Aksara Jawa terdiri atas 20 aksara antara lain HO, NO, CO, RO, KO, DO, TO, SO, WO, LO, PO, DHO, JO, YO, NYO, MO, GO, BO, THO, NGO. Tidak banyak orang yang mengetahui makna dari aksara Jawa. Aksara Jawa memiliki makna gambaran atau hakikat hidup manusia di dunia. Masing-masing aksara tersebut memiliki makna misalnya aksara HO sampai dengan NGO memiliki makna. Makna aksara Jawa juga dapat diuraikan dalam bentuk HO NO CO RO KO, DO TO SO WO LO, PO DHO JO YO NYO, dan MO GO BO THO NGO. Tulisan berikut akan menguraikan refleksi hakikat manusia berdasarkan aksara Jawa.
HO NO CO RO KO memiliki arti “ono utusaning pangeran (adanya utusan Tuhan)” (Sujiyanto, 2011). Manusia diciptakan Tuhan sebagai bukti adanya kebesaran Tuhan dan manusia memiliki fungsi untuk menjaga kelestarian hidup (Hamemayu Hayuning Bawono). Kelestarian hidup terdiri atas dua bentuk yaitu kelestarian hidup manusia sendiri (Hamemayu Hayuning Jagat kang Piniji) dan kelestarian alam (Hamemayu Hayuning Jagad Royo). Di dunia ini hanya Tuhan yang memiliki kebesaran abadi. Manusia tidak boleh sombong dengan segala kelebihan yang dimiliki. Kelebihan yang dimiliki manusia seharusnya menjadi sesuatu yang patut disyukuri dan dapat dimanfaatkan untuk kebaikan diri sendiri dan orang lain. Kelebihan yang dimiliki harus dapat digunakan sebagai bentuk makarya yaitu karya atau usaha yang dilakukan dengan tujuan mulia bagi diri sendiri ataupun orang lain tanpa adanya pamrih (Yuwanto, 2012). Kelebihan yang dimiliki harus disyukuri sebagai bentuk pengakuan adanya kebesaran Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk relasi vertikal. Relasi dengan sesama manusia yang baik dapat menjaga kelestarian hidup manusia sebagai bentuk relasi horizontal. Kelestarian hidup manusia juga dapat dijaga dengan menghindari perusakan alam sehingga berbagai bentuk bencara alam dapat dicegah. Aksara Jawa sudah mengingatkan sejak awal bahwa kerusakan alam akibat ulah manusia akan berdampak rusaknya kelesatarian alam dan menjadi ancaman bagi kelestarian hidup manusia.
DO TO SO WO LO memiliki arti “ora biso suwolo kabeh wus ginaris kodrat (tidak bisa diingkari bahwa semua sudah menjadi kodrat Tuhan)” (Sujiyanto, 2011). Segala sesuatu atau kejadian yang ada di dunia ini telah digariskan oleh Tuhan. Manusia tinggal menjalankannya saja sesuai dengan lakon yang diperankan. Orang Jawa memiliki prinsip nerimo ing pandum artinya menerima apapun yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Namun makna ini jangan dinilai bahwa manusia sebagai makhluk yang pasif. Manusia harus selalu berusaha dalam hidup namun setelah usahanya maksimal dan apapun hasil dari usaha maksimal tersebut maka harus diterima dan disyukuri (Yuwanto, 2012).
PO DHO JO YO NYO memiliki arti “kanti tetimbangan kang podo sak jodo anane (Tuhan menciptakan sesuatu di dunia dengan pertimbangan dan berpasangan)” (Sujiyanto, 2011). Arti ini dicontohkan dengan adanya siang-malam, terang-gelap, atas-bawah, laki-laki-perempuan, bahagia-sedih, hidup-mati. Di dalam kehidupan akan selalu dijumpai kondisi-kondisi tersebut, manusia harus mampu menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi yang ada. Misalnya saat siang apa yang harus dilakukan, saat malam apa yang harus dilakukan. Tidak selamanya manusia akan mengalami kesusahan namun adakalanya akan mengalami kegembiraan (Yuwanto, 2010). Banyak makna yang bisa dipetik sebagai hakikat manusia, misalnya untuk meneruskan kelestarian hidup manusia harus menikah antara laki-laki dan perempuan karena kodratnya perempuan yang dibuahi dan laki-laki yang membuahi dalam proses reproduksi. Saat kita berada di puncak karir kita harus ingat suatu saat karir kita akan di bawah dan seterusnya seperti roda. Makna aksara PO DHO JO YO NYO juga dapat diartikan sebagai keseimbangan dalam hidup.
MO GO BO THO NGO memiliki arti “manungso kinodrat dosa, lali, luput, apes, lan mati (manusia pasti memiliki dosa, lupa, kesalahan, kesialan, dan mati)” (Sujiyanto, 2011). Tidak ada manusia yang lepas dari kekurangan ini harus diakui oleh manusia, menyalahi kodrat kalau manusia tidak mau menerima atau mengakui kesalahan yang telah dibuat, kekurangan diri, ataupun hal-hal negatif dari diri (Yuwanto, 2011). Adanya kelemahan tersebut seharusnya dapat menjadi bahan kewaspadaan bahwa manusia harus selalu eling lan waspodo (ingat dan waspada). Dengan segala kekurangan yang pada dasarnya dimiliki manusia, manusia harus selalu berhati-hati dalam perbuatan agar tidak melakukan kesalahan yang dapat merugikan diri sendiri, orang lain, ataupun alam.
Akasara Jawa memiliki makna, dengan pemahaman makna-makna tersebut diharapkan dapat menjadi penuntun perilaku yang menggambarkan keutamaan hidup. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Referensi
Sujiyanto, W. (2011). Semar ngejowantah mbabar jati diri. Yogyakarta : Aryuning Media.
Yuwanto, L. (2010). Benci Kekalahan : Wujud Arogansi Esensi Manusia. Dalam L. Yuwanto (Ed.). Joy in my heart : Kumpulan artikel kebahagiaan (pp. 42-46). Surabaya : Putra Media Nusantara.
Yuwanto, L. (2012). Pengungsi Merapi dan Etika Hidup Orang Jawa. Dalam L. Yuwanto & K. Batuadji (Eds.). Untaian bunga-bunga kesadaran dan butir-butir mutiara pencerahan : Kumpulan catatan reflektif kami di Merapi (pp 74-81). Jakarta : Dwiputra Pustaka Jaya.
Sumber: Listyo Yuwanto,Fakultas Psikologi Universitas Surabaya
http://www.ubaya.ac.id/ubaya/articles_detail/54/Refleksi-Hakikat-Manusia-Berdasarkan-Aksara-Jawa.html
Posting Komentar
Posting Komentar