Karena suatu hal, raja Harun Al-Rasyid murka besar kepada Tsumamah bin Asyras, seorang tokoh pemikir bebas pada zaman pemerintahan dinasti Abasiyah pertama. Sang raja menyerahkan kepada Salam Al-Abrasy untuk menghukum secara pantas, yakni ditahan di sebuah rumah dengan tetap diperlakukan secara baik. Ternyata tidak semua pesan raja dipatuhi oleh Salam Al-Abrasy. Misalnya, ia sering tidak memberi makan kepada tahanannya.
Suatu sare, Salam Al-Abrasy sedang tekun membaca Al-Qur'an surat At-Thur. Sampai pada ayat 11, ia membaca secara salah, yakni fawailun yaumaidzin lil mukadz dzabin yang berarti: "Maka kecelakaan yang besarlah dihari itu bagi orang-orang yang didustakan."Padahal yang benar Fawailun yaumaidzin lil- mukadz dzibin: "Maka kecelakaan yang besarlah dihari itu bagi orang-orang yang mendustakan."
Tsumamah yang kebetulan mendengar kesalahan itu membetulkannya, "Bukan al-Mukadz dzabin, tetapi al-Mukadz dzibin. Yang dimaksud al-Mukadz dzabin (orang-orang yang didustakan) adalah para utusan Allah. Adapun al-Mukadz dzibin (orang-orang yang mendustakan) adalah orang-orang kafir." "Pernah ada yang bilang padaku, kamu orang zindiq, tetapi aku tidak percaya," kata Salam.
Sejak saat itu, Salam semakin sentimen kepada Tsumamah. Namun tidak lama kemudian sang raja Harun Al-Rasyid membebaskannya dari tahanan. Besoknya ia diundang ke istana.
"Katakan padaku, siapa orang yang paling buruk tingkah lakunya?," tanya sang raja kepada Tsumamah. "Orang pintar tetapi berkelakuan bodoh," jawab Tsumamah.
Seketika tampak merah wajah Harun Al-Rasyid mendengar jawaban tersebut. "Aku kira engkau akan menghukumku kembali, Amirul mukminin?" tanya Tsumamah. "Ah, tidak. Terangkan apa maksud kata-katamu tadi," pinta sang raja.
Begitu mendengar cerita tentang Salam bin Al-Abrasy, raja terpingkal-pingkal.
Sumber: Akhbar al-Humqi wa al-Mughaffilin, Ibnu al-Jauzi
Posting Komentar
Posting Komentar