Paham "antroposentrisme" merupakan paham yang yang berorientasi bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta ini. Semua sumber daya dapat dimanfaatkan oleh manusia tanpa batas. Alam merupakan objek keserakahan manusia untuk dapat dieksplorasi sekehendak manusia.
Paham ini
Paham ini
saat ini dianut oleh beberapa negara. Jared Diamond dalam bukunya, Collapse: How Societies Choose to Fail ora Succeed (2005) memasukkan Indonesia, Nepal dan Kolombia sebagai peradaban yang mungkin dengan keruntuhan.
Diceritakan dalam buku tersebut banyak peradaban suatu bangsa punah karena tersebut tidak memperlakukan alam dengan bijaksana. Misalnya, kepunahan bangsa Viking Norse di Skandinavia karena tak sengaja menyebabkan erosi dan penggundulan hutan sehingga menghancurkan sumber daya mereka.
Juga sejarah Ankor Wat, peradaban bangsa Maya, Kepulauan Easter, bangsa Zimbabwe, dan lembah sungai Indus merupakan pelajaran berharga bagaimana seharusnya memperlakukan alam.
Tulisan Marison Guciano di Kompas 3 Februari 2012 membahas mengenai bangsa Indonesia Bangsa Tanpa Visi Ekologi. Bangsa ini melalui pemerintahannya seringkali mengambil keputusan "sesat" terkait masalah ekologi.
Obral ijin penguasaan hutan, maraknya kebijakan alih fungsi hutang lindung, pemberian keistimewaan bagi konglomerat kehutanan melalui penghapusan hutang, adalah beberapa contoh betapa pemerintahan bangsa ini tidak bervisi ekologi.
Contoh lainnya, terbitnya PP No 22/2008 yang kontroversial karena memberi keistimewaan bagi petambang untuk menambang di hutan lindung, pasifnya penegakan hukum lingkungan, hingga terjadinya pembantaian orangutan di Kalimantan Tengah karena dianggap hama sawit.
Kekeliruan pemerintahan yang tidak bervisi ekologi ini "dibayar mahal" dengan terjadinya bencana ekologi seperti bencana banjir terjadi hampir di seluruh pelosok negeri ini dari pedesaan sampai ibukota.
Pada musim kemarau, bencana kekeringan sering kali melanda; penduduk kesulitan air bersih dan petani tak bisa lagi mengairi lahan pertanian.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan, dalam tahun 2010-2011 terjadi 3.380 bencana alam yang melanda Indonesia dengan jumlah korban 2.973 orang dan 112.664 rumah rusak.
Banjir bandang, kekeringan, dan tanah longsor merupakan bencana yang paling dominan menurut BPPB. Fenomena alam, seperti cuaca buruk, tingginya curah hujan seringkali menjadi kambing atas sumber dari malapetaka ini.
Padahal bangsa yang tidak bervisi ekologi merupakan pangkal sebab menurunnya daya dukung lingkungan dan hadirnya bencana ekologi di sekitar kita. Kawasan hutan yang yang terus beralih fungsi menjadi pemukiman, industri, lahan pertanian, dan perkebunan; pembalakan liar yang marak; gaya hidup hedonis yang tak ramah lingkungan juga menjadi sebab ketidakseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan.
Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (2009), dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, tutupan hutan di Indonesia berkurang dari 162 juga ha menjadi hanya 88,17 juta ha pada tahun 2009 atau setara dengan sekitar 46,3 persen dari luas total daratan Indonesia.
Bersama musnahnya puluhan juta hektar keanekaragaman hayati di dalamnya. Padahalan keanekaragaman hayati berfungsi sebagai penyedia sumber air dan kebutuhan nyata jutaan penduduk, penyedia tanaman obat, sumber stok genetik, regulasi iklim, pencegaha bencana alam, serta penjaga keseimbangan ekosisistem.
Tulisan Diamond merupakan warisan berharga sebagai bahan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia untuk mengambil keputusan penting terkait masa depannya.
Kekeliruan membuat keputusan akan menyebabkan bangsa ini menggali kuburnya sendiri yang berakibat kepada kepunanah sendiri.
Kata-kata bijak suku Indian berikut ini bisa menjadi renungan kita semua. " Jika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, sungai terakhir telah mengering, manusia baru sadar bahwa uang tak bisa dimakan." Wallahualam
Diceritakan dalam buku tersebut banyak peradaban suatu bangsa punah karena tersebut tidak memperlakukan alam dengan bijaksana. Misalnya, kepunahan bangsa Viking Norse di Skandinavia karena tak sengaja menyebabkan erosi dan penggundulan hutan sehingga menghancurkan sumber daya mereka.
Juga sejarah Ankor Wat, peradaban bangsa Maya, Kepulauan Easter, bangsa Zimbabwe, dan lembah sungai Indus merupakan pelajaran berharga bagaimana seharusnya memperlakukan alam.
Tulisan Marison Guciano di Kompas 3 Februari 2012 membahas mengenai bangsa Indonesia Bangsa Tanpa Visi Ekologi. Bangsa ini melalui pemerintahannya seringkali mengambil keputusan "sesat" terkait masalah ekologi.
Obral ijin penguasaan hutan, maraknya kebijakan alih fungsi hutang lindung, pemberian keistimewaan bagi konglomerat kehutanan melalui penghapusan hutang, adalah beberapa contoh betapa pemerintahan bangsa ini tidak bervisi ekologi.
Contoh lainnya, terbitnya PP No 22/2008 yang kontroversial karena memberi keistimewaan bagi petambang untuk menambang di hutan lindung, pasifnya penegakan hukum lingkungan, hingga terjadinya pembantaian orangutan di Kalimantan Tengah karena dianggap hama sawit.
Kekeliruan pemerintahan yang tidak bervisi ekologi ini "dibayar mahal" dengan terjadinya bencana ekologi seperti bencana banjir terjadi hampir di seluruh pelosok negeri ini dari pedesaan sampai ibukota.
Pada musim kemarau, bencana kekeringan sering kali melanda; penduduk kesulitan air bersih dan petani tak bisa lagi mengairi lahan pertanian.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan, dalam tahun 2010-2011 terjadi 3.380 bencana alam yang melanda Indonesia dengan jumlah korban 2.973 orang dan 112.664 rumah rusak.
Banjir bandang, kekeringan, dan tanah longsor merupakan bencana yang paling dominan menurut BPPB. Fenomena alam, seperti cuaca buruk, tingginya curah hujan seringkali menjadi kambing atas sumber dari malapetaka ini.
Padahal bangsa yang tidak bervisi ekologi merupakan pangkal sebab menurunnya daya dukung lingkungan dan hadirnya bencana ekologi di sekitar kita. Kawasan hutan yang yang terus beralih fungsi menjadi pemukiman, industri, lahan pertanian, dan perkebunan; pembalakan liar yang marak; gaya hidup hedonis yang tak ramah lingkungan juga menjadi sebab ketidakseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan.
Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (2009), dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, tutupan hutan di Indonesia berkurang dari 162 juga ha menjadi hanya 88,17 juta ha pada tahun 2009 atau setara dengan sekitar 46,3 persen dari luas total daratan Indonesia.
Bersama musnahnya puluhan juta hektar keanekaragaman hayati di dalamnya. Padahalan keanekaragaman hayati berfungsi sebagai penyedia sumber air dan kebutuhan nyata jutaan penduduk, penyedia tanaman obat, sumber stok genetik, regulasi iklim, pencegaha bencana alam, serta penjaga keseimbangan ekosisistem.
Tulisan Diamond merupakan warisan berharga sebagai bahan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia untuk mengambil keputusan penting terkait masa depannya.
Kekeliruan membuat keputusan akan menyebabkan bangsa ini menggali kuburnya sendiri yang berakibat kepada kepunanah sendiri.
Kata-kata bijak suku Indian berikut ini bisa menjadi renungan kita semua. " Jika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, sungai terakhir telah mengering, manusia baru sadar bahwa uang tak bisa dimakan." Wallahualam
Posting Komentar
Posting Komentar