PENGANTAR
Kiai Asy’ad merupakan kiai desa yang popularitasnya telah membelah semesta Indonesia. Sekalipun tinggal di dusun, tepatnya dusun sukorejo Asembagus Situbondo, resonansi Kia As’ad kerap menggelar di langit-langit percaturan nasiomal. Misalnya tatkala kebanyakan tokoh Islam menolak Pancasila, Kia As’ad bersama dengan tokoh-tokoh NU yang lain, seperti Kia Ahmad Shiddiq dan Ali Maksum, dengan lantang tampil sebagai penerima utama Pancasila sebagai satu-satunya azaz. Ketika sejumlah tokoh Islam mengutip argumen normatif atas penolakannya terhadap Pancasila, dengan tegas Kia As’ad mengatakan bahwa secara Substantif Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai al - Qur’an dan al-Sunnah. Walaupun tidak eksplisit kata al-Qur’an dan as-Sunnah tidak tercantum dalam sila-sila Pancasila, ajaran-ajaran fundamental Islam telah terpatri di sana.
Atas sikap dan pendiriannya itu, Kia As’ad menuai berbagai kritik keras dari beberapa tokoh Islam. Berpuluh-puluh surat kaleng yang berisi cercaan, kecaman dan hinaan terhadap diri Kiai As’ad mengalir dengan deras ke rumah kediamannya. Bahkan kiai As’ad pernah mendapatkan ancaman pembunuhan dari beberapa orang yang mengklaim sebagai pejuang dan pembela Islam. Singkat kata kiai As’ad telah mengorbankan nyawa atas Pancasila sebagai ideologi nasional dan satu-satunya asas di Indonesia. Terhadap semuanya itu, kia As’ad menanggapinya dengan senyuman ramah sembari mengatakan bahwa kesabaran adalah persyuaratan mutlak yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin.
Dalam konteks ke-NU-an, Kia As’ad merupakan satu-satunya orang yang ditunjuk oleh Mukhtamar NU ke-2 untuk menyusun ahlu al-halli wa al-‘aqdi untuk selanjutnya membentuk kepengurusan PBNU setelah NU ke kembali ke Khittah 26, di mana Abdurrahman Wahid menjabat Ketua Umum PBNU pertama kalinya. Ia juga bersama para ulama sesepuh seperti, KH. Ali Maksum, KH Mahrus Ali, dan KH. Achmad Siddiq, dikenal sebagai andalan untuk melerai kemelut yang melilit tubuh NU saat itu.
Penerimaan NU atas Pancasila sebagai satu-satunya asas sebelum ditetapkannya UU Ke-ormas-an, yang dikukuhkan oleh Munas NU di Pesantren Sukorejo, pasti tidak bisa dipisahkan dari pengaruh Kiai As’ad. Bahkan tekad NU untuk kembali ke khittah 26 agaknya tidak luput dari peran yang dimainkannya bersama kiai-kiai yang lain. Kia As’ad juga termasuk Pengasuh Pondok Pesantren yang tergolong besar di Jawa Timur. Pesantren salafiyah Syafi’iyah yang diwariskan oleh ayahhandanya. Kia Samsul Arifin, di tangan Kia As’ad telah berkembang dengan pesat. Ribuan santri dari penjuru Nusantara, bahkan hingga dari manca negara seperti,Malaysia, Brunai dan Makkah belajar di pesantren asuhan Kiai As’ad.
Kiai As’ad memang tipe ulama kharismatik. Pengaruh dan wibawanya tidak hanya terbatas pada satntrinya saja, tetapi juga merambah sampai ke level masyarakat bawah, terutama di Jawa Timur dan Pulau Madura. Waktu hidupnya, setiap hari di kediamannya tidak pernah sepi dari kunjungannya para tamu dari pelbagai lapisan sosial masyarakat, mulai dari rakyat bawah ( grass root ) hingga para pejabat tinggi dan tertinggi negara, mulai dari ujung barat Indonesia sampai ujung timur Indonesia.
Dengan peran-perannya, maka wajar jika memori kolektif umat Islam Indonesia, terlebih warga NU, sanagt lekat dengan nama Kia As’ad Syamsul Arifi, seorangf ulama dari Jawa Timur atau tepatnya dari Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur. Akan tetapi meskipun nama Kiai As’ad telah tersohor, ia tetap tampil dengan penuh kesederhanaan, tidak hidup mewah. Pakainnya serba putih dan rumahnya yang beratapkann rumbia adalah bukti kuat perihal kebersahajaannya ini. Kia As’ad dikenal sebagai kiai yang Zahid dan Wari’. Ia seorang wali yang memiliki kemampuan ksyf yang tinggi.
BIOGRAFI SOASIAL INTELEKTUAL
Kiai As’ad Syamsul Arifin dilahirkan pada tahun 1897 M /1315 H di Syi’ib Ali, Makkah dari pasangan suami istri Raden Ibrahim dan Siti Maemunah. Ketika As’ad lahir, oleh ayahnya langsung dipeluk dan dibawa menuju Ka’bah. Jarak antara Syi’ib Ali dan Ka’bah memang tidak terlalu jauh sekitar 200 meter. Di sisi Baitullah itulah, sang ayah membisikkan kalimat azan dan kemudian memberinya nama bayi laki-laki itu dengan As’ad.
Berkaitan dengan nama As’ad tersebut terdapat suatu anekdot yang menarik. Al kisah, pemberian nama As’ad itu justru karena mimpi Raden Ibrahim tatkala sang istri ( Siti Maemunah ) sedang hamil tua. Konon, Raden Ibrahim bermimpi melihat kandungan istrinya membesar lalu melahirkan bayi berbulu macan seperti bulu singa. Di kedua bahunya tertulis kata Arab, asad, yang berarti juga singa. Karena itu tatkala sang bayi lahir, serta merta Raden Ibrahim memasukkan kata asad dalam namanya. Dus, jadilah nama bayi itu As’ad yang jika dibaca tanpa tanda petik, menjadi asad yang bermakna singa. Asad juga memiliki nasab sampai ke Nabi Muhammad saw dan mempunyai hubungan darah dengan para wali penyebar Islam di Jawa, seperti Sunan Drajat dan Sunan Ampel. Sedangkan gelar Raden di depan namanya memang disematkan bagi anggota-anggota sebagian keluarga terpandang ( aristokrat ), sebagai salah satu penghormatan.
Tatkala berusia 13 tahun, As’ad mondok di Banyuanyar di bawah asuhan Kiai Abdul Majid dan KH. Abdul Hamid. Setelah ikut membantu ayahnya mendirikan pondok pesantren Sukorejo. Ketia usia 16 tahun ayahnya mengirim As’ad ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama di sana. Ia masuk di madrasah sholawatiyah. Disamping belajar di madrasah, ia juga berguru kepada kepada Sayyid Abbas al Maliki, Syekh Hasan al-Yamini, Syekh Hasan al-Massad, Syekh Bakir, dan Syekh Syarif al-Syinqithi. Sedang teman seangkatan saat itu adalah, KH. Zaini Mun’im, KH. AhmadToha, KH. Baidlawi Banyuanyar Pamekasan.
Setelah beberapa tahun belajar di Makkah, pada tahun 1924 ( kala itu As’ad berusia 25 tahun ) ia kembali ke Tanah Air. Meski telah bertahun-tahun belajar di Makkah, Kia As’ad merasa belum cukup ilmu untuk membantu mengajar di pondok. Karena itu setibanya di tanah air, As’ad kembali melakukan perjalanan keilmuan ke pesantren – pesantren lain, untuk belajar pada beberapa kiai. Dengan cara ini As’ad bukan hanya dapat memperkaya ilmunya sendiri dan sekaligus pengalaman hidupnya, tetapi bahkan memungkinkan terjadinya proses pertukaran keilmuan, yang pada gilirannya mendorong terjadinya pengayaan dunia keilmuan di lingkungan pesantren secara keseluruhan. Dalam sejarahnya paling tidak As’ad pernah belajar sekurang-kurangnya di lima Pondok Pesantren, yakni pertama, Pesantren Sidogiri, Pasuruan / KH. Nawawi, Kedua, Pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo / KH. Khazin, Ketiga Pesantren Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Keempat, Pesantren Kademangan / Kiai Muhammad Cholil Bangkalan, Kelima, Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng / KH. Hasyim Asy’ari.
Di Pesantren Tebuireng itulah, Kiai As’ad memperoleh kesan mendalam sebagai seorang santri. Menurutnya, Tebuireng merupakan pesantren yang paling berpengaruh bagi pembentukan kepribadiannya. Bahkan setiap kali menyinggung Pesantren Tebuireng ia senantiasa menyebut KH. Hasyim Asy’ari sebagai guru terakhir yang paling banyak membentuk wataknya. Di pesantren inilah As’ad bertemu dengan pemuda-pemuda yang kelak menjadi tokoh dan pendiri pesantren, seperti KH. Wahab Hasbullah. Pengasuh pesantren Tambak Beras Jombang, KH. Manaf Abdul Karim, Lirboyo Kediri, KH. Abbas, Pesantren Buntet Cirebon.
Dari teropong intelektualitasnya, kia As’ad telah menulis karya-karya yang sebagian besarnya adalah bidang tasawuf dan beberapa bidang fiqih. Sekalipun As’ad lama belajar di makkah, namun kitab-kitab yang disusun semuanya menggunkan bahasa lokal yakni bahasa madura, karena ia paham pembaca kitabnya, serta agar ide-ide yang tepat sasaran dan mudah dimengerti, karna sebagian besar santri dari kepulauan Madura.
AKTIF MENGAJAR DI PESANTREN
Tepat pada tahun 1938, As’ad mulai mengajar di Pondok Pesantren Sukorejo. Materi yang diajarkan kepada para santri Sukorejo adalah ilmu tauhid elementer yang dikenal dengan akidah al-“awam karangan Ahmad al-marzuqi al-Maliki al-Makki. Dalam pelajaran Fiqih menggunkan kitab Sullam al-Tawfiq karya Abdullah ibn Husain ibn Thashir Ba’alwi ( w. 1272 H / 1855 M ) dan Safinah al-Najah karya Salim ibn Abdullah ibn Samir, seorang ulama Hadramani yang tinggal di Batavia pada pertengahan abad ke- 19.
Tahun berikutnya 1939, As’ad menambah lagi materi pelajaran beberapa kitab antara lain, al-Izzi ( al-Tashrif li al-Izzi karangan Izzudin Ibrahim al_zanzani ) dan al_ajrumiyah ( Karangan Abu Abdillah Muhammad ibn Daud al-Shanhaji ibn Ajurrum, wafat 723 H, lengkap dengan Amtsilah tashrifiyah ( al Amtsilah al-Tashrifiyah li-al Madaris al_Salafiyah, karya pengarang Jawa Muhammad Ma’shum ibn Ali dari Jombang. Materi ini selalu dibaca setelah shalat Isya’. Sedangkan Kitab Tasawuf, Bidayah al-Hidayah ( ringkasan kitab Ihya ‘Ulumuddin ) karya al Ghazali 9 w 1111 H, dan buku Fiqih al-Taqrib fiy al-Fiqh, kifayah al-Akhyar karya al-Dimasyqi ( w. 829 H ), biasa dibaca setiap habis subuh.
Selain kitab-kitab di atas kia As’ad juga mewajibkan untuk membaca Burdah, Diba’i atau Barzanji karya Bushayri secara berjama’ah setiap Kamis ( malam Jum’at ) di masjid atau di mushalla. Barzanji dan teks-teks serupa lainnya seperti Rawatib al-Haddad, juga dibaca pada peristiwa-peristiwa tertentu dalam berbagai ritual yang mengiringi siklus kelahiran seseorang, dan untuk menangkal bahaya ( tolak bala’ ).
Seperti lazimnya pondok Pesantren salaf yang banyak memfokuskan orientasi keilmuannya pada hafalan. As’ad yang kala itu masih muda, energik dan kharismatik telah menggunakan sistem pengajaran dengan cara hafalan, di mana pelaksanaan hafalan itu dilakukan dengan cukup serius dan ketat. Bagi santri yang telah diberi longgar waktu tidak memenuhi tugas dan tidak menguasai hafalan yang ditetapkan kiai maka harus menerima sanksi hukuman yang berat dari kiai As’ad muda.
Kegiatan belajar mengajar saat itu masih sangat sederhana, sebab dilakukan di serambi masjid tanpa tempat duduk dan papan tulis, dan para santri berpakaian khas Jawa ( pakai blangkon ), dan sistem klasikal hanya sampai di kelas IV. Selanjutnya, sejak tahun 1950-an, kia As’ad mulai memberikan Tafsir Alqur’an untuk mengkaji Kitab Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, khusus pada bulan Ramadlan hanya dibaca selama 20 hari. Seperti pada pesantren yang ada saat itu, sistem pendidikan yang diterapkan adalah sorogan, wetonan dan bandongan. Baru setelah sistem pengajaran melanda banyak pesantren, pengajaran di Pesantren Sukorejo juga berubah menjadi klasikal dengan ditandai berdirinya lembaga lembaga pendidikan formal yang berjenjangan dari tingkat MI, MTs hingga Madrasah Aliyah.
Pada tahun 1951, KH. As’ad meninggal dunia. Kia As’ad sebagai putra sulung, langsung menggantikan posisi ayahnya sebagai pengasuh. Semenjak itu Kiai As’ad memfokuskan perhatiannya ke pesantren, kendatipun sesungguhnya mulai tahun 1925 sudah terlibat ikut mengurusinya. Selama masa kepemimpinannya, banyak pihak mengakui keberhasilan Kiai As’ad di dalam mengembangkan dan memajukan pesantren tersebut. Pertama, tepat pada 14 Maret 1968 M / 13 Dzulhijjah 1388 H, Kiai As’ad mendirikan sebuah Universitas, UNNIB ( Universitas Nahdlatul Ulama Ibrahimy ) dengan satu fakultas Syari’ah, yang kemudian dalam perkembangannya berubah status menjadi Institut dengan tiga Fakultas, Syari’ah, Tabiyah dan Dakwah.dan SMEA Ibrahimy. Kedua, pada tahun 1980 kia As’ad mendirikan SD Ibrahimy, SMP Ibrahimy, SMA Ibrahimy dan SMEA Ibrahimy. Dengan demikian pesantren menggunakan dua kurikulum secara sekaligus yakni kurikulumpesantren dan kurikulum pemerintah ( Dinas – Depag )
Dua tahun sebelum wafat, Kiai As’ad secara berturut-turut mendirikan dua lembaga pendidikan :
1. Madrasah al-Qur’an, diperuntukkan bagi yang ingin menghafal al-Qur’an 2. Al Ma’had al-Aliy li al-‘Ulum al-Islamiyah Syu,bah al-Fiqh, khusus bagi mereka yang ingin memahami dan memperdalam Fiqih dan Ushul Fiqih. Lembaga yang terakhir ini didirikan ketika terjadi kekhawatiran tentang terjadinya kelangkaan ulama fuqaha, yang mampu merespon persoalan-persoalan zaman yang cenderung semakin kompleks.
Lembaga yang terakhir ini menjadi fokus perhatian Kia As’ad sampai akhir hayatnya. Seminggu sebelum Kiai As’ad wafat, ia masih sempat menitipkan kelangsungan lembaga tersebut kepada Prof. KH. Ali Yafie, Dr. Fahmi, Saifuddin, MPH. Kia Kharismatik ini meninggal pada 4 Agustus 1990, di kediamannya Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo Jawa Timur.
Kiai As’ad dikenal sangat memahami berbagai kitab kuning, minimal dalam empat bidang ilmu, yaitu Ilmu Alat ( nahwu, sharaf, dan balaghah ), lmu Tauhid, Ilmu Tafsir dan Ilmu Fiqih. Untuk dapat memahami corak pemikiran beliau trdapat dua hal yang harus dilakukan. Pertama, dengan menyimak pesan-pesannya yag disampaikan dalam berbagai forum, yang didokumentasikan melalui audio / kaset. Kedua dengan membaca beberapa buah karya beliau, baik dalam bidang fiqih atau pun dalam bidang tasawuf.
Dalam paham keagamaan, pikiran yang paling mendasar dari kiai As’ad adalah pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem madzhab. Inilah pandangan yang erat kaitannya dengan sikap beragama dari mayoritas kaum muslim yang selama ini disebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Paham bermadzhab ini timbul sebagai upaya untuk memahami ajran al-Qur’an dan al-Sunnah secara benar. Sebab dalam sejarhnya, berbagai upaya pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran Islam itu sering menimbulkan perselisihan pendapat.
Bahkan, setelah Rasulullah wafat perselisihan itu sudah mulai meruncing. Tapatnya, sesudah kekuasaan tasyri’ dikendalikan oleh para sahabat, perselisihan itu timbul dan tidak mungkin lagi dihindarkan. Perselisihan ini kemudian melahirkan para pemikir besar ( mujtahid ) dalam bidang keagamaan. Karena jumlah mujtahid itu sangat banyak dan pikiran mereka tidak mudah dirumuskan secara sederhana, maka kiai As’ad menyimpulkan untuk mengikuti madzhab yang empat.
Menurut Kiai As’ad, sebenarnya bukan hanya empat madzhab yang kita kenal. Ada banyak Madzhab dan semuanya boleh diikuti seperti, Sufyan al-Tsauri, ishaq ibn Rawahah, dan Dawud al-Zhahiri, dengan satu catatan tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka yang tertuang dalam literatur namun tidak terkodifikasi dengan baik atau dengan kata lain rantai pemikiran mereka terputus. Mengikuti pendapat mereka dikhawatirkan menyimpang dari pendapat pendirinya karena tidak ada pelestarian kodifikaisi tadi.
Bagi seorang muslim yang mampu melakukan ijtihad, menurut Kia As’ad, diharamkan taklid. Namun bagi mereka yang mau melakukan ijtihad berlaku syarat-syarat yang sangat ketat. Sementara bagi yang tidak mampu melakukan ijtihad, silahkan bertalid kepada seorang mujtahid atau alim. “ ... man qallada ‘aliman laqiya saliman ...”
Pada spektrum yang lain, Kia As’ad juga mendalami ilmu Tarekat. Menurut pendapatnya terdapat 40 tarekat yang sudah dipelajari secara mendalam. Dari masing-masing aliran, Kia As’ad mendapat ijazah ( izin ) untuk mengamalkan dan mengajarkannya sebagai mursyid. Dari sekian banyak aliran tarekat , menurut Kia As’ad hanya ada dua aliranyang musalsal ( mempunyai silsilah sampai kepada Nabi Muhammad ), yaitu tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah. Kedua aliran tarekat inilah yang diamalkan Kiai As’ad sampai wafat.
Pengamalannya terhadap tarekat tersebut tercermin pada kehidupannya sehari-hari yang sufistik. Hidupnya sangat sederhana. Ketika artikel ini dirilis, Mihrab mencatat dengan detail bahwa, Kia As’ad tinggal di rumah sangat sederhana di lingkungan perumahan keluarga pengasuh pesantren. Meskipun Kiai As’ad pimpinan tertinggi di pesantren tersebut, rumahnya tampak lebih sederhana ketimbang rumah pengasuh pesantren yang lain, bahkan bila dibanding dengan bangunan untuk para santri sekalipun. Bahkan bangunan kamar-kamar santri yang cukup mewah dan modern. Sementara rumah yang yang ditempati Kiai As’ad hanya bangunan semi permanen dengan ukuran kurang lebih 3x6 meter. Singgasana Kiai As’ad hanyalah amben yang dialasi tikar pandan dalam ruang dengan lantai dari tanah. Di situlah Kiai As’ad menerima tamu dari yang pejabat sampai ke petinggi negara sebagai ruang tamu dan ruang tidur. Pakaian kebesaran yang dikenakan dalam segala situasi dan kondisi pun tetap, terdiri atas baju piyama putih, sarung palekat putih, kopiah putih dan sandal selop.
Kesederhanaan sudah menjadi pilihan Kiai As’ad. Padahal beliau adalah seorang hartawan, kekayaannya melimpah ruah. Usaha pertokoan di bidang bisnis di kota Situbondo dan Asembagus terbilang sukses dan berskala besar. Belum lagi di kawasan wisata, baik di Sitobondo maupun di Bali beliau memilki restoran yang cukup laris. Di Makkah tempat ia menuntut ilmu, ia juga memiliki rumah berlantai tujuh, yang setiap musim haji disewakan sebagai penginapan jemaah haji. Belum lagi terhitung sawah, tambak dan perahunya di berbagai tempat sekitar Situbondo, Jember, Bondowoso dan Banyuwangi.
Meski menganut tarekat yang taat, ia tidak pernah mengajak santrinya untuk mempelajari dan mengamalkan tarekat. Lebih-lebih mengajarkannya. Ia memandang bahwa tarekat memiliki konsekuensi yang cukup berat. Bagi orang yang imannya belum kuat, ilmu agamanya belum cukup luas, dan belum cukup usia, bisa tersesat dalam kemusyrikan. Karena itu, dia berpesan “ ... hati-hati mengikuti tarekat ... “.
Dalam beberapa forum, baik dengan para santrinya yang masih aktif maupun dengan para alumninya yang sudah pulang, Kia As’ad sering menjelaskan bahwa tarekat yang paling baik adalah Nahdlatul Ulama. Lebih jauh, ia berharap kepada para santrinya tatkala sudah pulang ke kampung halamannya untuk menjadikan NU sebagai tarekat perjuangannya. Tidak jarang, ia melarang para santrinya untuk mengamalkan tarekat tertentu.
Walaupun Kiai As’ad adalah seorang pengamal tarekat, ia tidak segan-segan untuk menyorot bidang tarekat juga. Tarekat sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah jelas tidak ditentang, namun tidak semua tarekat berjalan sesuai dengan tuntunan syari’at, sehingga beliau senantiasa menjelaskan duduk persoalan baik dalam deramah-ceramahnya maupun dalam berbagai kitab karyanya.
Salah satu tarekat yang menjadi kritik Kiai As’ad adalah Tarekat Tijaniyah. Menurut analisis Martin Van Bruinessen, Kia As’ad sedang gusar dan merasakan kemajuan tarekat Tijaniyah sedang mengancam kekuasaannya sendiri, dan dia melawannya secara berhadap-hadapan, dengan menggunakan seluruh pengaruh yang dapat ia kerahkan. Kiai As’ad menemukan sebuah risalah anti Tijaniyah yang telah memainkan peranan penting dalam polemik tahun 1920-an dan mencetaknya kembali serta menyebarkannya secara luas, baik dalam bentuk aslinya yang berbahasa Arab maupun terjemahan dalam bahasa madura.
Begitu juga Kiai As’ad seringkali melancarkan kritik pedas terhadap modernisme yang memandang rasio sebagai segalanya. Salah satu kritik tajam yang dilontarkan Kiai As’ad terhadap manusia modern adalah mereka dinilai dilanda kehampaan spiritual. Kemajuan pesat dalam bidang ilmu dan filsafat rasionalisme sejak abad ke-18, yang diraskan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber wahyu illahi, banyak orang pandai, pinter dan cerdas yang tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri.
Sedangkan pada pemikiran politik, kiai As’ad tampaknya sejalan dengan doktrin politik Sunni sebagaimana yang dikembangkan oleh al-Mawardi dan al-Ghazali. Pada dasarnya doktrin ini, adalah sangat akomodatif terhadap penguasa. Hal ini dikarenakan doktrin ini dirumuskan posisi rakyat sangat lemah vis a vis penguas ( khalifah ), sehingga rakyat diminta untuk patuh dan taat terhadap penguasa. Dengan pemahaman ini, kita dapat memaklumi mengapa, misalnya beberapa tokoh NU termasuk Kiai As’ad dalam beberapa hal terkesan sangat akomodatif terhadap pemerintah.
|
Posting Komentar
Posting Komentar