-->

MEMBACA MANHAJ NABI BAGIAN KETIGA


MANHAJ JUANG NABI MUHAMMAD SAW
BAGIAN KE TIGA




Membaca Manhaj Haraki Manhaj Juang Nabi SAW

Hijrah Pertama Ke Habasyah

Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dalam Sirah-nya bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada kaum muslimin,

    “Sebaiknya kalian pergi ke Habasyah karena di sana ada seorang raja yang adil sekali. Di dalam kekuasaannya tidak seorang pun boleh dianiaya, di sana adalah bumi kejujuran. Sampai Allah memberikan jalan keluar kepada kalian.”

hijrah-0Sejak itu, kaum muslimin dan para sahabat Rasulullah saw. berangkat ke Habasyah karena takut fitnah dan menuju ridha Allah, dengan membawa agama mereka. Inilah hijrah yang pertama dalam Islam. “… Mereka berangkat pada bulan Rajab tahun kelima dari kenabian sampai di Habasyah pada bulan Sya’ban dan Ramadhan. Orang-orang Quraisy berangkat mengejar mereka sampai ke pantai, tapi tidak berhasil menangkap seorang pun di antara mereka. Kemudian para Muhajirin ini kembali lagi ke Mekah pada bulan Syawwal karena mendengar berita bahwa orang-orang Quraisy telah mendukung Rasulullah saw.”

Strategi Hjrah merupakan strategi jitu dari Rasulullah saw. ketika beliau mencari basis yang kokoh (qa’idah shalbah) dan tempat lain yang aman bagi da’wah di selain kota Mekah. Agar Quraisy, betapa pun kekuatan yang dimilikinya, tidak dapat menumpas habis eksistensi Islam di muka bumi. Hal ini seyogianya diperhatikan gerakan Islam dalam menyusun strategi dan perencanaannya, agar seluruh potensi personil dan materiilnya tidak ditempatkan di satu tempat sehingga memudahkan musuh untuk menghancurkannya secara total. Tetapi, ia harus memperbanyak tempat-tempat tajammu ‘konsentrasi’ dan keberada- annya, sehingga seandainya kehilangan satu tempat tertentu ia dapat berpindah ke tempat lain.

Tidaklah diragukan bahwa keberangkatan para pemuda muslim ke negeri baru merupakan suatu kesulitan dan pengorbanan besar. Ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh para pemuda yang telah memiliki keimanan kuat yang mampu mengalahkan segala penderitaannya. Penderitaan sebagai orang asing dan berpisah dengan keluarga dan tanah air. Ia tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang berkeyakinan dan cintanya kepada aqidah lebih besar dari cintanya kepada negeri dan keluarganya. Ikatan aqidah lebih mendalam dan lebih kuat pengaruhnya di dalam jiwanya daripada ikatan lainnya.

 “Katakanlah, Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum kerabat, harta kekayaan yang kauusahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) jihad dijalan- nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (at-Taubah [9]: 24).

Hijrah ke Habasyah memiliki sasaran lain yaitu  mencari tempat yang aman bagi da’wah dan basis baru  sebagai titik tolak pergerakan.  Inilah yang disebutkan oleh penulis tafsir Fi Zhilalil Quran—Sayyid Quthb—dengan perkataannya, “Kemudian Rasulullah saw. mencari basis lain selain Mekah. Suatu basis yang dapat melindungi aqidah, menjamin kebebasannya dan mencairkan kebekuan yang telah terjadi di Mekah. Di tempat yang baru ini diharapkan adanya kebebasan da’wah dan perlindungan para pemeluknya dari penindasan dan fitnah…. Menurut saya inilah sebab terpenting dari hijrah.
Memanfaatkan Undang-Undang Masyarakat Musyrik

Masyarakat jahiliah sangat menghargai undang-undang perlindungan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Jika seorang yang lemah masuk ke dalam jaminan keamanan (jiwa) orang yang kuat maka orang tersebut dapat menikmati perlindungan kebebasan bergerak dan berpikir, sehingga pihak musuh tidak akan dapat mengganggunya sama sekali. Jika ada pihak yang mengganggunya maka ini berarti peperangan antara kedua belah pihak. Oleh sebab itu, orang yang mengumumkan atau memberi perlindungan haruslah orang yang mulia dan terpandang di kaumnya, mampu memberikan perlindungan dan memperhitungkan segala kemungkinan dadakan yang akan terjadi. Perlindungan pertama dalam masyarakat Mekah ialah perlindungan Abu Thalib kepada Muhammad saw..

