I Gusti Ngurah Agung akhirnya dinobatkan sebagai raja Tabanan bergelar Ida Cokorda Tabanan Raja Singhasana. Setelah penobatan, beliau menjatuhkan hukuman kepada Kyai Lod Rurung, disurutkan kewibawaannya karena tidak mendukung perjuangan beliau.
Ketegangan antara Penebel dan Tabanan masih berlangsung. Rakyat Penebel merusak bendungan memutuskan aliran air yang menuju ke Tabanan. Akibatnya rakyat negara Tabanan menderita krisis air untuk irigasi. Untuk mengatasi krisis tersebut Raja Ida Cokorda Tabanan meminta bantuan pasukan kepada Raja Mengwi I Gusti Agung Putu Agung.
Setelah beberapa tahun berperang, akhirnya raja Ki Gusti Ngurah Agung dibantu oleh raja Mengwi menyerang Ki Gusti Ngurah Ubung di Penebel. Pasukan Mengwi menyerang Penebel dari arah Selatan. Pasukan I Gusti Ngurah Kurambitan menyerang Penebel ke Barat, dan pasukan Kyai Pucangan di bagian Timur. Dengan jumlah pasukan yang lebih banyak, Tabanan dapat menaklukkan Penebel. I Gusti Ngurah Ubung gugur di desa Sandan. Peperangan diperkirakan berlangsung selama 3 tahun.
Harta benda Puri Penebel diserahkan kepada andalan-andalan pasukan Mengwi, sebagai imbalan balas jasa atas bantuan Mengwi. Diantara berupa pengawin / mamas serta 2 orang gadis, bernama Ni Gusti Ayu Gede dari Puri Ageng Kurambitan sebagai permasuri di istana Kaba-Kaba, dan I Gusti Luh Made Layar dari Jro Aseman sebagai isteri raja Mengwi.
Setelah perang dengan Penebel berakhir, negara Tabanan sentosa di bawah pemerintahan I Gusti Ngurah Agung (Ida Cokorda Tabanan), didampingi I Gusti Ngurah Demung berkedudukan di Puri Kaleran sebagai Raja ke dua (pemade). Adiknya yang bungsu I Gusti Ngurah Celuk pindah berkediaman di Puri Kediri.
Dalam perkembangan selanjutnya hubungan Tabanan dengan Mengwi memburuk dengan dikuasainya daerah-daerah Tabanan oleh Mengwi, yang menurut Mengwi sebagai imbalan atas jasa-jasanya membantu Tabanan memenangkan perang melawan Penebel. Adapun daerah-daerah Tabanan yang dikuasai Mengwi adalah bagian Barat Sungai Dati, bagian Timur Sungai Panahan, di Utara desa Adeng, dan bagian Selatan desa Tegal Jadi. Dalam situasi seperti ini Raja Tabanan menempatkan I Gusti Kukuh di desa Den Bantas untuk menjaga perbatasan wilayah.
I Gusti Ngurah Agung setelah lama memerintah, tiba saatnya pulang ke alam baka. Adapun putera-putera beliau yaitu
- I Gusti Ngurah / Sirarya Ngurah Agung beribu Ni Gusti Ayu Ketut dari Taman diangkat putera oleh I Gusti Kaleran Demung
- I Gusti Ngurah Tabanan beribu Ni Sagung Wayan dari Jro Aseman;
- I Gusti Ngurah Made Penarukan (beribu penawing) Membangun Puri Anyar Tabanan
- I Gusti Ngurah Gede Banjar (beribu penawing), Membangun Puri Anom, menetap di Saren Kangin
- I Gusti Ngurah Nyoman (beribu Ni Mekel Sekar dari Tatandan), Membangun Puri Anom Tabanan, menetap di Saren Kawuh / Saren Tengah sekarang
- I Gusti Ngurah Rai (beribu Ni Mekel Sekar dari Tatandan) Diangkat sebagai Putra oleh Ki Gusti Ngurah Demung di Puri Kaleran
Putera Mahkota I Gusti Ngurah Tabanan sejak berada dalam kandungan tidak tinggal di Puri Agung, melainkan di tempat kelahiran ibunya di Jro Aseman Kurambitan. Setelah putera ini lahir dan berusia 3 bulan diupacarai dengan sarana yang sederhana (pacacolong) saja. Putera Mahkota ini kemudian tidak mau menyusu, diberikan kepada seorang isteri Brahmana dan Ksatriya juga tidak mau menyusu. Akhirnya seorang isteri kebanyakan (Men Rawuh), barulah putera ini mau menyusu, bergantian dengan anaknya Men Rawuh.
Setelah Putera Mahkota sudah tidak menyusu lagi, barulah dipindahkan ke Puri Agung. Sejak saat itu ada semacam ketetapan bahwa semua keluarga dari penawing tidak diupacarai dengan kebesaran pada umur 3 bulan tetapi dengan upacara yang sederhana yang disebut pacacolong. Hal ini diwarisi sampai sekarang di Puri Anom dan di Puri Anyar Tabanan.
Diceritakan setelah beberapa lama baginda raja wafat, terjadi musibah di negara Tabanan. Puri Agung Tabanan terbakas ludes. Semua harta benda terbakar hancur tidak dapat diselamatkan. Jenasah baginda raja yang wafat dan belum di aben dilarikan ke Puri Kaleran. Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada tahun 1768 M.
Di Puri Kaleran terjadi pergantian pucuk pimpinan. I Gusti Ngurah Kaleran Demung wafat digantikan oleh puteranya I Gusti Ngurah Made Kaleran.
Putera Mahkota membangun kembali istana tersebut dan menyelenggarakan upacara Pelebon ayahandanya yang kemudian diberi gelar Sri Maharaja Dewata. Demikian juga raja pemade I Gusti Ngurah Made Kaleran di Puri Kaleran wafat karena terserang penyakit cacar. Setelah diupacarai dengan semestinya diberi gelar Bhatara Mur Mabasah.
Raja pemade ini tidak mempunyai putera laki-laki, hanya mempunyai seorang puteri yang bernama Ni Sagung Putu. Oleh sebab itu I Gusti Ngurah Made Kaleran mengangkat anak seorang raja putera bernama I Gusti Ngurah Rai, untuk menjadi pemucuk di Puri Kaleran bergelar I Gusti Ngurah Made Kaleran.
Posting Komentar
Posting Komentar