Setidaknya ada tiga icon yang menjadi epos utama tiap-tiap kita merayakan Idhul Adha yang jatuh setiap 10 Dzulhijjah kalender Hijriyah. Pertama, kisah Isma’il sebagai martir agung, disembelih sebagai “ persembahan “. Kedua, kesediaan Ismail sebagai martir adalah cerminan kesuksesan Ibrahim dalam menempa, membentuk karakternya sebagai manusia sempurna, manusia yang berprinsip berkurban demi Tuhan adalah suatu kebajikan. Ketiga, pensyariatan kewajiban haji, sejatinya adalah napak tilas ritual klan Ibrahim dalam membangun pondasi tauhid agama yang hanif.
Kemantapan Ismail menjawab tantangan ayahandanya Ibrahim, disembelih seperti yang diperintahkan dalam mimpinya ( QS. 37 : 102 ), dalam perspektif teologi Calvin biasanya lahir dari pemahaman bahwa, “ ...kita bukanlah diri kita sendiri ... “. Lebih jauh lagi teologi Calvinian menegaskan apa yang pada diri kita sepenuhnya milik Tuhan, terserah mau diapakan oleh Tuhan. Dalam agama hanif yang dibangun Ibrahim, kredo Calvinian itu dibahasakan dengan : Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah milik Tuhan dan bagi Tuhan.
Pilihan Ismail sebagai martir, sekaligus merupakan kesanggupan mematahkan egoisme posesif dalam dirinya. Kesanggupan seseorang untuk tidak menuruti egoismenya , tidak posesif terhadap yang dimiliki dan yang dilakukan, dicatat Erich Fromm, sebagai suatu tindakan bijak dari laku kebajikan. Sebaliknya, mementingkan mencintai dan posesif terhadap sendiri adalah suatu egoisme. Fromm menegaskan bahwa, “ ... egoisme adalah suatu dosa besar... “. Ditengah kemaruknya orang pada kehidupan hedonisme, sifat rakus, tamak, mementingkan diri sendiri, merampas hak dan milik orang lain, korupsi, sifat-sifat mendahulukan pihak lain atau keluarga sendiri, berderma dan mau berkorban untuk kepentingan bersama, sering dipandang sebagai suatu anomali. Tanpa memahami spirit Ismail, qurban adalah ibadah yang anomali pula.
Ketika pikiran dan kesadaran seseorang dipenuhi dan dirasuki dorongan untuk mengeksploitasi sumber-sumber penopang keseimbangan dan harmoni semesta, baik sumberdaya ekologis berupa kekayaan alam, lebih-lebih sumber etis, moral dan spiritual, yang merupakan penyangga utama keluhuran manusia dan terus menerus mengumbar angkaran murka, pengharapan kita akan hadirnya sifat-sifat terpuji dari akal budi yang luhur, berkurban demi kepentingan bersama, mementingkan orang lain, bagai pungguk merindukan bulan.
Alih-alih berkurban demi kepentingan bersama, malahan beragam keserakahan akan mendorongnya untuk menatap nanar milik orang lain sambil menunggu kelengahannya. Modus vivendinya bisa melalui tipu muslihat yang halus atau pun dengan cara-cara paksaan dan kekerasan, mulai dari gendam, hipnotis, mencopet, menodong, merampas dan merampok dengan mengancam nyawa pemiliknya.
Dalam masyarakat tragik, memang kita merasa selalu dicekam oleh kepungan kekuatan. Rasa aman menjadi sesuatu yang mahal. Nihilnya Freedom From fear, kata From. Padahal mestinya freedom from fear ditularkan secara masal. Entri point kearahnya adalah dengan membangun dan membangkitkan sifat dan sikap berkurban, mementingkan orang lain, menolong yang membutuhkan, memberi yang meminta, melindungi dan memberi rasa aman bagi yang lemah, dan membebaskan pikiran dari ketakutan dan bayang-bayangan ancaman. Nilai mau berkurban seperti inilah yang diusung oleh epos penyembelihan Ismail, dan bukan pada wujud domba atau binatang sembelihan lainnya. Bukankah Tuhan tidak menerima dan berhajat pada daging dan darah suatu sembelihan ? ( QS. 22 : 37 ).
Jiwa rakus hanya akan melahirkan individu-individu tragik, individu yang lahir akibat kehilangan toleransi. Toleransi hilang muasalnya karena kegagalan komunikasi kepentingan antar budaya, antar individu. Dalam pandangan Lucien Goldman, individu tragik adalah mereka yang sadar diri namun tak bisa berbuat apa-apa, tak mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Merujuk Goldman, sebenarnya tidak saja individu tragik yang menjangkiti kebersamaan kita sebagai satu bangsa, melainkan masyarakat tragik, budaya tragik, politik tragik, ekonomi tragik, bahkan Indonesia yang tragik.
Dalam Indonesia yang tragik seluruh aspek kebersamaan dan berkurban demi sesama pada tataran politik, ekonomi, budaya termasuk agama, mengalami proses minimalis yang terus menukik menuju nihilisme. Dalam babakan kehidupan seperti inilah, pesan profetis peng-qurban-an Ismail haruslah sekuat tenaga kita transformasikan. Dalam hal yang sama, nilai-nilai adi luhung peng-qurban-an Ismail tidak secra langsung dan otomat sebagai shock terapy untuk menghilangkan egoisme dan tragisme individu atau pun masyarakat, tetapi paling tidak nilai-nilai peng-qurban-an Ismail bisa kita jadikan pembuka jalan menuju kemanusiaan yang sempurna ( insanul Kamil ).
Dalam formulasi Ali Syariati, ada tiga tahap yang harus ditempuh untuk sampai pada derajat insan kamil, yaitu : pertama, membuang jauh-jauh rasa tamak dari dalam jiwa. Kedua, menaklukkan nafsu mementingkan diri sendiri ( pour soi ). Ketiga, dengan berpihak pada keduanya seseorang akan pada ketulusan mengabdikan dan mengurbankan segala yang ada kepada Tuhan dan kemanusiaan ( en soi ).
Kesediaan Ismail menjadi martir, tidaklah datang dengan tiba-tiba. Kesediaan itu merupakan buah dari tempaan, bentukan karakter luhur ayahnya. Ibrahim ( QS. 14:25-40 ). Kesediaan itu juga merupakan penegasan bahwa klan Ibrahim, yang melahirkan para nabi ( QS. 29 : 27 ) dan keluarga Lukman, yang melahirkan para hukama’ dan intelektual ( QS. 31: 12 ) adalah dua model ideal bangunan keluarga dan masyarakat dalam pandangan al-Qur’an. Dua keluarga ini setelah mengukuhkan pondasi tauhid secara gigih membentuk karakter putra-putranya dengan akal budi dan pengetahuan.
Bagi Ibrahim, kukuhnya pondasi tauhid adalah harga mati, karena dialah penemu katauhidan itu. Sebelumnya ia telah “ bergonta-ganti “ Tuhan, mulai dari tuhan bintang ( QS. 6 : 76 ), tuhan bulan ( QS. 6 : 77 ), hingga tuhan matahari ( QS. 6 : 78 ), akhirnya sampilah dia pada keyakinan yang condong pada kebenaran ( QS. 6 : 79 ).
Kesuksesan Ibrahim membentuk karakter Ismail serta ishaq menjadi pribadi yang mandiri, berbudi, bertanggungjawab, berani, punya sikap dan bersedia berkurban. Paulo Freire mencatat adalah sebuah sejarah panjang tradisi pendidikan yang membebaskan tiga agama besar, Yahudi, Kristiani dan Islam. Freire secara rinci merangkum pedagogi Ibrahim dalam tujuh pilar yaitu,
1. Prisip cinta kasih yang ada dialog 2. Rendah hati 3. Percaya pada daya kreatifitas manusia 4. Kepercayaan itu menunutut semua orang untuk berjiwa terbuka 5. Merelatifkan pendapat yang berlaku umum tetapi salah 6. Membangkitkan keberanian pribadi dalam kemapanan sosial ( civil courage ) 7. Identifikasi hakikat masalah ( problem stellung ) dengan penyadaran ( conscientization ) sebagai syarat yang membebaskan.
