-->

kalpika dan karawista, salah satu piranti sembahyang

kalpika dan karawista, salah satu piranti sembahyang


Ada berbagai peranti yang digunakan dalam persembahyangan. Peranti tersebut biasanya digunakan dalam persembahyagan lengkap (resmi). adapun piranti tersebut antara lain: 

KARAWISTA  

adalah simbol dari Sang Hyang Widhi karena ada unsur-unsurTri Murti yang terkandung di dalamnya, seperti ilalang yang berwarna hijau melambangkan Wisnu, bunga merah dan putih simbol Brahma dan Siwa, lalu pada bagian depan karawista ada yang berbentuk yang bulat dan berdiri atau tegak, itu adalahwindu dan ardacandra, sehingga karawista adalah simbol Omkara atau simbol Sang Hyang Widhi 

KALPIKA

yang terbuat dari daun kembang sepatu atau kembangpucuk dalam bahasa Bali. Berbentuk segitiga yang merupakan simbol Trilingga. Trilingga adalah alam semesta ciptaan Sang Hyang Widhi yang terdiri dari bulan, bintang, dan matahari. Kemudian ada juga unsur-unsur Tri Murti, yaitu bunga putih,bunga merah, dan daun pucuk yang berwarna hijau di mana hijau dianggap sebagaihitam. Kemudian yang ketiga adalah bunga biasa. Bunga biasa, kalau yang berwarnaputih itu adalah simbol Siwa, yang berwarna merah simbol Brahma, yang berwarnakuning itu simbol Mahadewa, berwarna biru atau hijau itu adalah simbol Wisnu. 


BIJA  

adalah sumber kemakmuran. Bija juga melambangkan Trinetra. Trinetra dalam hal ini adalah mata ketiga dari Siwa.Oleh karena kita di Bali menganut paham Siwa Siddhanta, maka kita memuja Tuhan sebagai Siwa. Dalam keyakinan Agama Hindu, Bhattara Siwa mempunyai tiga mata. Mata yang dua seperti kita kemudian mata yang ditengah itu terletak di antara dua alis sehingga disebut Tri netra. Maka, penggunaan bija adalah sebagai pemujaan Siwa di mana kita meletakkan bija di tengah-tengah di sini (di antara kedua alis:red) sebagai lambang Trinetra. Selain itu, bija adalah simbol kemakmuran sehingga kita memohon kemakmuran kepada Sang Hyang Widhi dengan menggunakan bija. 
Mebija yang benar adalah 
  1. di ubun-ubun, 
  2. di sela-sela alis atau di dahi, 
  3. di pangkal tengorokan,
  4. di bahu kanan, 
  5. di bahu kiri, 
  6. di leher bagian belakang,
  7. kembali lagi di pangkal tenggorokan, 
  8. di ujung daun telinga kanan bagian bawah, 
  9. di ujung daun telinga kiri bagian bawah. 
Kesembilan tempat meletakkan bija adalah simbol Dewata Nawa Sangga

BHASMA

adalah asapan kayu cendanaatau serbuk kayu cendana dicapur air di mana kayu cendana atau cendana itu sendiri adalah jenis tanaman yang harum yang dinamakan sebagai jenis tanaman dewa atau yang disenangi oleh para dewa” terang Ida Pandita ketika diwawancarai di pasraman beliau di Griya Taman Sari. Dalam upacara-upacara di Bali, banyak sekali cendana digunakan misalnya sebagai pasepan, sebagai pengawak, sebagai mudra, dan sebagainya.

TIRTHA

nunas Tirtha aturannya adalah: 
  1. maketis atau disiratkan di ubun-ubun tiga kali, itu simbol memohon kesucian pikiran atau manacika parisuddha. 
  2. minum tiga kali itu adalah permohonan untuk kesucian wacika atau perkataan yang suci. 
  3. meraup tiga kali di wajah itu adalah simbol kayika, atau memohon agar kita diberi tuntunan untuk kayika atau berbuat baik.
Oleh karena itu, metirtha adalah simbol permohonan Tri Kaya Parisuddha kepada Sang Hyang Widhi

Yang berwenang menyiratkan tirtha adalah 
  1. para pendeta atauwiku. 
  2. para jero mangku. 
  3. orang-orang yang sudah mewinten, apakahia tukang banten, dalang, undagi, pragina yang sudah mewinten. 
  4. kalau tidak ada orang-orang yang dimaksud, maka yang berhak adalah orang-orang yang dituakan di lingkungan, seperti lingkungan keluarga atau lingkungan dadia.
Ida Pandita juga menerangkan cara-cara yang benar dalam memperbanyak tirtha.
“Rumusnya adalah, kalau kita mau memperbanyak tirtha ataupun mengganti tirtha karena tirthanya sudah lama, kita pertama-tama menyiapkan suatu tempat, sanku atau gebeh diisi air biasa. Kemudian air biasa ini baru dituangi sedikit tirtha (sisatirtha yang lama: red.).

Jadi rumusnya, air diisi tirtha maka menjadilah tirtha,jangan dibalik. Tirtha lalu diisi air, maka kekuatan magis yang ada dalam tirtha itu akan hilang oleh air. Dengan kata lain,kalau tirtha diisi air maka akan menjadi air.” tegas Ida Pandita 

Kemudian, cara membuang tirtha yang sudah tidak dipergunakan lagi adalah dengan cara dibuang dengan melemparkannya ke atas, tetapi usahakan jangan di tempat kita biasa menginjakkan kaki. Dengan kata lain, buanglah tirtha di tempat yang suci. Dipamrajan misalnya dibuang di tanah bagian kaja kangin. Usahakan agar bekas buangan tirtha itu tidak terinjak-injak

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter