“Mengapa sejak lahir diriku sudah dibaptis?” Kalimat tanya ini bagi seorang remaja yang bernama Irawan Budi Cahyono selalu menjadi kegelisahan dan ingin sekali mengetahui jawabannya. Sementara Maryati sebagai ibu yang melahirkannya tak pernah memberikan jawaban kepastian. Mengapa anak terakhirnya yang berusia 17 tahun itu dibaptis.
Allah SWT menciptakan manusia di muka bumi ini penuh dengan variasi kehidupan, baik itu kisah dan cerita. Kehidupan yang layak, tercukupi dan jauh dari penderitaan, semua manusia memimpikan harapan itu. Tak kecuali pada diri Budi nama panggilan dari Irawan Budi Cahyono, pria asal kelahiran Lumajang Jawa Timur.
Remaja ini bersama orang tuanya hidup selalu dalam perantauan dengan berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lain hanya sekedar untuk mempertahankan hidup.
Pada tahun 2000 mereka merantau ke Palembang, Sumatera Selatan. Tapi di Palembang tidak begitu lama, karena tidak cocok dengan kondisi perantauan dan akhirnya Suripto, ayah dari budi ini, bersama dengan keluarganya pindah lagi ke Lumajang.
Di Lumajang Suripto hanya berprofesi sebagai pengayuh becak, sedangkan istrinya sebagai ibu rumah tangga biasa. Keluarga Suripto dikaruniai 4 anak. Hanya Budi satu-satunya anak yang beragama Kristen sedangkan 2 anak yang lain beragama Islam. Entah mengapa Budi berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain?
Menurut Budi, dahulu kedua orang tuanya beragama Islam. Tapi dia tidak tahu, apa penyebab kedua orang tuanya pindah ke agama Kristen Protestan.
Sejak kecil Budi sudah terbiasa dengan ajaran-ajaran Nasrani dan sering melakukan kebaktian di hari minggu. Rutinitas kegiatan tersebut dilakukannya hingga ia beranjak remaja.
Pada usia remaja, Budi tidak seriang dan ceria seperti remaja-remaja seusianya. Sebab dengan usia remaja tersebut, Budi sudah bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga pada seorang majikan beragama Katolik. Majikan itulah yang membiayai kehidupan dan menyekolahkan Budi di SMPK Santo Paulus Lumajang, sebuah sekolah menengah milik yayasan Katolik. Di sekolah tersebut Budi sering mendapatkan ajaran-ajaran agama Katolik. Pada saat kelas 3 SMP, majikannya menyuruhnya untuk memeluk agama Katolik. Akhirnya Budi juga masuk agama Katolik dan meninggalkan agama Kristen Protestan.
Memeluk agama Katolik, kata Budi, bukan merupakan pilihannya. Sebab semenjak ia masuk di sekolah menengah hati kecilnya selalu bertanya-tanya: “Tuhan itu satu. Kenapa dalam ajaran Kristen Tuhan itu tiga yang disebut Trinitas? Tuhan satu itu hanya pada ajaran Islam yaitu Allah.” Itulah yang selalu pertanyaan ganjil yang sering muncul pada kebenaran hati seorang remaja yang polos dan lugu ini. “Selain itu juga saya merenung, mengapa kalau orang Muslim selalu ingat Tuhannya dengan sering melakukan shalat 5 waktu. Sedangkan orang Kristen hanya hari minggu saja dengan kebaktian dan habis kebaktian terus tidur,” ungkapnya tertegun.
Pertanyaan dalam hatinya itulah yang selalu menyertai dirinya selama tiga tahun sekolah di SMPK Santo Paulus. Hingga akhirnya ada ilham yang memberikan kerinduan Budi untuk memeluk agama Islam. Tapi sebelum niat itu dilakukannya, pada suatu hari ia meminta ijin kepada ibundanya untuk memeluk agama Islam. Saat meminta ijin pada ibunya, orangtuanya itu tidak keberatan jika Budi memeluk agama Islam. “Ibu saya berpesan jika memeluk agama Islam harus bersunguh-sungguh dan rajin melakukan ibadah,” tuturnya.
Keseriusan memeluk agama Islam masih menjadi cita-citanya, kala ia telah lulus di SMPK Santo Paulus. Habis lulus ia nekad meninggalkan kampung halamannya dan berangkat ke Jakarta untuk bekerja. Di Jakarta, ia tinggal di Bekasi bersama dengan saudaranya. Di Jakarta Budi tidak meneruskan sekolah SMU karena tak ada biaya untuk itu, ia memilih bekerja daripada sekolah. Akhirnya ada sebuah konveksi tailor di Cilandak Jakarta-Selatan, menerimanya sebagai karyawan. Di tailor tersebut merupakan awal berjumpaannya dengan Redy Suwanto, aktivis pemuda Muhammadiyah.
Redy selalu memperhatikan Budi selama bekerja di tailornya, seperti pada saat waktunya shalat. Mengapa Budi tidak shalat? Pertanyaan Redy memang wajar, sebab Redy belum tahu kalau Budi non Muslim. Kemudian di dekatilah anak tersebut oleh Redy dan Budi memberikan keterangan pada Redy, bahwa ia bukan Muslim dan ia ingin masuk agama Islam. Mendengar peryataan Budi, tergugahlah hati Redy. Sebagai seorang aktivis Muslim merupakan kewajiban untuk menolong sesama umat manusia untuk mengarahkan jalan kebenaran dan jalan lurus yang diridhai oleh Allah SWT.
Akhirnya, Redy mengajak Budi ke Kantor MTDK-PP Muhammadiyah-Menteng untuk meneruskan niat Budi masuk agama Islam. Di kantor MTDK seperti biasanya mereka menemui pengasuh MTDK, Buya Risman Mucktar. Dalam kesempatan itu Buya Risman memberikan taushiah pada Budi, bahwa Allah telah memberikan rahmat-Nya berupa kebenaran kepada Budi untuk memilih Islam sebagai agamanya. “Saat Budi masuk Islam, maka Budi akan terlahir kembali seperti bayi yang baru lahir. Maka tidak usah cemas dengan dosa-dosa yang pernah Budi lakukan sebelum masuk Islam. Sebab Allah akan selalu memberikan pengampunan pada umatnya.” kata Buya Risman.
Selama memberikan taushiah, Buya memberikan syarat-syarat untuk masuk Islam di antaranya membaca kalimat Syahadat, dengan menyebut: Tiada Tuhan Selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Selain itu melaksanakan rukun-rukun yang ada pada Rukun Islam.
Tepat pada pukul 13.30 di masjid At-Taqwa Muhammadiyah setelah selesai menunaikan shalat Zuhur, Budi dengan dibantu oleh Buya Risman dan disaksikan oleh para jamaah dengan tulus ikhlas memeluk agama Islam dan Ia mengakui, Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Setelah itu para jamaah memberikan selamat kepada Budi yang telah masuk dalam kaum muslimin. “Selamat bergabung di jalan Allah, saudaraku,” ucap salah satu jamaah. Laporan: Agus Yuliawan (majalah Tabligh)
Posting Komentar
Posting Komentar