-->

Shalat : Shalat Idul Fitri

Tabir Mimpi - Shalat Idul Fitri

Shalat Idul Fitri (Arab, صلاة عيد الفطر) [ejaan lain: Eid-ul-Fitr, "Eid-ul-fitr", Eid al-Fitr, Id-ul-Fitr, Id al-Fitr] adalah shalat sunnah 2 (dua) rakaat yang dilakukan pada tanggal 1 Syawal. Hukumnya sunnah mu'akkad bagi setiap muslim untuk hadir. Bahkan ada pendapat dari madzhab Hanafi yang mengatakan wajib.


DEFINISI SHALAT IDUL FITRI

Shalat Idul Fitri adalah shalat sunnah 2 (dua) rakaat yang dilakukan pada tanggal 1 Syawal setelah selesainya sebulan penuh puasa Ramadhan.

DALIL SHALAT IDUL FITRI

- QS Al-Kautsar :2 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ menurut sebagian ulama tafsir, shalat yang dimaksud adalah shalat hari raya.
- Hadits Bukhari dan Muslim

أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها قَالَتْ : أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ . قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ : لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا .
Arti ringkas: Rasulullah memerintahkan semua perempuan untuk keluar saat idul fitri dan adha.

HUKUM SHALAT IDUL FITRI

Ada tiga pendapat terkait hukum shalat Idul Fitri sebagai berikut:

1. Sunnah muakkad (sangat dianjurkan) ini pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i.
2. Fardhu kifayah menurut pendapat Ahmad bin Hanbal (madzhab Hanbali)
3. Wajib bagi setiap muslim laki-laki. Ini pendapat madzhab Hanafi.

Lihat Al-Majmuk V/5, Al-Mughni III/253, Al-Inshaf V/316, Al-Ikhtiyarat 82.

Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim[1]. Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.“[2]

Di antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).[3]


Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.


Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.


Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.


Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”[4]

Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]

Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.[8]

Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى

“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.“[9]

An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”[10]

Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied

Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[11]


Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]


Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[13]

Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied.[14]


Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”[15]

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]

Tata cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:

[1] Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17]

[2] Di antara lafazh takbir adalah,
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

“Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18]

Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar“, itu juga diperbolehkan.[19]


Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.

Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,
نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ

“Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]


Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.“[21]


Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“[22]


Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.“[23]


Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied

Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.

“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[24]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[25]

SHALAT DAN KHUTBAH IDUL FITRI

Ada 2 (dua) komponen dalam ibadah ritual idul fitri yaitu shalat dan khutbah. Shalat dilakukan lebih dulu disusul kemudian dengan khutbah Idul Fitri. Ini kebalikan dengan shalat Jum'atdimana khutbah dilakukan lebih dulu dari shalat Jumpat.

Niat shalat Idul Fitri:

Sebagai imam: 

أصلي سنة عيد الفطر ركعتين إماما للة تعالي 
Artinya: Niat shalat sunnah Idul Fitri dua rakaat sebagai imam karena Allah.

Sebagai makmum:

أصلي سنة عيد الفطر ركعتين مأموما للة تعالي
Artinya: Niat shalat sunnah Idul Fitri dua rakaat sebagai makmum karena Allah.

TATA CARA SHALAT IDUL FITRI
Rakaat pertama: 

(a) Baca takbirotul ihram (takbir permulaan shalat) dengan niat shalat idul fitri.
(b) Membaca doa iftitah
(c) Membaca takbir 7 (tujuh) kali (selain takbirotul ihram)
(d) Membaca Al-Fatihah
(d) Membaca surat Al-Quran seperti Al-A'la 

Rakaat kedua: 

(a) Membaca takbir 5 (lima) kali.
(b) Membaca Al-Fatihah
(c) Membaca surat Al-Quran seperti Al-Ghasyiyah.

Setelah sujud rakaat kedua, diikuti dengan tahiyat (tasyahud) akhir dan diakhir dengan salam. 

Prosesi berikutnya adalah khutbah Idul Fitri, bagian ini khusus untuk khatib Idul Fitri.

KHUTBAH IDUL FITRI

Khutbah Idul Fitri terbagi dua yaitu khutbah pertama dan khutbah kedua. Di antara dua khutbah biasanya dipisah dengan duduk sebentar.

Tata cara khutbah: (a) Membaca takbir 9 (sembilan) kali terus menerus pada khutbah pertama; (b) membaca takbir 5 (lima) kali secara terus menerus (tanpa dipisah) di rakaat kedua selain takbir untuk berdiri. 

Adapun selain bacaan takbir, semuanya sama dengan khutbah Jum'at dalam segi rukunnya.

TEKS BACAAN TAKBIR LEBARAN IDUL FITRI

Teks bacaan takbir untuk lebaran Idul Fitri adalah sbb:


الله أكبر الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد الله أكبر كبيراً والحمد لله كثيراً وسبحان الله بكرة وأصيلاً، لا إله إلا الله وحده صدق وعده ونصر عبده وأعز جنده وهزم الأحزاب وحده

HUKUM DAN WAKTU MEMBACA TAKBIR LEBARAN IDUL FITRI

Pada hari raya Idul Fitri waktu membaca takbir yang disunnahkan adalah sebagai berikut:

1. Dari sejak terbenamnya matahari pada malam hari raya idul fitri sampai masuknya imam untuk shalat idul fitri.

2. Tidak disunnahkan membaca takbir pada malam idul fitri setiap setelah shalat fardhu menurut madzhab Syafi'i kecuali pendapat Imam Nawawi.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter