Sebagai wacana akaedemis modernisasi Islam atau lebih tepatnya pembaharuan pemahaman ajaran Islam telah lama digulirkan oleh para pemikir muslim dalam upaya mengantisipasi pengaruh imperialisasi dan kolonialisme Barat maupun dalam merespon tantangan-tantangan moral dan intelektual dalam dinamika kehidupan intern umat Islam yang senantiasa mengalami perubahan.
Ditengarai, gerakan pembaruan Islam yang dalam literatur hadith disebut tajdid dan mncul dengan berbagai predikat yang berbeda-beda seperti : reformise, modernisme, puritanisme, revivalisme bahkan fundamentalisme, sebenarnya memiliki dasar kuat pada warisan pengalaman sejarah kaum muslim. Diantara unsur penting dari warisan itu adalah landasan teologis yang memberikan dasar legitimasi setiap usaha pembaruan sebagai pendorong munculnya gerakan-gerakan tersebut.
Dari beberapa tesis di atas, bahwa modernisasi dalam konsep Islam adalah sebanding dengan term tajdid yang kemudian secara sederhana dimaknai sebagai pembaruan pemahaman ajaran Islam.
LEGITIMASI NORMATIF – TEOLOGIS KONSEP PEMBARUAN Kaum muslim menurut Abd al-Muta’al al-Sai’idi, terpola dalam dua kelompok besar. Pertama, kelompok yang memahami ajaran Islam sebagai agama ibadah saja. Tegaknya agama ini hanya terletak pada lima pilar utama yang disebut rukun Islam yakni, syahadatain, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa pada bulan Ramadlan, dan melaksanakan haji bagi yang mampu. Mereka menduga bahwa keselamatan mereka di dunia dan di akhirat adalah hanya dengan hanya melaksanakan lima hal tersebut. Akibat dari pemahaman yang keliru ini, umat Islam sangat terkonsentrasi pada kesalehan pribadi tanpa memperdulikan dunia luar. Pemahaman seperti ini kemudian menimbulkan pandangan bahwa dalam Islam tidak perlu ada tajdid ( pembaruan ).
Kedua, kelompok yang memahami Islam bukan hanya sebagai agama ibadah saja, melainkan agama kebangkitan spiritual dan peradaban serta ilmu pengetahuan. Oleh karena itu Islam sangat terbuka terhadap tajdid sesuai dengan perjalanan waktu dan tidak terbatas pada ketentuan-ketentuan rigid.
Bila dikaji secara mendalam, sebenarnya konsep tajdid mempunyai landasan teologis yang eksplisit dalam Hadith Nabi, Imam Abu Dawud meriwayatkan hadith dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda : Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad, seorang yang akan melakukan melakukan pembaruan agamanya. Namun menurut Al Maududi, banyak orang yang berbeda penafsiran dalam memahami hadith tersebut. Mereka memperselisihkan makna ‘ala ra’si kulli mi’ati sanah : apakah harus pada awal atau akhir abad ?, dalam kaitannya dengan kemunculan mujaddid.
Perbedaan interpretasi tersebut pada garis besarnya disebabkan oleh perbedaan dalam menghubungkan kata-kata tersebut dengan masa kelahiran mujaddid oleh sebagian ahli sejarah, sementara yang lain menghubungkannya dengan tanggal kematiannya. Orang yang berpendapat bahwa ra’su al-mi’ah adalah akhirnya, mendasarkan pada tradisi penlisan biografi dalam Islam yang biasanya hanya menyebutkan kematian seseorang. Namun dalam pengertian yang fleksibel, al-Sa’idi cenderung pada pendapat bahwa makna ra’su al-shay’ dapat bermakna keduanya, awal dan akhir. Lebih dari itu ia lebih memahami hadith tersebut sebagai sebuah petunjuk bahwa dalam setiap seratus tahun Allah akan mengutus mujaddid pada awal, tengah, atau akhir suatu abad. Sebab melakukan pembatasan waktu secara tegas terkadang menimbulkan kesulitan untuk menentukan seseorang dapat disebut mujaddid atau tidak. Terkadang mujaddid yang muncul pada pertengahan abad justru lebih menonjol perananannya daripada yang muncul pada pada awal atau akhir abad.
Perbedaan juga muncul dalam kaitannya dengan permulaan hitungan ratusan pertama, apakah dihitung dari hari kelahiran nabi Muhammad saw, mulai pengangkatannya sebagai rasul. Dari hijrah atau justru dari wafatnya Nabi. Namun pernitungan yang sering digunakan adalah dimulai dari masa hijrah.
Dari hadith tersebut Al Maududi maupun al-Sa’idi berpandangan sama tentang tidak adanya batasan jumlah mujaddid yang muncul setiap abad. Pandangan ini didasarkan pada pendekatan bahasa bahwa kata man ( dalam bahasa Arab ) digunakan untuk menyebut satuan atau jamak. Pandangan seperti itu mengindikasikan bahwa gerakan tajdid dapat dimotori oleh mujaddid secara individual maupun oleh kelompok orang atau organisasi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hadith Abu Dawud tersebut secara tegas memberikan legitimasi teologis terhadap perakan pembaruan pemahaman ajaran Islam dalam upaya mengimplementasikannya sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Walaupun hadith tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, namun kandungan dasarnya adalah tetap konstan, artinya hadith tersebut dapat dipahami sebagai isyarat bahwa masyarakat muslim secara bertahap dalam setiap kurun waktu seratus tahun dianggap telah melakukan penyimpangan-penyimpangan dan meninggalkan jalan yang telah ditetapkan al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga diperlukan kehadiran mujaddid untuk mengusahakan suatu kelahiran kembali semangat Islam yang segar. Hal ini sejalan dengan tesis John O’ Voll yang mengklaim bahwa tajdid bisa jadi sebagai jawaban terhadap rusaknya kehidupan kegamaan.
Dengan tidak bermaksud apologi, kemungkinan penyelewengan dari al-Qur’an dan al-Sunnah adalah wajar secara historis. Jauh-jauh hari Nabi bersabda : sebaik-baik masa adalah masa di mana aku hidup bersama pengikutku, kemudian generasi setelahku, dan kemudian generasi berikutnya, dan seterusnya. Hadith ini tentu tidak tepat manakala dipahami secara tekstual, karena selain dapat menimbulkan sikap apriori terhadap penyimpangan-penyimpangan kehidupan kegamaan, juga menimbulkan kesan bahwa kemunduran kehidupan keagamaan umat Islam yang hidup belakangan setelah Nabi mendapatkan legitimasi teologis-eskatologis, pemahaman ini adalah tidak adil.
Karena itu dalam perspektif yang lain, Ahmad Jainuri memberikan interpretasi bahwa hadith itu menunjukkan bahwa kelebihan orang-orang terdahulu adalah terletak pada aksesnya terhadap Nabi. Jadi tidak menutup kemungkinan generasi masa kini pun dapat memperoleh keutamaan seperti generasi awal Islam sejauh dapat mengakses petunjuk-petunjuk Nabi. Pemahaman ini dapat diterima bila dikaitkan dengan suatu pengakuan Nabi sendiri tentang keutamaan umatnya yang hidup jauh setelah masa kenabian tetapi beriman kepadanya. Nabi bersabda : beruntunglah orang yang bertemu denganku dan beriman kepadaku, dan lebih beruntung orang yang tidak bertemu denganku tetapi beriman kepadaku.
Jadi, cara penyegaran pengalaman beragama yang merupakan salah satu aspek pembaruan itu memiliki dimensi moral yang mendasar. Hal itu karena dalam pengertian tertentu ia didasari oleh pengetahuan tentang kehendak Illahi yaitu bertitik tolak dari patokan baku yang diyakini akan tetap ada dalam satu bentuk yang tidak pernah berubah. Dalam Islam patokan penilaiannya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kalau tesis ini dapat diterima maka benarlah Fazlur Rahman mengatakan bahwa tajdid secara logis dapat terjadi hanya setelah terbangunnya sebuah ortodoksi yang mapan ( established ). Karena itu gerakan-gerakan yang lebih berorientasi pada tujuan pengembalian bentuk keagamaan ortodoks sering disebut sebagai gerakan purifikasi. Gerakan seperti inilah yang pernah dilakukan oleh gerakan pembaruan sayap kanan ( right wing reform movement ) yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahhab ( w. 1206 H / 1792 M ) di jantung Arabia. Perlu dicatat bahwa kesadaran semacam ini sebenarnya bukan hanya fenomena dalam Islam, melainkan merupakan gejala dalam tradisi – tradisi keagamaan yang lain dalam menghadapi situasi yang serupa.
Gerakan tajdid juga merupakan konsekuensi logis dari karakteristik ajaran Islam yang universal ( syumul ). Universalitas ini sesuai dengan missinya sebagai rahmat bagi seluruh alam dan seisinya. Sebagaimana firman Allah : Dan tidaklah Kami mengutus Engkau ( Muhammad ) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam
Wahbah al Zuhayli menjelaskan bahwa untuk sampai kepada statusnya yang universal itu, ajaran Islam datang membawa hal-hal sebagai berikut :
1. Meletakkan prinsip-prinsip yang mantap. 2. Konsisten dalam upayanya membina umat manusia 3. Pada prisipnya Islam berupaya membina kemaslahatan umat manusia baik du dunia maupun di akhirat.
Hal itu dapat dipahami bahwa ajaran Islam telah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik unsur duniawi maupun ukhrawi, material maupun spiritual secara seimbang. Namun demikian, ajaran-ajaran pokoknya tetap dalam formulasi yang global ( mujmal ) kecuali menyangkut ibadat mahdah, seperti tata cara shalat dan pelaksanaan haji. Sedangkan persoalan yang menyangkut hubungan sosial kemasyarakatan ( muamalah ), ajaran Islam lebih bersifat mujmal.
Disinilah letak universalitas ajaran Islam sehingga dapat diterapkan sesuai dengan waktu dan tempat yang berlainan. Konsekuensinya, umat Islam harus mampu melakukan interpretasi-interpretasi tiada henti terhadap inti ajaran tersebut sehingga dapat diaplikasikan dan diimplementasikan sesuai tuntutan jaman. Teks-teks ajaran tidak mungkin berubah, sedangkan peristiwa sejarah senantiasa bergulir menuju perubahan-perubahan.
Keharusan melakukan interpretasi ini juga di dukung oleh adanya keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah swt. Dan telah memuat semua prinsip moral maupun hukum secara sempurna. Al Qur’an sendiri menegaskan finalitas Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi.
Berhentinya kenabian atau risalah menunjukkan tidak akan ada lagi nabi yang diutus oleh Allah setelah Nabi Muhammad saw. Karena itu peranan ulama menjadi sangat urgen dalam mewarisi fungsi kenabian sebagai pengawal kehidupan beragama ( tawhid ) dan sebagai penafsir ajaran dalam kehidupan sehari-hari. Inilah makna dari sabda Nabi : para ulama adalah pewaris para nabi.
Dari aktifitas dinamis para ulama dalam merespon perubahan sosial kemasyarakatan untuk melakukan interpretasi-interpretasi ajaran diharpkan terlahir para mujaddid sebagai penyangga kontinuitas ajaran wahyu dari Nabi Muhammad saw sebagai beliau meneruskan ajaran-ajaran para nabi sebelumnya.
Walaupun para mujtahid bukan Nabi, tetapi semangat dan jiwanya sangat dekat dengan kenabian dengan karakteristik yang dimilki yaitu : berpikiran jernih, visi yang tajampemikiran yanng tidak bias. Kemampuan untuk melihat jalan yang lurus, tidak ekstrim dan menjaga keseimbangan, memiliki kekutan berfikir independen serta keahlian untuk berijtihad. Disamping kriteria tersebut yang lebih penting adalah dia harus memahami Islam secara komprehensif dan sempurna baik dalam pikiran maupun perbuatan ( sikap ).
Sedemikian kuat akar teologi gerakan tajdid ( modernisasi ) tidak berarti semua pemikir muslim sepakat terhadapa pengembangan diskursus modernisasi. Karena menurut mereka, modernisasi adalah identik dengan westernisasi yang menggunakan paradigma sekularisme. Adanya pandangan seperti ini dikarenakan sudut pandang dan pembacaan mereka terhadap proses dan wacana modernisasi yang berlangsung dan berkembang di negara-negara muslim seperti Mesir dan Turki memang cenderung pada gerakan westernisasi dan sekularisme.
Dalam tataran praksis tidak menututp kemungkinan bagi seorang pemikir modernis untuk melakukan duplikasi dan peniruan secara total terhadap barat. Paling tidak ada dua kemungkinan penyebabnya : Pertama, karena pemikir modernis tersebut tidak tahu persis atau terbatas pengetahuannya terhadap budaya Barat sehingga mengadopsi cara-cara Barat dengan tanpa reserve. Kedua, karena tidak banyak tahu tentang warisan tradisi-tradisi luhur dan latar belakang budaya sendiri ( Islam ).
Terlepas dari perdebatan tersebut, yang jelas, tujuan utama modernisasi ( tajdid ) dalam Islam adalah untuk membuat Islam tetap relevan dan responsif dalam konteks masyarakat modern. Misinya tidak lain kecuali menjadikan umat Islam dapat hidup dan memberikan kontribusi secara aktif terhadap dunia modern dengan tetap berpegang pada keyakinan agama secara benar.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana untuk melakukan semua itu ?. metodologi apa yang harus dipakai dalam tajdid ? uraian berikut akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut .
IJTIHAD, SEBUAH METODE TAJDID
Untuk memberikan interpretasi yang aplicable terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah, diperlukan metode yang disebut ijtihad. Pada umumnya, mujaddid menyatakan dirinya berhak membuat pertimbangan langsung dari al-Qur’an dan al-Sunnah dan tidak merasa terikat oleh penafsiran dan gagasan para Imam serta aliran-aliran yang muncul setelah masa nabi dan sahabat. Proses analisis independen inilah yang disebut dengan ijtihad.
Pemberdayaan ijtihad menjadi niscaya untuk pengembangan pemikiran baru. Karena peran ijtihad sedemikian penting. Sir Mohammad Iqbal menyebutnya sebagai the principle of movement dalam pemikiran Islam. Lebih dari itu, penggunaan ijtihad dalam pengertian umum, relevan dengan interpretasi al-Qur’an dan al-Sunnah.
Ketika suatu prinsip syari’ah didasarkan pada makna umum atau implikasi yang luas dari suatu teks al-Qur’an dan al-Sunnah berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas dan rinci, maka teks dan prisnsip syari’ah itu harus dihubungkan melalui penalaran. Bagaimana pun juga sulit dibayangkan, suatu teks al-Qur’an atau al-Sunnah betapa pun jelas dan rincinya tidak memerlukan ijtihad untuk interpretasi dan penerapannya dalam situasi yang kongkrit.
Dengan demikian, jelaslah bahwa ijtihad adalah konsep yang fundamental dan aktif dalam pengembangan pemikiran, baik dalam bidang hukum maupun dalam bidang yang lain. oleh sebab itu An-Na’im inisiatif upaya memodifikasi pembatasan ijtihad pendefinisi yang hanya dibatasi pada masalah-masalah yang belum dijelaskan oleh teks al-Qur’an dan al-Sunnah yang jelas dan terperinci.
Dari sisi normatif teologis, ijtihad juga mempunyai legitimasi kuat yang bahkan memposisikannya sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah al-Qur’an dan al-Sunnah. Selain itu Nabi juga menjamin akan adanya pahala untuk orang yang mampu melakukan ijtihad: orang yang berijtihad dan hasil ijtihadnya benar mendapat dua pahala sedangkan yang hasil ijtihadnya keliru, mendapat satu pahala.
Aktualisasi ijtihad ini dapat ditempuh melalui pembentukan millieu intelektual yang kondusif untuk terciptanya sebuah kebebasan dan keberanian berfikir. Dengan satu catatan kebebasan berfikir itu tetap dijiwai oleh elan syari’at. Kesadaran semacam ini penting, karena pengalaman sejarah menunjukkan bahwa perseteruan akbar antara Barat dan Islam pada abad XIX, pada dasarnya perseteruan ide-ide ( gagasan ).
Oleh karena itu dalam perspektif kaum modernis, yang menjadi kendaraan utama menuju perubahan sosial adalah perubahan dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, diharapkan mampu meng-eliminir paradigma tajdidyang kini mendominasi kaum muslim. Kalau taklid terus menerus diterima sebagao paradigma yang dominan, fase dinamis peradaban muslim segera berakhir.
Antitesis dari taqlid adalah ijtihad yaitu mengerahkan segala kemampuan berfikir dan berusaha sebaik-baiknya untuk terus melakukan interpretasi-interpretasisegar terhadap teks-teks ajaran Islam menuju pembaruan. Demikianlah sinergi ijtihad-ijtihad yang perlu diaktualisasikan sehingga muncul mijaddid-mujaddid sejati.
KESIMPULAN
Islam sebagai agama wahyu terakhir, telah meletakkan dasar-dasar dan prinsip-prinsip moral dan hukum secara lengkap ( walaupun dalam garis-garis besarnya ) untuk dijadikan paradigma bagi umat Islam dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi. Karena perubahan terus berlangsung sedangkan wahyu telah berhenti, Nabi pun ( manusia yang dipilih oleh Tuhan untuk memegang otoritas sebagai penafsir dan penjelas wahyu yang legimated secara teologis ) telah meninggal. Sebagai upaya menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam situasi kongkrit kehidupan sehari-hari, umat Islam dituntut untuk selalu melakukan interpretasi terus menerus sesuai dengan perkembangan kemajuan jaman. Sementara itu didasari pula bahwa semakin lama dan semakin jauh rentang waktu dari generasi awal Islam, tidak menutup kemungkinan terjadinya bias dan deviasi dalam pengalaman maupun pengamalan keagamaan.
Dalam kedua kondisi tersebut dibutuhkan mujaddid-mujaddid Islam sebagai pemegang obor terang yang sangat diharapkan peranannya tidak hanya untuk secara sederhana pulang kembali kepada jalan lurus Islam.
Mujaddid adalah pelopor yang menanamkan bibit bagi penerimaan terhadap perubahan-perubahan dengan perjuangan yang tiada henti. Pada saat kaum sekuler dengan mudah memusatkan perhatian ke arah Barat secara total, mujaddid Islam seharusnya tetap berikhtiar membangun tonggak-tonggak peradaban baru sebagai penghubung kontinuitas antara warisan ajaran Islam dan perubahan-perubahan modern.
Dalam uraian di atas telah ditunjukkan bahwa gerakan tajdid di satu pihak harus mendasarkan argumentasi-argumentasi yang prinsipil dari wahyu dan pengalaman sejarah Islam. Di pihak lain, gerakan itu harus mampu mengakomodir perubahan-perubahan secara wajar dan bertanggungjawab. Dapat pula ditegaskan bahwa gerakan tajdid itu secara normatif-teologis adalah bukan sesuatu yang berjalan tanpa dasar-dasr yang jelas. Legitimasi gerakan itu berawal dari pernyataan otoritatif Nabi yang menjelaskan akan datangnya mujaddid dalam setiap kurun waktu seratus tahun dan kemudian dari penalaran logis terhadap karakteristik ajaran Islam yang universal dan final.
Semua cita-cita mujaddid akan terwujud jika sikap mereka terhadap proses reinterpretasi yang kreatif mampu membuka jalan bagi transformasi pengertian-pengertian dan pemahaman-pemahaman yang selanjutnya dapat menerima tajdid sebagai metode perumusan respon yang segar terhadap kondisi-kondisi modern. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan adanya keragaman pendekatan dikalangan mujaddid yang pada gilirannya menjadi trade mark tersendiri untuk mereka.
Keragaman pendekatan tersebut hendaknya mampu memperkaya khasanah pemikiran Islam dalam upaya menjadikan ajaran-ajarannya yang relevan dan responsif terhadap arus perubahan modern.
Wa al-Allahu a’lam bi al-Aswab
Judul Asli : Landasan Teologis Terhadap Islam dan Modernisasi Penulis : Idrus Ali Dalam majalah AULA No. 02 Tahun XXIV Februari 2002
|
Posting Komentar
Posting Komentar