Pada tanggal 25 Mei 1904 Bumi Badung mengalami krisis dengan Pemerintah Hindia-Belanda yang dipicu oleh karamnya perahu wangkang Sri Komala di pantai Sanur. Belanda menuduh rakyat Sanur melakukan perampasan terhadap isi kapal tersebut dan menuntut ganti rugi. Cokorda Made Agung, Raja Badung yang beristana di Puri Denpasar pada waktu itu masih berusia muda, baru 26 tahun. Beliau sangat emosional dan bersikukuh tidak memenuhi tuntutan tersebut, karena tidak ada penduduk Sanur yang melakukan perampasan sebagaimana yang dituduhkan pihak Belanda.
Tabanan sempat mengirim pasukan di perbatasan dengan Mengwi untuk berjaga-jaga dari kemungkinan Mengwi menyerang Badung. Raja Tabanan dan juga Raja Pemade di Puri Kaleran mengadakan pertemuan bermaksud menyerah kepada pemerintah Hindia-Belanda.
Pada tanggal 21 April 1905 Komisaris Liefrinck berkunjung ke negara Tabanan bertemu dengan raja untuk mendengar langsung sikap Raja Tabanan terhadap krisis Sri Komala ini.
Pada tanggal 14 sampai 19 Mei 1905 Raja Badung mengadakan kunjungan ke kerajaan Tabanan. Ke dua raja melaksanakan upacara sumpah di Pemerajan Agung Puri Tabanan untuk senantiasa saling membantu satu sama lain.
Pada tanggal 23 sd 30 Juni 1905, kunjungan balasan Raja Tabanan ke Puri Denpasar untuk membahas krisis perahu Sri Komala, yang menghasilkan kesepakatan tidak membayar ganti rugi.
Pada tanggal 27 Juni 1905 sembahyang bersama antara Raja Badung dengan Raja Tabanan di Pura Sakenan, diikuti ribuan rakyat untuk membuktikan solidaritas antara mereka.
Tanggal 28 Juni 1905 upacara sumpah di Pura Taman Ayun, dimana Raja Tabanan, Denpasar, dan Raja Pemecutan yang sudah tua dan sakit2an untuk acara penting ini menyempatkan hadir. Mereka bersumpah bersatu padu menghadapi aksi militer Belanda.
Tanggal 5 Juli 1905 Raja Tabanan Surat mengirim surat kepada Residen Eschbach, isinya Tabanan menolak memblokade Kerajaan Badung.
Tanggal 27 September 1906 Pk. 07.00 pasukan ekspedisi Belanda bergerak ke Tabanan sampai di desa Buringkit, Panglima Tonningen memutuskan pasukannya beristirahat satu malam, sebelum menerus operasi ke Tabanan. Panglima mendengar berita Raja Tabanan, disertai Putra Mahkota, I Gusti Ngurah Anom, dan pembesar2 kerajaan seperti Adipati, Punggawa Tabanan dan Kurambitan, dan Pedanda2 ingin berjumpa Panglima.
Raja sempat mampir di Puri Kediri bermaksud meminta dukungan, tetapi I Gusti Ngurah Made Kediri menyatakan tidak ikut karena menderita demam panas. Beliau hanya dapat membant dengan memberikan beberapa rakyat untuk mengiringi rombongan Raja. Perjalanan Raja Tabanan dilanjutkan sampai di Kekeran Nyuh Gading, menginap di rumah seorang petani.
Tanggal 28 September 1906 Pk 08.00 Raja Tabanan tiba di Buringkit dari desa Abiantuwung, mengadakan pertemuan dengan Panglima Van Tonningen yang didampingi Kepala Staf pasukan ekspedisi dan Asisten Residen Schwartz di halaman Pura Kahyangan Buringkit. Raja Tabanan menyatakan maksudnya agar diperlakukan seperti Kerajaan Gianyar dan Karangasem, sebagai Stedehouder Pemerintah Hindia-Belanda. Van Tonningen tidak menanggapi karena masalah politik di luar kapasitasnya sebagai Panglima, dan menyarankan agar Raja menyerah tanpa syarat dulu, kemudian akan dibawa ke Puri Denpasar untuk menghadap Komisaris Liefrinck. Raja minta waktu 2 hari untuk mengatur urusan keluarga, tapi ditolak oleh Van Tonningen.
Pk 09.30 Raja beserta Putra Mahkota dan beberapa Punggawa berangkat ke Puri Denpasar disertai Asisten Residen Schwartz dikawal oleh satu peleton pasukan Belanda. Adipati Agung diberitahu agar memberi perintah kepada rakyat untuk menyerahkan senjata api.
I Gusti Ngurah Oka dari Jro Oka tidak ikut serta dalam rombongan Raja, dengan alasan akan menjaga ketertiban di Puri Tabanan. Raja hanya mengangguk permintaan I Gusti Ngurah Oka. Sampai di Tabanan I Gusti Ngurah Oka ingkar janji, langsung menuju desa Jegu bertemu dengan sanak keluarganya. Perbuatan yang hina demikian disebut mresaweda.
Rombongan Raja tiba di Puri Denpasar pada malam hari. Raja dan pengiringnya semua lapar dan payah sebab satu hari tidak makan dan minum. Rombongan Raja sampai di sumanggen langsung naik ke lantai atas. Komisaris Liefrinck menerima kedatangan Raja, menolak memberi status Tabanan seperti Kerajaan Gianyar dan Karangasem.
Komisaris memerintahkan besok Raja dan Putra Mahkota diasingkan ke Majora Lombok tempat Raja Seleparang dulu. Berita ini disampaikan oleh Ida Bagus Gelgel, punggawa distrik Bubunan Singaraja, yang bertindak sebagai utusan Pemerintah Hindia-belanda. Sementara Raja dan Putra Mahkota ditempatkan dulu di salah satu bagian di Puri Denpasar.
Tanggal 29 September 1906 saat pasukan Belanda akan menjemput Raja Tabanan dan Putra Mahkota di Puri Denpasar untuk di antar ke Sanur, didapatkan keduanya sudah tidak bernyawa lagi. Raja memotong urat nadinya dengan pisau kecil pengutik dan Putra Mahkota I Gusti Ngurah Gede Pegeg minum sari (racun). Aksi bunuh diri ini dilakukan dalam suasana yang kelam, hujan lebat, angin ribut, kilat dan petir sambung-menyambung.
Beberapa saat sebelum bunuh diri Raja sempat memotong rambut dan kuku beliau sebagai simbol kematiannya. Kyai Gede Dude diperintahkan membawa potongan rambut dan kuku tersebut ke Puri Agung Tabanan.
Jenazah Raja Tabanan dan Putera Mahkota diusung oleh orang-orang Badung yang pimpin oleh Sawunggaling Gogotan. Rakyat Badung, Tabanan dan Kurambitan menyaksikan pelebon ke dua jenasah tersebut di setra Badung, abunya dihanyutkan di Segara Kuta.
Di Tabanan Asisten Residen Schwartz mengadakan pertemuan dengan para punggawa Tabanan. Schwartz memberitakan Raja dan Putra Mahkota sudah wafat. Keluarga terpenting Raja Badung dan Tabanan yang masih hidup diasingkan ke Lombok dengan kapal laut bernama “Zeeland”.
Pejabat-pejabat Belanda masuk ke Tabanan menyita aset-aset Puri dan merusak Puri Agung Tabanan. Para isteri dan puteri di kalangan istana pergi ke Puri Kaleran, dan juga ada yang pergi ke rumah masing-masing. Mulai saat itu tidak lagi diwajibkan para pemuda (truna) bekerja pada kerajaan dan kemancaan.
Sekitar 3 bulan masa Pemerintahan Hindia-Belanda yang berkantor di halaman depan Puri Kaleran, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh seorang Raja Puteri dari Puri Ageng bernama Sagung Ayu Wah. Gerakan ini bermaksud menyerang serdadu-serdadu Belanda yang sewenang-wenang. Rakyat berduyun-duyun membawa senjata, keris, tombak, serta pentongan kayu. Tetapi ketika baru tiba di dusun Twak Ilang, mereka disambut oleh serdadu Belanda dengan tembakan bedil sehingga banyak jatuh korban. Sagung Ayu Wah dibuang ke Sasak. Pemuka-pemuka desa, pemangku, dan kepala-kepala laskar di buang ke Jawa dan ke Sumatera.
Dua orang puteri Cokorda Tabanan yang wafat di Badung, Sagung Ayu Oka dan Sagung Ayu Putu pindah ke Puri Anom pada tahun 1910 M. Sagung Ayu Putu menikah dengan I Gusti Ngurah Anom di Puri Anom. Sedangkan Sagung Ayu Oka menikah dengan orang Manado bernama Tuan Kramer, yang menjabat sebagai Klerk Kontrolir Tabanan.
Dengan demikian lenyaplah sudah kekuasaan Puri Agung Tabanan dan Kerajaaan Tabanan yang semula dirintis oleh Sira Bhatara Arya Kenceng sekitar tahun 1350 M.
Posting Komentar
Posting Komentar