Hadis dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW, pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi SAW.
Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna, namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis masih dapat muncul.
Apakah pemahaman sebuah hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak, ... apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, ataukah mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan ? Itu sebagian persoalan yang dapat muncul dalam bahasan tentang mana hadis.
Imam al-Qorafi dianggap sebagai orang pertama yang memilah-milah ucapan dan sikap Nabi Muhammad SAW, menurutnya, Nabi SAW, terkadang berperan sebagai imam agung, Qadhi ( penetap hukum yang bijaksana ), atau mufti yang amat dalam pengetahuannya.
Pendapat di atas, bagi penganut paham kontekstualdijabarkan dan dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap hadis harus dicari konteksnya, apakah ia diucapkan / diperankan oleh manusia agung itu dalam kedudukannya beliau sebagai :
1. | Rasul, dan karena itu pasti benar, sebab bersumber dari Allah SWT. | 2. | Mufti, yang berarti fatwa berdasarkan pemahaman dan wewenang yang diberikan Allah SWT kepadanya. Dan itu pasti benar serta berlaku umum bagi setiap Muslim. | 3. | Hakim, yang memutuskan perkara. Dalam hal ini putusan tersbut walaupun secara formal pasti benar, namun secara material adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan salah satu pihak yang bersengketa dalam menutup-nutupi kebenaran, sementara disisi lain keputusan ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersangktuan. | 4. | Pemimpin suatu masyarakat, yang menyesuaikan sikap, bimbingan dan petunjuknya sesuai dengan kondisi dan budaya masayarakat yang beliau temui. Dalam hal ini, sikap dan bimbingan tersebut pasti benar dan sesuai dengan masyarakatnya. Namun bagi masyarakat yang lain, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam petunjuk dan bimbingan itu untuk diterapkan sesuai dengan kondisi masing-masing masyarakat. | 5. | Pribadi baik karena beliau : |
|
a. Memiliki kekhususan dan hak-hak tertentu yang dianugerahkan atau dibebankan oleh Allah dalam rangka tugas-tugas kenabiannya, seperti kewajiban shalat malam (tahajud) atau kebolehan menghimpun lebih dari empat orang istri dalam satu waktu yang bersamaan; maupun karena , b. Kekhususan-kekhususan yang diakibatkan oleh sifat manusia, yang berbeda antara seorang dengan yang lain, seperti perasaan suka atau tidak suka ( like and dislike ) terhadap sesuatu. Soal yang terakhir ini menjadi fokus perhatian utama mereka yang menitik beratkan pandangannya pada ucapan atau sikap yang berkaitan dengan hukum. |
Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi yang jelas pun berlainan. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada yang secara kontekstual.
Ubay bin ka’ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid mendengar Nabi SAW bersabda “ Ijlisuu “ ( duduklah kalian ) dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Nabi yang mengetahui ini bersabda : “Zadaka Allah Thaa’atan”. Disini Ubay memahami hadis secara tekstual.
Suatu ketika Nabi SAW, memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraidhah dalam rangka peperangan ahzab, sebelum berangkat beliau berpesan :
“Jangan ada salah seorang di antara kamu yang shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraidhah”. Sebagian memahami secara tekstual, sehingga sahabat tidak shalat Ashar walau waktunya telah berlalu kecuali di sana, dan sebagian shahabat memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju.
Nabi dalam kasus terkhir ini, tidak mempermasalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks hadits.
Wa al-Allahu a’lam bi al-Aswab
|
Posting Komentar
Posting Komentar