Globalisasi tidak lagi sekedar teori, tetapi kenyataan yang kita hadapi sehari-hari.
Ia tidak melulu soal sepak terjang lembaga keuangan internasional (IFIs) atau korporasi multinasional (MNCs). Dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, lajuglobalisasi bisa disimak pada kiprah perguruan tinggi.
Kini universitas kian mengglobal. Selain menjadi ajang kompetisi ilmu pengetahuan, perguruan tinggi juga menjadi instrumen perdamaian, menyemai toleransi, saling memahami keragaman nilai, budaya dan tradisi.
Miniatur Globalisasi
Kini hampir semua universitas mencari mahasiswa dari berbagai penjuru dunia. Presiden Yale Unniversity Ricahard Levin mencatat, jumlah mahasiswa yang meninggalkan kampung halaman untuk belajar ke luar negeri selama tiga dekade terakhir tumbuh rata-rata 3.9pertahun, dari 800.000 orang (1975) menjadi 2,5 juta orang (2004).
Sedikitnya mahsiswa perantauan mendapat gelar doktor dari AS dan 38 persen dari Inggris. Untuk program S1, 8 persen mahasiswa asing meraih gelas dari AS dan 10 persen dari Inggris. Di AS 20 persen profesor baru di bidang ilmu eksakta dan tekhnik berasal dari mahasiswa perantauan.
Universitas juga memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk melawat ke negara lain. Tiap tahun sedikitnya 140.000 mahasiswa dari Eropa mengikuti pertukaran ke berbagai negara. Institusi pendidikan di AS berupaya menyiapkan mahasiswa untuk berkarir global dengan magang atau mengikuti pelatihan di negara lain. Kerjasama antar universitas, seperti program John Hopkins-Nanjing, program Duke-Goethe dan aliansi MIT-Singapore merupakan contoh koneksi dunia.
AS berupaya menjaga reputasinya dengan menanam investasi dan mendukung riset universitas berbasis ilmu pengetahuan (iptek) terutama bidang kesehatan, pertanian, kesehatan dan energi. AS pun konsisten memimpin dunia dalam komersialisasi tekhnologi baru seperti komputer, infrastruktur internet dan aplikasi perangkat lunak (software). Ini tak lepas dari kerjasama universitas dengan dunia industri seperti hadirnya lembah Silikon ciptaan Stanford University dan Route 128 Boston, hasil kolaborasi industri dengan MIT dan Harvard.
Menurut data bidang pendidikan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) 2006, perancis , Italia, Inggris dan Jerman terus mengalami penurunan prestasi. Sebaliknya Skandinavia, seperti Finlandia, Swedia, dan Norwegia, menduduki peringkat terbaik dalam pendidikan maupun performa.
Replikasi Barat
Selama beberapa dekade, hampir semua universitas terbaik di Asia mengadopsi gaya Universitas Amerika Utara, baik metode pendidikan, sistem, maupun riset. Jepang sukses melakukan modernisasi melalui aplikasi model pendidikan Barat. Sejak Restorasi Meiji, kaum muda Jepang ke Barat untuk belajar di universitas terbaik dan mempraktekan apa yang mereka dapat. Tetapi perlu diingat bahwa Jepang tidak tanggung-tanggung dan konsisten mengalokasikan dana riset universitas, jumlahnya terus meningkat, mencapai 57 persen dari tahun 2000 hingga 2004.
Perubahan dahsyat juga dilakukan di China yang terus mengembangkan universitas kelas dunia. Sejak Deng Xiaoping mengizinkan warganya belajar ke Barat tahun 1978, China terus mengirimkan pelajar terbaik demi menempuh pendidikan terbaik, terutama program doktoral. Universitas dijadikan instrumen stimulasi pertumbuhan ekonomi. Investasi dalam bidang riset ilmiah amat mendukung kekuatan ekonomi nasional. Kemajuan tekhnologi mempengaruhi kampus-kampus di China terutama Peking University di Beijing dan Tsinghua University di Beijing, serta Fudan University di Shanghai Jiatong University di Shanghai.
India tidak ketinggalan. Ia mengadopsi model pendidikan Inggris, dengan membuka sekolah ala Barat. Kini negara itu memiliki 1.350 kampus terbaik, termasuk Indian Institute of Technology. Tiap tahun kampus memproduksi 280.000 insinyur ahli informasi dan tekhnologi. India melaju sebagai raksasa ekonomi dunia yang diperhitungkan dunia.
Revolusi Dari Timur
Buaian kemapanan paradigma lama fotokopi pendidikan tinggi ala Barat mendapat kritik keras dari Kishore Mahbubani. Dekan Lee Kwan Yew School of Public Policy itu menegaskan, kepemimpinan Asia adalah hal yang tak terelakkan. Asia telah tumbuh sebagai kekuatan raksasa yang terus melaju menyaingi AS dan Uni Eropa. Pendulum peradaban bergerak dan berkiblat ke Timur. Dunia dapat belajar dari peradaban China dan India, mulai dari sastera dan filsafat, dari pegobatan tradisional hingga stretegi berfikir. Menurut Mahbubani, agar tidak terus mengekor Barat, universitas di Asia harus terus berkreasi dan giat melakukan inovasi.
Lantas bagaimana dengan Indonesia ?. kampus paling prestisius di Indonesia selalu menduduki peringkat bawah diantara universitas-universitas di Asia, alias anak bawang. Dengan malaysia saja, universitas kita tertinggal.
Kemajuan atau kemunduran perguruan tinggi bisa dijadikan cermin sejauh mana sebuah negara menghadapi kompetensi pada era globalisasi. Disinilah intervensi negara amat diperlukan.
|
Posting Komentar
Posting Komentar