Wikipedia melansir pemakzulan (lebih populer disebut impeachment) sebagai sebuah proses di mana sebuah badan legislatif secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara. Pemakzulan bukan selalu berarti pemecatan atau pelepasan jabatan, namun hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal, sehingga hanya merupakan langkah pertama menuju kemungkinan pemecatan. Saat pejabat tersebut telah dimakzulkan, ia harus menghadapi kemungkinan dinyatakan bersalah melalui sebuah pemungutan suara legislatif, yang kemudian menyebabkan pemecatan sang pejabat.
Sedangkan detik.com melansir, istilah pemakzulan tidak tertulis dalam konstitusi UUD 1945. Pasal 7A perubahan ketiga UUD 1945 hanya menyebut, Presiden dan atau Wakil Presiden atau aparat lain nya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menjelaskan, pemakzulan adalah bahasa serapan dari bahasa Arab yang berarti diturunkan dari jabatan. Atau sama dengan istilah ‘impeachment’ dalam konstitusi negara-negara Barat.
“Impeachment itu menuntut pertanggungjawaban dalam rangka pengawasan parlemen kepada presiden, apabila presiden melanggar hukum,” kata Jimly.
Menurut Jimly, mekanisme pemakzulan diatur dalam konstitusi agar forum politik DPR tidak bisa serta merta menjatuhkan Presiden dan atau Wapres. Sebagaimana Presiden tidak bisa membubarkan DPR, DPR juga tidak bisa menjatuhkan Presiden dan atau Wapres kecuali Presiden dan atau Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum.
“Jadi pemakzulan sebagai imbangannya,” kata Jimly yang juga terlibat dalam proses amandemen konstitusi.
Pembuktian dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan atau Wapres ini dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Jika MK menyatakan Presiden dan atau Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum, maka proses selanjutnya berlangsung di Majelis Permusyawaratan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wapres.
“Kalau terbukti secara hukum, berarti ada alasan DPR untuk mengajukan permintaan tanggung jawab Presiden dan atau Wapres lewat forum MPR,” jelas Jimly.
Pasal 7B ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 menyebutkan, usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan atau pendapat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.
Dengan adanya mekanisme pemakzulan, kata Jimly, Presiden dan atau Wapres yang tidak punya dukungan mayoritas di parlemen sekalipun tidak bisa begitu saja dijatuhkan oleh mekanisme politik.
Salam
Gio Pamot
Gio Pamot
Posting Komentar
Posting Komentar