Perjalanan haji sejatinya adalah kesempatan bagi yang menjalaninya untuk melakukan peneguhan dan pentahbisan ketauhidan. Perjalan haji bukan sekedar wisata rohani mengunjungi museum tauhid. Berhaji adalah belajar secara progresif dan transformatif agar bisa seteguh dan sekuat Ibrahim dalam menjalani beragam cobaan dalam membangun agama yang hanif, sesabar dan setekun Hajar ( istri Ibrahim ) dengan tenaganya yang renta harus bolak-balik, berlari-lari kecil dari sofa dan marwa untuk mencari air di padang tandus, serta setulus Ismail dalam mengurbankan dirinya demi ketaatan pada Tuhan.
Karya fikir By. Moh. Sholeh-Sahuri Pada Majalah AULIA Tahun XXV Februai 2003
QURBAN MENGUBURKAN EGOISME DIRI
Kemiskinan yang terjadi di negeri kita banyak disebabkan persoalan struktural. Ketidakmampuan warga mendapatkan kelayakan hidup karena sistem kepolitikan negeri ini yang tidak pro-rakyat. Egoisme kepartaian, kelompok, dan diri sendiri menjadikan kesejahteraan hanya diperoleh segelintir orang. Mungkin, di negeri ini realitas “si miskin makin miskin; dan si kaya makin kaya” terbukti. Karena itu, pada Idul kurban kali ini sejatinya kita menguburkan kepentingan-kepentingan “egoistis” karena berada pada wilayah kenegaraan yang majemuk dan plural.
Mementingkan “baju ideologis” dalam menelurkan kebijakan adalah sebuah pengkhianatan terhadap misi kemanusiaan yang terkandung dalam ajaran Agama. Disyariatkannya ibadah kurban bagi yang mampu merupakan pesan bahwa berbagi kesejahteraan tidak boleh dilandasi kepentingan personal dan kelompok. Dalam bahasa lain, ibadah kurban mesti menyadarkan kita atas pentingnya menebarkan kebaikan pada seluruh umat manusia. Peka, empati, dan simpati ketika menyaksikan kesetimpangan sosial dan bencana yang terjadi.
Pesan simbolis
Dalam buku Haji-nya, Ali Syari’ati (Mizan, 2009) mengetengahkan hal itu sebagai penguburan nafsu dari anasir “egoisme diri” dalam aktivitas kemanusiaan (hablu minannas). Ketika Ibrahim a.s diperintahkan menyembelih anak terkasihnya, Isma’il a.s, menurut Syari’ati sarat dengan pesan simbolis. Perintah itu sebetulnya menuntun Ibrahim a.s untuk tidak terjebak pada nafsu egois kepangkatan, kehormatan, keduniawian, kemewahan, gelar, status sosial, dan nafsu lainnya. Bagi orang-orang aghniya, pejabat, pengusaha, ibadah ini sejatinya menyadarkan diri agar tidak silau dengan rezeki dari-Nya sehingga melupakan hubungan dengan sesama.
Apalagi realitas keindonesiaan masih dilingkupi persoalan dehumanitas berupa kemiskinan, pengangguran, kebebalan moral, dan KKN. Saatnya lah kita menangkap intisari perintah berkurban untuk kemaslahatan Negara-bangsa (nation-state) hingga “fakir miskin” tidak merasa ditinggalkan dan tidak diperhatikan. Kalau mereka dibiarkan tanpa perhatian transformatif, niscaya mereka akan apatis terhadap nilai-nilai kebajikan Agama dalam hidupnya. Sehingga terjadilah realitas yang dikhawatirkan Sayyidina Ali Ibn Abu Thalib karamallahu wajh, “Kekufuran mendekatkannya pada kekafiran (pengingkaran)”.
Menurut M. Quraish Shihab (1998: 449), fakir miskin diambil dari dua kata “faqir” dan “miskin”. Term “faqir” berasal dari “faqr” yang berarti “tulang punggung” dan “faqir” dapat diartikan beratnya beban yang dipikul mengakibatkan patahnya tulang punggung. Hal ini membuat si “faqir” menjadi tidak berdaya, lumpuh, dan tak mampu bergerak. Sementara “miskin” berasal dari kata “sakana” yang berarti diam dan tak bergerak. Jadi, fakir miskin secara terminologis dapat diartikan sebagai orang yang tak memiliki kecukupan harta akibat dirinya enggan bergerak (malas) dan tidak dapat berusaha karena adanya penindasan manusia lain (struktural).
Karena di dalam kurban terdapat perintah membagikan sembelihan. Ini artinya bagi setiap kalangan mampu (pengusaha, pemerintah, dan LSM) memberdayakan warga miskin agar mereka dapat bergerak leluasan mencari kesejahteraan hidup. Dalam perspektif ilmu dakwah hal itu dikategorikan sebagai dakwah bil amal atau dikategorikan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (tadbir) dengan pendekatan keagamaan. Sebab, agama secara progresif memiliki daya dobrak ke dalam (sentrifental) dan daya dobrak ke luar (sentrifugal). Sederhananya, ajaran agama dapat memotivasi penganutnya untuk mengubah diri dari dalam diri (internal) seperti menumpurkan kemalasan serta melahirkan kesadaran (atas ketimpangan struktural).
Optimisme
Al-Quran sebagai kitab pegangan umat Islam – di mana perintah kurban terkandung – sangat tidak menganjurkan untuk memegang ideologi pesimisme. Apatisme dan terjebak pada kesadaran semu sangat ditentang. Di dalam Al-Quran kita diajarkan untuk terus optimis memandang hidup, termasuk dalam memperoleh kekayaan. Hal ini diinformasikan di dalam ayat-ayat qauliyah, bahwa setiap makhluk-Nya dianugerahi rezeki (QS. Hud [17]:6); di mana hal itu merupakan kenikmatan tak terkira (QS. Ibrahim [14]:34); dan Allah memberikannya sebagai pemenuhan kecukupan hidup (QS. Ad-Dhuha [93]:8).
Kemudian di dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. juga mengajarkan umatnya untuk menjauhi kemiskinan. “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan, dan kehinaan, dan aku berlindung pula dari menganiaya dan dianiaya” (HR Ibn Majah dan Al-Hakim). Doa yang dianjurkan Nabi Muhammad Saw. ini, mengindikasikan seorang muslim untuk memiliki keberdayaan hidup sehingga dirinya tidak menjadi objek penindasan. Dan, ketika dirinya memperoleh keberdayaan hidup tidak menjadi seorang manusia yang rajin mengeksploitasi atau menganiaya orang lain dalam bentuk apa pun.
Ketika realitas kekinian menampakkan bencana yang merenggut keberdayaan warga, sejatinya kita memberdayakan kembali mereka. Mendoakan, membantu, dan memotivasi warga yang terkena bencana juga sebab termasuk pelaksanaan kurban dalam Islam. Kalau merujuk pada pengertian M Quraish Shihab, bahwa fakir miskin diartikan sebagai seorang manusia yang tak berdaya; korban bencana juga adalah “fakir miskin” yang wajib merasakan persaudaraan pada hari Raya Iduladha. Karena itu, Idul kurban sejatinya menempa setiap jiwa untuk melakukan pembebasan (liberasi) tiap insan dari belenggu penderitaan dan kemiskinan.
Di dalam kurban terkandung semangat menguburkan nafsu egoisme yang membahayakan eksistensi manusia di muka bumi. Sekiranya individu, umat, masyarakat atau bangsa mampu mengisi ruang dan waktu atas dasar kesadaran kurban, dia bakal memeroleh kebahagiaan autentik. Kebahagiaan membebaskan manusia lemah dari sejumput penderitaan; baik akibat kemiskinan, bencana, dan penindasan. Al-Quran menegaskan, ”Mereka itulah yang akan menerima lembaran sejarah hidupnya dengan tangan kanannya.” (QS Al-Isra’ [17]: 71). Wallahua’lam
Karya Fikir : Sukron Abdilah Publikasi tanggal 15 November 2010
|
Posting Komentar
Posting Komentar