Melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Amerika mendesak agar China membuka keran ekspor bahan baku mineral langka untuk keperluan industri mereka. Dengan begitu, kelesuan industri strategis dalam negeri AS akibat krisis global bisa diatasi.
Kebijakan yang mulai diberlakukan China September tahun lalu itu memang cukup membuat AS keteteran. Pasalnya, pasokan mineral langka atau sering disebut Logam Tanah Jarang (LTJ) berupa lanthanum, cerium, neodymium, dan dysprosium menyebabkan industri AS mengalami kemandegan. Jika kondisi ini terus berlanjut, industri perminyakan, industri otomotif, industri elektronik, industri persenjataan, hingga sektor indutri strategis lain yang dipunyai Amerika akan kehilangan daya saing bahkan bisa gulung tikar.
Dominasi China terhadap 93 persen LTJ yang dibutuhkan dunia menyebabkan China bisa lebih luasa melakukan monopoli ekspor. Namun beredar asumsi, jika kebijakan pembatasan tersebut adalah bentuk aksi balas dendam atas hal serupa yang pernah dilakukan AS. Amerika Serikat pernah memberlakukan kenaikan tarif impor ban karet China pada 2009 hingga 35 persen.
Namun Menteri Luar Negeri China, melalui juru bicaranya Liu Weimin menampik dugaan tersebut. Liu menyebut bahwa munculnya kebijakan pembatasan ekspor LTJ merupakan langkah antisipatif untuk mencegah kerusakan lingkungan sekaligus melestarikan sumberdaya langka yang tidak bisa diperbaharui.
Konfrontasi Sosialisme (pasar) Komunisme Versus Kapitalisme Liberal
Rivalitas China dengan Amerika Serikat merupakan bentuk konfrontasi baru perang ideologi dunia. Pasca runtuhnya Uni Soviet, AS hampir tak memiliki pesaing berarti. Hal ini yang membuat AS seolah di atas angin. Namun dominasi ini nampaknya akan mengalami mimpi buruk setelah munculnya berbagai kekuatan baru dunia. Kemunculan beberapa negara yang mengalami lompatan kemajuan yang sangat pesat mengindikasikan akan adanya rivalitas era baru.
China tampil gagah, melanggengkan dominasi kekuatan baru di Asia. Keberhasilan China dalam menobatkan diri sebagai negara maju membuatnya tak bisa dipandang sebelah mata. Kemajuan dalam berbagai sektor, termasuk sektor ekonomi dan industri menjadikan China memiliki peran strategis dalam percaturan global. Apalagi, ekplorasi dalam bidang pertahanan semakin mengokohkan martabat China sebagai negara yang disegani.
Mungkin, Soviet telah runtuh, namun sistem ideologinya telah diadopsi oleh China, bahkan digunakan sebagai ideologi negara. Namun China telah belajar dari keruntuhan Soviet. Komunisme dalam terminologi China berusaha dikawinkan dengan kapitaslisme. Hasilnya, Komunisme menjadi nafas ideologi negara, sementara Sosialisme Kapitalis (sosialisme pasar) mengakar praktis dalam sistem ekonominya. China akhirnya tampil sebagai kekuatan Komunisme baru di dunia.
Keunikan dari sistem ideologi ganda ini nampaknya ingin mendobrak hegemoni Liberalisme Kapitalisme Amerika. Juga hadir sebagai penanda bahwa rezim Liberalisme-Kapitalisme mendekati keruntuhannya. Dalam kasus pembatasan ekspor LTJ, AS tak bisa berbuat banyak. Ketergantungan AS terhadap komoditi LTJ China justru menjadi indikasi kuat, bahwa China telah menggempur AS dalam bentuk “perang dagang”.
AS dan Gejala Ketergantungan
Amerika Serikat sebagai negara adidaya tak bisa menampik jika gejala “ketergantungan” telah menjalar di hampir seluruh sektor industri dalam negerinya. Pasokan bahan baku yang bergantung pada ekspor negara lain justru menjadi bumerang terhadap posisi AS sebagai adidaya. Kemunculan berbagai embrio kekuatan baru dengan ragam ideologi yang dibawanya seolah menabuh genderang perang abad baru. Embrio kekuatan baru ini lahir sebagai indikasi kejenuhan terhadap monopoli kebijakan internasional yang banyak dimainkan oleh AS yang dianggap merugikan banyak negara pemasok bahan baku.
Tapi AS tak bisa berbuat banyak. Biasanya, gejala ketergantungan AS selalu dibawa dalam dua logika yang umum dilakukan. Dua logika itu adalah perang dan pendudukan, penguasaan dan pencaplokan. Namun kebijakan politik luar negeri ini terkesan sangat arogan, justru mematenkan ragam antipati yang menyebabkan banyak negara justru meneriakkan perlawanan. China, sedang melawan, meski membungkus perlawanannya dengan cara halus namun tetap frontal.
China saat ini berada pada posisi “aman”. Jika kepada Iran, AS berani menabuh genderang perang, tetapi untuk China tidak. Meski AS melakukan tekanan politik melalui WTO atas kebijakan LTJ, China tetap melanggengkan diri sebagai negara yang memiliki kedaulatan, termasuk menetapkan kebijakan luar negerinya. China memiliki sikap sendiri. serupa Iran, China tak pernah takut terhadap ragam intervensi AS.
Perbedaan Sikap terhadap Penetapan Sanksi Iran
Penolakan China untuk ikut-ikutan melakukan embargo terhadap minyak Iran yang diserukan AS jelas mementahkan tekanan AS terhadap negara lain dalam melanggengkan kepentingannya. Wakil Menteri Luar Negeri China, Cui Tiankai mengatakan secara gamblang bahwa kerjasama China-Iran murni kerjasama perdagangan dan energi, tidak ada hubungannya dengan nuklir.Cui berkomentar tentang proyek pengembangan nuklir Iran harusnya sesuatu yang dihormati sebagai bentuk kebijakan dalam negeri negara yang berdaulat. Pernyataan itu disampaikan Cui saat menerima Menteri Keuangan AS Timothy Geither yang berkunjung ke Beijing untuk mendapatkan dukungan terkait sanksi anti-minyak Iran.
Sikap yang ditunjukkan China bentuk gaya elitis diplomasi negara papan atas. Hendaknya ini menjadi “pesan” bagi AS bahwa posisinya saat ini berada dalam wilayah yang gamang. China mampu menampik ragam pergolakan wacana internasional yang dimainkan AS dengan memeroduksi wacana tandingan. China yang memihak ke Iran terbaca sebagai gerakan membentuk klan kekuatan baru dunia untuk mematahkan hegemoni AS. Amerika Serikat harus semakin hati-hati karena China telah mengirim “pesan perang dagang”.
Penulis meyakini, cepat atau lambat dominasi AS akan runtuh seperti runtuhnya Soviet di masa lalu, dan China nampaknya akan menjadi salah satu kandidat kuat super power baru dunia. Meminjam teori peradaban Ibnu Khaldun yang termaktub dalam Mukadimahnya, peradaban seperti siklus yang memiliki masanya sendiri, peradaban pasti akan menemui kejayaan dan keruntuhannya. China membawa gerbong Komunisme baru dan melanggeng penuh percaya diri, menantang keangkuhan Kapitalisme yang kini bak telur di ujung tanduk.
Penulis Bugis
Posting Komentar
Posting Komentar