-->

H. Burhan Napitupulu : Cinta mendorongnya masuk Islam

Cinta itu buta, kata orang. Tapi buat Burhan Napitupulu, karena cinta, hidup menjadi sebuah pilihan. Karena cinta pula, keyakinan lamanya terguncang hingga cintanya pada Islam mengalahkan segala-galanya. Bukankah ini skenario Tuhan juga?

Sejak lahir, saya sudah diberi nama oleh orang tua saya dengan nama Islam: Burhan. Di belakang nama saya ada marganya: Napitu-pulu. Orang biasa menyapa saya dengan panggilan Burhan. Meski saya beragama Nasrani, saya belum pernah dibaptis oleh pastur.

Begitu lelaki kelahiran Medan, 2 Agustus 1956 ini, memulai percakapan. Di Tapanuli Utara, tempat ia dibesarkan, mayoritas masyarakatnya beragama Nasrani. Sejak kecil, Burhan memang dibesarkan dalam lingkungan tradisi dan adat istiadat Batak yang kuat. Karenanya, ia harus mentaati adat-istiadat masyarakat setempat.

Walau ayah-ibunya penganut Kristiani "(Protestan) yang taat, Burhan jarang ke gereja. Seperti anak muda lainnya, ia lebih suka nongkrong dengan kawan-kawannya di pinggir jalan ketimbang ke gereja. Burhan sendiri mengaku, ia bukan seorang penganut Kristiani yang taat. "Sejak muda saya memang sudah koboi. Artinya kurang bimbingan dalam hal agama. Saya matangnya justru di perantauan," ujarnya sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.

Beranjak remaja, Burhan sudah bertekad merantau ke kota besar, seperti Surabaya, Jakarta, hingga Ujung Pandang. Selama di perantauan, ia menemukan seorang gadis cantik asal Sulawesi Selatan bernama Any, yang kini menjadi istrinya.

Kenapa ia tertarik dan mencintai lawan jenisnya yang jelas-jelas berbeda keyakinan? "Karena sejak semula, saya memang tidak begitu tertarik dengan agama saya sendiri. Dalam Islam, saya merasakan kemudahan untuk menikah. Berbeda, bila saya harus mengikuti adat saya, terlalu banyak syarat-syaratnya. Bahkan harus dilihat asal-usulnya. Tegasnya, Islam itu simple, mudah, tidak bertele-tele, dan tidak ada keraguan di dalamnya," ungkap Burhan dengan logat Bataknya yang kental.

Sejak pacaran, Burhan sudah menge-tahui, kekasihnya itu adalah seorang Mus-limah. Kedua orang tuanya, juga Muslim yang taat. Meski dari segi akidah berbeda, mereka sama-sama mencintai dan me-nyayangi. "Kesamaan lainnya, kami juga sama-sama orang susah. Bayangkan, sampai kami punya anak empat, rumah pun masih ngontrak. Tahu sendiri, nasib orang kontrakan, kalau sudah masuk tanggal 20, pasti bingung. Karena uang hasil bekerja sudah menipis, terlalu banyak kebutuhannya. Tapi, Tuhan memang Maha Adil, saya selalu diberi kucukupan untuk memenuhi nafkah keluarga. Alhamdulillah."

Semasa pacaran, Burhan memang sudah membuat pilihan bila ia harus menikah dengan gadis yang berlainan akidahnya. Cintalah yang mendorong ia membulatkan tekad untuk memilih Islam. Di depan penghulu dan disaksikan oleh masing-masing keluarga, Burhan mengucapkan syahadat. Ia bukan hanya resmi menjadi suami yang sah, tapi juga resmi menjadi seorang Muslim.

Begitu mengetahui putranya telah menjadi Muslim, orang tua Burhan menerimanya dengan tangan terbuka. Ayahnya hanya mengatakan, "Itu terserah pribadi kamu. Saya tidak bisa mewakili kamu dan kamu juga tidak bisa mewakili saya."

"Cintalah yang mendorong saya masuk Islam. Ketika itu, saya memang bukan cinta Islamnya, tapi karena wanita yang hendak saya nikahi. Yang pasti, walaupun saya sudah menjadi Muslim, hati saya belum Islam. Meski KTP saya Islam, saya tidak pernah menjaiankan shalat lima waktu ketika itu. Jangankan shalat, ke masjid pun hamper nggak pernah."Sebagai ayah, saya jarang di rumah, karena sering ke luar kota. Ditambah lagi, dengan lingkungan tempat saya bekerja, di mana saya sering berhubungan dengan orang Chinese" ujarnya seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Hidayah Allah

Dalam kesehariannya mengarungi kehidupan berumah tangga, suatu ketika Burhan memperhatikan anak-anak dan istrinya sedang shalat. "Ketika itu, saya melihat anak saya sembahyang, sedangkan saya sendiri tidak. Lama kelamaan, saya merenung, mau kemana sebetulnya hidup saya ini. Apa sebetulnya yang saya cari. Bukankah kebahagiaan dunia tiada yang abadi. Semua pasti akan ada akhirnya. Sejak itulah, saya seperti mendapat hidayah. Saya pun berpikir, apalah gunanya harta, kalau tak membuat hati ini menjadi tenang."

Dari perenungan itu, ia mulai beranjak mempelajari Islam, tepatnya baru tahun 2000 yang lalu, sejak ia tinggal di Pasir Jambu, Kampung Lima, Kabupaten Bogor. Di kampung inilah, Burhan merasakan lingkungan dan masyarakat Islamnya yang kental. Mereka bukan hanya ramah, rukun, tapi juga membawanya pada suatu perubahan. Ia mulai menjalankan shalat lima waktu. Tahun 2003 Burhan pun berangkat haji.

Melihat perubahan itu, istrinya sangat terharu, begitu juga anak-anaknya. "Yang pasti, saya tidak disuruh-suruh. Shalat yang saya lakukan ini adalah karena kesadaran saya sendiri. Lagipula, saya bukan tipe orang yang suka dipaksa-paksa. Murni, saya shalat karena panggilan hati saya. Tak ada yang lain. Yang saya rasakan, semakin saya melanggengkan shalat, batin saya terasa makin tenang, makin tenteram. Saya menyadari, bahwa shalat bukan lagi sekedar meng-gugurkan kewajiban, melainkan menjadi kebutuhan manusia sebagai hamba Tuhan. Dengan shalat, saya tambah bersyukur. Karena Allah selalu memudahkan jalan keluar dan menambahkan nikmatNya kepada kami sekeluarga."

Burhan tidak menganggap shalat hanya membuang-buang waktu saja. Shalat justru membuat dirinya menjadi disiplin. Shalat membuat ia semakin mencintai keluarganya. "Saat ini, kalau saya tidak shalat, rasanya seperti ada yang kurang. Bahkan, saya seperti punya utang saja. Karena itu, sesibuk apa pun, saya harus tetap shalat. Karena bagi saya, shalat itu menjadi kenikmatan tersendiri. Ada semacam kesadaran, tidak melulu dunia yang dicari, tapi bekal untuk di akhirat juga harus dicari."

Sepuluh hari menjelang puasa Ra-madhan, Burhan diundang warga masyarakat setempat untuk menghadiri rapat pembangunan masjid. Tak dinyana, semua warga menunjuknya sebagai ketua panitia pembangunan masjid, ia pun dengan spontan menyatakan kesanggupannya. Padahal, ia merasa kurang dalam hal agama, bahkan butuh bimbingan. "Berbekal semangat tinggi, saya berhasil menggalang dana sebesar Rp. 10 juta dalam kurun waktu seminggu. Sejak itu saya semakin dipercaya oleh masyarakat, sehingga saya diangkat menjadi Ketua Masjid Babussalam, Pasir Jambu, Bogor," ujarnya.

Buah Merantau



Kesuksesan Burhan selama merantau tak membuatnya menjadi angkuh dan sombong. Ia justru semakin bersyukur. Ayah dari enam anak ini menyadari bahwa masa lalunya adalah masa-masa yang sulit. Untuk mengubah hidupnya itu, ia bekerja apa saja. Yang penting halal, begitu prisipnya.

"Pertama kali merantau, saya bekerja sebagai serabutan. Mulai dari tukang panggul, makelar atau menjual mesin pabrik, hingga wiraswasta. Saya memang sering berpindah-pindah tempat kerja. Terakhir ini, saya bekerja di sebuah pabrik sandal Swallow, dan vulkanisir ban."

Tekad Burhan memang ingin maju, ia tidak takut hidup sengsara selama di perantauan. layakin Allah melihatnya. Prinsip hidupnya, selalu berbuat baik pada orang lain. Karena itulah ia sukses. Tiga tahun yang lalu misalnya, ia mengangkat anak asuh yang baru berusia 5 hari.

"Suatu malam, ada yang ngetok-ngetok pintu rumah saya. Seorang nenek menyerahkan bayi itu kepada saya. Dia mengaku tidak punya biaya untuk merawatnya. Saya tidak tahu darimana datangnya nenek itu. Yang pasti, dia tidak mau anaknya dibunuh seperti berita di media massa, karena aborsi," cerita Burhan.

"Sejak saya belajar bersyukur, Allah menambah nikmat kepada saya, Saya merasakan hidup yang berkah. Kalau dulu saya ngontrak, sekarang saya punya 40 pintu kontrakan. Kenikmatan itu saya yakin, bukan karena saya pintar atau semata keringat saya, tapi semua berkat karunia Allah. Saya yakin benar itu. Saat ini saya malah khawatir, semakin banyak rumah kontrakan, saya jadi takut nggak kuat menahan godaan. Kalau lihat teman-teman saya, semakin maju mereka semakin berantakan hidupnya. Mudah-mudahan saja saya tidak kufur nikmat."

Kini, Burhan aktif sebagai pengurus Pondok Pesantren AI-Kariman, Bogor. Banyak hal yang ia lakukan untuk membangkitkan kesadaran umat agar menyisihkan sebagian rezeki mereka demi memelihara agama Allah. Menurut Burhan, umat Islam ini sebetulnya kaya. "Karena agama Islam mengajarkan agar setiap Muslim yang punya harta mengeluarkan zakat sebesar 2,5 %. Nah, kalau setiap orang yang punya harta mengeluarkan rezekinya sebesar Rp. 10 ribu saja, ini sudah menjadi aset yang sangat besar. Sayang aset ini sulit direalisasikan, karena masalah kesadaran yang kurang."

Kini, sudah 24 tahun Burhan hidup bebahagia bersama istri dan anak-anak tercinta. Sebagai orang Batak, ia membantah anggapan bahwa orang Batak kalau gagal tak akan balik ke kampung halamannya. Yang benar, menurut dia, adalah bila sudah berhasil, pasti akan pulang ke kampungnya. "Hanya saja, sejak saya merantau 12 tahun yang lalu, baru sekali saya pulang kampung." (amanahonline / swaramuslim.net )

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter