-->

Siti Sarah (Hot Kim Non) : Karena Mimpi dan Bisikan Hati

Ketika masih kecil, saya pernah bermimpi berjalan di sebuah rimba yang gelap, di sana tampak kobaran api yang sedang menyala. Tapi anehnya, di tengah kobaran api itu, saya melihat angka nomor "tiga" yang terbalik. Pada saat itu-karena papa dan mama selalu mengajarkan kepercayaan Konghucu-saya tidak tahu kalau angka tiga yang terbalik itu adalah lafal Allah dalam aksara Arab, ternyata, mimpi itu membawa perubahan besar pada diri saya kelak.

Nama asli saya Kim Non dari marga Hot, WNI keturunan Cina. Sejak kecil saya dididik oleh orang tua saya dengan kepercayaan leluhur kami. Namun, teman-teman bermain saya mayoritas anak anak muslim. Ketika di SMP, guru agama di kelas saya adalah seorang muslimah yang baik dan ramah. Ia selalu memotivasi murid-muridnya untuk menghafal ayatayat Al-Qur'an yang pendek-pendek. Saya selalu rajin menghafalnya. Bahkan, saya bisa mengalahkan teman-teman sava yang muslim. Sejak saat itu hidayah Allah mulai saya rasakan.

Perasaan saya mulai goncang. Saya tidak lagi mempercayai kepercayaan yang diajarkan oleh orang tua. Tanpa saya sadari, terjadi dialog dan diskusi dalam benak saya. Kepercayaan leluhur kami itu tidak mempunyai kitab suci, tidak ada konsep hidup setelah mati (alam akhirat), dan kepada siapa kita harus mengadukan masalah (berdoa). Hidup saya serasa tidak punya pegangan, Saya tumbuh menjadi gadis yang rendah diri (inferiority complex). Sedangkan agama Islam, jelas sekali kitab tuntunannya, kepada siapa kita mengadu (berdoa), dan akan ke mana kelak setelah mati: ke surga atau ke nereka.


Masuk Islam

Setelah masuk SMEA yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal saya, saya memilih tinggal di rumah kos dekat sekolah. Kebetulan, si pemilik rumah kos itu seorang muslim yang taat. Kepada merekalah saya belajar mengaji dan mendalami Islam sedikit demi sedikit.

Saat itulah kecintaan saya kepada agama Islam semakin terpatri dan bergelora. Singkat cerita, akhirnya saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat atas bimbingan orang tua angkat saya itu tanpa sepengetahuan papa dan mama. Lalu nama saya diganti menjadi Yuli Lestari. Tapi saya belum puas, karena belum melapor ke Kantor Urusan Agama (KUA).

Menjelang bulan Ramadhan, hati saya meronta-ronta minta segera disahkan di KUA, karena jiwa saya belum tenang jika hanya berikrar di hadapan orang tua angkat saja. Akhirnya, tepat pada tanggal 27 Januari 1995, saya berangkat ke KUA dengan diantarkan oleh bapak angkat saya. Di kantor KUA itulah saya mengikrarkan dua kalimat syahadat. Untuk yang kedua kalinya nama saya diganti menjadi Siti Sarah. Setelah itu saya baru merasa tenang dan percaya diri, sebab batin saya merasa terlindung untuk melangkah menjalani hidup. Saya tahu kepada siapa saya harus mengadukan,segala urusan dan meminta bimbingan hidup agar selamat di dunia dan akhirat.

Diusir Orang Tua

Alhamdulillah, saya lulus SMEA dengan nilai yang cukup memuaskan, meskipun saya harus diusir oleh orang tua lantaran keteguhan saya untuk memilih Islam sebagai satusatunya jalan hidup. Akhirnya saya putuskan untuk berangkat ke rumah paman saya di Jakarta dengan harapan agar dapat kuliah atau kursus sambil bekerja di tempat yang lumayan gajinya. Dulu paman saya pemah menjanjikan hal itu.

Tapi, ternyata paman telah mendengar saya masuk Islam, sehingga ia mengurungkan semua janjinya. Bahkan, saya diusir dari rumahnya. Sebetulnya, bagi paman tidak masalah saya pindah agama, asalkan tidak memilih Islam. Sebab, hal itu dianggapnya dapat menghancurkan reputasi mereka.

Saya yang tidak punya siapa-siapa di Jakarta, tentu merasa gamang dan bimbang. Tapi nurani saya berkata, "Saya punya Allah SWT. Mengapa harus ragu? Fase pertama saya telah sukses melewati rintangan orang tua saya sendiri. Apakah saya harus gagal menghadapi masalah ini?" begitu tekad saya ketika itu.

Di kamar saya menangis. Bingung dan gelisah bercampur menjadi satu. Besok saya harus ke mana? Menginap di masjid atau di kolong jembatan? Tiba-tiba pembantu paman masuk ke dalam kamar saya. la seakan tahu kalau saya sedang bingung. "Kenapa Mbak?" tanyanya. "Nggak apa-apa," jawab saya. Lalu, ia menyarankan, jika saya belum ada tujuan akan ke mana, lebih baik ke Pesantren ash-Shiddigiyah saja. Dia seakan tahu saya diusir.

Singkat cerita, akhirnya saya datang ke Pesantren ash-Shiddigiyah, dan langsung diterima dengan ramah oleh Nyai Siti Silah, istri Kiai Nur Muhammad Iskandar. Saya terkesan dengan penampilan dan pendidikannya. Akhirnya saya putuskan untuk belajar di pesantren itu sampai sekarang. Meskipun kedua orang tua saya sampai hari ini belum mendapat hidayah Allah, namun saya tak lupa berkirim surat kepada mereka, mengabarkan keadaan saya di pondok pesantren yang diasuh Kiai Nur Muhammad Iskandar S.Q. Semoga saya bisa mendalami ajaran Islam dan mendapat ridha Allah. Amin. .


Kholil N./Albaz dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ oleh Mualaf Online Center (MCOL)  http://www.mualaf.com/

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter