Mohammad Yamin adalah tokoh terpenting dalam perumusan Sumpah Pemuda. Ikrar yang disusunnya telah mengilhami perjuangan bangsa selanjutnya, bahkan tetap menjadi perekat persatuan sampai saat ini.
Sebetulnya bagaimana posisi Yamin dalam sejarah Indonesia? Pada majalah Tempo edisi khusus 16 Januari 2000 tertulis secara eksplisit, “Pakar sejarah Taufik Abdullah menempatkan Yamin sebagai sejarawan terbesar abad ini.” Mungkin Prof Dr Taufik Abdullah hanya berbasa-basi tentang kehebatan Muhammad Yamin, tetapi barangkali pernyataan itu ada benarnya juga. Timbul pertanyaan, besar dalam hal apa?
Kalau dari segi perawakan tubuh, memang Yamin lebih besar dari Taufik Abdullah, juga dari Mestika Zed. Anhar Gonggong mungkin lebih kurus, tetapi lebih tinggi atau sama tinggi dengan Yamin. Namun kalau dari segi kualitas karya, bagaimana mengukurnya?
Serbabesar
Muhammad Yamin yang lahir di Talawi, Sawah Lunto, 23 Agustus 1903 adalah pribadi yang mempunyai kemampuan besar dan citacita besar. Dia memiliki banyak talenta: pemikir sejarah, sastrawan, ahli bahasa, politisi, dan ahli hukum di samping tokoh pergerakan nasional.Kalau hanya gabungan sejarawan dan sastrawan,itu mungkin sebanding dengan Kuntowijoyo almarhum, tetapi Yamin juga menguasai perundang-undangan serta ikut menata bidang pendidikan dan keguruan.
Dia pernah menjadi menteri yang mengurus bidang pendidikan dan mendirikan perguruan tinggi pendidikan guru (PTPG) di Bandung, Malang, dan Batu Sangkar. Dia terlibat dalam penyusunan UUD 1945 dan pernah menulis buku Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1951). Yamin memiliki kemampuan besar ketika dia meyakinkan pimpinan sidang dan peserta Kongres Pemuda di Jakarta tentang rumusan yang kini dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Ketika kemudian setelah Indonesia merdeka muncul ide agar bahasa Jawa dijadikan bahasa nasional, Yamin menolaknya. Baginya bahasa adalah landasan utama dari eksistensi “bangsa”. Sebuah kalimat “Tiada bahasa, bangsa pun hilang” terdapat dalam sajaknya yang ditulis tahun 1921.
Dalam ingatan kolektif masyarakat, formula sumpah pemuda itu singkat saja bahwa kita memiliki satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Pemilihan bahasa Indonesia yang berasal dari Melayu sebagai bahasa nasional merupakan keputusan yang sangat cemerlang dan visioner. Kini tampaknya bahasa Indonesia itu pulalah yang menjadi (sedikit yang tersisa dari) perekat persatuan Indonesia.
Di sisi lain, dia juga memiliki cita-cita yang sangat tinggi.Yamin muda membayangkan sebuah Indonesia Raya yang mencakup delapan wilayah yang merupakan bekas jajahan Belanda, Inggris, dan Portugis. Bukan saja besar wilayahnya, tetapi juga pernah jaya pada masa lampau. Dia berupaya dengan segenap daya untuk meyakinkan masyarakat tentang kebenaran pandangannya ini–demi menumbuhkan rasa nasionalisme.
Dalam konteks ini pula dia menggagas lambang negara, sungguhpun yang diterima adalah konsep Sultan Hamid. Soekarno pernah mengungkapkan perihal Trimurti, yaitu konsep tentang waktu mengenai tanah air, (a) the golden past, (b) the dark present, dan (c) the promising future. Masa lampau yang jaya, masa kini yang gelap, dan masa depan yang menjanjikan/cerah. Pemikiran Yamin sejalan dengan ini.
Dia menggambarkan masa lalu yang jaya dengan mengacu pada Sriwijaya dan Majapahit. Dalam perbenturan atau ketidaksesuaian antara cita-cita besar dengan kemampuan besar mungkin saja timbul hal-hal yang kemudian dianggap kontroversi. Yamin bukanlah orang yang diam saja bila ada sesuatu yang tidak cocok di hatinya. Dalam sidang BPUPKI beberapa kali dia ditegur oleh ketua sidang, tetapi tetap melanjutkan uraiannya yang dianggapnya penting.
Ketua sidang memintanya untuk mematuhi ketentuan rapat (agar Yamin “takluk”), tetapi Yamin menjawab bahwa dia “takluk tetapi tidak tunduk”. Sikap seperti ini yang kelihatannya menyebabkan beberapa tokoh agak jengkel kepada Yamin. Di sisi lain seorang pengamat sejarah Filipina menilai karyanya “romantic, ultra nationalist and pre-scientific” (Rommel Curaming dalam Kyoto Review of Southeast Asia, Maret 2003).
Istilah yang terakhir yang mungkin bisa diterjemahkan sebagai “prailmiah”, mengingatkan pada istilah prasejarah, yaitu suatu masa yang dengan perkembangan waktu akhirnya sampai pada era sejarah. Tentu kata tersebut memiliki konotasi yang kurang elok karena menganggap karya Yamin sebagai “belum tergolong ilmiah”, sesuatu yang sebetulnya masih bisa diperdebatkan.
Kanvas Besar
Sebetulnya Yamin dapat diibaratkan seorang pelukis yang menggambar di kanvas sangat besar. Kalau sejarawan Prancis Fernand Braudel berbicara tentang longue durée (masa yang sangat panjang), Yamin telah menulis tentang 6.000 tahun Merah Putih. Mungkin saja analisisnya kurang tepat, tetapi yang ingin disampaikan Yamin adalah unsur persatuan itu sudah lama ada di wilayah yang kemudian bernama Indonesia ini.
Yamin menulis tujuh jilid buku tentang Majapahit dan sebuah buku “klasik” tentang Gajah Mada. Yamin adalah sejarawan yang memiliki pandangan bukan saja jauh ke belakang, tetapi juga jauh ke depan. Baginya bentuk yang cocok untuk negara ini adalah negara kesatuan. Namun jauh-jauh hari pada sidang BPUPKI dia telah menyampaikan bahwa negara kesatuan itu harus menjalankan dua prinsip, yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi.
Kenyataan itu yang tidak dijalankan sejak Indonesia merdeka sampai jatuhnya Orde Baru. Yamin mengawali usaha dekolonisasi sejarah. Berdasarkan prinsip “catursila Khalduniyah” (kebenaran, sejarah Indonesia, kebangsaan Indonesia, dan sintesis), Yamin mengajukan pembabakan sejarah Indonesia yang menurutnya terdiri atas lima tahap, yaitu (1) prasejarah, (2) protosejarah, (3) babakan kebangsaan, (4) babakan internasional, dan (5) abad proklamasi, yang bermula dari prasejarah dan mencapai puncaknya pada “abad proklamasi”.
Jadi kemerdekaan dan persatuan Indonesia adalah puncak dari perjalanan sejarah Indonesia. Yamin juga sangat peduli dengan pendidikan sejarah. Bahkan pendidikan secara umum dan pendidikan guru. Khususnya untuk pendidikan sejarah, dia sudah berpikir bahwa pelajaran sejarah seyogianya tidak membosankan murid.
Tahun 1956 dia menerbitkan buku Atlas Sejarahdan Lukisan Sejarah (kedua buku itu diterbitkan oleh Penerbit Djambatan Jakarta tanggal 17 Agustus 1956) yang merupakan alat bantu pengajaran sejarah agar tidak membuat siswa menjadi jenuh. Dalam pengantar buku Atlas Sejarah disebutkan, “Kami sangat berhemat menyebut segala peperangan dan pertempuran yang berlaku dalam perjalanan sejarah karena kemajuan dunia bukanlah hanya sejarah perang, melainkan sungguh banyak sangkut-pautnya dengan peristiwa lain.
Kami meluangkan tempat bagi persamaan waktu dalam sejarah dan bagi penjelasan tentang pengaruh peradaban. Sungguh-sungguh pula kami pertimbangkan bahwa sejarah pada hakikatnya ialah gerakan arus yang tak putus-putusnya dan selalu mendorong manusia dan bangsa mencari bentuk baru. Oleh sebab itu di mana perlu kami tekankan gerak-gerik dinamik sejarah dan cara bagaimana negara dan peradaban turun-naik silih berganti.”(*)
Asvi Warman Adam Sejarawan LIPI
|
Posting Komentar
Posting Komentar