Pasek Kubayan di Desa Wangayagde Membantu Sagung Wah (Ratu Tabanan)
Pada hari Kemis Keliwon, Wara Ukir, tanggal 20 september 1906 Kerajaan Badung jatuh ke tangan pemerintah Belanda, setelah mengadakan perlawanan sengit secara puputan. Dengan dikalahkan kerajaan Badung, pemerintah Belanda mulai memalingkan pandangannya kepada kerajaan Tabanan.
Dan ada hari selasa kliwon, wara kulantir, tanggal 25 september 1906 pemerintah Belanda mulai mengerahkan serdadu-serdadunya untu menyerang Tabanan. Tabanan di kurung dan diserang dari dua jurusan dari sebelah timur dan selatan, dan serdadu yang menyerang dari sebelah timur sebelumnya sudah di kosentrasi di Desa Beringkit. Sedang serangan dari sebelah selatan diadakan dari pantai Yeh Gangga dengan menempatkan beberapa buah kapal perang, lalu menembaki tabanan dengan meriam-meriamnya. Namun pasukan Marine Belanda ini tidak besar. Sebab itu serangan terhadap Tabanan dilakukan dari sebelah Timur, dan setelah perang selama dua hari yaitu pada hari kemis paing, wara kulantir, tanggal 27 september 1906, Belanda baru bias menduduki Tabanan.
Dengan tipu muslihat yang licik sebelumnya pemerintah Belanda telah berhasil menawan Raja Tabanan bernama Anak Agung Ngurah Rai Perang yang juga di sebut IRatu Singhasana Tabanan. Di samping itu juga putra raja Tabanan bernama I gusti Ngurah Gde Pegeg ikut di tawan, dalam suatu perundingan damai yang diselenggarakan di Badung.
Kemudian Raja Tabanan bersama putranya meninnggal dunia di dalam tawanan, itulah salah satu faktor kerajaan Tabanan jatuh ke tangan Pemerintah Belanda tanpa perlawanan. Tindakan serdadu yang menang perang berbuat menurut kehendaknya untuk memeuaskan hati dan berbuat sewenang-wenang, Puri Tabanan dihancur leburkan serta diratakan dengan tanah, para putra dan sanak saudara Raja Tabanan yang dicurigai ditangkap dan ditawan, lalu diasingkan di lombok, sedang para putrinya yang dilanda ketakutan melarikan diri dalam situasi kalang kabut dan terpencar-pencar, mencari dan perlindungan.
Seoarang diantara putrid tersebut ialah Sagung Ayu Wah yakni putrid bungsu almarhum Raja Tabanan, Ratu Singhasana Tabanan yang disebut Bhatara Ngaluhur. Sagung Ayu Wah mewarisi sifat-sifat ksatrianya almarhum ayahnya dan walaupun ia seorang perempuan, akan tetapi semangat patriotismenya untuk mempertahankan Negara dan tanah tumpah darah tertanam dalam jiwanya. Ia melarikan diri menuju desa Wangayagde untuk menemui dan memeinta bantuan Kepala Desa (perbekel) Desa Wangayagde yang dijabat oleh Pasek Kubayan.
Di dalam pelariannya ini ia diiringi oleh beberapa rakyat yang masih setia, diantaranya bernama Pan Bina dari Banjar Sakenan Belodan, Desa Tabanan. Dari Tabanan pertama yang dituju ialah rumahnya I Gede Kasub di Peryukti, dan disana Sagung Ayu Wah disembunyikan selama tiga hari di Pura Dalem Peryukti. Kemudian dari sana Sagung Ayu Wah bersama pengiringnya meneruskan perjalanan ke Desa Wangayagde dengan melalui desa Riang.
Adapun Pasek Kubayan Perbekel Desa Wangayagde bersama rakyatnya, sebelum kehadiran Sang Ayu Wah, belum mengetahui situasi yang sebenarnya apa yang telah terjadi di Tabanan. Kemudian sesudah Pasek Kubayan Perbekel Desa Wangayagde mengetahui apa yang telah terjadi di Tabanan, menjadi sangat marah, dan timbul semangat patriotismenya untuk membebaskan Tabanan dari penjajahan Belanda. Semangat rakyat yang meluap-luap ini lalu dikoordinasikan dengan sebaik-baiknya oleh Sagung Ayu Wah, untuk membalas dendam dari kelicikan Pemerintah Belanda, dengan cara mengorbankan semangat perlawanan untuk mengusirnya dari kerajaan Tabanan. Desa Wangayagde sebagai daerah otonom dalam kerajaan Tabanan dan juga merupakan suatu kesatuan adat, jelas mempunyai nilai solidaritas yang tinggi. Di lain pihak tokoh Sagung Ayu Wah sangat dihormati oleh rakyat, disamping dengan keberanian dan kecakapannya menghimoun rakyat, hingga memudahkan baginya untuk memulai mempersiapkan rencana penyerangan.
Sesudah persiapan cukup matang dengan bantuan Pasek Kubayan Perbekel Desa Wangayagde, maka segeralah rakyat Wangayagde digerakan untuk meyerang Belanda. Perjuangan ini kemudian disebut “Balikan Wangaya”.
Pada permulaan bulan desmber 1906 kulkul ditabuh bulus sebagai pertanda adanya mara bahaya, dan bunyi kulkul di Desa Wangayagde segera disambut oleh kentongan secara gencar dari desa-desa yang berdekatan. Mendengar suara kulkul yang gencar ini seluruh rakyat segera berdatangan lalu berkumpul di Bale Desa dengan persenjataan selengkapnya. Dengan rasa marah, mereka mengumpat musuh yang akan dihadapi serdadu belanda di Tabanan. Seorang Pasek Kubayan bernama Pan Kandar sebagai pimpinan pusat dengan disertai rakyat sebagai lascar berangkat ke Pura Luhur Batukaru, untuk melakukan persembahyangan. Laskar yang sudah siap tempur diperlengkapi lagi dengan benda-benda keramat milik pura antara lain berupa tombak yaitu
- tombak cabang lima,
- tombak cabang tiga,
- tombak bersimbul cakra dan
- keris bernama Gedebong belus dan Tinjak lesung.
Sesudah persembahyangan selesai dengan disirati tirtha, lascar mulai bergerak ke Selatan menuju Tabanan dengan membawa benda-benda suci milik pura. Di dalam perjalanan ini mereka ditempatkan paling depan.
Seluruh lascar memakai ikat kepala putih, dan pasukan yang cukup besar dan megah ini bertambah angker lagi karena diiringi oleh tabuhan Beri.
Tidak dikisahkan perjalanan lascar ini, sesudah tiba di sebelah utara Banjar Tuakilang, mereka berhenti sambil mengatur informasi tempur. Setelah istirahat, lascar ini bergerak menuju selatan ke Banjar Tuakilang, adapun formasinya:
- Sagung Ayu Wah yang berpakaian serba putih sampai kepalanya diikat dengan kain putih berjalan paling depan. Kedua belah tangannya memegang keris pusaka Gedebongbelus di tangan kanan, sedang keris Tinjaklesung dipegang di tangan kirinya.
- dibelakangnya Sagung Ayu Wah pajenengan Bhatara berupa tombak cabang lima, dipegang dua orang bernama Pan Kerenan dari Sengketan dan Gde Suwatra dari Desa Wangaygde Warga Pasek Kubayan.
- disusul oleh para pembawa tombak dan keris pusaka.
- Setelah itu barulah menyusul panglima bernama: Pan Renteh, Pan Tembah dan Gde Pered, serta penyerangan ini akan dilakukan secara bergelombang dari Banjar Tuakilang.
Kedatangan laskar dari Desa Wangyagde ini oleh Belanda telah diketahui. Sebab itu serdadu belanda dengan persenjataan lengkap mengahadang di sebelah utara Desa Pasekan, Tabanan, dan senjatanya dibidikan terhadap Laskar Wangayagde. Sesudah kedua pasukan berhadap komando dikeluarkan oleh panglima Pan Renteh dan Pan Tembeh untuk menyerbu pertahanan Belanda. Tombak cabang lima diarahkan kepada pertahanan Belanda, yang pada mulanya serangan pertama ini dapat mendesak serdadu Belanda.
Selama pusaka Pura Luhur Batakaru ini diarahkan kepada serdadu Belanda, selama itu pula bedil serdadu Belanda tersebut menjadi macet. Sebab itu serdadu Belanda mulai mempergunakan meriam. Namun pada awalnya selalu macet. Untuk mengatur strategi Baru, serdadu Belanda tersebut mengundurkan diri.
Kemudian serdadu Belanda itu maju lagi dengan senjata ampuh bernama Ki Tulu lempet menyerang laskar Wangayagde, dan terjadilah pertempuran antara laskar Wangayagde yang bersenjata Pusaka luhur Batukaru berhadapan dengan serdadu belanda yang bersenjata Ki Tulu lempet. Tiba-tiba pusaka Pura Luhur Batukaru yang dipegang oleh Pan Kerenan dan Gde Suwatra terlepas dari tangannya dan rebah, dan bersamaan dengan rebahnya pusak tersebut, barulah bedil serdadu Belanda itu dapat ditembakan. Dengan tembakan-tembakan yang sangat gencar dari serdadu Belanda itu, maka laskar Wangayagde kewalahan menghadapinya dan tidak sedikit yang gugur. Sedang yang masih hidup diperintahkan mundur oleh panglimanya. Sedang sagung Ayu Wah kemudian dapat ditangkap oleh serdadu Belanda tersebut, lalu diasingkan ke Pulau Lombok dan akhirnya disana ia meninggal dunia.
Laskar Wengayagde yang menemui ajalnya itu lalu dikuburkan pada suatu tempat di sebelah barat kuburan Banjar Pasekan dan diberi nama “seman wangaya”. Para prebekel yang memegang peranan di dalam pertempuran ini lalu diasingkan ke Sawahlunto.
Pemerintah Belanda melakukan penangkapan orang-orang di pusat pemerintahan di Desa Wangayagde akan tetapi juga dilakukan di luar desa Wangayagde, seperti
- Pan Renteh dan Pan Tembeh meninggal dunia di dalam pengasingan,
- Gde Pered dan Pan Kerenan dapat kembali ke Desa Wangayagde, sesudah menjalani hukuman kerja selama lima tahun.
- Para pajuru desa adat seperti Pan Miare dan Pan Rias, ditangkap dan diasingkan di Aceh
- Pan Kandar selaku Pucuk pimpinan tertinggi Laskar Wangayagde di tangkap, kemudian diasingkan di Banyuwangi selama dua tahun.
- Pan Randat perbekel Desa Rajasa lalu diasingkan ke aceh.
- Pan Renan dari Banjar Cangkup dan Pan Kerana dari Desa Tegalinggih ditangkap, kemudian di asingkan ke Aceh dan sesudah menjalani pengasingan selama 10 tahun, hanya Pan Randat dari Desa Rejasa yang dapat kembali pulang, sedang yang lainnya meninggal dunia ditempat pengasingannya.
Kecuali pemerintah Belanda menangkap pimpinan Desa Wangayagde yang terdiri dari Pasek Kubayan, pihak Belanda juga merampas benda-benda pusaka yang dikeramatkan. Termasuk pusaka milik Pura Luhur Batukaru yakni berupa senjata pusaka seperti keris, tombak cabang lima, dan sepucuk tombak lempeng dan lain-lainnya, akhirnya tidak di kembalikan lagi.
Demikian tentang keturunan De Pasek Lurah Kubayan dan peranan Pasek Kubayan di desa Wangayagde dalam perlawanan terhadap serdadu Belanda di Tabanan.
Posting Komentar
Posting Komentar