-->

Korea Utara Dalam Cengkeraman Embargo Internasional

Parada militer Korea Utara di Phongyang

Primbon-arti.blogspot.comKorea Utara (Korut) adalah negara yang terletak di wilayah utara Semenanjung Korea & berbatasan langsung dengan Korea Selatan (Korsel). Tidak banyak yang tahu soal negara ini & bahkan masih ada yang belum bisa membedakan Korut dengan tetangganya Korsel.

Hal yang sebenarnya termasuk cukup wajar mengingat Korsel lebih dikenal dunia sebagai negara maju, sementara Korut sebagai negara berhaluan komunis cenderung menerapkan sistem tertutup dalam menjalankan roda pemerintahannya sehingga tidak banyak orang yang tahu kondisi sebenarnya negara ini.

Hampir semua orang tahu bahwa Korut saat ini lebih tertinggal dibandingkan tetangganya Korsel dalam aspek teknologi & standar hidup. Lalu, apa yang menjadi penyebab utama ketertinggalan Korut? Kebanyakan pengamat luar negeri menganggap pemerintahan Korut gagal menjamin kemakmuran rakyatnya, namun tidak banyak yang menyinggung soal dampak negatif dari embargo internasional yang menimpa Korut. Nah, tulisan kali ini akan mengangkat sedikit soal embargo yang disponsori AS terhadap Korut & apa dampak yang ditimbulkan.


Riwayat Embargo

Peta dari Semenanjung Korea & zona campuran
yang memisahkan kedua negara. 
Embargo internasional yang disponsori AS terhadap Korut dimulai sejak era Perang Korea yang pertama kali meletus pada tahun 1950. Pihak Korsel & AS mengklaim bahwa Korut melakukan agresi militer lebih dulu ke wilayah berdaulat Korsel, sementara Korut mengklaim bahwa serangan mereka ke wilayah Korsel merupakan tindakan balasan atas aksi-aksi provokasi yang lebih dulu dilakukan oleh pihak Korsel. Belakangan diketahui bahwa Korut sejak awal memang berniat melakukan "penyatuan Korea" lewat jalur militer. PBB lantas mengirim pasukan yang terdiri dari negara-negara Blok Barat & sekutunya untuk membantu Korsel, sementara Korut didukung oleh China & Uni Soviet. Perang tersebut berhenti (namun belum resmi berakhir hingga sekarang) pada tahun 1953 & zona campuran (buffer zone) yang netral didirikan di perbatasan antara kedua negara Korea.

Sangsi yang dilakukan AS terhadap Korut sejak Perang Korea meletus mencakup aspek politik (AS tidak mengakui keberadaan Korut secara resmi) & ekonomi di mana sangsi tersebut pada intinya dimaksudkan untuk melumpuhkan pemerintahan Korut yang oleh AS dianggap sebagai rezim otoriter, menghancurkan perekonomian negara tersebut, & pada akhirnya memaksa pemerintah Korut agar mau bekerja sama dengan AS. Contoh dari sangsi ekonomi AS terhadap Korut antara lain larangan ekspor & impor aneka komoditas ke Korut (termasuk makanan & obat-obatan), larangan transaksi finansial yang melibatkan Korut, larangan melakukan aktivitas dagang dengan Korut, & membekukan semua aset kekayaan Korut dalam lingkup perbankan AS.

Selama era Perang Dingin, Korut yang mendapat embargo secara bertubi-tubi dari AS kemudian menggantungkan sebagian besar kebutuhannya dari Uni Soviet. Pasca runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, Korut memasuki periode krisis ekonomi serius yang mengakibatkan bencana kelaparan yang melanda wilayah tersebut. Setelah wabah kelaparan yang berlangsung selama beberapa tahun, China akhirnya setuju untuk menjadi negara pendonor utama berikutnya bagi Korut & secara efektif mengakhiri periode bencana kelaparan besar pada waktu itu. Bantuan yang diberikan China ke Korut mencakup bantuan makanan & penjualan komoditas vital semisal minyak dengan harga jauh lebih rendah dari harga pasaran dunia.

Roket nuklir Taepodong.
Sejak tahun 2005, Korut mendapat tawaran bahwa mereka akan menerima bantuan aneka komoditas non-makanan negara-negara anggota Six Party (AS, China, Jepang, Korsel, & Rusia) dengan syarat Korut mau menanggalkan program senjata nuklirnya & kembali bergabung dengan perjanjian yang membatasi pemakaian & produksi senjata nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty). Korut sendiri memang sempat tergabung dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty, namun keluar dari keanggotaan pada tahun 1991. Lebih lanjut, negara-negara anggota Six Party seperti Jepang & Korsel sempat menghentikan bantuan kemanusiaan mereka ke Korut pasca uji coba roket  nuklir Taepodong yang dilakukan Korut.

Bicara soal embargo internasional untuk menekan kepemilikan senjata nuklir negara setempat, perlu diperhatikan juga bahwa selain Korut, ada 3 negara yang juga diketahui memiliki senjata nuklir & tidak tergabung dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty : India, Pakistan, & Israel. Ironisnya, meskipun ketiganya jelas-jelas sudah diketahui memiliki senjata nuklir & bahkan sempat mengujinya di hadapan publik (kecuali Israel), tidak ada sangsi embargo serupa yang dilancarkan terhadap ketiganya untuk menanggalkan senjata nuklirnya.


Dampak Embargo

Negara-negara utama yang melakukan embargo terhadap Korut (AS, Korsel, Jepang) mengklaim bahwa embargo yang mereka lakukan bertujuan untuk melemahkan pemerintahan Korut yang dianggap sebagai rezim berbahaya. Faktanya, embargo yang mereka lakukan hanya memberi dampak yang kecil bagi rezim yang berkuasa di Korut karena rezim yang bersangkutan tetap enggan meninggalkan proyek senjata nuklir & sistem pemerintahannya yang tertutup. Korban utama dari embargo tersebut justru adalah rakyat Korut yang notabene tidak ada kaitannya dengan program nuklir yang dilakukan pemerintahnya.

Amnesty Internastional melalui laporannya yang dirilis pada tahun 2010 menyalahkan pemerintahan Korut karena gagal menyediakan jaminan kesehatan yang layak kepada rakyatnya karena kebijakan-kebijakan pemerintahan yang bersangkutan cenderung kontraproduktif. Lebih lanjut, laporan tersebut mengangkat aneka laporan seputar penanganan kesehatan di Korut seperti banyaknya anggota medis yang tidak mendapat gaji yang layak, banyaknya rumah sakit yang kekurangan obat-obatan, banyaknya fasilitas kesehatan yang sering terkena kasus "mati lampu", & adanya operasi-operasi yang dilakukan tanpa pemakaian anestesi (obat bius).

Foto anak-anak Korea Utara yang
menderita kelaparan.
Di lain pihak, Tim Beal dalam tulisannya seputar Korut yang dirilis pada tahun 2007 menyatakan bahwa propaganda yang dihembuskan melalui media-media Barat memberi kesan bahwa kemunduran yang dialami oleh Korut murni disebabkan oleh kegagalan pemerintahan setempat & cenderung menutup-nutupi fakta bahwa embargo jangka panjang yang disponsori oleh AS juga berandil besar terhadap kemunduran Korut. Dampak dari embargo tersebut utamanya paling terlihat pada dekade 90-an usai runtuhnya Uni Soviet sebagai penyokong utama Korut sehingga Korut dilanda bencana kelaparan yang merenggut ribuan nyawa.

Fasilitas kesehatan Korea Utara sendiri pada awalnya termasuk salah satu yang terbaik untuk ukuran negara berkembang karena pemerintah Korut menaruh perhatian lebih pada bidang tersebut. Antara tahun 1955-1986, jumlah rumah sakit meningkat hampir 10 kali lipat dari hanya 285 menjadi 2.401, sementara jumlah klinik meningkat dari hanya 1.020 menjadi 5.600 lebih. Mereka yang berobat di beberapa RS atau klinik juga tidak dikenakan biaya. Namun sejak dekade 1990-an, fasilitas-fasilitas kesehatan di Korut mengalami penurunan kualitas yang begitu tajam. Sebagai akibatnya, RS & klinik di Korut sekarang sering mengalami masalah seperti kekurangan obat-obatan & tenaga listrik, sementara sejumlah besar rakyatnya menderita berbagai masalah kesehatan seperti malnutrisi, malaria, & TBC.

Perlu diperhatikan juga bahwa meskipun AS masih secara konsisten mengirimkan bantuan makanan ke Korut, mereka melarang ekspor komoditas dengan "penggunaan ganda" (penggunaan untuk sipil & militer) ke Korut dengan alasan komoditas tersebut bisa dipakai untuk mengembangkan senjata kimia. Komoditas-komoditas yang dimaksud mencakup klorin, kantung transfusi darah, peralatan sinar X, & grafit untuk pensil. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa Korut saat ini kerap kesulitan menyediakan obat-obatan & alat tulis dalam jumlah yang layak. Sangsi serupa juga dijumpai pada Irak pasca Perang Teluk tahun 1991 & dampak sangsi yang ditimbulkan terhadap penurunan kualitas fasilitas kesehatan setempat kurang lebih serupa dengan yang terlihat di Korut sekarang.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter