Banten Caru Eka Sata dan Banten Caru Rsi Ghana Alit
CARU pada hakikatanya dipahami sebagai persembahan untuk Bhuta Kala. Upacara caru dimaknai sebagai upacara untuk menjaga keharmonisan alam, manusia dan waktu.
Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya: korban (binatang), sedangkan ‘Car’ dalam bahasa Sanskrit artinya ‘keseimbangan/ keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan: Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan.
‘Keseimbangan/ keharmonisan’ yang dimaksud adalah terwujudnya ‘Trihita Karana’ yakni keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan: Tuhan (parhyangan), sesama manusia (pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan).
Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu terganggu, misalnya: pelanggaran dharma/ dosa, atau merusak parhyangan (gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang, dll), perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran dll yang merusak palemahan, patut diadakan pecaruan.
Kenapa dalam pecaruan dikorbankan binatang? Binatang terutama adalah binatang peliharaan/ kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru manusia yang dikorbankan.
Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang peliharaan. Korban manusia juga dilakukan oleh agama lain, ingat Yesus Kristus yang disalib, dan Islam juga menggunakan korban bintang sapi/ kambing di kala Idul Adha.
Dapatkah binatang digantikan dengan simbol binatang terbuat dari tepung?
- Pernah/ sering terjadi, misalnya eka dasa rudra di Besakih yang harus menggunakan penyu dan badak, karena kedua binatang itu dilindungi, maka digantikan patung dari tepung beras.
- Untuk binatang lain yang masih mudah dicari: ayam, kambing, bebek, babi, banteng, dll. masih digunakan hingga sekarang. Mungkin hal ini bisa dibicarakan oleh Paruman Sulinggih.
Orang-orang Hindu yang arif bijaksana sudah lama menyampaikan bahwa dalam kehidupan ini, ada suatu kekuasaan yang tak terpikirkan oleh manusia. Dalam ajaran Hindu, kekuasaan itu disebut sebagai ‘Asta Aiswarya,’ yakni ‘delapan kemahakuasaan Tuhan’.
Mencegah bencana alam tertentu dengan teknologi modern ‘mungkin’ bisa dilakukan, misalnya mencegah tanah longsor dan banjir dengan memelihara hutan, membersihkan alur sungai, meninggikan tanggul, dll. Tetapi toh tidak bisa menghentikan hujan deras yang membuat air meluap.
Mencegah kebakaran hutan ‘mungkin’ bisa dengan berhati-hati atau tindakan prefentif lainnya. Tetapi mencegah gempa bumi dan tsunami bagaimana ya caranya? Mencegah kilat bagaimana ya caranya? Mencegah gunung meletus bagaimana ya caranya?
Ada satu ayat dalam Manawa Dharmasastra yang ingin saya kutipkan yaitu MawaDharma Sasra Buku ke V pasal 39:
Yajnartham Pasawah Sristah Swamewa Sayambhawa Yajnasya Bhutyai Sarwasya Tasmadyajne Wadhowadhah
Artinya:
Swayambhu (Tuhan) telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara-upacara kurban. Upacara-upacara kurban (caru) telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini. Dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara bukanlah penyembelihan dalam arti yang lumrah saja.
Ayat ini berkaitan dengan pengertian caru untuk memenuhi perintah Tuhan, dan dalam upaya pendekatan diri manusia kepada-Nya. Di Bali tradisi ini sudah berlangsung berabad-abad.
secara umum Caru Eka Sata, Sarana: Olahan ayam putih dengan bayang-bayangnya (blulang --bahasa Bali-red) dialasi sengkuwi dibagi lima tanding. Disertai dengan datengan, daksina, penyeneng dan canang (untuk semua jenis caru).
banten CARU EKA SATA secara lengkapnya
untuk banten caru eka sata haruslah ada banten - banten berikut, seperti Durmanggala, Pesucian, Tebasan Pemyak kala, Tebasan Panca kelud, Pemali Caru, Pengambean ( tumpeng 5), Prayascita, Santun dan daksina alit serta peras suci. berikut penjelasan dari masing - masing banten tersebut:
Banten caru eka sata:
Sami metatakan talendan gede (ron): Tipat kelanan, Peras, Tatakan bulang siap, Urip2 siap (kepelan manut urip metatakan muncuk don biu), Nyiwan (soroan alit), dan bungkak nyuh sudamala mecarak 8.
banten Durmangala dan tirta nyuh mulung |
Durmanggala
Sebagai alasnya kulit sayut, diatasnya diisi sebuah tumpeng, diisi bawang jahe dan terasi bang (mentah). Mengenai tumpeng dalam hal ini ada yang membuat berwarna hitam dan putih (poleng) tetapi ada sumber yang mengatakan tumpeng biasa (putih). Kemudian dilengkapi dengan pesucian/pangresikan, penyeneng, daksina yang berisi uang 225, pras, ajuman, canang tubungan, sampian nagasari, serta lauk – pauknya, telur bukasem (telur asin), jajan dan buah-buahan, lis dari selepan kelapa hijau.
Pasucian:
ada daripada banten ini biasanya dipergunakan sebuah ceper, diatasnya diisi 7 jenis alat pembersihan dan masing – masing dialasi sebuah celemik dan paling diatasnya diisi sebuah pahyasan. Ketujuh alat pembersihan yang dimaksud adalah:
- Sigsigan: adalah jajan begina yang dibakar sampai hangus, ada kalanya dilengkapi dengan tebu.
- Ambuh: yang dibuat dari daun pucuk disisir (diiris) halus, dilengkapi dengan kelapa yang diparut, asam seperti belimbing, jeruk dan sebagainya.
- Kekosok / urud: dibuat dari tepung beras dicampur kunir
- Minyak kelapa / wangi
- Tepung tawar: dibuat dari tepung, daun dapdap dan kunir
- Wija: yang dibuat dariberas dan benang putih (benang tukel), bunga yang diiris alus dicampur air cendana.
- Canang tubungan: Canang ini bentuknya mirip canang genten tetapi beda porosannya dibuat dari 5 lembar daun sirih (base), yaitu 4 lembar dan tiap – tiap lembar dilipat dua dan ditengahnya diisi kapur dan seiris pinang, diletakkan sedemikianrupa sehingga mirip hurup X, lalu ditengahnya diikat dengan selembar sirih yang berbentuk kojong. Porosan ini juga disebut “base tubungan”. Didalam upacara – upacara tertentu terutama untuk persembahan (nyumbah) untuk sang pitara, dewata/dewati, sirih tersebut dibiarkan lunggahan, sehingga dalam proses ini disebut “canang tubungan merampe”. Perlu kiranya disini dijelaskan apabila canang tubungan merampe ini disusunkan diatas canang genten, maka proses ini disebut “canang pucang cangurip”, biasanya dapat dipergunakan dalam upacara pawintenan oleh sulinggih pada waktu napak dan mapewisikan jro mangku.
Sebagai alasnya kulit sayut, berisikan nasi gibungan (diambil dr ujung kukusan) di belah dengan 2 lembar daun pandan berduri yg panjangnya kira-kira 1 jengkal sehingga berbentuk tampak dara (+), kwangen dan ulam isin jeron atau isin tukad yang warnanya disesuaikan dengan warna pangider-ider.
Tebasan Panca kelud
alas tempeh, diatasnya disusun dengan kulit sayut 5 buah yang masing – masing diisi tumpeng berwarna sesuai dengan arah mata angin, maulam ikan nyalyan, lele, udang, yuyu dan telur bekasem atau terasi mentah. Diisi raka – raka, saet limang (ilalang), daun dapdap, padang lepas yang semuanya di ikat dengan benang. Coblong dengan air-nya, jahitan padma, sampian naga sari 4 buah ditaruh di empat arah mata angin, ditengah diisi terag - penyeneng, dan bungkak nyuh gading.
Pemali Caru
nasi tompel dan tulung beralaskan kulit sayut dan sampian nagasari 2 buah, peras tumpeng beralaskan tamas / kitak-kituk dengan penyeneng, sayut dengan nasi iseran, dan sampian.
Pengambean ( tumpeng 5)
Sebuah nare yang berisikan 3 buah taledan dan 2 buah peras.
taledan yang diisi dengan kulit peras, penek 2, nasi gempel 2,
sebuah taledan berisikan tumpeng 3, tipat, tulung, bantal pengambeyan
dan tupeng 2 yang juga beralaskan taledan di isi raka-raka
penek 4 ysng beralaskan kulit sayut,
nasi gempel 1 beralaskan sebuah kulit sayut.
Prayascita
kulit sayut, di tengah –tengah ditaruh sebuah siwer yang diatasnya diisi tanceb cerawis, dikelilingi dengan: penek 5 yang masing2 ditancapkan daun dapdap, tulung 5, kwangen 5, tipat sari 5 dan sebuah sampian nagasari.
Sebuah Santun, dan sebuah daksina alit,
peras suci:
beralaskan tamas, yang berisikan tangkih yang masing – masing berisikan: 5 macam sayur /lampad (nangka, gedang, buah kacang, daun jepun, klongkang), kacang2, telur, Gerang (ikan teri), pelas, terong. Nasi sucinya: penek 4 berisikan nasi dan telur 1 butir
ULAM CARU EKA SATA (urip 33)
berikut ini sususan ulam caru menurut "Lontar Somia Mandala", dimana dalam penyusunan ulam tersebut dipilah menjadi 3 dan dibatasi dengan alas kelabang. dan sebagai dasar adalah rajah caru eka sata atau ayam brumbun dengan urip 33.ini rajah untuk dasar CARU EKA SATA
rajah caru ayam brumbun |
Ulam Caru Bagian Bawah
- tatakan klabang 9 (sengkui butha matra), katur majeng sang ngawe urip, nawasanga.
- Lawar (barak, putih, jukut) + lembat + asem + calon = 33 tanding
kelabang urip 9 (sengkui butha matra) |
bahan lawar |
- Lawar Barak: seoerti lawar biasa untuk dikonsumsi yang sudah sering dibuat dibali, dimana komposisi lawar ini adalah daging dari ayam caru ini dicampur darah dengan sedikit sambal, terasi goreng, garam dan merica, dicampur nangka dan kelapa yang sudah dirajang halus, terakhir masukan bawang merah serta bawang putih goreng.
- Lawar Putih: komposisinya sama seperti lawar barak, hanya saja tanpa darah.
- Lawar Gadang atau Jangan (jukut), komposisinya hampir sama dengan lawar putih, tapi ditambah sedikit sayur (biasanya digukan daun belimbing) dan dicampur kalas (santan + daging+bumbung rajang gede, kemudian direbus) dan sedikit gula aren.
- Sate lembat: merupakan sate lilit biasa, cara membuatnya: daging /tulang leher dan dada ayam di cincang kemudian ditumbuk sampai tulangnya menjadi lembut. kemudian daging tersebut dicampur gula aren, aduk sampai dagingnya benar-benar lengket dan menyatu, ditambah terasi dan sedikit garam, setelah itu masukkan kelapa parut diaduk sampai merata, setelah itu baru masukkan sambal rajang gede yang masih mentah. setelah jadi lilit seperti membuat sate biasa.
- Sate Calon, merupakan sejenis sate yang terbuat dari pisang yang ditusuk dengan batang sate, kemudian dilumuri tepung terigu yang sudah dicampur sedikit air. atau bisa juga menggunakan cara kedua, yaitu: pisang dan jajan bali (jaje uli) ditumbuk sampai merata dan halus, kemudian diaduk dengan sedikit base rajang (sambal rajang gede) kemudian di pepes. setelah pepesnya setengah mateng baru dililitkan dibatang satenya yang terbuat dari pelepah daun kelapa.
- Sate Asem, merupakan sate tusuk bisa yang bahannya bisa diambil dari jeroan ayam carunya.
- Sambal dan Garam, ditaruh di pojok alas daun pisangnya.
ajengan caru |
buat ajengan caru seperti gambar diatas sebanyak 33 buah, kemdian taruh diatas kelabang / Sengkui Butha Matra yang sudah siap, sehingga terlihat seperti gambar berukut ini:
ajengan caru pada dasar ulam banten caru sejumlah 33 tanding |
Ulam Caru Bagian Tengah
- Tatakan klabang 7 9sengkui Prana Matra) pinaka sapta petala
- Lawar+ lembat = 33 tanding
untuk bagian tengah diawali dengan menaruh kelabang urip 7 diatas ulam caru dasar seperti yang sudah dipaparkan diatas. berikut contohnya:
dibawah sengkui Prana Matra diisi kembali dengan ulam caru sebanyak 33 tanding seperti diatas, tapi tanpa sate calon dan sate asem, seperti gambar berikut:
sengkui Prana Matra urip 7 |
dibawah sengkui Prana Matra diisi kembali dengan ulam caru sebanyak 33 tanding seperti diatas, tapi tanpa sate calon dan sate asem, seperti gambar berikut:
Ulam Caru Bagian Atas
- Tatakan klabang 5 (sengkui Pradnya Matra), pinaka pangider buana
- Bakaran alit
- Balung Gending
- Lawar + lembat + asem + calon = 1 tanding
Sebagai sekat antara ulam caru bagian tengah dan atas, digunakan kelabang urip 5 atau sengkui Pradnya Matra yang merupakan simbol arah mata angin atau ider bhuana. berikut contoh gambarnya:
setelah itu, di isi dengan 1 takir "balung gending (tulang pangkal paha) dengan sambal dan garamnya, serta 1 takir "bakaran Alit (hati, jantung, usus, limpa, paru dan darah, kesemuanya masih mentah),seperti gambar berikut:
diatasnya di isi dengan ulam caru seperti waktu di bagian tengah, seperti gambar berikut ini:
diatasnya taruh layang- layang (blulang ayam), seperti berikut
sengkui Pradnya Matra urip 5 |
Balung gending (kiri) dan Bakaran Alit (kanan) |
ulam caru |
layang - layang ayam brumbun |
CARU RSI GHANA
Nista matatakan caru ekasata (ayam brumbun), madya madasar caru panca sanak atau panca kelud dan yang utama madasar caru sane agung seperti pamalik sumpah dan lain – lain. Apapun jenisnya tapi tetandingnya sama.
Tetanding caru rsi ghana:
Nasi 9 pulung, matatakan don naga sari marajah dasaaksara diletakkan menurut pangidernya. Setiap nasi brisikan bunga teratai dan ditengahnya diberikan kober ganapati dengan rangkaian rerajahannya dengan dasar bendera kain putih. Bang-bang di tengah caru berisikan tepung putih yang juga merajah dasaksara menurut letaknya. Di carune diisi kewangen 11 buah dengan letaknya sedemikian rupa mengikuti arah mata angin. Maulam itik guling, jeroannya diolah dan dibagi 9 tanding mawarna dan diletakkan menurut pangideran. Dan ingat tatakan (dasar) caru berisi rerajahan aksara juga.
Setelah carunya selesai dipuput oleh sang sadaka, caru tersebut semua dikubur dengan diatasnya ditutupu “pane” yang juga sudah dirajah. Dan lubang tempat menanampun dirajah juga.
Adapun cara mengolah jeroan itik putih tersebut adalah: kumpulkan betukanya (lambung), nyali (empedu), ati, papusuhan (jantung), basing wayah (usus), paparu, ungsilan (ginjal), limpa. Dibungkus dan di masak “tambus” dan setelah itu haluskan, gunakan jadikan lawar menjadi 9 tanding yang kesemuanya ikut pangideran.
Untuk rerajahan mulai dari aled caru (dasar), rurub caru (selimut penutup), dan rerajah lainnya termasuk kober bisa di mohOnkan “tunasin” di ida pandita sulinggih.
Posting Komentar
Posting Komentar