Alkisah dari konon yang menurut ramalan Sri Aji Joyoboyo (raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157), bakal pemimpin negeri ini adalah mereka yang memiliki inisial nama dari suku kata “No-To-Ne-Go-Ro”, (Notonegoro = Tata Negara) dan bila diartikan secara sederhana menunjukan bahwa yang bakal menjadi presiden itu “harus” orang Jawa.
Ternyata doi juga gak terlalu bokis, Hal ini nampaknya juga gak berlebihan kalo' ternyata yang jadi Presiden sebagai pemenang pemilu adalah: “soekarNo”, “soeharTo” dan “yudoyoNo”, adapun habibie yang dalam tafsir bahasa arab ke bahasa jawa-nya tresNo (cinta) , megawati dan gusdur (Abdur Rachman Wahid) yang apabila dituliskan dengan huruf jawa HoNoCoRoKo juga mengandung suku kata Go dan Ro, Namun demikian hampir dari semuanya mereka adalah berasal dari orang Jawa. entah mane yang bener, ada juga sih yang berpendapat kalo' yang bener itu Panotogoro ade juga yang Panotoprojo.
Nb : Sedikit catatan nih sob, Dalam aksara Jawa atau yang pernah kita denger Honocoroko / hanacaraka, varian dari suku kata No ialah Nyo, lebih luas lagi agar tidak terkesan Javasentris maka varian lain yang tersedia adalah Na. Begitu pula dengan To, suku kata kedua "notonogoro" maka varian dalam aksara Jawa dari To ialah Tho, selanjutnya lebih luas lagi ialah Ta. Untuk suku kata ketiga dari notonogoro yakni No, idem dengan No suku kata pertama. untuk Suku kata keempat Go yakni dalam aksara Jawa maka varian Go ialah Ngo, Nggo, dan juga tentu saja Ga. Selanjutnya varian dari suku kata terakhir notonogoro yakni Ro dalam aksara Jawa Ro tidak ada bentuk lainnya, kecuali lebih luas lagi agar tidak Javasentris adalah Ra.
Di balik itu semua, bila kita lihat kembali ke Sejarah Bangsa nampaknya hampir seluruh Pemimpin Bangsa ini cara kepemimpinannya merujuk kepada falsafah dari Gadjah Mada, yang terkenal dengan “Sumpah Palapa” nya (tahun 1331), dan gaya kepemimpinannya pun nampaknya tidak lebihnya adalah merupakan ‘reinkarnasi’ dari cara kepemimpinan seorang Patih Gadjah Mada.
Bila dilihat secara garis besar, kaidah kepemimpinan Gadjah Mada dapat diklasifikasikan menjadi tiga dimensi, yaitu: Spiritual, Moral, dan Manajerial.
Dimensi Spiritual terdiri dari tiga prinsip, yaitu:
- 1. Wijaya : tenang, sabar, bijaksana. (kaya' nama guweh)
- 2. Masihi Samasta Bhuwana: mencintai alam semesta, dan
- 3. Prasaja: hidup sederhana.
Dimensi Moral terdiri dari enam prinsip, yaitu:
- 4. Mantriwira: berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan,
- 5. SarJawa Upasama: rendah hati,
- 6. Tan Satrsna: tidak pilih kasih,
- 7. Sumantri: tegas, jujur, bersih, berwibawa,
- 8. Sih Samasta Bhuwana: dicintai segenap lapisan masyarakat dan mencintai rakyat,
- 9. Nagara Gineng Pratijna: mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan keluarga.
Dimensi Manajerial terdiri dari sembilan prinsip, yaitu:
- 10. Natangguan: Mendapat dan menjaga kepercayaan dari masyarakat;
- 11. Satya Bhakti Prabhu: loyal dan setia kepada nusa dan bangsa;
- 12. Wagmiwag: pandai bicara dengan sopan;
- 13. Wicaksaneng Naya: pandai diplomasi, strategi, dan siasat;
- 14. Dhirotsaha: rajin dan tekun bekerja dan mengabdi untuk kepentingan umum;
- 15. Dibyacitta: lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain;
- 16. Nayaken Musuh: menguasai musuh dari dalam dan dari luar;
- 17. Ambek Paramartha: pandai menentukan prioritas yang penting;
- 18. Waspada Purwartha: selalu waspada dan introspeksi untuk melakukan perbaikan.
Prinsip-prinsip tersebut dijadikan sebagai sumber dari filsafat dan way of life yang diyakininya, dan mencerminkan spiritualitas Jawa yang bersifat holistic spirituality, yang memberikan inspirasi pandangan hidup pada Gadjah Mada.
masuk ke permasalahan berikutnya, yang mulai guweh bahas ke temen rumah, kuliah, dimanapun mereka berada.
Kenapa Orang Tatar Sunda Tidak Mau dibilang Jawa ?
Kepikir gak sih, bagi masyarakat di pulau Jawa bagian Barat atau lebih dikenal dengan propinsi Jawa Barat, mereka tidak bisa disebut sebagai ‘orang Jawa’ atau berasal dari ‘suku Jawa’. Penduduk di provinsi ini lebih dikenal dengan sebutan ‘orang Sunda’ atau ‘suku Sunda’, sementara daerahnya sering terkenal dengan sebutan ‘Tatar Sunda’, PaSundan, atau ‘Bumi Parahyangan’ dengan Bandung sebagai pusatnya.
Kultur Budaya
Suku Sunda atau masyarakat Sunda merupakan mayoritas penduduk Jawa Barat. Dalam catatan sejarah, pada tahun 1851 suku Sunda sudah merupakan penduduk terbesar di Jawa Barat yang berjumlah 786.000 jiwa. Pada tahun 2008, suku Sunda diperkirakan berjumlah lebih kurang 34 juta jiwa.
Secara fisik sulit dibedakan antara orang Sunda dan orang Jawa yang sama-sama mendiami Pulau Jawa. Perbedaan yang nampak sebagai penduduk Pulau Jawa, Dari segi kebudayaannya, bahasa, jenis makanan yang disukai dan kesenian yang dimiliki. sebenarnya juga tidak terlalu nampak perbedaan yang signifikan.
‘Suku Jawa’ yang mayoritas hidup di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur, adalah mereka yang menggunakan bahasa Jawa dengan budaya dan tata bahasa atau grammar jawa yang secara urut tingkat kesopananya (Ngoko, Kromo, Kromo Inggil), umumnya dibedakan dari segi usia atau orang yang harus dihormati harus menggunakan grammar Kromo Inggil, yang padahal guweh sendiri juga gak bisa pake.
Jawa dan Sunda, bisa dibilang juga sebagai nama bahasa yang mereka gunakan, mungkin kalau ditinjau kedua bahasa ini dibedakan dari segi pengucapanya, Bahasa Jawa lebih dominan dengan penggunaan vocal ‘O’ (lebar diameter mulut 3 jari) bukan "o" (lebar diameter mulut hanya satu jari) untuk setiap akhir sebuah kata baik itu dalam pemberian nama orang atau nama tempat, seperti Sukarno, Suharto, Yudhoyono, Sukonto Legowo dan seterusnya. Sementara bahasa Sunda lebih dominan berakhiran huruf ‘A’ seperti Nana Sutresna, Wiranata, Iskandar Dinata, Purwakarta dan Majalaya.
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dikenal sebagai masyarakat yang senang memakan sayuran atau daun - daunan sebagai ‘lalaban’ (sayuran yang dimakan mentah - mentah dengan sambal). Ini dikarenakan dulunya negara kita merupakan negara Agraris (pertanian) atau negara yang subur akan hasil pertanianya, Bagi orang Sunda dan Jawa, dedaunan dan sambal merupakan salah satu menu utama setiap makan selain tentunya lauk pauk lain seperti ikan dan daging.
Salah satu karakteristik orang Sunda adalah terkenal dengan karakternya yang lembut, tidak ngotot dan tidak keras. Mereka bersikap baik terhadap kaum pendatang atau dalam bahasa Sunda ‘someaah hade ka semah’. hal ini nampaknya juga diperlihatkan oleh orang - orang Jawa khususnya daerah Jawa Tengah,
Karena sifat inilah tak heran kalau penetrasi agam Islam ke daerah pulau Jawa ketika pertama kali Islam datang, sangat mudah diterima oleh masyarakat ini. Sebagaimana mayoritas penduduk Indonesia, Islam merupakan agama mayoritas orang Jawa. Yang membedakannya, kelekatan (attachment) orang Jawa terhadap Islam dipandang lebih kuat dibanding dengan orang Sunda pada umumnya. Meskipun tentunya tidak sekuat orang Madura dan Bugis di Makassar.
Tidak ada satupun presiden Indonesia yang berasal dari suku Sunda, bahkan dari sembilan orang wakil presiden yang pernah menjabat sejak zaman Presiden pertama Soekarno sampai sekarang Presiden Yudhoyono, hanya seorang yang berasal dari suku Sunda yaitu Umar Wirahadikusuma yang pernah menjabat sebagai wakil presiden di zaman Presiden Soeharto.
Bila dilihat dari unsur sosial dan budaya seperti tersebut di atas, orang dari tatar Sunda memang tidak sama dengan Jawa, sehingga dengan demikian walaupun tinggal di satu pulau, tetap saja tidak bisa disamakan. Namun nampaknya faktor alam yang “lohjinawi” itulah yang membentuk karakter dan kepribadian seperti itu, sehingga membentuk kultur budaya dan perilaku yang membedakan dengan orang Jawa.
Perang Bubat.
adalah perang yang kemungkinan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gadjah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gadjah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M.
Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam - diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.
Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran.
Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya.
Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gadjah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda, sebab untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut, maka dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan Sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan maksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gadjah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gadjah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gadjah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki - makinya Gadjah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gadjah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gadjah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gadjah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka.
Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali – yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka – untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.
Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gadjah Mada menjadi renggang. Gadjah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan "esti larangan ti kaluaran," yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).
Dengan demikian nampaknya kejadian seperti tersebut di atas telah membuat orang dari tatar Sunda, tidak menerima kebijakan politik dari Gadjah Mada tersebut, walau tujuannya untuk mempersatukan kerajaan - kerajaan di Nusantara itu, namun caranya seperti itu ‘tidak elegant’ dan telah melukai harkat martabat dan harga diri orang Sunda, sehingga sampai kini di wilayah tatar Sunda itu tidak ada nama Jalan Gadjah Mada atau Hayam Wuruk.
Nah…., bila kembali kepada pertanyaan di atas:”Kenapa Orang Tatar Sunda Tidak Mau dibilang Jawa ?“
guweh gak berani komentar, guweh cuman sanggup kasih cerita yang pernah guweh denger aja, kalian sendiri yang kasih komentar, setiap orang pasti punya imajinasi dan fantasi yang berbeda - beda dalam membaca, bagaimana mestinya, buwat guweh, inilah guweh, beginilah guweh, bukan mereka. (guweh harap kalian juga gitu)
Indonesia akan tetap bersatu dengan pemuda - pemudanya yang tetap menjaga mimpi - mimpi Nasionalisme pahlawan pendulunya,
guweh gak berani komentar, guweh cuman sanggup kasih cerita yang pernah guweh denger aja, kalian sendiri yang kasih komentar, setiap orang pasti punya imajinasi dan fantasi yang berbeda - beda dalam membaca, bagaimana mestinya, buwat guweh, inilah guweh, beginilah guweh, bukan mereka. (guweh harap kalian juga gitu)
Indonesia akan tetap bersatu dengan pemuda - pemudanya yang tetap menjaga mimpi - mimpi Nasionalisme pahlawan pendulunya,
Semoga hal ini dapat menjadi pemacu semangat generasi muda selanjutnya untuk “BANGKIT” kembali menjadi generasi yang menghargai sejarah - sejarahnya, semoga para pemimpin, presiden, pejabat, pelajar, pegawai, pengusaha, penyair, pedagang, petualang, dan pembaca - pembaca lainya tetap satu bangsa, satu tanah, satu bahasa, satu jiwa, satu tekad, serta satu tujuan untuk mencapai arti Merdeka. SEMOGA…!
Posting Komentar
Posting Komentar