Berkata Ibnu Ishaq, “Paman Rasulullah saw., Abu Thalib, melindungi dan membelanya sehingga beliau terus melanjutkan da’wahnya tanpa mempedulikan gangguan apa pun. Ketika Quraisy melihat bahwa Rasulullah saw. terus mengecam tuhan-tuhan mereka, sementara Abu Thalib telah melindunginya sehingga menolak menyerahkannya kepada mereka, berangkatlah beberapa orang menemui Abu Thalib. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya anak saudaramu telah mengecam tuhan-tuhan dan agama kita, mencela mimpi-mimpi kita, dan menyatakan nenek moyang kita sesat. Kami harap engkau dapat mencegahnya atau biarkan kami bertindak terhadapnya.” Abu Thalib menjawab pernyataan mereka dengan lembut dan baik sampai mereka kembali. Sementara itu, Rasulullah saw. terus melakukan da’wahnya sehingga beliau senantiasa menjadi bahan pembicaraan di kalangan Quraisy. Hal ini membuat mereka semakin benci pada beliau dan berusaha menghentikan da’wahnya.

Berkata Ibnu Ishaq,

“Kemudian Quraisy saling mengecam sesama mereka atas masuknya orang-orang dari masing-masing kabilah ke dalam agama Islam. Setiap kabilah menangkapi anak-anak kabilah-nya yang masuk Islam kemudian menyiksa mereka dan memaksa mereka keluar dari Islam. Dalam pada itu, Allah telah melindungi Rasul-Nya dari tindakan mereka dengan paman- nya, Abu Thalib. Ketika Abu Thalib melihat apa yang dilakukan oleh Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib, ia bangkit mengajak mereka untuk melindungi Rasulullah saw. dan membelanya. Semua putra Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib menyambut seruannya kecuali Abu Lahab dan anaknya.“

Blokade Ekonomi dan Pemboikotan Umum untuk Menghancurkan Da’wah dan Para Sekutunya

Terbunuhnya Rasulullah saw. adalah sasaran utama yang dituju olen kaum musyrikin. Adakah para sekutu melakukan petualangan dengan memecah belah barisan Mekah semata-mata demi membela Nabi saw.? Sejauh manakah mereka berjalan dalam garis ini? Blokade dan pemboikotan inilah yang akan membuktikannya.

Sebelum pemboikotan semua urusan berjalan dengan mudah dan lancar. Perlindungan yang diberikan kepada Nabi saw. hanyalah merupakan fanatisme (hamiyah) jahiliah dari kedua kabilah tersebut yang tidak ingin menyerahkan salah seorang putranya kepada kabilah lain. Tetapi, blokade dan pemboikotan ini dimaksudkan untuk memukul hancur kedua kabilah tersebut dan mengucilkannya dari Mekah. Di hadapan mereka terpampang garis permusuhan.

Mekah secara keseluruhan telah berada dalam bahaya sehingga mengakibatkan perpecahan Mekah menjadi dua front besar. Pertama, kaum muslimin beserta Bani Hasyim dan Bani Muthallib, baik yang muslim maupun yang musyrik. Kedua, kaum musyrikin dari kabilah-kabilah Quraisy yang lainnya.

Tidaklah diragukan lagi bahwa kebersihan kepribadian Islam dan ketinggian kedudukannya di kalangan kedua kabilah inilah ayang mendorong sikap tersebut. Kalau saja Rasulullah saw. tidak punya wibawa dan kehormatan di kalangan mereka, niscaya kedua kabilah besar—Bani Hasyim dan Bani Muthallib—tidak akan mau berpetualang melakukan peperangan demi membela Muhammad saw.
Peran Wanita dalam Jihad, Da’wah,  Dan Sirriyah Periode Ini

Wanita Muslimah tidak boleh tidak harus mengambil perannya dalam pertarungan, mendampingi kaum lelaki. Sebagian besar mereka yang berhijrah ke Habasyah adalah bersama istri-istri mereka. Bahkan, dengan bangga sejarah Islam menyebutkan bahwa makhluk Allah yang pertama kali menyambut Islam adalah wanita. Demikian pula orang yang mati syahid pertama kali dalam Islam. Dengan demikian, wanita muslimah tidak pernah jauh dari medan pertempuran. Bahkan, dengan penuh kesabaran dan ketegaran, ia menghadapi berbagai derita penyiksaan di jalan Allah, termasuk para wanita budak belian- nya. Nahdiah menghadapi penyiksaan dengan penuh kesabaran sampai buta. Sumayyah mengalami penyiksaan berat hingga mati syahid. Fathimah binti al-Khaththab tampil membela suaminya kemudian dia ditampar oleh Umar sampai wajahnya berlumuran darah. Ini adalah salah satu sisi peranannya.

Kalau kita sebutkan semua wanita dunia, pasti Khadijah akan menempati urutan pertama. Ialah yang “mengasuh” da’wah dan da’inya semenjak masa-masa pertama. Ia telah menyerahkan seluruh hartanya untuk dimanfaatkan suaminya. Ia bersabar menghadapi pemboikotan dan kemiskinan, padahal ia termasuk orang terkaya di Mekah. Di samping semua peran tersebut, ia selalu bersikap menghibur, memberikan motivasi, dan meneguhkan Rasulullah saw. Karena itu, ia selalu dikenang oleh Rasulullah saw., sampai ketika mendengar suara saudaranya Halah, atau suara teman-temannya yang sering mengunjunginya di waktu ia masih hidup, Rasulullah saw. merasa senang. Tepatlah jika Rasulullah saw. dan kaum muslimin menyebut tahun kematian Khadijah dan kematian Abu Thalib sebagai tahun duka cita.

Gerakan Islam di masa sekarang sungguh sangat bangga dengan wanita-wanita yang telah syahid dan melakukan jihad dengan harta dan senjata melawan musuh-musuh Allah. Gerakan Islam sangat bangga dengan wanita-wanita yang telah menikah dengan para mujahidin untuk berperan serta dalam jihad fi sabilillah atau menyampaikan berita dan informasi di kalangan mujahidin atau membongkar sarang-sarang musuh. Gerakan Islam juga berbangga dengan wanita-wanita yang telah melakukan hijrah di jalan Allah, karena mereka diburu oleh para thaghut yang ingin melenyapkan mereka. Wanita-wanita muslimah yang tidak pernah menyerah dalam mempertahankan agama mereka sekalipun harus menghadapi berbagai ancaman atau bujukan. Gerakan Islam juga berbangga dengan wanita-wanita muslimah yang dipenjarakan di penjara-penjara para thaghut, karena mempertahankan agama mereka. Bersama ini kami menghimbau para akhwat mu’minah untuk berperan serta dalam jihad ini dan bergabung di bawah panji gerakan Islam guna melakukan peran utama yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh wanita.

Tidak Melepaskan Satu Bagian Ajaran  Sekalipun Demi Perlindungan 

Setelah wafatnya Abu Thalib, bangkitlah rasa fanatisme di kepala Abu Lahab, ketika melihat gencarnya penyiksaan yang dilancarkan Quraisy terhadap anak saudaranya, Muhammad. Kemudian dia datang kepada Nabi saw. seraya berkata, “Pergilah wahai anak saudaraku dan teruskanlah apa yang pernah kamu lakukan semasa Abu Thalib masih hidup. Lakukanlah!”

Sikap ini tentunya sangat mengguncangkan Quraisy yang telah merencanakan penghancuran perlindungan tersebut. Tetapi, kemudian Quraisy berhasil ketika mendesak Abu Lahab agar menanyakan Rasulullah saw. tentang Abdul Muthallib. Rasulullah saw. dihadapkan kepada dua persoalan. Perlindungan dapat berjalan terus dengan syarat mau “berdamai” dan “menawar” satu kalimat dari ajaran Islam, atau semua perlindungan dibatalkan jika Nabi saw. menyebut hukum Allah tentang Abu Thalib. Karena perlindungan tidak boleh didapatkan dengan cara mengorbankan aqidah maka dengan tegas Nabi saw. menjawab pamannya, Abu Lahab, “Dia (Abu Thalib) di neraka.” Serta merta Abu Lahab berkata, “Aku masih tetap menjadi musuhmu untuk selama-lamanya.” Kemudian ia kembali bergabung kepada front Quraisy.

Kalau kita bertanya mengapa Rasulullah saw. bersikeras menjelaskan hukum Allah tentang Abdul Muthallib, padahal penjelasan itu akan mengakibatkan hilangnya perlindungan kepadanya dan kepada kaum muslimin? Jawabannya ialah jika hukum ini tidak dijelaskan, berarti Abdul Muthallib benar, sedangkan Quraisy secara keseluruhan mengikuti millah Abdul Muthallib. Dengan demikian, tidak perlu lagi adanya pemisahan antara kedua kelompok dan mungkin diadakan “pertemuan” antara kekafiran dan Islam di tengah jalan. Berdasarkan petunjuk inilah hendaknya gerakan Islam bersikap terhadap para musuhnya.

 “Dan sesungguhnya, mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu, tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat setia. Dan, kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami” (al-Isra’ [17]: 73-75).

* Dikutip dari buku “Manhaj Haraki : Startegi Pergerakan dan Perjuangan Politik Dalam Sirah Nabi SAW ” Jilid-1 , Syekh Munir Muhammad al-Ghadban”, Rabbani Pers, 1992.





JELAJAH PUSTAKA


There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter