-->

Muhammad Ibn Waasi’ al-Azdiy -[1-2] (Syaikh Ahli Zuhud Dan Pemilik Doa Mustajab)

“Para umara memiliki qurra, orang-orang kaya memiliki qurra dan Muhammad ibn Waasi’ adalah qurranya ar-Rahman” (Malik ibn Dinar)

Kita sekarang berada di bawah pemerintahan khilafah Amirul Mukminin Sulaiman ibn Abdul Malik.

Inilah Yazid ibn al-Muhallab ibn Abi Shufrah salah seorang dari suyuuful Islam (pedang Islam) yang terhunus dan wali Khurasan yang gagah perkasa.

Ia bergerak bersama pasukannya yang berjumlah seratus ribu personil, belum termasuk para sukarelawan dari para pencari syahid dan orang-orang yang mengharapkan pahala.

Ia bertekad untuk menaklukkan “Jurjaan” dan “Thabaristan”*...Dan adalah di antara para pelopor sukarelawan seorang tabi’in mulia (yaitu) Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy al-Anshari yang di beri gelar Zainul Fuqaha (hiasan para fuqaha)...dan dikenal dengan sebutan ‘Abid al-Bashrah (ahli ibadahnya Bashrah) serta murid seorang sahabat mulia Anas ibn Malik al-Anshari, pelayan Rasulullah SAW.

Yazib ibn al-Muhallab singgah bersama pasukannya di “Dihistan” yang dihuni sekelompok kaum dari “Turki” yang sangat keras siksanya, sangat kuat dan sangat kokoh bentengnya.

Setiap hari mereka keluar untuk memerangi kaum muslimin. Apabila ditimpa kepayahan dan pertempuran bertambah sengit mendesak mereka, mereka berlindung di jalan-jalan perbukitan. Mereka bertahan di benteng-benteng yang kokoh dan berlindung di puncak-puncaknya yang tinggi.

Adalah Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy memiliki peran signifikan dalam pertempuran ini walaupun secara fisik kelihatan lemah dan usianya telah lanjut.

Dan sungguh tentara muslimin mendapatkan ketenangan dengan cahaya iman yang terpancar dari wajahnya yang lembut. Mereka bersemangat untuk mendapatkan hangatnya dzikir yang menyala dari lisannya yang sejuk. Mereka merasa tenteram dengan doa-doanya yang mustajab di saat-saat genting dan bencana.

Yang biasa ia lakukan, apabila panglima pasukan telah menerobos masuk ke medan perang, ia menyeru, “Wahai pasukan Allah naiklah...wahai pasukan Allah naiklah...”

Hampir-hampir tidaklah tentara muslimin mendengar seruannya kecuali mereka segera merangsak maju memerangi musuhnya sebagaimana bergeraknya singa-singa yang menerkam. Mereka mendatangi medan pertempuran bak orang-orang yang kehausan mendatangi air dingin di hari yang terik.

Pada suatu pertempuran dari hari-hari pertempuran yang sengit tersebut, muncullah seorang penunggang kuda dari barisan musuh yang mana mata tidak pernah melihat badan yang sekekar itu, begitu kuat, pemberani dan sangat kuat keteguhannya. Ia terus saja menerobos masuk ke tengah-tengah barisan sehingga memojokkan kaum muslimin dari tempat-tempat mereka. Ia juga menimbulkan rasa takut dan gentar di hati mereka.

Kemudian ia mulai mengajak mereka untuk berduel menantang dengan sombong. Ia terus mengulangi tantangannya.

Maka, tidaklah Muhammad ibn Waasi’ mendengar ajakannya kecuali ia bertekad untuk berduel dengannya.

Di saat itulah kegagahan (keberanian) merayap dalam jiwa pasukan muslimin...Salah seorang dari mereka mendatangi orang tua ini dan bersumpah agar ia tidak melakukannya dan memohonnya supaya membiarkannya mengantikannya. Orang tua itu lantas mengabulkan sumpahnya dan mendoakan kemenangan dan pertolongan untuknya.

Kedua prajurit tersebut saling mendatangi lawannya laksana datangnya kematian. Keduanya saling menerkam laksana dua singa yang kuat. Mata dan hati seluruh tentara memperhatikan dari setiap tempat. Keduanya terus saling menerkam dan menyerang beberapa saat hingga kelelahan.

Di saat yang bersamaan keduanya saling menebas kepala lawannya...

Adapun pedang prajurit Turki menancap di penutup kepala prajurit muslim...sedangkan pedang prajurit muslim turun mengenai pelipis prajurit Turki sehingga membelah kepalanya menjadi dua bagian. Terpecahlah kepalanya menjadi dua...

Prajurit yang menang tersebut kembali ke barisan muslimin di bawah tatapan mata yang tidak pernah menyaksikan pemandangan seperti itu.

Pedang di tangannya meneteskan darah...
Dan sebuah pedang menancap di atas ‘helm’-nya berkilat di bawah sinar matahari.

Kaum muslimin menyambutnya dengan tahlil, takbir dan tahmid.

Yazid ibn al-Muhallab memandang kepada kilatan dua pedang itu, ‘helm’ dan senjata orang tersebut. Ia berkata, “Alangkah menakjubkannya prajurit ini!!,” Manusia apakah dia.?”

Maka dikatakan kepadanya bahwa ia adalah orang yang telah mendapatkan berkah dari doanya Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy.

Neraca kekuatan berbalik setelah tewasnya prajurit Turki...rasa takut dan gentar menjalar di dalam diri kaum musyrikin seperti api yang menyambar daun ilalang yang kering-kerontang.

Api semangat dan izzah kemudian menyala dalam dada kaum Muslimin.

Mereka mendatangi musuhnya laksana datangnya air bah...
Mereka mengepungnya seperti kalung yang melingkar di leher...

Mereka juga memutuskan (pintu-pintu) air dan suplai makanan.

Sehingga raja mereka tidak menemukan jalan selain perdamaian. Ia kemudian mengirim utusan kepada Yazid untuk menawarkan perdamaian kepadanya, dan mengumumkan kesiapannya untuk menyerahkan negara yang ada dalam kekuasaannya dengan segenap apa dan siapa yang ada padanya, dengan jaminan ia (Yazid) memberikan keamanan kepada dirinya, harta dan keluarganya.

Yazid menerima perdamaian darinya dan memberikan syarat agar ia memberikan tujuh ratus ribu dirham kepadanya dengan cara diangsur dan membayar tunai di muka sebesar empat ratus ribu. Dan memberikan empat ratus kendaraan yang dipenuhi dengan Za’faraan** kepadanya. Dan hendaklah ia menggiring empat ratus orang, pada tangan setiap orang terdapat satu gelas yang terbuat dari perak dan di atas kepalanya terdapat Burnus*** dari sutra dan di atas Burnus terdapat Thailasan**** yang terbuat dari beludru sutra dan selendang sutra yang akan di pakai oleh istri-istri para prajurit.

Ketika peperangan telah mereda, Yazid ibn al-Muhallab berkata kepada penjaga gudangnya, “Hitunglah Ghanimah yang kita raih sehingga kita bisa memberi kepada setiap orang haknya.”

Si penjaga gudang dan orang yang bersamanya berusaha untuk menghitungnya namun mereka kewalahan. Akhirnya ghanimah tersebut dibagi di antara prajurit dengan pembagian yang dibangun atas toleransi.

Dalam ghanimah tersebut, kaum muslimin menemukan sebuah mahkota yang di lapisi emas murni, dihias dengan berlian dan mutiara, dan dihias dengan ukiran-ukiran yang indah.

Orang-orang saling mendongakkan leher (untuk melihat) kearahnya...mata-mata tidak berkedip memengkaung kemilaunya.

Yazid memungut dengan tangannya dan mengangkatnya sehingga yang belum melihatnya bisa melihatnya, kemudian ia berkata, “Apakah kalian melihat ada orang yang zuhud terhadap mahkota ini?!”

“Semoga Allah memperbaiki keadaan tuanku...siapakah orangnya yang akan zuhud kepadanya” jawab mereka.

Ia berkata, “Kalian akan melihat, bahwa masih ada pada umat Muhammad SAW orang yang zuhud terhadapnya dan terhadap sepenuh bumi yang sepertinya.”

Ia menoleh kepada pengawalnya dan berkata, “Carilah Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy untukku.”

Penjaga tersebut segera bertolak mencarinya di setiap arah...dan ia menemukannya telah menepi di tempat yang jauh dari manusia. Ia berdiri tegak mengerjakan shalat sunnah dan berdoa serta memohon ampun.

Ia lantas menemuinya dan berkata, “Sesungguhnya Amir memanggilmu untuk menemuinya, dan memintamu untuk berangkat ke sana sekarang juga.”

Ia berangkat bersama penjaga, hingga ketika ia telah berada di sisi Amir, ia mengucapkan salam dan duduk di dekatnya. Amir menjawab salamnya dengan yang lebih baik darinya.

Ia kemudian mengangkat mahkota dengan tangannya dan berkata, “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya tentara muslimin telah beruntung dengan (mendapatkan) mahkota yang berharga ini...dan aku berpendapat untuk memuliakanmu dengannya, dan menjadikannya termasuk bagianmu, sehingga jiwa para tentara pun menjadi lega dengannya.”

“Engkau menjadikannya termasuk bagianku, wahai amir?!” katanya.

“Ya, termasuk bagianmu,” kata Amir
Ia berkata, “Aku sama sekali tidak membutuhkannya wahai Amir...semoga engkau dan mereka dibalasi dengan kebaikan atasku.”

“Aku bersumpah dengan nama Allah atasmu agar kamu mengambilnya,” kata Amir.

Ketika Amir bersumpah, Muhammad ibn Waasi’ pun terpaksa mengambil mahkota, kemudian ia memohon pamit kepadanya dan beranjak pergi.

Beberapa orang yang tidak mengenal syaikh berkata, “Inilah orangnya yang telah mengkhususkan dirinya dengan mahkota dan ia pergi membawanya.”

Yazid lantas memerintahkan seorang budaknya untuk menguntitnya dengan sembunyi-sembunyi...dan untuk memperhatikan apa yang akan ia perbuat dengan mahkota tersebut...kemudian datang dengan membawa beritanya.

Budak tersebut menguntitnya sedangkan syaikh tidak mengetahuinya.

Muhammad ibn Waasi’ berjalan di jalannya sedangkan mahkota barada di tangannya...ia lalu dihadang oleh seseorang yang berambut acak-acakan, berdebu dan berpenampilan dekil, ia memintanya dengan berkata, “Dari harta Allah....”

Syaikh memengkaung ke sebelah kanannya, kirinya dan belakanganya...ketika ia yakin tidak ada seorang pun yang melihatnya, ia menyerahkan mahkota tersebut kepada orang yang meminta tadi...kemudian ia bertolak dengan perasaan gembira dan senang...seakan-akan ia telah melemparkan beban berat dari pundaknya yang memberatkan punggungnya.

Budak tersebut lantas memegang tangan si peminta tadi, lalu membawanya kepada Amir dan ia menceritakan kisahnya kepadanya...

Amir kemudian mengambil mahkota tesebut dari tangan si peminta, dan menggantinya dengan harta yang cukup sehingga menjadikannya ridla. Kemudian ia menoleh kepada para tentaranya dan berkata, “Bukankah sudah aku katakan kepada kalian, sesungguhnya masih ada di antara umat Muhammad SAW orang-orang yang zuhud terhadap mahkota ini dan yang semisalnya dan yang semisalnya.”

Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy terus saja ikut berjihad (memerangi) musyrikin di bawah bendera Yazid ibn al-Muhallab hingga musim haji mendekat.

Ketika tidak tersisa di hadapannya kecuali hanya waktu yang singkat, ia masuk menemui Amir dan meminta ijinnya untuk berangkat mengerjakan nusuk.*****

Yazid berkata kepadanya, “Ijinmu berada di tanganmu sendiri wahai Abu Abdillah, berangkatlah kapan saja kamu mau...dan kami telah memerintahkan untuk memberikan harta kepadamu agar bisa membantu hajimu.”

Ia menjawab, “Apakah kamu juga memerintahkan (untuk memberikan) seperti harta ini kepada setiap tentara-tentaramu wahai Amir?!”

“Tidak...” jawab Amir
Ia berkata, “Aku tidak punya hajat dengan sesuatu yang aku dikhususkan dengannya tanpa tentara muslimin yang lain.”

Ia kemudian mengucapkan selamat berpisah dan segera berangkat.

Kepergian Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy terasa begitu memberatkan Yazid ibn al-Muhallab sebagaimana juga terasa berat atas tentara muslimin yang telah berjalan di temani olehnya.

Mereka merasa bersedih atas terhalangnya pasukan yang menang dari berkah-berkahnya, mereka berharap agar ia kembali lagi setelah selesai menunaikan nusuk-nya.

Tidaklah mengherankan, sungguh para panglima muslimin yang tersebar di seluruh penjuru negeri telah berlomba-lomba agar ‘Abidul Bashrah (yaitu) Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy berada dalam kelompok pasukannya. Mereka bergembira dengan keberadaannya bersama mereka dengan kebaikan yang banyak...mereka mengharap kepada Allah AWJ agar menganugerahkan kemenangan gemilang dengan kebaikan doanya dan berkahnya yang banyak.

Selanjutnya, alangkah mulia jiwa-jiwa ini yang terasa begitu kecil di matanya...(namun) begitu besar di sisi Allah dan para manusia.

Alangkah mulia sejarah ini yang telah beruntung dengan orang-orang langka dari manusia-manusia yang menakjubkan.

Sampai berjumpa lagi bersama ‘Abidul Bashrah Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy.

CATATAN:

* Jurjaan dan Thabaristan telah ditaklukkan oleh Yazid ibn Al-Muhallab, keduanya termasuk daerah Persia
** Za’faran adalah tumbuhan yang dipergunakan untuk mengharumkan dan mewarnai makanan
*** Burnus adalah pakaian yang penutup kepalanya merupakan bagian darinya
**** Thailasan adalah jubah yang berwarna hijau yang dipakai oleh orang-orang tertentu
***** Nusuk adalah mengerjakan haji yang sunnah dan itu dikerjakan setelah menunaikan haji yang wajib

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter