TANPA RETRIBUTIVISME







Jika seorang yang suka mengganggu dan mengesalkan masyarakat yang cinta damai, akhirnya menerima cambukan secukupnya, hal ini menyakitkan tetapi tiap orang menyetujui dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya, meski selanjutnya tak sesuatu  pun dihasilkan darinya.

Begitu pandangan klasik filsuf Imanuel Kant yang menginspirasi bagi para pemerhati hukum saat hukum tak lagi mengikuti asas kesetimpalan. Acap kali hukum melahirkan ironi. Meminjam istilah John Evan Seery yang menulis Political Return, ironi merupakan kecenderungan yang dicirikan dengan berbagai cakupan sifat : kontradiktif, inkonsistensi, anomali janggal, abnormalitas, berlebihan dan ada di luar garis. Apakah hukum kita telah terhindar dari dengan kejanggalan.

Mata  ganti mata

Hukum tidak janggal jika diberlakukan apa yang oleh para filusuf moral disebut “pembayaran kembali” bagi mereka yang terbukti  kejahatan layak dikenai “pembayaran kembali” atas tindakannya yang mengabaikan kepantasan moral. Ibarat pepatah kuno “mata ganti mata, gigi ganti gigi” pandangan itu membenarkan hukuman setimpal kepada pelaku kejahatan. Inilah yang kita kenal dengan teori retributivisme

Kant merupakan salah satu penganut retributivisme. Kant memahami, menghukum orang bisa menambah jumlah kemalangan di dunia. Akan tetapi, itu baik-baik saja karena hukum layak menanggung penderitaan tambahan. Semangat ini terbaca pada pandangan Kant yang dikutip pada awal tulisan ini.

Banyak orang setuju dengan Kant. Orang harus dihukum karena melakukan kejahatan, bukan karena alasan lain. Dalam kapasitas ini sanksi hukum tetap menganut  proportionately” (setimpal) sesuai dengan beratnya kejahatan. Sayang, masih ada pelaku kejahatan yang menerima keistimewaan, misalnya vonis 15 tahun penjara cukup dijalani lima tahun. Itu pun masih bisa memilih sel yang berfasilitas, serba ada dan ada menurut keinginan, mudah keluar masuk dengan seribu dalih dan bisa mangkir dari aneka kewajiban seorang narapidana.

Menumpulkan kesadaran moral

Jika negara dijalankan tanpa menyandarkan pada teori retributivisme, masyarakat akan mengalami ketumpulan terhadap kesadaran moral adalah mereka yang mempunyai suara hati.

Sebagaimana yang telah duikemukakan teolog John Henry Newman dalam suara hati menyadari, kita wajib melakukan yang baik dan benar serta menolak yang tidak baik dan menolak yang tidak benar. Suara hati bagai panggilan dari suatu realitas personal yang berkuasa atas diri, yang jika kita mengikutinya membuat kita merasa berbilai, aman dan sedia untuk menyerah (Franz Maghnis Suseno : 2006 : 175).

Maghnis menjelaskan, manusia berkesadaran moral sama dengan mempunyai suara hati. Kesadaran moral dalam bahasa sehari-hari disebut suara hati. Ciri khas suara hati diantaranya, ia tidak dapat ditawar-tawar oleh pertimbangan untung rugi. Ciri ini disebut mutlak

Bagi orang bersuara hati ia akan malu jika melakukan perbuatan tak bermoral. Tentu saja bisa dibalik, orang yang suka atas perbuatan tak bermoral berarti tak bersuara hati. Inilah yang sering disebut ketumpulan suara hati. Ibarat pisau ketumpulan ini terjadi karena jarang digunakan atau enggan diasah. Jika setiap tindakan selalu dipertimbangkan suara hati, seseorang sedang mengasah diri untuk menuju kepada keutamaan moral.

Keutamaan moral kata Aristoteles dalam Nicomachean Etics, dibentuk oleh kebiasaan, etos, dan istilah ethics. Di sini norma termasuk norma hukum, merupakan elemen penting. Namun jika norma hukum itu dijalankan tidak semestinya semisal tanpa asas kesetimpalan, hukum bisa menjadi tak berwibawa. Orang masih terbiasa melanggar hukum karena prinsip dasar retributivisme bisa dipelesetkan dari “mata ganti mata” menjadi “mata ganti uang”. Maka jangan berharap akan terbangun kesadaran moral. Jangan pula berharap dekadensi moral dapat diatasi.

Perlu refleksi

Pemikir Paul Recoeur memberikan solusi untuk dapat keluar dari kondisi itu. Ia memandang perlunya refleksi, yaitu semacam tindakan untuk kembali ke diri sendiri, sehingga subyek memahami dirinya dalam kejernihan intelektual dan tanggungjawab moral.

Refleksi ini melahirkan sebuah kontrol diri dalam diri. Baik buruknya amal perbuatan seseorang ditentukan oleh kualitas hatinya. Inilah kontrol nurani, yang lebih kuat dibanding kontrol dari luar berupa sistem pengawasan dan sistem hukum. Kontrol nurani diperlukan agar aparat negara bisa mencapai tahap kejernihan intelektual. Dari sini diharapkan melahirkan sanksi setimpal tanpa dicampuri elemen lain. Jika kondiasi ini tercapai, orang tak lagi dibuat tercengang atas keputusan hukum terhadap seseorang, sekalipun ia anak seorang presiden.





ARSIP KLIPING ARTIKEL
BY : TOTO SUPARTO
DALAM KOMPAS 6 NOVEMBER 2006



There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter